O, betapa haruskah
Kulalui malam ini pada lembah
Yang tiada padanya Idzkhir
Dan tiada pula Jalil
(Bilal ibn Robah)
PERPISAHAN memang
menyakitkan. Tetapi niscaya. Dan kadang berakhir indah. Pada beberapa hal, keindahan
itu juga niscaya. Seperti perpisahan seorang mukmin dengan dunia. Ia menuju surga.
Seperti perpisahan para pentaubat dengan ma’shiatnya. Ia menghapus dosa. Seperti
perpisahan seorang pengikrar syahadat dengan jahiliah, ia membangun sebuah kehidupan
baru.
Ketika
kita kembali mengikrarkan syahadat setelah lama terlalaikan, kita sedang melakukan
reuni dengan fithrah. Reuni yang juga bermakna salam perpisahan kepada ‘yang bukan
fithrah’. Karena yang bukan fithrah kadang datang menggusur fithrah dari kedudukan
yang semestinya dalam diri kita.
“Setiap
anak dilahirkan di atas fithrah. Maka orangtuanyalah yang meyahudikannya, atau
menasranikannya, atau memajusikannya.“ (Muttafaq ‘Alaih)
Katakan,
“Wada’an... selamat tinggal dunia kelam.
Wada’an... selamat tinggal belenggu
muram.” Perpisahan. Inilah titik perpisahan. Dan di balik perpisahan itu, ada makna-makna
yang mungkin bisa kita telaah. Tentu untuk memperteguh syahadat kita.
“Alloh meneguhkan orang-orang yang
beriman dengan ucapan yang kukuh itu di kehidupan dunia dan akhirat.“
(QS. Ibrohim: 27)
Pertama: Berpisah Artinya Berlepas Diri
Saudaraku,
kemerdekaan ini menuntut sebuah proklamasi. Bahwa kita telah melepaskan diri
dari semua intervensi, tekanan, dan kekangan oleh semua bentuk jahiliah dan musuh
fitrah. Ibrohim Kholiilur Rohmaan bersama
kumpulannya memberi contoh, bagaimana sebuah proklamasi untuk berlepas diri dibangun
dengan gagah dan kokoh.
“Sesungguhnya telah ada suri
tauladan yang baik bagimu pada Ibrohim dan orang-orang yang bersamanya ketika
mereka berkata pada kaumnya, “Sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian, dan
dari apa yang kalian sembah selain Alloh, kami ingkari (kekafiran) kalian dan
telah nyata antara kami dan kalian permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya
sampai kalian beriman kepada Alloh saja.“ (QS. Al-Mumtahanah:
4)
Begitulah
sejarah memberi kisah, bahwa proklamasi ini menuntut totalitas, tak peduli berapapun
jumlah. Ibrohim dan masyarakat bertauhidnya hanya minoritas di tengah peradaban
paganis Namrud yang ingin menggilas. Tetapi mereka penuh kehormatan dengan kalimat
tegas. Para pemuda Ash-habul Kahfi pun
menjadi gambaran lain, bahwa proklamasi ini tidak mengikat mereka dalam sekat kewilayahan,
tapi terlepas diri adalah niscaya untuk menegakkan fitrah di manapun, walau hanya
di dalam sebuah gua terpencil.
Dan Kami telah meneguhkan hati
mereka di waktu mereka berdiri (di hadapan Raja Dicyanus) lalu mereka berkata,
“Robb kami adalah Robb langit dan bumi, kami sekali-kali tidak mendoa yang selain
Dia, sesungguhnya kami, kalau demikian telah mengucapkan perkataan yang amat jauh
dari kebenaran. Kaum kami ini telah menjadikan selain Dia sebagai
sembahan-sembahan.” (QS. Al-Kahfi: 14-15)
“Dan apabila kalian meninggalkan
mereka dan apa yang mereka sembah selain Alloh, maka carilah tempat berlindung
ke dalam gua itu niscaya Robb kalian akan melimpahkan sebagian rahmatNya kepada
kalian, dan menyediakan sesuatu yang berguna bagi kalian dalam urusan kalian.“
(QS. Al-Kahfi: 16)
Berlepas
diri adalah sebuah kemuliaan. Ketidaktergantungan kepada musuh fitrah dan jahiliah,
membangun set psikologis yang penuh percaya diri, sejajar bahkan unggul di
hadapan tiran jahiliah yang lacut.
