PAGI itu Madinah cerah. Daun-daun kurma berdiam menunggu angin yang lama tak
berembus. Tak banyak yang berubah. Rumah isteri-isteri Rosululloh tetap
sederhana sebagaimana beliau tinggalkan. Ada kesetiaan di sana. Ada pengabdian.
Dan keagungan. Dan dialog ini, terjadi di salah satu rumah dari kompleks yang
menjajari Masjid Nabawi itu. Cahaya mentari menelusup lembut ke dalam ruangan.
“Hafshoh putriku, berapa lama seorang wanita sanggup
menahan gejolak syahwatnya?”
“Dua atau tiga bulan. Paling lama empat bulan wahai Ayah!”
Sejak dialog bersejarah dengan putrinya ini, Amirul Mu’minin
‘Umar menggariskan kebijakannya bagi pasukan jihad: pergiliran pasukan tiap shift, tak boleh lebih dari 4 bulan.
Mereka harus punya waktu jeda untuk pulang menemui isterinya. Semalam, sang Kholifah
telah mendengar syair yang digumamkan seorang wanita dalam gejolak rindu pada
suami yang ada di garis depan.
Kebijakan yang sangat humanis, insani. Maka dalam bayangan saya, negeri syari’ah yang dipandu ‘Umar
tentu akan sangat berbeda dari republik teokratis yang dipimpin Girolamo
Savonarola di Firenze, Italia 1545-1548. Ini yang selalu jadi model untuk
menentang peran agama dalam mengatur negara. Alkisah di tahun-tahun itu, kota
yang disebut Florence dalam lidah Inggris ini adalah yang paling makmur dan
bergairah di Italia.
Kota dagang sering menjadi panggung drama tragik antara
kaum kaya dengan popolo minuto,
orang-orang kecil. Tapi Firenze beruntung dipimpin oleh keluarga Medici. Dengan
satuan administrasi yang teratur, pasukan yang kuat, dan aparat yang bersih,
pajak dikenakan dengan progresif: semakin kaya, semakin besar prosentase pajak yang
harus dibayar.
Karena Paus Leo X (1513-1521) yang membangun Basilica St.
Peter dan gila-gilaan menggaji para seniman seperti Raphael dan Michaelangelo
untuk menghiasnya dengan lukisan yang disebut oleh Paus Hadrianus VI (1521-1523)
–penggantinya- sebagai ketelanjangan menjijikkan, juga berasal dari keluarga
Medici, kita tentu bisa membaca seperti apa mereka ini. Di bawah pimpinan Lorenzo
de’ Medici, kota ini menjadi bergairah dengan sastra, penggalian agama dan
pendekatan Yahudi-Kristen-Islam, pengetahuan, kesenian, dan event-event budaya.
Tentu lama kelamaan menjadi susah membedakannya dengan pesta dan foya-foya tak
bermakna. Ya, bagi Girolamo Savonarola, Padri Dominikan itu. Ordo Dominikan, tentu
pada abad selanjutnya di Spanyol, adalah ordo yang lekat dengan institusi
mengerikan itu: Inquisisi.
Bangkitlah Savonarola berkhotbah. Dengan pedas. Dia
mengutuk bidat-bidat pemikiran. Dia mengutuk wanita yang berpakaian tak sopan. Dia
mengutuk pesta dan teriakan syair Lorenzo de’ Medici, “Panjang umur Dewa Anggur!
Hiduplah hasrat hati!” Dan kalangan muda kelas bawah yang muak melihat polah
para bangsawan pun mendukungnya. Jadilah ia penguasa yang memerintah atas nama
Yesus Kristus. Seorang yang tertuduh menghujat tuhan, akan ditusuk lidahnya.
Wanita berpakaian tak sopan akan dirobek dan dipermalukan di jalanan. Yang tak hadir
misa akan dibakar rumahnya, tak peduli bahwa ia bukan Kristen. Polisi di
mana-mana dan aneka lagu dan perkataan tiba-tiba menjadi terlarang.
Kebetulan, Paus yang bertahta saat Savonarola berkuasa
lagi-lagi dari keluarga Medici, yakni Clementius VII (1523-1534). Maka akhirnya,
Padri Savonarola-lah yang justru
tertuduh bidat. Ketika kekuasaannya yang hanya 3 tahun ditumbangkan, ia pun
dihukum khas gereja; bakar. Dan sampai kini, agaknya seluruh Barat jera untuk
bereksperimen dengan negara-agama ala Savonarola.
Sangat berbeda. ‘Umar tentu tak hanya mengutuk ketidakadilan,
tapi dipikulnya sendiri gandum untuk seorang wanita yang memasak batu di atas
tungku. Ia dengarkan seksama kejujuran seorang gadis penjual susu. Ia uji baik-baik
seorang gembala. Ia berlari-lari di tengah hujan mengejar unta zakat yang
lepas. Mengapa kebijakan-kebijakan ‘Umar itu bisa begitu insani? Tentu karena ia lahir justru dari sistem dan pribadi-pribadi
yang Robbani. Robbani-Insani,
pasangan yang agung.
Maka ‘Umar memecat Kholid, ketika terasa ada sesuatu
mulai tak beres di dada para prajurit; kultus. Tetapi dia juga menangis ketika
Kholid meninggal, “Adakah wanita yang sanggup melahirkan lagi lelaki seperti Abu
Sulaiman?” Dan ‘Umar tak mengijinkan para panglima mengelola tanah sekaligus
membangun kota-kota militer di Bashroh, Kufah, dan Fustat, agar semangat
ekspansif mereka tak tumpul. Tapi ia juga berharap perbukitan di Khurosan
menghalangi kaum muslimin dari musuh, dan menghalangi musuh dari kaum muslimin.
Karena baginya, nyawa seorang mukmin begitu berharga untuk membangun dunia yang
beradab. Ada penjagaan nilai ilahi, nilai perjuangan, sekaligus nilai
kemanusiaan dalam tiap kebijakan yang dibuatnya. Dan memang, ‘Umar tidak
memerintah atas nama tuhan. Ia, dan bahkan pendahulunya berpidato di saat pengangkatan,
“Aku bukanlah orang terbaik di antara kalian. Jika aku benar, maka dukung dan
bantulah aku mengemban amanah ini. Jika aku salah, maka jangan ragu untuk
meluruskanku!”
“...Tetapi hendaklah kalian menjadi orang-orang Robbani,
disebabkan kalian terus mengajarkan Al-Kitab, dan kalian senantiasa mempelajarinya.”
(Qs. Ali ‘Imron [3]: 79)
Nah. Apa itu Robbani? Salah satu tafsir paling menarik
tentang kata Robbani dalam ayat ini, justru datang dari salah satu tokoh yang
paling dirujuk dalam Ilmu Tafsir, Al-Imam ibnu Jarir ath-Thobari. Dalam Jami’ul Bayaan fii Ta’wilil Quraan,
beliau menyebutkan lima hal yang harus dimiliki oleh seorang Robbani.
1. ‘Alim dan Mutsaqqof
Seorang Robbani
haruslah seorang berilmu dan berwawasan. Ada semangat belajar yang kuat di
dalam dirinya. Ia digerakkan oleh Robb yang mentarbiyah manusia dengan perantaraan
pena. Ia tergema oleh ayat pertama Iqro’, agar ia tak sekedar membaca kalam-Nya
di mushhaf dan semesta, tapi memulainya dengan menyebut asma Robbnya yang telah
menciptakan. Agar ia tak hanya menulis, tapi juga memberikan pencerahan. Agar
ia tak sekedar menyusun huruf dan kalimat, tetapi juga merajut benang-benang
warna menjadi sebuah sorot cahaya.
Ilmu apa yang
wajib dipelajari? Ilmu Alloh. Soal dikotomi duniawi-ukhrowi, Imam al-Ghozali
berpendapat, “Boleh jadi fiqh itu ilmu duniawi. Dan boleh jadi kedokteran dan
ilmu pertekstilan adalah ilmu akhirat.”
Bagaimana
logikanya? Mungkin memperhatikan kondisi zamannya, al-Ghozali mengambil contoh
pembahasan tentang zhihar. Ketika
seorang suami mengucapkan “Engkau bagiku seperti punggung ibuku!” pada isterinya.
Di masa jahiliyah status isteri jadi tak jelas. Tapi di masa Islam, zhihar jelas ketentuannya di Surat al-Mujaadilah.
Pembahasan berpelik-pelik, kalau begini, kalau begitu, yang dilakukan para ahli
fiqh di masa itu bagi al-Ghozali, hanyalah untuk mencari keuntungan duniawi.
Tapi
sebaliknya, beliau melihat betapa minimnya dokter muslim saat itu. Sehingga
ketika seseorang berpenyakit pencernaan sementara esok hari bulan Romadhon
tiba, kaum muslimin beramai-ramai meminta fatwa pada dokter Yahudi dan Nashroni.
Ini ilmu akhirat, jangan sampai diserahkan pada seorang yang bukan muslim.
Nah demikian
juga ilmu tekstil. Jika untuk menutup ‘aurotnya seorang muslim menyerahkan
jenis kain, model jahitan, dan trendnya pada yang bukan muslim hingga ‘aurot
tak tertutup sempurna, siapa yang berdosa? Semua.
2. Faqih
Apa bedanya ‘Alim
dengan Faqih? Dalam kata-kata Imam asy-Syafi’i,
“Kalian, para ahli hadits, adalah apoteker. Kami, para ahli fiqh, adalah dokter.”
Apoteker punya ilmu tentang obat, tetapi tidak memahami kondisi pasien. Dan
oleh karena itu, dia tak memiliki otoritas menentukan terapi bagi kesembuhan
mereka. Demikian pula bagi Imam asy-Syafi’i, berpegang hanya pada teks seperti
lazimnya Ahli Hadits berbuat akan membuat repot pasien, yakni ummat. Di
perlukan seorang dokter, seorang Faqih, yang dengan keluasan wawasan, pemahaman
terhadap kondisi, mengetahui seluk beluk organ dan interaksi kimianya, bisa
merumuskan satu resep, satu fatwa yang tepat.
Seorang yang Robbanl,
mencoba untuk melihat apa yang ada di balik sesuatu, mendengarkan yang tak
terucapkan, dan menilai dari berbagai sisi yang tak selalu linear. Seorang ‘Alim
mungkin saja lahir dari ruang berisi buku-buku, tapi seorang Faqih muncul di
tengah orang ramai yang menghadapi banyak persoalan.
3. Al-Bashiroh bis Siyasah
Seorang yang Robbani,
memiliki kedalaman pandangan tentang politik. Politik Islam adalah seni
mengelola urusan publik agar manusia merasa indah beribadah dan mampu
menjadikan setiap aktivitas mereka sebagai ibadah. Dia mampu mengelola sebuah
kebijakan yang membuat orang kaya merasa terjamin hartanya dan gembira
menunaikan kewajibannya. Kebijakan itu membuat orang miskin merasa tenteram sekaligus
bersemangat dalam etos kerja.
4. Al-Bashiroh bit Tadbir
Seorang yang Robbani
juga memiliki kedalaman pandangan dalam hal manajemen. Dia tahu bagaimana
menempatkan suatu sumberdaya pada posisi yang tepat. Didasari hal inilah,
mungkin, Rosululloh tak pernah mengangkat ‘Umar ibn al-Khoththob menjadi
komandan satuan pasukan besar. Bukan dia tak mampu. Tapi model seperti ‘Umar
akan mementingkan mencari kematian syahadah
daripada kemenangan pasukan yang dipimpinnya. Kholid ibn al-Walid berbeda. Saat
dipecat dari kedudukan sebagai panglima ia berujar, “Kini aku bebas mencari kematian.
Kemarin ketika menjadi panglima, tentu kupikirkan pasukanku. Kini aku berpikir
tentang diriku sendiri, dan ia merindukan surga.” Kalau bukan karena dia
panglima, Kholid mungkin tak perlu mematahkan sampai 13 bilah pedang dalam
perang Mu’tah.
Demikian juga,
pandangan tajam manajerial Nabi membuat beliau langsung menunjuk ‘Amr ibn al-‘Ash
beberapa saat sesudah dia masuk Islam untuk menjadi komandan satuan yang di dalamnya
bergabung para shohabat senior termasuk Abu Bakr dan ‘Umar. Malamnya, saat mereka
berkemah, tiba-tiba ‘Amr memerintahkan semua memadamkan api.
‘Umar
tersinggung. Terlihat olehnya pasukan itu kedinginan, dan beberapa yang lain
sedang memasak makanan. “Tidak, jangan matikan apinya!”, seru ‘Umar. Abu Bakr
yang ada di sampingnya langsung menegur, “Wahai ‘Umar, dia pemimpin yang
ditunjuk Rosululloh untuk kita. Taatlah pada Alloh, Rosul-Nya, dan pemimpinmu!”
‘Umar masih menggerutu. Tetapi beberapa saat kemudian dia menyadari ‘Amr benar.
Bunyi ringkik dan tapak kaki kuda patroli musuh, ratusan agaknya, terdengar
begitu mengerikan. Tetapi kafilah patroli itu lewat saja. Maka Abu Bakr pun
tersenyum padanya.
Hari
berikutnya, ‘Amr memerintahkan pasukannya berhenti di luar perkampungan kabilah
yang akan diserang. “Aku akan masuk. Jika aku tak kembali hingga mentari
tergelincir, kalian serbulah ke dalam!” ‘Umar protes lagi, “Jika kau ingin
syahid, kami semua juga! Tetaplah kita bersama!” Dengan lirikan, kembali Abu
Bakr mengingatkan ‘Umar. Dan ‘Umar pun patuh. Beberapa waktu kemudian, ‘Amr
telah kembali bersama pemimpin kabilah yang telah masuk Islam bersama
pengikutnya, atas diplomasi ‘Amr. Kabilah itu tunduk, tanpa setetes darahpun
tertumpah. Seandainya jadi Abu Bakr mungkin saat itu kita akan berkata pada ‘Umar,
“Nah. Gua bilang juga apa?”
5. Al-Qiyam bis Su-unir Ro’iyah li
Mashlahatid Dunyaa wad Diin
Poin ini
adalah implementasi dari poin ketiga dan keempat. Kata kuncinya adalah
kepedulian pada kepentingan publik. Seorang yang Robbani memiliki peran dalam
menegakkan kepentingan masyarakat banyak dalam kerangka kebaikan dunia dan
agama. Ada advokasi, ada penyantunan, ada pelayanan, ada peningkatan
kesejahteraan, dan ada kebijakan yang membuka peluang-peluang kebaikan.
Itulah orang-orang Robbani.
“Orang-orang yang
jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, niscaya mereka mendirikan
sholat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang makruf dan mencegah dari
perbuatan yang mungkar; dan kepada Alloh-lah kembali segala urusan.” (Qs. al-Hajj []: 41)[]
Credit: “Saksikan
bahwa Aku Seorang Muslim”; Salim A. Fillah; Pro-U Media
Tidak ada komentar:
Posting Komentar