NOVEL War
and Peace karya Leo Tolstoy itu sangat berkesan menurut saya. Terlebih pada
pengambilan setting yang cerdas, yakni penyerbuan Napoleon ke Rusia yang
berpuncak pada jatuhnya Moskow, 14 September 1812. Kisah cinta yang rumit itu
terbingkai dalam eksotisme sejarah yang mengasyikkan sekaligus penuh ‘ibroh. Ketika Sergei Bondarchuk maupun
King Vodor memfilmkannya, syukurlah ia tak kehilangan jiwa penceritaannya.
Sekali
lagi, sebenarnya saya jauh lebih tertarik pada latar sejarahnya dibanding kisah
cinta Count Pierre Bezukhov, Natasha Rostov, dan Pangeran Andrew Bolkonskiy.
Ini
pertarungan antara semangat penaklukan seorang Napoleon di puncak kejayaannya
melawan kesabaran si tua Jenderal-Pangeran Mikhail Ilarionovich Kutuzov yang
harus mati-matian meyakinkan anak buahnya atas langkah pertahanan yang
diambilnya. Napoleon, dengan penuh kemenangan memasuki Moskow bersama
pasukannya. Tetapi kota megah dan indah itu bersih, tak meninggalkan apapun
untuknya kecuali para tunasusila. Napoleon menyebut pasukannya sebagai paling
disiplin, paling solid, dan terbaik di dunia. Tetapi dengan jumlah sebesar itu,
ransum yang terbatas, gadis-gadis Rusia yang cantik, dan musim dingin yang menjelang,
ia merasa takkan sanggup bertahan lama di Moskow.
Sebenarnya
Jenderal Kutuzov, pasukan Rusia, dan para pengungsi dihantui ketakutan yang
sama: kelaparan dan musim dingin. Tetapi inilah tantangannya. Mana yang lebih
mampu bersabar, Napoleon atau Kutuzov. Dan Kutuzov setiap hari mengulang-ulang
ucapan, “Waktu dan kesabaran. Waktu dan kesabaran. Waktu dan kesabaran.” di
atas tempat tidurnya hingga berita itu tiba. Napoleon memutuskan pulang ke Perancis,
Kutuzov pun sujud syukur.
Penarikan
mundur tentara Perancis ini adalah salah satu perjalanan pulang paling menyedihkan
sepanjang sejarah. Dari 500.000 pasukan yang dibawa Napoleon menginvasi Rusia,
hanya sekitar 150.000 orang yang selamat sampai Perancis. Sisanya ditinggalkan
mati lemas terbenam dalam lumpur hujan yang terbentang di Ukraina atau
tertimbun salju musim dingin yang dahsyat dalam kondisi nyaris telanjang. Yang
masih hidup akan segera berebut mengambil syal, jaket, dan pakaian mereka yang
tewas untuk menambah rasa hangat. Mereka yang masih hidup tetapi tak kuat
berjalan akan ditembak di tempat. Juga untuk diambil bajunya oleh yang lain.
Napoleon
yang kudanya pun ambruk, tertunduk lesu di atas kereta salju. Itulah satu di antara
sedikit kereta yang masih ada, padahal sebelumnya ada puluhan bahkan ratusan.
Kereta itu milik para wanita bangsawan Rusia pengkhianat yang ingin ikut ke
Perancis, namun tewas dalam perjalanan bersalju yang dinginnya membekukan
darah. Di tepi sungai Berezina, saat pasukan Rusia meneriakkan pekik
kemenangan, Napoleon menghangatkan diri dengan membakar panji-panji Perancis dan
peta penyerbuannya. Tragis. Sebagaimana terjadi pada Hitler dalam Perang Dunia
II, penyerbuan ke Rusia adalah antiklimaks dari karir perang Napoleon.
Beberapa
tahun sebelum itu, tepatnya 1798, Napoleon menyerbu Mesir, negeri kaum Muslimin.
Negeri di mana Fir’aun pernah mengabadikan namanya sebagai Sang Tiran. Mungkin
ada benarnya jika ada yang mengatakan bahwa dari sinilah, -dari Fir’aun-,
Napoleon belajar menjadi tiran Eropa. Turut serta dalam ekspedisi Napoleon ini,
seorang sejarawan bernama Champoleon. Ialah yang kemudian menemukan batu Rosetta,
kunci untuk membaca aksara Hieroglyph Mesir kuno. Sejak itu, sejarah salah satu
peradaban tertua di dunia diungkap dan dipaparkan lebih mendalam.
“Sesungguhnya Fir’aun
telah berbuat sewenang-wenang di muka bumi dan menjadikan penduduknya berpecah
belah, dengan menindas segolongan dari mereka, menyembelih anak laki-laki
mereka dan membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka. Sesungguhnya Fir’aun termasuk
orang-orang yang berbuat kerusakan.” (Qs.
al-Qoshosh [28]: 4)
Dalam
sejarah da’wah, salah satu jenis musuh yang sering menghadang laju barisan
keimanan adalah para tiran. Selalu ada mereka bagi para pemuda Kahfi,
sebagaimana ada Namrud bagi Ibrohim dan Fir’aun bagi Musa. Dalam tradisi jahili,
mendaki menuju puncak kekuasaan berarti membangun ambisi. Dan di puncak sana,
ambisi itu tak tertahankan lagi, meledak menjadi klaim paling konyol yang
pernah dibuat manusia dalam kata-kata.
Dan berkata Fir’aun,
“Hai pembesar kaumku, aku tidak mengetahui tuhan bagimu selain aku.” (Qs. al-Qoshosh [28]: 38)
Apakah
kemudian Islam menentang kehadiran Sang Tiran hanya karena klaim lucu ini? Jika
klaim konyol ini diucapkan seorang budak, maka cukuplah untuk mengatainya gila.
Tetapi karena Sang Tiran memiliki kuasa dan sumberdaya, maka klaim ini menjadi
gaung yang paling keras dan pedang yang paling tebas menentang kebenaran. “Power tends to corrupt,” kata Lord
Acton. “Absolute power corrupts absolutely!” Kata-kata ini nyaris sangat
empirik. Dan begitulah yang dialami Fir’aun dan para tiran Fir’aunis:
menginjak, memperbudak, menyeleweng, dan mempertuhan diri.
Prinsip
Islam untuk membebaskan manusia dari perbudakan para tiran itu disuarakan salah
satunya oleh seorang prajurit bertubuh kecil dengan pedang pendek dan pakaian
kasar di hadapan Rustum, penguasa de
facto Imperium Sassanid Persia. “Kami dibangkitkan untuk mengeluarkan
manusia dari penghambaan kepada sesamanya, menuju penghambaan kepada Kholiqnya.
Dari kezholiman agama-agama menuju keadilan Islam!” Rib’i ibn Amir nama
prajurit itu. Ia yang mencela betapa menjijikkannya jilatan para bawahan Rustum
pada atasannya. Ia yang dicela sebagai anjing Arab oleh para budak Rustum. Dan
ia yang dipuji sebagai manusia terhormat oleh Rustum sendiri.
Oh
iya. Saya ingat salah satu kalimat Napoleon dalam film War and Peace ketika dia menduduki istana Tsar Alexander I Romanov
di Moskow. “Di antara monumen yang ditinggalkan zaman barbar dan kelaliman, akan
kutuliskan tentang keadilan dan kemurahan hati!”
Fir’aun berkata, “Aku
tidak mengemukakan kepadamu, melainkan apa yang aku pandang baik; dan aku tiada
menunjukkan kepadamu selain jalan yang benar.” (Qs. Ghoofir [40]: 29)
Begitulah
perasaan para tiran. Memutlakkan segalanya dengan ukuran diri. Kebenaran,
kuasa, ideologi. “You are either with us,
or against us,” kata George W. Bush. Ibrohim-lah yang cerdas ketika Namrud
mengklaim bisa menghidupkan dan mematikan. “Robbku, mendatangkan mentari dari
ufuk timur. Datangkanlah ia dari barat!” Fabuhitalladzii
kafar! Maka terbungkamlah ia yang kafir! Siapkah kita membungkam
klaim-klaim rapuh Sang Tiran seperti Ibrohim melakukannya di Surat al-Baqoroh
ayat 258?[]
Credit: “Saksikan
bahwa Aku Seorang Muslim”; Salim A. Fillah; Pro-U Media
Tidak ada komentar:
Posting Komentar