Inayet Nahvi
pernah menulis sebuah buku berjudul ADL,
Censors of The Universe. ADL, kependekan dari Anti-Defamation League, adalah kumpulan aktivis pro-zionis di
Amerika yang memusatkan kegiatannya pada propaganda melalui pers untuk
mendukung Zionisme dan menangkis semua berita yang merugikan Israel dan
Zionisme.
Kerja-kerja
pencitraan yang dilakukan ADL dengan jaringan persnya di seluruh dunia
membuahkan sukses legitimasi opini atas segala yang dilakukan Israel dalam
memerangi ‘terorisme’ pejuang Palestina. Demikian juga apa-apa yang dilakukan
Presiden George W. Bush sejak September
Attack, semua menjadi tampak sah dengan kerja-kerja ADL. Untunglah kita
belum terlalu buta huruf untuk membaca Operation
of Iraqi Liberation sebagai kepanjangan dari OIL.
Di
salah satu kaki yang lain, ADL justru bertumpu pada industri pornografi, sebuah
sarana perang pemikiran yang cantik dan seksi. ADL tercatat memberikan award ‘Obor Kebebasan’ kepada Hugh
Hefner, lelaki gaek pemilik majalah Playboy, dan Larry Flint, salah satu
jutawan industri film porno Amerika. Direktur ADL, Abraham F. Foxman, menyebut
industri pornografi sebagai “Suatu karya gemilang orang Yahudi yang mengawali
dan menjadikan industri pornografi bagian dari apa yang disebut dunia sebagai American Dreams.”
Nah,
dalam sejarah, kuasa wacana selalu memegang peranan penting yang menentukan
arah perjalanan suatu masyarakat. Konon, Napoleon yang beberapa halaman lalu kita bicarakan itu lebih takut pada pena seorang wartawan
daripada pasukan sebesar apapun.
Agaknya
dalam beberapa hal, masyarakat pasca revolusi Perancis tak bisa lagi dikelola
dengan kuasa wacana gaya lama seperti yang dilakukan Fir’aun. Napoleon tak bisa
lagi mendengungkan semboyan pendahulunya, Louis XIV, yang selalu berkata, “L’etat cest moi!”; Negara adalah saya!”
Dan sepertinya, Napoleon belum menemukan suatu formula baru untuk membangun
kuasa wacana yang berpihak sepenuhnya pada dirinya. Ah, ia kurang tekun belajar
pada Fir’aun barangkali. George W. Bush mungkin sedikit lebih sukses.
Dan berkata Fir’aun: “Hai pembesar
kaumku, aku tidak mengetahui tuhan bagimu selain aku. Maka bakarlah hai Haman
untukku tanah liat kemudian buatkanlah untukku bangunan yang tinggi supaya aku
dapat naik melihat Tuhan Musa, dan sesungguhnya aku benar-benar yakin bahwa dia
termasuk orang-orang pendusta.” (QS.
Al-Qoshosh: 38)
Yuri
A. Gagarin mungkin terinspirasi kata-kata Fir’aun kepada Haman ini sehingga
ketika berhasil mengorbit di atas bumi, ia buru-buru menyimpulkan, “Saya tak
menemukan tuhan di langit sana.” Dengan propaganda pendustaan terhadap hal-hal
yang ghoib inilah, Fir’aun membangun kuasa wacana bahwa Musa sang Rosul
berdusta, dan bahwa tuhan yang layak adalah tuhan yang eksistensinya terindera
seperti dirinya, bukan tuhan yang esensiNya terasa di seluruh penjuru langit
dan bumi seperti Alloh.
Melangkah
lebih jauh, ia berusaha membangun legitimasi untuk membunuh Musa, pemimpin bani
Isroil, Rosul yang diutus untuk memperingatkannya, sekaligus anak angkat yang
kini ia posisikan sebagai lawan politiknya. Tuduhan pengacau dan pembuat
kerusakan disematkan pada Musa dengan permainan bahasa yang luar biasa.
Dan berkata Fir’aun (kepada
pembesar-pembesarnya), “Bukanlah aku membunuh Musa dan hendaklah ia memohon
kepada Tuhannya, karena sesungguhnya aku khawatir dia akan menukar agamamu atau
menimbulkan kerusakan di muka bumi.” (QS. Ghoofir:
26)
Dalam
bahasa janji Robbnya yangs sederhana, Musa melakukan perlawanan terhadap kuasa
wacana sang tiran itu. Tetapi Fir’aun terus membawa kuasa wacana pada
subjektivitasnya. Dia telah membangun sebuam pembenaran, dan bukan kebenaran.
Dia menata dengan cantik teori-teorinya, parameter-parameter, dan data-data
pendukungnya sehingga kesimpulan terambil akan selalu berpihak padanya. Seperti
ajaran buku How to Lie with Statistics,
Fir’aun membangun pijakan untuk klaim-klaimnya.
(Musa berkata), “Hai kaumku,
untukmulah kerajaan pada hari ini dengan berkuasa di muka bumi. Siapakah yang
akan menolong kita dari adzab Alloh jika adzab itu menimpa kita?” Fir’aun berkata,
“Aku tidak mengemukakan kepadamu melainkan apa yang aku pandang baik, dan aku
tiada menunjukkan kepadamu selain jalan yang benar.”
(QS. Ghoofir: 29)
Ada
kalanya juga Fir’aun dalam puncak-puncak kegeramannya harus melakukan personal attack kepada Musa. Maka
penyuara kebenaran selalu dibidik dan dicari aibnya. Seperti Khoiriansyah
Salman yang menerima Rp.10 juta sebagai fee
pengisi acara, tertuduhlah ia penerima korup Dana Abadi Ummat. Seperti Musa
yang gagap dalam bicara maka “Bagaimana mungkin kebenaran keluar dari mulut
yang nyaris tak bisa berkata-kata?” kata Fir’aun.
Dan Fir’aun berseru kepada kaumnya
(seraya) berkata, “Hai kaumku, bukankah kerajaan Mesir ini kepunyaanku dan
(bukankah) sungai-sungai ini mengalir di bawahku; maka apakah kamu tidak
melihat(nya). Bukankah aku lebih baik dari orang yang hina ini dan yang hampir
tidak dapat menjelaskan (perkataannya). Mengapa tidak dipakaikan kepadanya
gelang dari emas atau malaikat datang bersama-sama dia untuk mengiringkannya?”
Maka Fir’aun mempengaruhi kaumnya (dengan perkataan itu) lalu mereka patuh
kepadanya. Karena sesungguhnya mereka adalah kaum yang fasik.
(QS. Az-Zukhruf: 51-54)
Pemimpin
adalah wajah sang rakyat. Maka Fir’aun mempengaruhi kaumnya dengan perkataan
itu lalu mereka patuh kepadanya. Karena sesungguhnya mereka adalah kaum yang
fasik. Klop sudah antara pemimpin
gila dan rakyat yang fasik. Apalagi ada kuasa wacana. Ah, repotnya. Jadi ingat
judul buku Seno Gumira Ajidharma, Ketika
Pers Dibungkam, Sastra Harus Bicara.
Tetapi
apa yang akan dibicarakan sastra? Jika pornografi adalah seni, zina adalah
pembuktian cinta, khomr adalah obat,
dan negara tak berhak mengatur moral warganya, maka seperti ADL, ini hanya akan
menjadi kuasa wacana sang tiran pada sisi pumpu yang lain. Sejak sekarang,
memang kira semua harus belajar untuk mengatakan kebenaran pada semesta.
Seperti Adian Husaini ketika Goenawan Mohamad menolak syari’at yang disebutnya
Arabisasi. “Kenapa namanya tidak diganti saja menjadi Goenawan Terpuji?”[]
Credit:
“Saksikan bahwa Aku Seorang Muslim”; Salim A. Fillah; Pro-U Media
Tidak ada komentar:
Posting Komentar