Kamis, 30 April 2015

Di Bukit Shofa

Adakah Anda temukan nama Zulaikho dalam surat Yusuf, novel romansa al-Qur’an itu?

Tidak!

Alloh Maha Santun. Jika hambaNya bermaksiat dengan sembunyi-sembunyi dan masih tersisa malu dalam dirinya, maka Ia tak akan menyebut-nyebut namanya. Meski untuk alasan i’tibar dan mengambil hikmah sekalipun. Maka kita tak pernah menemukan nama Zulaikho di dalam al-Qur’an. Pada novel yang indah itu, surat Yusuf, kita hanya menemukan sebutan imro-atul ‘Aziiz, isterinya ‘Aziiz. Karena dia masih berikhtiyar menutup semua pintu dan menyembunyikan diri dari pandangan manusia saat terbit niatan untuk menggoda pemuda tampan di rumahnya. Ya, meski ada satu pintu tak pernah ditutupnya; pintu yang di sana Alloh senantiasa menatap hamba-hambaNya.

Sekali lagi Alloh itu al-Haliim. Maha Santun. Manusia diajak mengambil pelajaran dari romantika itu, namun Alloh tak menyebut nama sang wanita. Alloh menutup aib-aibnya, karena masih ada rasa malu tersisa dalam dirinya. Meski malu yang terbatas pada manusia. Tetapi sungguh berbeda perlakuan Alloh kepada manusia yang terang-terangan menentangNya. Alloh pun terang-terangan menyebut namanya. Mengabadikannya. Seperti hari itu, di bukit Shofa.

“Wahai bani Fihr, wahai bani Ady, wahai semua orang Quroisy!” lelaki berwajah santun itu memanggil kaumnya dari ketinggian. Teriakannya keras, namun merasuk dada dan enak didengar. Tatapannya teduh dan senyumnya mengembang menyaksikan para pemuka Makkah berkeliling di sekitarnya. Mereka menanti apa yang akan keluar dari lisan al-Amin, Sang Penuh Amanah yang hari itu terlihat berseri, rapi, dan wangi.

“Apa pendapat kalian sekiranya kukabarkan bahwa di balik bukit ini sepasukan berkuda bersenjata lengkap mengepung, siap menyerbu Makkah dan melumatkannya?”

Berebut jawaban itu seakan, “Kami belum pernah mendengar ada kedustaan keluar dari lisanmu. Benar. Kami tidak pernah menyesap darimu kecuali kejujuran. Engkau adalah al-Amin!”

Ia tersenyum sebelum melanjutkan, “Sesungguhnya aku adalah pembawa peringatan dari sisi Alloh sebelum datangnya ‘adzab yang besar.”

Kalimat itu belum terselesaikan ketika tiba-tiba seorang lelaki berkulit putih, bermata juling, dan berpakaian sutera dengan sikap badan menantang maju ke depan, mengacungkan telunjuknya ke wajah sang Rosul sambil berteriak, “Tabban laka, ya Muhammad! Alihaadza jama’tanaa?; Binasa kau, Muhammad! Apakah untuk urusan seremeh ini kami semua kau kumpulkan?”

Yang belum pernah mengenal lelaki juling itupun berbisik pada orang di sebelahnya, “Siapa dia?”

“Pamannya. Abu Lahab.”

Saat itulah turun ayat Alloh membalas perkataan Tabban laka, ya Muhammad yang diucapkannya. “Tabbat yadaa Abii Lahabiw wa Tabb!; Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan benar-benar binasa!” Abu Lahab. Nama yang abadi di dalam al-Qur’an sebagai lambang penentangan da’wah.

Seperti Abu Jahl, Abu Lahab jauh dari kebodohan dalam makna asosiatif yang melekat di benak kita. Selalu ada motivasi lain dalam penentangannya di luar ketidaktahuan dan sikap tak mau tahu. Baginya, apa yang dibawa sang keponakan membahayakan kemapanan Quroisy, kaumnya sendiri.

Apa jadinya bisnis beribadahan pagan yang menghidupi dirinya dan penduduk Makkah jika ajaran Muhammad itu diterima? Apa jadinya jika Quroisy tak lagi menjadi pemimpin seluruh jazirah dalam sistem kepercayaan yang menurut mereka adalah warisan Ibrohim meski ia sendiri ragu tentang itu? Apa jadinya jika budak sekedudukan dengan tuannya? Ah, ia tak bisa membayangkan betapa kacau hidupnya kelak. Laa ilaaha illalloh berarti penghapusan terhadap segala klaim yang selama ini menjadi sumber penghidupan dan kedudukannya.

Logika Abu Lahab, logika untung-rugi inilah salah satu urat hidup jahiliah. Dalam sejarah, ia menjangkiti para pemuka dan pemimpin kaum. Karena logika ini, Fir’aun menuduh Musa hendak merebut kerajaannya. Atas nalar yang sama, Nuh, Hud, Sholih, dan yang lainnya tertuduh menjadi penghasut golongan lemah dan hina untuk mengancam stabilitas ‘negeri yang damai’. Dan penduduk kota wisata Thoif melempari Muhammad dengan batu bukan karena mereka tak bersimpati pada ajakannya. Itu lebih karena hubungan bisnis yang erat dengan para juragan Makkah yang punya banyak villa di kota mereka.

Kedua tangan Abu Lahab telah binasa, dan benar-benar binasa. Tetapi otak jahiliahnya terwaris hingga hari ini pada mereka yang menentang da’wah dengan logika yang sama.[]


Credit: “Saksikan bahwa Aku Seorang Muslim”; Salim A. Fillah; Pro-U Media

Tidak ada komentar:

Posting Komentar