Kamis, 23 April 2015

Tokoh Dibalik Surat Yasin

Dia bukan Rosul, bukan Nabi, bukan pula ‘ulama. Tapi dia berjuang untuk belajar dan memahami. Dan dia lelaki yang suka berbagi.
“Nama lelaki di Suroh Yasin itu,” demikian dinyatakan ‘Ikrimah dari Ibn ‘Abbas, “Adalah Habib ibn Surri an-Najjar, seorang tukang kayu.”
Alloh Subhanahu wa Ta’ala menjadikan sosok yang sesungguhnya tak disebut namanya di dalam wahyu ini sebagai teladan tentang cinta yang tak habis-habis bagi ummat di sekelilingnya.
Dia bukan Rosul, bukan Nabi, bukan pula ‘ulama. Tapi dia berjuang untuk belajar dan memahami. Dan dia lelaki yang suka berbagi.
Hal terawal yang difahaminya hanyalah bahwa para Rosul yang datang ke kotanya itu orang-orang tulus. Mereka menghasung kebenaran dan mengajarkan kebajikan sama sekali tanpa meminta imbalan. Bagi Habib, mereka adalah orang-orang yang mendapat sekaligus membawa petunjuk.
Maka dengan bergegas-gegas dari ujung kota, dia berseru-seru, “Wahai kaumku, ikutilah para utusan Alloh itu!” Dan Habib an-Najjar, demikian menurut sebagian mufassirin, setelah menyimak apa yang disampaikan para terutus itu kemudian melantangkan dengan anggun pernyataan imannya.
وَمَا لِي لاَ أَعْبُدُ الَّذِي فَطَرَنِي وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ
أَأَتَّخِذُ مِن دُونِهِ آلِهَةً إِن يُرِدْنِ الرَّحْمَن بِضُرٍّ لاَّ تُغْنِ عَنِّي شَفَاعَتُهُمْ شَيْئاً وَلاَ يُنقِذُونِ
إِنِّي إِذاً لَّفِي ضَلاَلٍ مُّبِينٍ

“Mengapa aku tidak menyembah Dzat yang telah menciptaku, yang hanya padaNya kalian semua akan dikembalikan? Apakah aku akan mengibadahi sesembahan-sesembahan yang jika Alloh Sang Maha Pengasih menghendaki bahaya bagiku, maka syafa’at mereka sama sekali tiada bermanfaat bagiku dan tak dapat menyelamatkanku? Sesungguhnya aku jika demikian itu benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (QS. Yaasin [36]: 22-24)
Mendengar ungkapannya itu, para pemuka kaumnya murka. Betapa seorang lelaki tak dikenal, dari kalangan jelata lagi miskin papa, mengajari mereka tentang agama. Betapa seorang yang bukan siapa-siapa, mengungkap kesejatian iman yang membuat apa yang mereka yakini selama ini tampak batil dan konyol. Maka diperintahkanlah para pengikut untuk mengeroyok dan menyiksanya, hingga dadanya remuk dan isi perutnya terburai akibat diinjak-injak.
Di detak-detik terakhirnya, dalam sekarat yang menyergapkan manisnya iman, diiringi airmata para utusan Alloh yang tak kuasa menolongnya, dia mencoba bicara. Nafasnya yang satu-satu, darahnya yang sisa-sisa, tak menghalanginya menyunggingkan senyum ridho.
إِنِّي آمَنتُ بِرَبِّكُمْ فَاسْمَعُونِ
“Sesungguhnya aku beriman kepada Robb kalian. Maka dengarkanlah ikrar imanku ini.” (QS. Yaasin [36]: 25)
Kata-katanya ini, menurut Imam ath-Thobary, khithobnya ditujukan kepada para Rosul yang mendampingi di akhir hayatnya. Para Rosul itu takjub dan cemburu terhadap iman yang telah menggerakkan Habib an-Najjar berdakwah dengan mempersembahkan raga dan nyawanya. Betapa sebentar dia belajar. Betapa cepat dia memahami. Betapa dalam dia meyakini. Betapa besar cinta pada kaumnya. Betapa hebat penyampaian dakwahnya. Dan betapa mahal pengorbanannya.
Kisah sang da’i tak berhenti sampai di sini. Sebab mereka yang ada di jalan dakwah yang Alloh ridhoi tetap hidup sesudah mati. Hidup dengan semua arti yang terkandung dalam kata ‘hidup’ itu sendiri. Habib an-Najjar membuktikan diri sebagai lelaki penggamit hati yang cinta ikhlasnya pada kaumnya terus dia dengungkan dari dalam surga yang abadi.
“Aduhai alangkah baiknya seandainya kaumku mengetahui. Bersebab apa kiranya Robbku mengampuniku dan menjadikanku termasuk orang-orang yang dimuliakan.” (QS. Yaasin [36]: 29)
Inilah orang yang mencintai bagi seluruh kaumnya, apa yang dicintainya untuk dirinya sendiri. Inilah orang yang mengharapkan bagi kaumnya, apa yang diharapkannya bagi dirinya sendiri. Inilah orang yang mentakutkan atas kaumnya, apa yang ditakutkannya atas dirinya sendiri. Sungguh jiwa da’i sejati, yang kasihnya kepada ummat dia bawa mati. Sungguh setiap yang memiliki jiwa penggamit hati, adalah lapis-lapis keberkahan yang mencahayai zaman.
Habib an-Najjar sudah mati. Maka Alloh yang Maha Santun dengan firman Maha Mulia menyampaikan apa yang dia katakan dari alam yang sudah berbeda. Bahwa dia mencintai kaumnya, amat berhasrat menggamit semua hati untuk dibawa ke dalam cahaya, untuk diajak menikmati surga. Inilah hati da’i sejati.
Salim A. Fillah

Credit: disini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar