INI KISAH tentang
anak-anak aktivis da’wah. Sore itu, mereka tampak lincah, bermain penuh gairah,
dan tertawa-tawa dalam canda yang sangat renyah. Tetapi sebentar. Ada yang
membuat jerih dan ngeri dalam kata-kata anak itu saat seseorang mengusik
persepsinya tentang Sang Abi dan Sang Ummi. “Besok kalau sudah besar, nggak mau
ah jadi kayak Abi sama Ummi. Sibuk terus! Capek! Ngurusin orang melulu!”
“Kasihan deh Abi
sama Ummiku itu.”
“Kenapa, Dik?”
Ya, kenapa. Karena
mereka menyeksamai Abi dan Umminya. Dengan penyeksamaan seorang anak yang
sederhana. Namun jernih. Namun murni.
Benar. Mereka
melihat orangtuanya adalah aktivis da’wah. Mereka melihat setiap hari Abi dan
Umminya mengemban amanah mulia ke sana kemari. Sesekali mereka terajak untuk
melihat Abi dan Umminya mengisi ta’lim, menghadiri syuro, terlibat dalam
pelayanan sosial, mendirikan lembaga, mengelola pendidikan Islam, dan
seterusnya.
Tetapi mereka juga
melihat hal yang lain. Bahwa habisnya waktu ayah bundanya dalam aktivitas
bernama da’wah itu ‘membahayakan’ posisi hubungan mereka; anak dan orangtua.
Bahwa -dalam pandangan mereka- ayah bundanya, sebenarnya memiliki unsur ‘terpaksa’,
-sekecil apapun- terasa dari tutur kata, mimik wajah, sikap, bahkan sorot mata.
Mereka menemukannya dalam sambutan kepada mereka yang seolah berbunyi, “Nak,
Ummi dah capek. Jangan nakal, ya?! Nanti Ummi bias stress!”
Ya Alloh. Tidak
mudah ternyata menjadi orangtua. Setidaknya, tidak semudah menyusun kalimat
dalam visi pernikahan kita itu. “Menjadikan rumahtangga sebagai lahan tumbuhnya
generasi yang akan menegakkan panji Islam.” Tiba-tiba saja berdenging telinga
kita oleh firman Alloh yang mengetuk-ngetuk di rangkaian ayat institusi keluarga.
“Dan hendaklah takut kepada Alloh orang-orang yang
seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir
terhadap mereka. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertaqwa kepada Alloh dan
hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” (Qs. an-Nisaa’ [4]: 9)
Tentu saja bukan da’wahnya
yang bermasalah sehingga menjadikan kacaunya sebuah keluarga yang seharusnya
menjadi pilar masyarakat Islam. Untuk mengembalikan fungsi keluarga pada asholah-nya dalam tata urutan kerja
membangun peradaban, ada tiga hal setidaknya yang harus menjadi perhatian kita.
1. Da’wah Keluarga sebagai BagianTerpenting Da’wah
Apa yang bisa kita
katakan pada seorang kader da’wah yang dikenal berkontribusi besar di kampus,
di organisasinya, atau di ranah profesinya, tetapi lalu menangis perih dan
menyerah pada tekanan ketika dia menikah hingga pernikahannya dipenuhi
nilai-nilai jahili? Dia punya idealisme yang tak bertemu dengan adat mistik
keluarganya. Benar. Syukurlah jika ia telah berupaya. Terapi ada satu hal besar
yang harus kita evaluasi, jangan-jangan hal itu karena da’wah keluarga telah kita
letakkan di nomor sekian prioritas. Atau tak terpikir?
Baiklah jika
kemudian kita punya tekad untuk mendirikan sebuah rumahtangga Muslim yang subur
bagi semaian nilai kebaikan. Semoga memang benar-benar ada upaya. Bukan saling menggantungkan.
Seperti suami yang berkata, “Ah, isteri saya kan wanita sholihah. Seharusnya dia
bisa menangani da’wah di rumah ini. Apalagi pada anak-anak.” Dan sang isteri
pun hanya berkata, “Aku tak menemukan kepemimpinan da’wahmu di rumah ini. Aku
tak sanggup!” Hari ini, ketika amanah-amanah da’wah silih berganti memanggil
kita, panggilan Alloh tentang keluarga kita itu tiba-tiba lebih nyaring terdengar.
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan
keluargamu dari api neraka.” (Qs. at-Tahriim
[66]: 6)
Meninggalkan suatu
acara di luar sana untuk memprioritaskan agenda keluarga tak selalu berarti
meninggalkan da’wah. Kadang, meluangkan waktu untuk sebuah kebersamaan dalam
keluarga adalah da’wah. Da’wah yang paling berharga.
2. Persepsi Orangtua terhadap Aktivitasnya
Tentu meluangkan
waktu bukanlah satu-satunya jawaban bagi anak. Saya justru menemukan adanya
beberapa keluarga da’wah yang unik. Aktivitas pasangan suami isteri itu jauh
lebih padat daripada orangtua anak-anak yang berkata, “Besok kalau gedhe nggak
mau ah jadi kayak Abi sama Ummi!” Benar, demi Alloh, amanah da’wah mereka lebih
banyak dan lebih berat daripada para orangtua yang dikasihani anak-anaknya itu.
Dan uniknya, anak-anak mereka punya jawaban sangat tegas saat ditanya tentang
cita-cita, “Pokoknya pengin jadi kayak Abi sama Ummi!” Apa rahasianya?
Betul. Persepsi
orangtua terhadap aktivitas mereka sendiri sangat berpengaruh pada jiwa
anak-anaknya. Meski waktu untuk mereka sedikit, orangtua begitu sibuk ke sana
kemari mengemban amanah da’wah, tetapi persepsi anak-anak itu terhadap
aktivitas orangtuanya sangat positif. Karena orangtuanya pun memandang
aktivitas mereka dengan sangat positif. Mereka berangkat meninggalkan
anak-anaknya dengan cahaya semangat di wajahnya, dengan dada yang lapang, dan dengan
ruhiyah yang terjaga. Anak-anak itu benar-benar melihat ruh jihad yang menyala
dan ghiroh perjuangan terpancar
dahsyat dari sorot mata Abi dan Umminya. Cahaya itu kuat sekali, hingga mereka pun
melepas Abinya dengan tatapan yang menyejukkan ketika sang Abi berkata sambil
mencium keningnya, “Abi berangkat dulu ya, Sayang, ya?!”
Dan tiba-tiba,
tatapan sang putera semakin menyalakan semangat di dada ayahnya. Semangat untuk
menyelesaikan amanah-amanahnya dengan puncak ihsan. Semangat untuk semakin
banyak berkontribusi bagi ummat. Semangat untuk segera kembali dan menemukan
kembali penguat nyalanya di sorot mata dan mimik wajah sang putera.
Alangkah berbeda
mereka itu, dengan anak-anak yang hanya merasakan energi sisa-sisa orangtuanya
saat bertemu. Mereka melihat, betapa orangtuanya kecapekan, kehabisan energi,
stress, bahkan -‘Afwan-,
uring-uringan terhadap aktivitas da’wah yang mereka jalani. Mungkin Abi dan
Umminya tetap menyebut-nyebut tentang surga, kecintaan terhadap da’wah dan
perjuangannya dan seterusnya. Tetapi mereka lebih percaya pada tatap mata dan
sinar wajah itu. Sinar wajah yang mengabarkan padanya, “Ummi tuh capek, Nak. Jangan
bikin Ummi makin kesal, ya?!” Sinar wajah yang meredup saat tiba waktunya
berangkat menunaikan amanah da’wah. “Yah, syuro lagi… syuro lagi!” atau “Yah… ngisi
ta’lim lagi. Jenuh sekali rasanya!”
Dalam hati,
anak-anak ini akan bergumam, “Kasihan banget ya, Abi sama Ummiku. Ah, besok aku
nggak mau ah kayak mereka. Kasihan juga kan anak-anakku nanti.” Astaghfirulloohal
‘adhiim. Sepertinya, kita pun perlu selalu dan senantiasa menata ulang persepsi
kita terhadap aktivitas mulia itu.
3. Penguatan Buffer
Dalam dunia Kimia,
buffer adalah larutan yang mengandung sustansi penghambat perubahan pH atau derajat
keasaman. Biasanya ia terkomposisikan antara asam lemah dengan garamnya, atau
basa lemah dengan garamnya. Kerjanya jelas. Mempertahankan pH pada kisaran
netral; 7.
Nah, jiwa kita
sepertinya juga memerlukan buffer. Kadang, dengan berbagai permasalahan yang
kita hadapi, jiwa itu bisa mengasam, atau membasa. Buffer itu akan membantu
mengembalikannya ke titik netral; kembali jernih seperti air murni. Anda pernah
mengenal istilah kompensasi? Buffer sedikit berbeda dengan itu.
Chaplin dalam
kamus Psikologinya menerjemahkan kompensasi sebagai sebuah proses penggunaan
perilaku substiturif untuk mengatasi frustasi fisik atau frustasi sosial,
ataupun kekurangmampuan dalam satu bidang kepribadiannya. Freud menganggap
kompensasi sebagai mekanisme untuk menutupi kesadaran dari satu impuls yang
tidak diinginkan. Sedangkan Alfred Adler, pencetus Psikologi Individual, menganggap
kompensasi sebagai proses reaksi terhadap perasaan inferior atau rendah diri.
Sederhananya, kompensasi seperti kalimat dalam iklan, “Nggak puas? Cari kepuasan
lain!”
Nah, jika
kompensasi bekerja untuk sebuah kepuasan jiwa dengan mengalihkan ketidakpuasan
-karena ketidakmampuan- di satu titik menuju ranah yang bisa memuaskan kita,
buffer bekerja dengan cara yang lebih sehat. Ia bukan pengalihan. Ia adalah
penjagaan. Artinya, beresnya satu bagian hidup akan membuat jiwa kita tertata
sehingga siap menghadapi bagian lain yang stressingnya lebih berat. Jika kompensasi
membuat kita puas secara semu dan sebidang, buffer menjadikan semuanya seiring
sejalan menuju perbaikan.
Buffer, bisa
bermacam-macam bentuknya. Ada buffer spiritual. Dengan kualitas ruhiyah yang
baik, aktivitas ruhiyah yang tertata, maka kelapangan hati juga meningkat. Kata
Aa’ Gym, sesendok garam tetaplah sesendok garam. Jika ia masuk dan diaduk dalam
sebuah gelas, rasanya akan begitu asin dan pahit. Tapi, saat ia masuk ke
telaga, nggak akan ada pengaruhnya. Sesendok garam itu adalah masalah. Masalah tetap
masalah. Yang membedakan rasanya adalah luasan kelapangan hati kita saat
menghadapinya.
Bisa juga buffer
fisik. Dengan tubuh yang rerjaga asupannya, olahraga teratur, dan vitalitas
yang prima, tekanan psikologis akan terkurangi karena kita merasa punya banyak
energi untuk memecahkan berbagai masalah. Bisa juga buffer ekonomi. Istilah
jamaknya, nafkah beres, da’wah sukses. Adalah Khodijah Rodhiyalloohu ‘Anha digambarkan Nabi memperkuat da’wah beliau
dengan kata-kata, “Dia memberikan hartanya kepadaku di saat orang lain
menahannya.” Ketenangan jiwa yang ditumbuhkan faktor ekonomi memang tak selalu
kuat, tetapi ia tetaplah menjadi salah satu buffer yang penting.
Tampaknya masih
ada lagi yang perlu kita evaluasi. Ketika sekolah Islam terpadu, abbrevasi-nya dipelesetkan menjadi
sekolah Islam termahal. Ketika bahkan terkadang, seorang pengajar di sana tak
mampu menyekolahkan anaknya di tempatnya mengabdi itu.
Nah.[]
Credit: “Saksikan
bahwa Aku Seorang Muslim”; Salim A. Fillah; Pro-U Media
Tidak ada komentar:
Posting Komentar