Saudaraku,
Bagaimana kondisi hati kita saat ini? Sedih atau gembirakah? Lihatlah rona wajah kita sekarang. Menampilkan kegembiraan, kecerahan, dan keriangankah?
Wajah yang cerah, senyum, hati yang riang, penuh semangat, adalah warisan nilai yang diajarkan Islam. Betapa pentingnya penampilan yang indah, wajah yang menggembirakan, hati yang senang itu, hingga Rosululloh saw mengatakan bahwa senyum itu shodaqoh. Senyum adalah perlambang kecerahan wajah, kesenangan jiwa, keriangan hati. Dan itu adalah shodaqoh. Bahkan Rosululloh saw juga mengatakan agar kita tidak menyepelekan suatu amal baik, meski hanya menampilkan wajah yang menyenangkan di hadapan saudara kita. Betapa sempurna, bijaksana, dan indahnya nilai-nilai Islam.
Saudaraku,
Kesedihan atau hazan dalam bahasa Arab, tidak pernah disebut di dalam Al-Qur’an kecuali dalam konteks larangan. Islam sangat mengutamakan suasana jiwa yang gembira yang terpantul lewat wajah yang ceria, gelora semangat serta optimis memandang kehidupan. Bukalah surat Ali Imron ayat 139, “Janganlah kalian bersikap lemah dan jangan pula bersedih hati.” Lihat juga firman Alloh surat An-Nahl ayat 127, “Dan janganlah kamu bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka.” Atau surat At-Taubah ayat 40, “Janganlah kamu bersedih, sesungguhnya Alloh beserta kita.” Semua ayat-ayat itu menganjurkan agar kita menjauhi situasi yang menjadikan kesedihan.
Kenapa dilarang? Karena sedih adalah wujud kondisi hati yang labil, berubah-ubah, yang tidak ada gunanya bagi hati. Sementara di sisi lain, syaitan amat suka dengan orang yang hatinya labil dan diombang-ambingkan oleh perasaannya sendiri. Jika kita berada dalam kondisi seperti itu, syaitan pasti datang untuk menghalangi bahkan menghentikan kita dari menempuh kebaikan. Kita menjadi lesu untuk melakukan amal-amal sholih.
Saudaraku,
Itu sebabnya, Rosululloh saw melarang situasi sekecil apapun yang bisa membuat seseorang sedih. Contoh sederhananya ada pada sabda Rosul saw yang melarang tiga orang untuk berbisik-bisik antara dua orang saja, tanpa yang ketiga. “Dzaalika yuhzinuhu,” kata Rosululloh. Artinya, kondisi seperti itu akan membuat sedih orang yang ketiga. (HR. Bukhori dan Muslim). Rosul juga kerap berdo’a memohon perlindungan Alloh dari kesedihan (hazan) dan duka cita (hamm). Allohumma innii a’udzubika minal hammi walhazan. Menurut Imam Ibnul Qoyyim rohimahulloh dalam Madarijus Saalikiin, hamm danhazan sebagaimana tertera dalam do’a Rosul ini memiliki perbedaan. Hamm adalah bentuk kesedihan atas sesuatu yang akan datang. Sedangkan hazan adalah perasaan sedih atas sesuatu yang sudah dialami.
Tapi Alloh swt Maha Pengasih, Saudaraku.
Meski sikap hamm dan hazan ini dianjurkan untuk dijauhkan, toh tetap saja kita manusia mengalami dan merasakan situasi-situasi hamm dan hazan itu. Dan karena ke-Maha Pengasihnya Alloh, segala kesedihan itu jika harus menerpa ternyata akhirnya bernilai pahala bagi kita. Rosululloh saw bersabda, “Tak ada seorang mukmin yang ditimpa hamm(kesedihan yang baru dan belum pernah dialami sebelumnya), keletihan (sakit), dan kesedihan (seperti yang pernah dialaminya pada masa lalu), melainkan Alloh menghapuskan dosa-dosanya karena musibah itu.” (HR. Bukhori dan Muslim)
Saudaraku,
Sudah tentu, pahala akibat kesedihan dan kesulitan yang digambarkan dalam hadits itu, tidak berarti agar kita bersedih. Hadist ini memberitakan bahwa kita sesungguhnya diuji dengan kesedihan, nestapa, sama halnya ketika kita diuji dengan rasa sakit, susah dan kesulitan. Tidak benar jika ada yang mengatakan, orang-orang sholih kehidupannya banyak diwarnai dengan kesedihan, lalu mereka selalu murung dan tidak menampilkan kegembiraan dan semangat. Karena Islam justru melarang umatnya untuk tenggelam dalam kesedihan yang membebani hati dan menghalangi banyak kebaikan. Lihatlah jejak perjalanan Rosululloh, para sahabat, para imam, orang-orang sholih itu. Rosululloh saw adalah orang yang mampu mengusir kesedihan. Rosululloh bahkan disebutkan oleh Imam As-Suyuthi dengan istilah “adh-dhohuuk al-qottaal” yakni orang yang sering tersenyum tapi kerap mampu berperang. (Ar-Riyadh Al-Aniqoh, 202). Ini berarti, Rosululloh adalah pribadi yang tetap bergembira, senang, ceria, meski sesungguhnya ujian yang ia hadapi bisa sangat menguras energi keceriaannya.
Saudaraku,
Ketundukan kepada Alloh, tidak boleh memunculkan kesedihan. Kekhusyu’an dalam beribadah, tidak ada hubungannya dengan kesedihan. Rasa takut akan adzab Alloh, tidak berarti wajah kita harus tampil muram. Semuanya tidak ada kaitannya dan tak boleh memunculkan kesedihan. Karena kesedihan dan kedukaan justru menyebabkan kita tidak mampu melakukan kebaikan.
Kunci kesuksesan hidup ini, banyak pada situasi hati yang tenang, gembira, lapang. Dan cara paling efektif menciptakan kegembiraan, ketenangan, mengusir kesedihan, dan kedukaan itu disampaikan oleh Imam Ibnu Qoyyim rohimahulloh.
Saudaraku,
Mari dengarkan baik-baik ungkapannya, “Dalam hati itu ada kekusutan yang takkan terurai dan menguat kecuali dengan kembali kepada Alloh. Di dalam hati juga ada kebuasan yang sulit dihilangkan, kecuali dengan berjinak-jinak pada-Nya. Di dalam hati ada kesedihan yang takkan lenyap kecuali dengan rasa gembira melalui pengenalan lebih jauh kepada Alloh dan menjalin hubungan yang baik dengan-Nya. Di sana juga ada kebimbangan yang takkan tenang, kecuali dengan berkumpul di bawah naungan-Nya dan lari kepada-Nya.” (Al-Iman wal Hayah, Qorodhowi, 78)
Mari kembali kepada Alloh. Itu kuncinya. Itu sumber kebahagiaan orang-orang beriman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar