Rabu, 29 April 2015

Generasi

INI KISAH tentang anak-anak aktivis da’wah. Sore itu, mereka tampak lincah, bermain penuh gairah, dan tertawa-tawa dalam canda yang sangat renyah. Tetapi sebentar. Ada yang membuat jerih dan ngeri dalam kata-kata anak itu saat seseorang mengusik persepsinya tentang Sang Abi dan Sang Ummi. “Besok kalau sudah besar, nggak mau ah jadi kayak Abi sama Ummi. Sibuk terus! Capek! Ngurusin orang melulu!”

“Kasihan deh Abi sama Ummiku itu.”

“Kenapa, Dik?”

Ya, kenapa. Karena mereka menyeksamai Abi dan Umminya. Dengan penyeksamaan seorang anak yang sederhana. Namun jernih. Namun murni.

Benar. Mereka melihat orangtuanya adalah aktivis da’wah. Mereka melihat setiap hari Abi dan Umminya mengemban amanah mulia ke sana kemari. Sesekali mereka terajak untuk melihat Abi dan Umminya mengisi ta’lim, menghadiri syuro, terlibat dalam pelayanan sosial, mendirikan lembaga, mengelola pendidikan Islam, dan seterusnya.

Tetapi mereka juga melihat hal yang lain. Bahwa habisnya waktu ayah bundanya dalam aktivitas bernama da’wah itu ‘membahayakan’ posisi hubungan mereka; anak dan orangtua. Bahwa -dalam pandangan mereka- ayah bundanya, sebenarnya memiliki unsur ‘terpaksa’, -sekecil apapun- terasa dari tutur kata, mimik wajah, sikap, bahkan sorot mata. Mereka menemukannya dalam sambutan kepada mereka yang seolah berbunyi, “Nak, Ummi dah capek. Jangan nakal, ya?! Nanti Ummi bias stress!”

Ya Alloh. Tidak mudah ternyata menjadi orangtua. Setidaknya, tidak semudah menyusun kalimat dalam visi pernikahan kita itu. “Menjadikan rumahtangga sebagai lahan tumbuhnya generasi yang akan menegakkan panji Islam.” Tiba-tiba saja berdenging telinga kita oleh firman Alloh yang mengetuk-ngetuk di rangkaian ayat institusi keluarga.

“Dan hendaklah takut kepada Alloh orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap mereka. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertaqwa kepada Alloh dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” (Qs. an-Nisaa’ [4]: 9)

Tentu saja bukan da’wahnya yang bermasalah sehingga menjadikan kacaunya sebuah keluarga yang seharusnya menjadi pilar masyarakat Islam. Untuk mengembalikan fungsi keluarga pada asholah-nya dalam tata urutan kerja membangun peradaban, ada tiga hal setidaknya yang harus menjadi perhatian kita.

1. Da’wah Keluarga sebagai BagianTerpenting Da’wah

Apa yang bisa kita katakan pada seorang kader da’wah yang dikenal berkontribusi besar di kampus, di organisasinya, atau di ranah profesinya, tetapi lalu menangis perih dan menyerah pada tekanan ketika dia menikah hingga pernikahannya dipenuhi nilai-nilai jahili? Dia punya idealisme yang tak bertemu dengan adat mistik keluarganya. Benar. Syukurlah jika ia telah berupaya. Terapi ada satu hal besar yang harus kita evaluasi, jangan-jangan hal itu karena da’wah keluarga telah kita letakkan di nomor sekian prioritas. Atau tak terpikir?

Baiklah jika kemudian kita punya tekad untuk mendirikan sebuah rumahtangga Muslim yang subur bagi semaian nilai kebaikan. Semoga memang benar-benar ada upaya. Bukan saling menggantungkan. Seperti suami yang berkata, “Ah, isteri saya kan wanita sholihah. Seharusnya dia bisa menangani da’wah di rumah ini. Apalagi pada anak-anak.” Dan sang isteri pun hanya berkata, “Aku tak menemukan kepemimpinan da’wahmu di rumah ini. Aku tak sanggup!” Hari ini, ketika amanah-amanah da’wah silih berganti memanggil kita, panggilan Alloh tentang keluarga kita itu tiba-tiba lebih nyaring terdengar.

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” (Qs. at-Tahriim [66]: 6)

Meninggalkan suatu acara di luar sana untuk memprioritaskan agenda keluarga tak selalu berarti meninggalkan da’wah. Kadang, meluangkan waktu untuk sebuah kebersamaan dalam keluarga adalah da’wah. Da’wah yang paling berharga.

2. Persepsi Orangtua terhadap Aktivitasnya

Tentu meluangkan waktu bukanlah satu-satunya jawaban bagi anak. Saya justru menemukan adanya beberapa keluarga da’wah yang unik. Aktivitas pasangan suami isteri itu jauh lebih padat daripada orangtua anak-anak yang berkata, “Besok kalau gedhe nggak mau ah jadi kayak Abi sama Ummi!” Benar, demi Alloh, amanah da’wah mereka lebih banyak dan lebih berat daripada para orangtua yang dikasihani anak-anaknya itu. Dan uniknya, anak-anak mereka punya jawaban sangat tegas saat ditanya tentang cita-cita, “Pokoknya pengin jadi kayak Abi sama Ummi!” Apa rahasianya?

Betul. Persepsi orangtua terhadap aktivitas mereka sendiri sangat berpengaruh pada jiwa anak-anaknya. Meski waktu untuk mereka sedikit, orangtua begitu sibuk ke sana kemari mengemban amanah da’wah, tetapi persepsi anak-anak itu terhadap aktivitas orangtuanya sangat positif. Karena orangtuanya pun memandang aktivitas mereka dengan sangat positif. Mereka berangkat meninggalkan anak-anaknya dengan cahaya semangat di wajahnya, dengan dada yang lapang, dan dengan ruhiyah yang terjaga. Anak-anak itu benar-benar melihat ruh jihad yang menyala dan ghiroh perjuangan terpancar dahsyat dari sorot mata Abi dan Umminya. Cahaya itu kuat sekali, hingga mereka pun melepas Abinya dengan tatapan yang menyejukkan ketika sang Abi berkata sambil mencium keningnya, “Abi berangkat dulu ya, Sayang, ya?!”

Dan tiba-tiba, tatapan sang putera semakin menyalakan semangat di dada ayahnya. Semangat untuk menyelesaikan amanah-amanahnya dengan puncak ihsan. Semangat untuk semakin banyak berkontribusi bagi ummat. Semangat untuk segera kembali dan menemukan kembali penguat nyalanya di sorot mata dan mimik wajah sang putera.

Alangkah berbeda mereka itu, dengan anak-anak yang hanya merasakan energi sisa-sisa orangtuanya saat bertemu. Mereka melihat, betapa orangtuanya kecapekan, kehabisan energi, stress, bahkan -‘Afwan-, uring-uringan terhadap aktivitas da’wah yang mereka jalani. Mungkin Abi dan Umminya tetap menyebut-nyebut tentang surga, kecintaan terhadap da’wah dan perjuangannya dan seterusnya. Tetapi mereka lebih percaya pada tatap mata dan sinar wajah itu. Sinar wajah yang mengabarkan padanya, “Ummi tuh capek, Nak. Jangan bikin Ummi makin kesal, ya?!” Sinar wajah yang meredup saat tiba waktunya berangkat menunaikan amanah da’wah. “Yah, syuro lagi… syuro lagi!” atau “Yah… ngisi ta’lim lagi. Jenuh sekali rasanya!”

Dalam hati, anak-anak ini akan bergumam, “Kasihan banget ya, Abi sama Ummiku. Ah, besok aku nggak mau ah kayak mereka. Kasihan juga kan anak-anakku nanti.” Astaghfirulloohal ‘adhiim. Sepertinya, kita pun perlu selalu dan senantiasa menata ulang persepsi kita terhadap aktivitas mulia itu.

3. Penguatan Buffer

Dalam dunia Kimia, buffer adalah larutan yang mengandung sustansi penghambat perubahan pH atau derajat keasaman. Biasanya ia terkomposisikan antara asam lemah dengan garamnya, atau basa lemah dengan garamnya. Kerjanya jelas. Mempertahankan pH pada kisaran netral; 7.

Nah, jiwa kita sepertinya juga memerlukan buffer. Kadang, dengan berbagai permasalahan yang kita hadapi, jiwa itu bisa mengasam, atau membasa. Buffer itu akan membantu mengembalikannya ke titik netral; kembali jernih seperti air murni. Anda pernah mengenal istilah kompensasi? Buffer sedikit berbeda dengan itu.

Chaplin dalam kamus Psikologinya menerjemahkan kompensasi sebagai sebuah proses penggunaan perilaku substiturif untuk mengatasi frustasi fisik atau frustasi sosial, ataupun kekurangmampuan dalam satu bidang kepribadiannya. Freud menganggap kompensasi sebagai mekanisme untuk menutupi kesadaran dari satu impuls yang tidak diinginkan. Sedangkan Alfred Adler, pencetus Psikologi Individual, menganggap kompensasi sebagai proses reaksi terhadap perasaan inferior atau rendah diri. Sederhananya, kompensasi seperti kalimat dalam iklan, “Nggak puas? Cari kepuasan lain!”

Nah, jika kompensasi bekerja untuk sebuah kepuasan jiwa dengan mengalihkan ketidakpuasan -karena ketidakmampuan- di satu titik menuju ranah yang bisa memuaskan kita, buffer bekerja dengan cara yang lebih sehat. Ia bukan pengalihan. Ia adalah penjagaan. Artinya, beresnya satu bagian hidup akan membuat jiwa kita tertata sehingga siap menghadapi bagian lain yang stressingnya lebih berat. Jika kompensasi membuat kita puas secara semu dan sebidang, buffer menjadikan semuanya seiring sejalan menuju perbaikan.

Buffer, bisa bermacam-macam bentuknya. Ada buffer spiritual. Dengan kualitas ruhiyah yang baik, aktivitas ruhiyah yang tertata, maka kelapangan hati juga meningkat. Kata Aa’ Gym, sesendok garam tetaplah sesendok garam. Jika ia masuk dan diaduk dalam sebuah gelas, rasanya akan begitu asin dan pahit. Tapi, saat ia masuk ke telaga, nggak akan ada pengaruhnya. Sesendok garam itu adalah masalah. Masalah tetap masalah. Yang membedakan rasanya adalah luasan kelapangan hati kita saat menghadapinya.

Bisa juga buffer fisik. Dengan tubuh yang rerjaga asupannya, olahraga teratur, dan vitalitas yang prima, tekanan psikologis akan terkurangi karena kita merasa punya banyak energi untuk memecahkan berbagai masalah. Bisa juga buffer ekonomi. Istilah jamaknya, nafkah beres, da’wah sukses. Adalah Khodijah Rodhiyalloohu ‘Anha digambarkan Nabi memperkuat da’wah beliau dengan kata-kata, “Dia memberikan hartanya kepadaku di saat orang lain menahannya.” Ketenangan jiwa yang ditumbuhkan faktor ekonomi memang tak selalu kuat, tetapi ia tetaplah menjadi salah satu buffer yang penting.

Tampaknya masih ada lagi yang perlu kita evaluasi. Ketika sekolah Islam terpadu, abbrevasi-nya dipelesetkan menjadi sekolah Islam termahal. Ketika bahkan terkadang, seorang pengajar di sana tak mampu menyekolahkan anaknya di tempatnya mengabdi itu.

Nah.[]

Credit: “Saksikan bahwa Aku Seorang Muslim”; Salim A. Fillah; Pro-U Media


Tidak ada komentar:

Posting Komentar