Adalah
‘Utsman ibn Mazh’un, ketika terjadi penyiksaan atas kaum mukminin oleh para pemuka
Quroisy berada dalam lindungan pamannya Al-Walid ibn Al-Mughiroh, seorang
pemuka kafir. Dengan segera ia umumkan bahwa ia melepaskan diri dari perlindungan
tokoh musyrik paling disegani di seantero Makkah itu. Lalu hari itupun tiba, saat
Alloh mengujinya.
Di
Ka’bah, didapatinya Lubaid bersyair, “Ketahuilah, segala sesuatu selain Alloh adalah
bathil!”
‘Utsman
dengan merdeka berkomentar di majelis bangsawan itu, “Engkau benar!”
Lubaid
melanjutkan, “Dan segala kenikmatan pasti sirna!”
“Dusta!
Nikmat surga itu kekal!”, kata ‘Utsman. Mendengar itu, Lubaid berteriak, “Wahai
Quroisy, sejak kapan orang-orang bodoh berani mengganggu majelis kalian?” Bangkitlah
semua orang untuk memukuli ‘Utsman, mengerubutinya sampai salah satu matanya nyaris
remuk. Kata Walid, “Kalau saja kau mau kulindungi, mata itu tak akan cedera!”
Tetapi ‘Utsman begitu santai berkata, “Bahkan mata sebelahnya iri untuk mendapat
luka yang sama!”
Begitulah.
Sampai seorang budak seperti Bilal menemukan nikmat kemerdekaan di hadapan tuannya,
ketika dengan bebas ia berproklamasi, “Ahad... Ahad...Ahad..!” Tentu di tengah cambukan,
di tengah tindihan batu, di atas pasir membara. Tetapi merdeka, “Ahad.. Ahad.. Ahad..!”
Kedua: Berpisah Artinya Ujian Cinta
Dengarlah
cerita dari para muallaf sejati,
kisah-kisah tentang ujian. Dengarlah dari mereka yang diusir dari rumahnya. Dengarlah
mereka yang berpisah dengan orang-orang tercinta. Dengarlah mereka yang dari kemewahan
diusir menuju kefakiran demi ridho Alloh. Dengarlah kisah-kisah itu, agar Alloh
memahamkan kita akan ayatNya yang mulia:
“Kalian sunguh-sunguh akan diuji
terhadap harta dan diri kalian. Dan kalian sungguh-sungguh akan mendengar dari
orang-orang yang diberi kitab sebelum kalian dan orang-orang musyrik, gangguan
yang banyak lagi menyakitkan hati.” (QS. Ali ‘Imron:
186)
Nilai
mulia seorang pengikrar, bukan terletak pada lengkingan suara tenornya meneriakkan
sebuah slogan. Demi Alloh. Sang Pemilik Kemuliaan yang berhak untuk menguji, menyeleksi,
dan menetapkan gelar mukmin bagi siapapun yang dikehendakNya. Ketika pengikrar ini
menyatakan berpisah dengan jahiliah dan musuh fitrah, di sinilah sebuah titik tolak
dipancangkan: bahwa ia siap menerima ujian untuk melengkapi syarat kelulusannya
sebagai mukmin.
“Apakah manusia mengira mereka akan
dibiarkan saja setelah mengatakan, “Kami telah beriman”, padahal mereka belum
diuji? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka
sesungguhnya Alloh mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia
mengetahui orang-orang yang dusta.” (QS. Al-Ankabut:
2-3)
Keluarga
Yassir yang dijanjikan surga, menjadi kronik yang menyejarah tentang beratnya ujian
di saat harus berpisah dengan jahiliah. Bilal adalah sosok lain, bak kacang goreng
hitam menggosong di atas pasir pinggiran Makkah yang membakar. Deraan cambuk, tindihan
batu, pukulan kayu, dan sengat mentari tengah hari yang membakar gores-gores luka
meretih adalah menu harian yang disajikan bagi ahli iman Makkah di awal-awal risalah.
Khobbab
ibn Al-Arots, pandai besi yang pernah dipanggang hingga cairan tubuhnya memadam
bara itu begitu trenyuh sampai merajuk, “Yaa Rosulalloh, tidakkah engkau
menolong atau berdoa untuk kami?”
Wajah
mulia yang sedang berbaring berbantal surban di dekat Ka’bah itu menampakkan
raut tak suka. Lalu ia bersabda dengan mimik penuh kasih. Imam Al-Bukhori mengabadikan
redaksi kalimat itu. Ini dia.
“Orang-orang
sebelum kalian ada yang disiksa dengan digalikan tanah lalu ia ditanam di situ
hidup-hidup. Kemudian dibawakan gergaji lalu gergaji itu diletakkan di atas
kepalanya, kemudian dia dibelah menjadi dua dan disisir dengan sikat besi hingga
tinggal kulit dan tulangnya. Tetapi itu semua tidak memalingkan mereka dari agamanya.
Demi Dzat yang jiwaku di tanganNya, Alloh akan menyempurnakan urusan ini sampai
seorang penunggang berjalan sendirian dari Shon’a ke Hadhromaut dan tiada yang
ditakutinya kecuali Alloh, dan tidak takut serigala akan memakan kambingnya. Tapi
tampaknya kalian tergesa-gesa!“
Ini
tak sekedar kesengsaraan. Ini bukan hanya kenestapaan. Terjelaslah, ia dan orang-orang
yang bersamanya sedang meniti jalan cerita yang disusun Sang Maha Pencipta. Ia sedang
menggali lubang terdalam, menata batu terkeras, dan menyusun pondasi terkuat. Maka
rasa sakit itu terasa menanjak, agar harapan akan pertolongan Alloh memuncak.
Apakah kalian mengira bahwa kalian
akan masuk surga, padahal belum datang kepada kalian (ujian) sebagaimana halnya
orang-orang terdahulu sebelum kalian? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan
kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam ujian), hingga berkatalah Rosul
dan orang-orang beriman yang bersamanya, “Bilakah datangnya pertolongan Alloh?“
Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Alloh itu dekat!“
(QS. Al-Baqoroh: 214)
Cukupkah
sampai di situ! Tidak!
“Kamu tidak akan menjumpai suatu kaum
yang beriman kepada Alloh dan hari akhir saling berkasih sayang dengan orang-orang
yang menentang Alloh dan RosulNya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak
atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Mereka itulah yang telah Alloh
tulis di dalam hati mereka kalimat iman dan Ia kuatkan mereka dengan ruh
(pertolongan) dariNya.” (QS. Al-Mujaadilah: 22)
Nuh,
Luth, dan Asiyah binti Muzahim isteri Fir’aun harus rela berpisah dengan pendamping
hidupnya. Bahkan Nuh ‘Alaihis Salaam,
harus merelakan sang sibiran tulang ditelan banjir karena kekufuran.
Gemilang
generasi pertama ummat ini menyelesaikan ujiannya. Mereka menemukan ‘aqidah sebagai
buhul ikatan pengganti sempurna untuk menggantikan ikatan jahiliah yang telah lapuk
membusuk. Alloh, Rosul, dan jihad begitu mereka cintai. Tak ada lagi alasan untuk
mencari cinta yang lain, apatah lagi menyayangi apa yang dibenci Alloh dan RosulNya.
Katakanlah, “Jika bapak-bapak, anak-anak,
saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu
usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu
sukai adalah lebih kamu cintai daripada Alloh, RosulNya, dan berjihad di jalanNya,
maka tunggulah sampai Alloh mendatangkan keputusanNya!” Dan Alloh tidak memberi
petunjuk kepada orang-orang fasiq. (QS. At-Taubah:
24)
Tegar
Ummu Habibah merebut alas duduk dari Abu Sufyan ayahnya dengan alasan sederhana,
“Ayah adalah seorang musyrik yang najis, sementara ini adalah alas duduk Rosululloh!”
Begitu juga kita temukan tegasnya Abu Bakar menghardik kekufuran anaknya di
medan Badar, “Tidak ada warisan tersisa untukmu selain pedang terhunus ini, wahai
anak kecil yang buruk!”
Alangkah
ringan Shuhaib melangkah meninggalkan semua usaha yang dulu ia mulai dari nol
sebagai imigran di Makkah untuk berhijrah. Seindah cara Sa’d ibn Abi Waqqosh menghentikan
mogok makan ibu yang sangat disayanginya dengan berkata, “Bunda, seandainya Bunda
memiliki seratus nyawa dan ia keluar satu persatu di hadapan nanda untuk memaksa
nanda menanggalkan keyakinan ini, sekali-kali nanda tak akan pernah meninggalkan
agama ini selamanya!”
Subhanalloh...
Tetapi sebentar. Jangan terbalik logikanya. Demi Alloh, bukan Islam yang mencerai
beraikan ikatan. Justru kekufuranlah yang memisahkan ahlinya dari kasih sayang dan
lembut mesra persaudaraan keimanan! Jadi, jangan terbalik. Silakan lanjutkan kalau
tak percaya.
***
Inilah
keagungan Islam. Meski pemeluknya membenci kekufuran, tapi ikatan kemanusiaan tak
pernah lepas dari perilaku keseharian. Ia ajarkan penghapusan kejahatan sistemik
dengan empati, balasan baik yang penuh perhatian, dan menjadilah musuh berdecak,
bahkan sedia bersetia.
“Dan tidaklah sama antara kebaikan
dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang jauh lebih baik. Maka
tiba-tiba orang yang antara engkau dan dia ada permusuhan seolah-olah telah
menjadi teman yang sangat setia.” (QS. Fushshilat:
34)
Hancur
sudah penduduk Makkah dan Thoif seandainya Rosululloh menerima tawaran Malaikat
yang ingin menimpakan dua gunung Akhsyabain
setelah mereka menyakiti beliau. Tapi yang beliau katakan hanya, “Aku berharap Alloh
mengeluarkan generasi yang menyembahnya dari sulbi-sulbi mereka!” Hari penaklukan
Makkah dan Surat An-Nashr adalah saksi,
bahwa kemenangan ini adalah kemenangan ‘aqidah, saat dendam lari terbirit dan yang
tersisa hanya, “Pergilah! Kalian semua bebas!”
Sa’d,
Mush’ab, dan Asma’ adalah pelita ikutan tentang bagaimana memperlakukan orangtua
yang mengingkari ‘aqidah mereka. Lihatlah di surat Luqman ayat 14-15. Keadilan dan
perbuatan ihsan tetap ditegakkan selama yang diganggu oleh kuffar bukan wilayah
‘aqidah, kehormatan agama, dan terjaganya kemashlahatan bumi.
“Alloh tiada melarang kalian untuk berbuat
baik dan berlaku adil terhadap orang yang tidak mengusir kalian karena alasan
agama, dan tidak (pula) mengusir kalian dari negeri kalian. Sesunguhnya Alloh
menyukai orang yang berbuat adil.” (QS. Al-Mumtahanah:
8)
Saat
‘Abdulloh ibn Rowahah menjalankan tugas untuk mengambil sebagian hasil panen kurma
orang-orang Yahudi sesuai perjanjian, tampang kecurangan ala Yahudi hendak mereka
tampakkan di wajah keimanan itu dengan berusaha menyuapnya. Ya, suap. Namun apa
kata Ibnu Rowahah?
“Demi
Alloh, kecintaanku kepada Alloh dan RosulNya yang melebihi apapun di dunia ini,
membuatku tidak akan pernah mengkhianati amanah ini. Tetapi demi Alloh,
kebencianku yang amat sangat kepada kalian wahai makhluk yang lebih hina dari kera
dan babi, tidak akan pernah membuatku berbuat zholim dan tidak adil sedikit pun
kepada kalian!” Benarlah engkau wahai Ibnu Rowahah, dan Yahudi hina itu pun harus
membuat pengakuan jujur yang pahit, “Karena sikap seperti inilah bumi dan langit
tegak!”
Ketiga: Berpisah Artinya Berbeda
Tidak
ada artinya perpisahan fisik, kalau bathin masih saling terikat. Tak ada kemerdekaan
sejati, selama yang jauh di mata masih dekat di hati. Perpisahan kita dengan
jahiliah dan musuh fitrah adalah sebuah kemerdekaan dari segala jenis keterbelengguan
dalam perasaan, pemikiran, ucapan, dan tindakan. Kita merdeka untuk menegakkan fitrah
kita, mentauhidkan Alloh dan memakmurkan bumiNya.
Mungkin
sudah menjadi sifat manusia, bahwa ia menyukai simbol-simbol sebagaimana ia ingin
meraih substansi. Islam, sebagai risalah fitrah, tentunya sangat memperhatikan
kecenderungan ini. Substansinya adalah, bahwa kegelapan jahiliah dan
penganutnya tidak sama dengan cahaya Islam dan penegak-penegaknya.
“Dan tidaklah sama orang yang buta
dengan orang yang melihat. Dan tidak sama gelap gulita dengan cahaya. Dan tidak
sama (pula) yang teduh dengan yang panas!” (QS. Fathir:
19-21)
Ini
adalah substansi yang tak akan sempurna tanpa implementasi. Cara pandang, pola
fikir, dan bingkai persepsi bisa jadi merupakan implementasi intelektualnya. Tetapi
lebih dari itu, jikalau para penentang ‘aqidah ini berjuang mati-matian menunjukkan
eksistensi dengan simbol-simbol dan mode yang memboroskan energi dan sumberdaya,
maka para pemeluk kebenaran lebih pantas untuk mewarnai dunia dengan celupan warna
Ilahi, simbol penuh karakter sebagai identitas tegas yang akan membedakannya
dengan pengikut kebathilan.
Dalam
keseharian, seorang muslim harus memiliki karakter dan identitas. Bahkan juga penampilan
yang berbeda dengan kaum-kaum yang terhukumi jahiliah. Bukan karena Islam bersifat
eksklusif dan elitis. Tetapi Islam adalah sistem menyeluruh yang ingin menjadikan
revolusi diri para pemeluknya kaffah.
Ada jaminan perlindungan, kebanggaan identitas, dan keterakuan bagi yang baru memasuki.
Ada ketertarikan atas keunikannya bagi orang yang terpesona.
“Baguskanlah
pakaian-pakaianmu, dan baguskanlah kendaraan-kendaraanmu, agar kamu menjadi (ibarat)
tahi lalat di tengah-tengah manusia.” (HR. Al-Hakim dari Sahl ibn Ar-Robi’)
Hal-hal
sepele menjadi perhatian untuk menegakkan identitas keislaman, sampai pernah Rosululloh
mengubah belahan sisiran rambutnya agar berbeda dengan Yahudi dan Nasrani. Janggut
seorang lelaki muslim disunnahkan untuk dirawat, sedang kumisnya dicukur, untuk
membedakannya dengan pemuka Nasrani yang klimis atau Majusi yang berkumis lebat.
Bahkan sampai soal warna rambut pun, ada arahan dari sang Uswah untuk pengikutnya.
“Sesungguhnya
Yahudi dan Nasrani tidak menyemir rambut mereka, maka kamu harus menyelisihi mereka.”
(Muttafaq ‘Alaih dari Abu Huroiroh)
Kamu
harus menyelisihi mereka! Ketika melihat Yahudi suka menumpuk sampah di halaman
rumah, maka seorang muslim dianjurkan untuk berbeda. Bahkan perbedaan ciri sosial
ini dikaitkan dengan sifat Alloh Subhanahu
Wa Ta’ala.
“Sesungguhnya
Alloh itu thoyyib dan menyukai yang thoyyib, bersih dan menyukai yang bersih, mulia
dan menyukai kemuliaan, dermawan dan menyukai kedermawanan. Maka bersihkanlah rumahmu
dan jangan meniru-niru orang Yahudi!” (HR. At-Tirmidzi)
Mengapa
kita harus selalu berbeda penampilan dengan orang kafir? Bukankah yang penting
substansi, bukan simbol! Saudaraku, bila penampilan identik, tak ada bedanya, maka
keterpautan hati lebih mudah menjangkit. Seperti dua orang dengan ciri khas budayanya
yang bertemu di rantau, jadilah itu kedekatan, lalu percampuran pola fikir dan
pola tindak. Manusia itu kondisinya hanya dua, mempengaruhi dan dipengaruhi. Dan
alangkah rugi, jika pola pikir kita saat menerima apa-apa yang datang dari Alloh
telah tercampur dengan pola fikir materialisme, kebendaan, atau sekularisme.
Kata
Sayyid Quthb, di balik perbedaan zhohir selalu ada perasaan batin yang
membedakan satu konsepsi dengan konsepsi lain, sistem kehidupan dengan sistem kehidupan
lain, dan ciri khas suatu kelompok manusia dengan kelompok manusia lain. Ini bukan
fanatisme tanpa makna, tetapi merupakan pandangan yang mendalam kepada apa yang
ada di balik bentuk lahiriah tersebut. Setiap orang kafir, kata Ibnu Taimiyah, akan
gembira jika tatacara dan seleranya diikuti. Mereka akan bangga. Dan kebanggaan
itu akan terbawa dalam pola pikir, konsep hidup, dan cara pandangnya terhadap segala
sesuatu. Kalau itu terjadi, alangkah kasihan mereka. Karena mereka akan bangga
selalu berada dalam kesesatan.
Mengapa
harus berbeda, berbeda, dan berbeda? Agar orang yang telah mereguk manisnya
iman tidak kembali termasuk ke dalam golongan-golongan jahiliah yang hina hanya
karena masalah-masalah sepele semacam penampilan.
“Barangsiapa
menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk golongan mereka!” (HR. Abu Dawud)[]
Credit:
“Saksikan bahwa Aku Seorang Muslim”; Salim A. Fillah; Pro-U Media
Tidak ada komentar:
Posting Komentar