Adakah Anda temukan nama Zulaikho dalam
surat Yusuf, novel romansa al-Qur’an itu?
Tidak!
Alloh
Maha Santun. Jika hambaNya bermaksiat dengan sembunyi-sembunyi dan masih
tersisa malu dalam dirinya, maka Ia tak akan menyebut-nyebut namanya. Meski
untuk alasan i’tibar dan mengambil
hikmah sekalipun. Maka kita tak pernah menemukan nama Zulaikho di dalam
al-Qur’an. Pada novel yang indah itu, surat Yusuf, kita hanya menemukan sebutan
imro-atul ‘Aziiz, isterinya ‘Aziiz.
Karena dia masih berikhtiyar menutup semua pintu dan menyembunyikan diri dari
pandangan manusia saat terbit niatan untuk menggoda pemuda tampan di rumahnya.
Ya, meski ada satu pintu tak pernah ditutupnya; pintu yang di sana Alloh
senantiasa menatap hamba-hambaNya.
Sekali
lagi Alloh itu al-Haliim. Maha
Santun. Manusia diajak mengambil pelajaran dari romantika itu, namun Alloh tak
menyebut nama sang wanita. Alloh menutup aib-aibnya, karena masih ada rasa malu
tersisa dalam dirinya. Meski malu yang terbatas pada manusia. Tetapi sungguh
berbeda perlakuan Alloh kepada manusia yang terang-terangan menentangNya. Alloh
pun terang-terangan menyebut namanya. Mengabadikannya. Seperti hari itu, di
bukit Shofa.
“Wahai
bani Fihr, wahai bani Ady, wahai semua orang Quroisy!” lelaki berwajah santun
itu memanggil kaumnya dari ketinggian. Teriakannya keras, namun merasuk dada
dan enak didengar. Tatapannya teduh dan senyumnya mengembang menyaksikan para
pemuka Makkah berkeliling di sekitarnya. Mereka menanti apa yang akan keluar
dari lisan al-Amin, Sang Penuh Amanah
yang hari itu terlihat berseri, rapi, dan wangi.
“Apa
pendapat kalian sekiranya kukabarkan bahwa di balik bukit ini sepasukan berkuda
bersenjata lengkap mengepung, siap menyerbu Makkah dan melumatkannya?”
Berebut
jawaban itu seakan, “Kami belum pernah mendengar ada kedustaan keluar dari
lisanmu. Benar. Kami tidak pernah menyesap darimu kecuali kejujuran. Engkau
adalah al-Amin!”
Ia
tersenyum sebelum melanjutkan, “Sesungguhnya aku adalah pembawa peringatan dari
sisi Alloh sebelum datangnya ‘adzab yang besar.”
Kalimat
itu belum terselesaikan ketika tiba-tiba seorang lelaki berkulit putih, bermata
juling, dan berpakaian sutera dengan sikap badan menantang maju ke depan,
mengacungkan telunjuknya ke wajah sang Rosul sambil berteriak, “Tabban laka, ya Muhammad! Alihaadza
jama’tanaa?; Binasa kau, Muhammad! Apakah untuk urusan seremeh ini kami
semua kau kumpulkan?”
Yang
belum pernah mengenal lelaki juling itupun berbisik pada orang di sebelahnya,
“Siapa dia?”
“Pamannya.
Abu Lahab.”
Saat
itulah turun ayat Alloh membalas perkataan Tabban
laka, ya Muhammad yang diucapkannya. “Tabbat
yadaa Abii Lahabiw wa Tabb!; Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan
benar-benar binasa!” Abu Lahab. Nama yang abadi di dalam al-Qur’an sebagai
lambang penentangan da’wah.
Seperti
Abu Jahl, Abu Lahab jauh dari kebodohan dalam makna asosiatif yang melekat di
benak kita. Selalu ada motivasi lain dalam penentangannya di luar ketidaktahuan
dan sikap tak mau tahu. Baginya, apa yang dibawa sang keponakan membahayakan
kemapanan Quroisy, kaumnya sendiri.
Apa
jadinya bisnis beribadahan pagan yang menghidupi dirinya dan penduduk Makkah
jika ajaran Muhammad itu diterima? Apa jadinya jika Quroisy tak lagi menjadi
pemimpin seluruh jazirah dalam sistem kepercayaan yang menurut mereka adalah
warisan Ibrohim meski ia sendiri ragu tentang itu? Apa jadinya jika budak
sekedudukan dengan tuannya? Ah, ia tak bisa membayangkan betapa kacau hidupnya
kelak. Laa ilaaha illalloh berarti
penghapusan terhadap segala klaim yang selama ini menjadi sumber penghidupan
dan kedudukannya.
Logika
Abu Lahab, logika untung-rugi inilah salah satu urat hidup jahiliah. Dalam
sejarah, ia menjangkiti para pemuka dan pemimpin kaum. Karena logika ini,
Fir’aun menuduh Musa hendak merebut kerajaannya. Atas nalar yang sama, Nuh,
Hud, Sholih, dan yang lainnya tertuduh menjadi penghasut golongan lemah dan
hina untuk mengancam stabilitas ‘negeri yang damai’. Dan penduduk kota wisata
Thoif melempari Muhammad dengan batu bukan karena mereka tak bersimpati pada
ajakannya. Itu lebih karena hubungan bisnis yang erat dengan para juragan
Makkah yang punya banyak villa di
kota mereka.
Kedua
tangan Abu Lahab telah binasa, dan benar-benar binasa. Tetapi otak jahiliahnya
terwaris hingga hari ini pada mereka yang menentang da’wah dengan logika yang
sama.[]
Credit:
“Saksikan bahwa Aku Seorang Muslim”; Salim A. Fillah; Pro-U Media
Tidak ada komentar:
Posting Komentar