Rabu, 29 April 2015

Robbani

PAGI itu Madinah cerah. Daun-daun kurma berdiam menunggu angin yang lama tak berembus. Tak banyak yang berubah. Rumah isteri-isteri Rosululloh tetap sederhana sebagaimana beliau tinggalkan. Ada kesetiaan di sana. Ada pengabdian. Dan keagungan. Dan dialog ini, terjadi di salah satu rumah dari kompleks yang menjajari Masjid Nabawi itu. Cahaya mentari menelusup lembut ke dalam ruangan.

“Hafshoh putriku, berapa lama seorang wanita sanggup menahan gejolak syahwatnya?”

“Dua atau tiga bulan. Paling lama empat bulan wahai Ayah!”

Sejak dialog bersejarah dengan putrinya ini, Amirul Mu’minin ‘Umar menggariskan kebijakannya bagi pasukan jihad: pergiliran pasukan tiap shift, tak boleh lebih dari 4 bulan. Mereka harus punya waktu jeda untuk pulang menemui isterinya. Semalam, sang Kholifah telah mendengar syair yang digumamkan seorang wanita dalam gejolak rindu pada suami yang ada di garis depan.

Kebijakan yang sangat humanis, insani. Maka dalam bayangan saya, negeri syari’ah yang dipandu ‘Umar tentu akan sangat berbeda dari republik teokratis yang dipimpin Girolamo Savonarola di Firenze, Italia 1545-1548. Ini yang selalu jadi model untuk menentang peran agama dalam mengatur negara. Alkisah di tahun-tahun itu, kota yang disebut Florence dalam lidah Inggris ini adalah yang paling makmur dan bergairah di Italia.

Kota dagang sering menjadi panggung drama tragik antara kaum kaya dengan popolo minuto, orang-orang kecil. Tapi Firenze beruntung dipimpin oleh keluarga Medici. Dengan satuan administrasi yang teratur, pasukan yang kuat, dan aparat yang bersih, pajak dikenakan dengan progresif: semakin kaya, semakin besar prosentase pajak yang harus dibayar.

Karena Paus Leo X (1513-1521) yang membangun Basilica St. Peter dan gila-gilaan menggaji para seniman seperti Raphael dan Michaelangelo untuk menghiasnya dengan lukisan yang disebut oleh Paus Hadrianus VI (1521-1523) –penggantinya- sebagai ketelanjangan menjijikkan, juga berasal dari keluarga Medici, kita tentu bisa membaca seperti apa mereka ini. Di bawah pimpinan Lorenzo de’ Medici, kota ini menjadi bergairah dengan sastra, penggalian agama dan pendekatan Yahudi-Kristen-Islam, pengetahuan, kesenian, dan event-event budaya. Tentu lama kelamaan menjadi susah membedakannya dengan pesta dan foya-foya tak bermakna. Ya, bagi Girolamo Savonarola, Padri Dominikan itu. Ordo Dominikan, tentu pada abad selanjutnya di Spanyol, adalah ordo yang lekat dengan institusi mengerikan itu: Inquisisi.

Bangkitlah Savonarola berkhotbah. Dengan pedas. Dia mengutuk bidat-bidat pemikiran. Dia mengutuk wanita yang berpakaian tak sopan. Dia mengutuk pesta dan teriakan syair Lorenzo de’ Medici, “Panjang umur Dewa Anggur! Hiduplah hasrat hati!” Dan kalangan muda kelas bawah yang muak melihat polah para bangsawan pun mendukungnya. Jadilah ia penguasa yang memerintah atas nama Yesus Kristus. Seorang yang tertuduh menghujat tuhan, akan ditusuk lidahnya. Wanita berpakaian tak sopan akan dirobek dan dipermalukan di jalanan. Yang tak hadir misa akan dibakar rumahnya, tak peduli bahwa ia bukan Kristen. Polisi di mana-mana dan aneka lagu dan perkataan tiba-tiba menjadi terlarang.

Kebetulan, Paus yang bertahta saat Savonarola berkuasa lagi-lagi dari keluarga Medici, yakni Clementius VII (1523-1534). Maka akhirnya, Padri Savonarola-lah yang justru tertuduh bidat. Ketika kekuasaannya yang hanya 3 tahun ditumbangkan, ia pun dihukum khas gereja; bakar. Dan sampai kini, agaknya seluruh Barat jera untuk bereksperimen dengan negara-agama ala Savonarola.

Sangat berbeda. ‘Umar tentu tak hanya mengutuk ketidakadilan, tapi dipikulnya sendiri gandum untuk seorang wanita yang memasak batu di atas tungku. Ia dengarkan seksama kejujuran seorang gadis penjual susu. Ia uji baik-baik seorang gembala. Ia berlari-lari di tengah hujan mengejar unta zakat yang lepas. Mengapa kebijakan-kebijakan ‘Umar itu bisa begitu insani? Tentu karena ia lahir justru dari sistem dan pribadi-pribadi yang Robbani. Robbani-Insani, pasangan yang agung.

Maka ‘Umar memecat Kholid, ketika terasa ada sesuatu mulai tak beres di dada para prajurit; kultus. Tetapi dia juga menangis ketika Kholid meninggal, “Adakah wanita yang sanggup melahirkan lagi lelaki seperti Abu Sulaiman?” Dan ‘Umar tak mengijinkan para panglima mengelola tanah sekaligus membangun kota-kota militer di Bashroh, Kufah, dan Fustat, agar semangat ekspansif mereka tak tumpul. Tapi ia juga berharap perbukitan di Khurosan menghalangi kaum muslimin dari musuh, dan menghalangi musuh dari kaum muslimin. Karena baginya, nyawa seorang mukmin begitu berharga untuk membangun dunia yang beradab. Ada penjagaan nilai ilahi, nilai perjuangan, sekaligus nilai kemanusiaan dalam tiap kebijakan yang dibuatnya. Dan memang, ‘Umar tidak memerintah atas nama tuhan. Ia, dan bahkan pendahulunya berpidato di saat pengangkatan, “Aku bukanlah orang terbaik di antara kalian. Jika aku benar, maka dukung dan bantulah aku mengemban amanah ini. Jika aku salah, maka jangan ragu untuk meluruskanku!”

“...Tetapi hendaklah kalian menjadi orang-orang Robbani, disebabkan kalian terus mengajarkan Al-Kitab, dan kalian senantiasa mempelajarinya.” (Qs. Ali ‘Imron [3]: 79)

Nah. Apa itu Robbani? Salah satu tafsir paling menarik tentang kata Robbani dalam ayat ini, justru datang dari salah satu tokoh yang paling dirujuk dalam Ilmu Tafsir, Al-Imam ibnu Jarir ath-Thobari. Dalam Jami’ul Bayaan fii Ta’wilil Quraan, beliau menyebutkan lima hal yang harus dimiliki oleh seorang Robbani.

1. ‘Alim dan Mutsaqqof

Seorang Robbani haruslah seorang berilmu dan berwawasan. Ada semangat belajar yang kuat di dalam dirinya. Ia digerakkan oleh Robb yang mentarbiyah manusia dengan perantaraan pena. Ia tergema oleh ayat pertama Iqro’, agar ia tak sekedar membaca kalam-Nya di mushhaf dan semesta, tapi memulainya dengan menyebut asma Robbnya yang telah menciptakan. Agar ia tak hanya menulis, tapi juga memberikan pencerahan. Agar ia tak sekedar menyusun huruf dan kalimat, tetapi juga merajut benang-benang warna menjadi sebuah sorot cahaya.

Ilmu apa yang wajib dipelajari? Ilmu Alloh. Soal dikotomi duniawi-ukhrowi, Imam al-Ghozali berpendapat, “Boleh jadi fiqh itu ilmu duniawi. Dan boleh jadi kedokteran dan ilmu pertekstilan adalah ilmu akhirat.”

Bagaimana logikanya? Mungkin memperhatikan kondisi zamannya, al-Ghozali mengambil contoh pembahasan tentang zhihar. Ketika seorang suami mengucapkan “Engkau bagiku seperti punggung ibuku!” pada isterinya. Di masa jahiliyah status isteri jadi tak jelas. Tapi di masa Islam, zhihar jelas ketentuannya di Surat al-Mujaadilah. Pembahasan berpelik-pelik, kalau begini, kalau begitu, yang dilakukan para ahli fiqh di masa itu bagi al-Ghozali, hanyalah untuk mencari keuntungan duniawi.

Tapi sebaliknya, beliau melihat betapa minimnya dokter muslim saat itu. Sehingga ketika seseorang berpenyakit pencernaan sementara esok hari bulan Romadhon tiba, kaum muslimin beramai-ramai meminta fatwa pada dokter Yahudi dan Nashroni. Ini ilmu akhirat, jangan sampai diserahkan pada seorang yang bukan muslim.

Nah demikian juga ilmu tekstil. Jika untuk menutup ‘aurotnya seorang muslim menyerahkan jenis kain, model jahitan, dan trendnya pada yang bukan muslim hingga ‘aurot tak tertutup sempurna, siapa yang berdosa? Semua.

2. Faqih

Apa bedanya ‘Alim dengan Faqih? Dalam kata-kata Imam asy-Syafi’i, “Kalian, para ahli hadits, adalah apoteker. Kami, para ahli fiqh, adalah dokter.” Apoteker punya ilmu tentang obat, tetapi tidak memahami kondisi pasien. Dan oleh karena itu, dia tak memiliki otoritas menentukan terapi bagi kesembuhan mereka. Demikian pula bagi Imam asy-Syafi’i, berpegang hanya pada teks seperti lazimnya Ahli Hadits berbuat akan membuat repot pasien, yakni ummat. Di perlukan seorang dokter, seorang Faqih, yang dengan keluasan wawasan, pemahaman terhadap kondisi, mengetahui seluk beluk organ dan interaksi kimianya, bisa merumuskan satu resep, satu fatwa yang tepat.

Seorang yang Robbanl, mencoba untuk melihat apa yang ada di balik sesuatu, mendengarkan yang tak terucapkan, dan menilai dari berbagai sisi yang tak selalu linear. Seorang ‘Alim mungkin saja lahir dari ruang berisi buku-buku, tapi seorang Faqih muncul di tengah orang ramai yang menghadapi banyak persoalan.

3. Al-Bashiroh bis Siyasah

Seorang yang Robbani, memiliki kedalaman pandangan tentang politik. Politik Islam adalah seni mengelola urusan publik agar manusia merasa indah beribadah dan mampu menjadikan setiap aktivitas mereka sebagai ibadah. Dia mampu mengelola sebuah kebijakan yang membuat orang kaya merasa terjamin hartanya dan gembira menunaikan kewajibannya. Kebijakan itu membuat orang miskin merasa tenteram sekaligus bersemangat dalam etos kerja.

4. Al-Bashiroh bit Tadbir

Seorang yang Robbani juga memiliki kedalaman pandangan dalam hal manajemen. Dia tahu bagaimana menempatkan suatu sumberdaya pada posisi yang tepat. Didasari hal inilah, mungkin, Rosululloh tak pernah mengangkat ‘Umar ibn al-Khoththob menjadi komandan satuan pasukan besar. Bukan dia tak mampu. Tapi model seperti ‘Umar akan mementingkan mencari kematian syahadah daripada kemenangan pasukan yang dipimpinnya. Kholid ibn al-Walid berbeda. Saat dipecat dari kedudukan sebagai panglima ia berujar, “Kini aku bebas mencari kematian. Kemarin ketika menjadi panglima, tentu kupikirkan pasukanku. Kini aku berpikir tentang diriku sendiri, dan ia merindukan surga.” Kalau bukan karena dia panglima, Kholid mungkin tak perlu mematahkan sampai 13 bilah pedang dalam perang Mu’tah.

Demikian juga, pandangan tajam manajerial Nabi membuat beliau langsung menunjuk ‘Amr ibn al-‘Ash beberapa saat sesudah dia masuk Islam untuk menjadi komandan satuan yang di dalamnya bergabung para shohabat senior termasuk Abu Bakr dan ‘Umar. Malamnya, saat mereka berkemah, tiba-tiba ‘Amr memerintahkan semua memadamkan api.

‘Umar tersinggung. Terlihat olehnya pasukan itu kedinginan, dan beberapa yang lain sedang memasak makanan. “Tidak, jangan matikan apinya!”, seru ‘Umar. Abu Bakr yang ada di sampingnya langsung menegur, “Wahai ‘Umar, dia pemimpin yang ditunjuk Rosululloh untuk kita. Taatlah pada Alloh, Rosul-Nya, dan pemimpinmu!” ‘Umar masih menggerutu. Tetapi beberapa saat kemudian dia menyadari ‘Amr benar. Bunyi ringkik dan tapak kaki kuda patroli musuh, ratusan agaknya, terdengar begitu mengerikan. Tetapi kafilah patroli itu lewat saja. Maka Abu Bakr pun tersenyum padanya.

Hari berikutnya, ‘Amr memerintahkan pasukannya berhenti di luar perkampungan kabilah yang akan diserang. “Aku akan masuk. Jika aku tak kembali hingga mentari tergelincir, kalian serbulah ke dalam!” ‘Umar protes lagi, “Jika kau ingin syahid, kami semua juga! Tetaplah kita bersama!” Dengan lirikan, kembali Abu Bakr mengingatkan ‘Umar. Dan ‘Umar pun patuh. Beberapa waktu kemudian, ‘Amr telah kembali bersama pemimpin kabilah yang telah masuk Islam bersama pengikutnya, atas diplomasi ‘Amr. Kabilah itu tunduk, tanpa setetes darahpun tertumpah. Seandainya jadi Abu Bakr mungkin saat itu kita akan berkata pada ‘Umar, “Nah. Gua bilang juga apa?”

5. Al-Qiyam bis Su-unir Ro’iyah li Mashlahatid Dunyaa wad Diin

Poin ini adalah implementasi dari poin ketiga dan keempat. Kata kuncinya adalah kepedulian pada kepentingan publik. Seorang yang Robbani memiliki peran dalam menegakkan kepentingan masyarakat banyak dalam kerangka kebaikan dunia dan agama. Ada advokasi, ada penyantunan, ada pelayanan, ada peningkatan kesejahteraan, dan ada kebijakan yang membuka peluang-peluang kebaikan.

Itulah orang-orang Robbani.

“Orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, niscaya mereka mendirikan sholat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang makruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Alloh-lah kembali segala urusan.” (Qs. al-Hajj []: 41)[]

Credit: “Saksikan bahwa Aku Seorang Muslim”; Salim A. Fillah; Pro-U Media


Tidak ada komentar:

Posting Komentar