Namanya ‘Amru bin Luhay. Ia adalah seorang lelaki yang dikenal dengan kebaikan dan kedermawanannya. Ia pun dikenal sebagai seorang lelaki yang sangat serius dalam urusan agama. Orang-orang Arab sangat mencintainya. Mereka tunduk terhadap dirinya dan mengangkatnya sebagai raja. Maka, jadilah ia sebagai seorang raja di Makkah, dan kekuasaan Baitulloh pun berada di dalam genggaman kekuasaannya. Orang Arab menganggapnya sebagai seorang ‘alim ulama dan wali Alloh yang memiliki kedudukan mulia.
Dalam Siroh Ibnu Hisyam, dijelaskan bahwa ‘Amru bin Luhay keluar dari Makkah ke Syam untuk suatu keperluannya. Ketika sampai di Ma’ab, di daerah Balqo’, salah satu tempat di Palestina, terdapat anak keturunan Aliq bin Laudz bin Sam bin Nuh ‘alaihis salam. Dia melihat mereka menyembah berhala-berhala. Sosok orang sholih tetapi rapuh ‘aqidahnya ini akhirnya penasaran.
“Apakah berhala-berhala yang kalian sembah ini?”, tanyanya.
“Ini adalah berhala-berhala yang kami sembah. Kami meminta hujan kepadanya, lalu kami diberi hujan. Kami meminta pertolongan kepadanya, lalu kami ditolong,” jawab mereka.
Saat itu, Palestina merupakan kiblat peradaban. Sebagaimana banyak negara-negara mengikuti tren Amerika Serikat saat ini. Faktor tersebut merupakan salah satu hal yang menggiring ‘Amru bin Luhay untuk ittiba' terhadap budaya dan peradaban di Palestina tersebut. Dan image masyarakat Arab pun menganggap bahwa parameter kebenaran adalah segala yang berasal dari Palestina.
“Bolehkah kamu memberikan satu berhala kepadaku untuk aku bawa ke negeri Arab, agar mereka (juga) menyembahnya?”, pinta ‘Amru bin Luhay.
Orang-orang itu mengabulkan permintaan ‘Amru bin Luhay. Diberikannya sebuah berhala bernama Hubal. ‘Amru pun membawanya ke Makkah dan menyimpannya di dalam Ka’bah. Selanjutnya ia menyerukan pada penduduk Makkah untuk menyembahnya dan menghormatinya. Penduduk Makkah pun memperturutkan apa yang diseru oleh ‘Amru bin Luhay.
Atas perbuatan penduduk Makkah, penduduk di Hijaz secara umum pun terpengaruh. Menurut mereka, penduduk Makkah adalah penguasa Baitulloh dan penghuni tanah Harom yang kehidupan beragamanya pantas untuk diikuti. Karena menyangka apa yang dilakukan penduduk Makkah adalah kebenaran, mereka pun mengikutinya.
Mereka menyangka bahwa menyembah berhala itu akan mendekatkan mereka pada Alloh. Mereka berpendapat bahwa tuhan itu dapat dipersekutukan dengan hal yang menurut mereka seperti tuhan. Mereka berpendapat bahwa apa yang mereka lakukan di atas ajaran yang dibawa moyang mereka, Ibrohim ‘alaihis salam, adalah sebuah perbaikan.
Oleh karena itu, talbiyah kabilah Nizar berbunyi, “Aku sambut seruanMu, tiada sekutu bagiMu, kecuali sekutu (yang layak) bagi-Mu, Engkau menguasainya, sedangkan ia tidak berkuasa.”
Bahkan mereka memandang bahwa tindakan mereka merupakan sebuah kebaikan, “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Alloh dengan sedekat-dekatnya.”
“Dan mereka menyembah kepada selain Alloh apa yg tidak dapat mendatangkan kemudhorotan kepada mereka dan tidak manfaat. Dan mereka berkata ’Mereka itu adalah pemberi syafaat kepada kami di sisi Alloh’”. (Qs. Yunus [10]: 18)
Mereka yang tertipu itu menggunakan logika yang kacau. Dalam logika mereka, Alloh adalah Dzat yang Maha Suci, Maha Tinggi, dan Maha Agung. Sementara manusia adalah makhluk yang hina dan rendah. Oleh karena itu, secara logika, tidaklah pantas sesuatu yang hina dan rendah meminta kepada Dzat yang Maha Tinggi dan Suci secara langsung. Dan jalan terbaik untuk meminta pada-Nya adalah dengan perantara.
Sebelum datangnya kerusakan yang dilakukan oleh ‘Amru bin Luhay, di Makkah telah tertancap kokoh ajaran yang dibawa oleh Nabi Ibrohim ‘alihis salam. Bangsa Arab yang merupakan keturunan Ismail ‘alaihis salam mewarisi minhaj dan millah yang menyerukan pada tauhidulloh, beribadah kepada Alloh, mematuhi syari’at Alloh, mengagungkan tempat suci Alloh, khususnya Baitul Harom, menghormati syiar-syiarNya, dan mempertahankannya.
Saat mengomentari ‘Amru bin Luhay, Rosululloh bersabda dalam Siroh Ibnu Ishaq, “Sesungguhnya ia adalah orang yang pertama-tama mengubah agama Ismail ‘alaihis salam. Lalu dia membuat patung-patung, memotong telinga binatang untuk dipersembahkan kepada thoghut-thoghut, menyembelih binatang untuk tuhan-tuhan mereka, membiarkan unta-unta untuk sesembahan, dan memerintahkan untuk tidak menaiki unta tertentu karena keyakinan kepada berhala.”
Selain Hubal, terdapat berhala Manat di Musyallal, tepi Laut Merah. Ada juga Lata di Thoif dan ‘Uzza di Wadi Nakhlah. Ketiganya merupakan berhala yang paling besar. Disebutkan bahwa ‘Amru bin Luhay mempunyai pembantu (khodam) dari kalangan jin. Jin ini memberitahukan kepadanya bahwa berhala-berhala kaum Nuh terpendam di Jeddah. Berhala-berhala itu bernama Wud, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr. Maka, ‘Amru datang ke sana dan menelusuri jejaknya. Lalu membawanya ke Tihamah.
Setelah tiba musim haji, dia menyerahkan berhala-berhala itu kepada berbagai kabilah yang datang. Mereka membawa berhala itu ke tempat masing-masing hingga masing-masing kabilah memilikinya, bahkan masing-masing rumah. Mereka juga memajang berbagai-berhala di Masjidil Harom. Saat peristiwa Fathu Makkah, ada sekitar 360 berhala di dalam Masjidil Harom!
Sungguh, apa yang telah dirintis oleh ‘Amru bin Luhay adalah sebuah kebodohan dan kejahiliyahan yang sangat besar. Logika kacaunya atas sebuah anggapan bahwa sesuatu dianggap sebagai hal yang baik bagi agama telah membawa perubahan besar dalam millah Ibrohim yang lurus. Dan kerusakan demi kerusakan pun bermunculan seiring dengan logika bodoh yang semakin parah dari generasi ke generasi.
Bagi kita, ‘Amru bin Luhay tak lebih dari seorang agen kesyirikan dan kerusakan pemikiran masyarakat Arab kala itu. Pembawa penyakit pada masyarakat yang daya imunitas dirinya terhadap hawa nafsu dan kebodohan terlalu lemah. Lalu penyakit itu menyebar luas di seantero jazirah, mengakar kuat hingga berkarat di dalam kepala kebanyakan orang. Semata-mata itu terjadi karena keinginan kuat Sang Agen, ‘Amru bin Luhay, untuk melakukan “perbaikan” pada agama Ibrohim dengan memerintahkan bid’ah hasanah berupa penyekutuan Alloh dengan berhala.
Tak ubahnya orang-orang munafik yang diingatkan agar tidak berbuat kerusakan, tapi dengan angkuhnya merasa melakukan perbaikan.
Dan bila dikatakan kepada mereka, “Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi.”Mereka menjawab, “Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan.” (Qs. al-Baqoroh [2]: 11)
Credit: disini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar