Sabtu, 02 Mei 2015

Perpisahan

O, betapa haruskah
Kulalui malam ini pada lembah
Yang tiada padanya Idzkhir
Dan tiada pula Jalil
(Bilal ibn Robah)

PERPISAHAN memang menyakitkan. Tetapi niscaya. Dan kadang berakhir indah. Pada beberapa hal, keindahan itu juga niscaya. Seperti perpisahan seorang mukmin dengan dunia. Ia menuju surga. Seperti perpisahan para pentaubat dengan ma’shiatnya. Ia menghapus dosa. Seperti perpisahan seorang pengikrar syahadat dengan jahiliah, ia membangun sebuah kehidupan baru.

Ketika kita kembali mengikrarkan syahadat setelah lama terlalaikan, kita sedang melakukan reuni dengan fithrah. Reuni yang juga bermakna salam perpisahan kepada ‘yang bukan fithrah’. Karena yang bukan fithrah kadang datang menggusur fithrah dari kedudukan yang semestinya dalam diri kita.

“Setiap anak dilahirkan di atas fithrah. Maka orangtuanyalah yang meyahudikannya, atau menasranikannya, atau memajusikannya.“ (Muttafaq ‘Alaih)

Katakan, “Wada’an... selamat tinggal dunia kelam. Wada’an... selamat tinggal belenggu muram.” Perpisahan. Inilah titik perpisahan. Dan di balik perpisahan itu, ada makna-makna yang mungkin bisa kita telaah. Tentu untuk memperteguh syahadat kita.

“Alloh meneguhkan orang-orang yang beriman dengan ucapan yang kukuh itu di kehidupan dunia dan akhirat.“ (QS. Ibrohim: 27)

Pertama: Berpisah Artinya Berlepas Diri
Saudaraku, kemerdekaan ini menuntut sebuah proklamasi. Bahwa kita telah melepaskan diri dari semua intervensi, tekanan, dan kekangan oleh semua bentuk jahiliah dan musuh fitrah. Ibrohim Kholiilur Rohmaan bersama kumpulannya memberi contoh, bagaimana sebuah proklamasi untuk berlepas diri dibangun dengan gagah dan kokoh.

“Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrohim dan orang-orang yang bersamanya ketika mereka berkata pada kaumnya, “Sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian, dan dari apa yang kalian sembah selain Alloh, kami ingkari (kekafiran) kalian dan telah nyata antara kami dan kalian permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kalian beriman kepada Alloh saja.“ (QS. Al-Mumtahanah: 4)

Begitulah sejarah memberi kisah, bahwa proklamasi ini menuntut totalitas, tak peduli berapapun jumlah. Ibrohim dan masyarakat bertauhidnya hanya minoritas di tengah peradaban paganis Namrud yang ingin menggilas. Tetapi mereka penuh kehormatan dengan kalimat tegas. Para pemuda Ash-habul Kahfi pun menjadi gambaran lain, bahwa proklamasi ini tidak mengikat mereka dalam sekat kewilayahan, tapi terlepas diri adalah niscaya untuk menegakkan fitrah di manapun, walau hanya di dalam sebuah gua terpencil.

Dan Kami telah meneguhkan hati mereka di waktu mereka berdiri (di hadapan Raja Dicyanus) lalu mereka berkata, “Robb kami adalah Robb langit dan bumi, kami sekali-kali tidak mendoa yang selain Dia, sesungguhnya kami, kalau demikian telah mengucapkan perkataan yang amat jauh dari kebenaran. Kaum kami ini telah menjadikan selain Dia sebagai sembahan-sembahan.” (QS. Al-Kahfi: 14-15)

“Dan apabila kalian meninggalkan mereka dan apa yang mereka sembah selain Alloh, maka carilah tempat berlindung ke dalam gua itu niscaya Robb kalian akan melimpahkan sebagian rahmatNya kepada kalian, dan menyediakan sesuatu yang berguna bagi kalian dalam urusan kalian.“ (QS. Al-Kahfi: 16)

Berlepas diri adalah sebuah kemuliaan. Ketidaktergantungan kepada musuh fitrah dan jahiliah, membangun set psikologis yang penuh percaya diri, sejajar bahkan unggul di hadapan tiran jahiliah yang lacut.

Adalah ‘Utsman ibn Mazh’un, ketika terjadi penyiksaan atas kaum mukminin oleh para pemuka Quroisy berada dalam lindungan pamannya Al-Walid ibn Al-Mughiroh, seorang pemuka kafir. Dengan segera ia umumkan bahwa ia melepaskan diri dari perlindungan tokoh musyrik paling disegani di seantero Makkah itu. Lalu hari itupun tiba, saat Alloh mengujinya.

Di Ka’bah, didapatinya Lubaid bersyair, “Ketahuilah, segala sesuatu selain Alloh adalah bathil!”

‘Utsman dengan merdeka berkomentar di majelis bangsawan itu, “Engkau benar!”

Lubaid melanjutkan, “Dan segala kenikmatan pasti sirna!”

“Dusta! Nikmat surga itu kekal!”, kata ‘Utsman. Mendengar itu, Lubaid berteriak, “Wahai Quroisy, sejak kapan orang-orang bodoh berani mengganggu majelis kalian?” Bangkitlah semua orang untuk memukuli ‘Utsman, mengerubutinya sampai salah satu matanya nyaris remuk. Kata Walid, “Kalau saja kau mau kulindungi, mata itu tak akan cedera!” Tetapi ‘Utsman begitu santai berkata, “Bahkan mata sebelahnya iri untuk mendapat luka yang sama!”

Begitulah. Sampai seorang budak seperti Bilal menemukan nikmat kemerdekaan di hadapan tuannya, ketika dengan bebas ia berproklamasi, “Ahad... Ahad...Ahad..!” Tentu di tengah cambukan, di tengah tindihan batu, di atas pasir membara. Tetapi merdeka, “Ahad.. Ahad.. Ahad..!”

Kedua: Berpisah Artinya Ujian Cinta
Dengarlah cerita dari para muallaf sejati, kisah-kisah tentang ujian. Dengarlah dari mereka yang diusir dari rumahnya. Dengarlah mereka yang berpisah dengan orang-orang tercinta. Dengarlah mereka yang dari kemewahan diusir menuju kefakiran demi ridho Alloh. Dengarlah kisah-kisah itu, agar Alloh memahamkan kita akan ayatNya yang mulia:

“Kalian sunguh-sunguh akan diuji terhadap harta dan diri kalian. Dan kalian sungguh-sungguh akan mendengar dari orang-orang yang diberi kitab sebelum kalian dan orang-orang musyrik, gangguan yang banyak lagi menyakitkan hati.” (QS. Ali ‘Imron: 186)

Nilai mulia seorang pengikrar, bukan terletak pada lengkingan suara tenornya meneriakkan sebuah slogan. Demi Alloh. Sang Pemilik Kemuliaan yang berhak untuk menguji, menyeleksi, dan menetapkan gelar mukmin bagi siapapun yang dikehendakNya. Ketika pengikrar ini menyatakan berpisah dengan jahiliah dan musuh fitrah, di sinilah sebuah titik tolak dipancangkan: bahwa ia siap menerima ujian untuk melengkapi syarat kelulusannya sebagai mukmin.

“Apakah manusia mengira mereka akan dibiarkan saja setelah mengatakan, “Kami telah beriman”, padahal mereka belum diuji? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Alloh mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (QS. Al-Ankabut: 2-3)

Keluarga Yassir yang dijanjikan surga, menjadi kronik yang menyejarah tentang beratnya ujian di saat harus berpisah dengan jahiliah. Bilal adalah sosok lain, bak kacang goreng hitam menggosong di atas pasir pinggiran Makkah yang membakar. Deraan cambuk, tindihan batu, pukulan kayu, dan sengat mentari tengah hari yang membakar gores-gores luka meretih adalah menu harian yang disajikan bagi ahli iman Makkah di awal-awal risalah.

Khobbab ibn Al-Arots, pandai besi yang pernah dipanggang hingga cairan tubuhnya memadam bara itu begitu trenyuh sampai merajuk, “Yaa Rosulalloh, tidakkah engkau menolong atau berdoa untuk kami?”

Wajah mulia yang sedang berbaring berbantal surban di dekat Ka’bah itu menampakkan raut tak suka. Lalu ia bersabda dengan mimik penuh kasih. Imam Al-Bukhori mengabadikan redaksi kalimat itu. Ini dia.

“Orang-orang sebelum kalian ada yang disiksa dengan digalikan tanah lalu ia ditanam di situ hidup-hidup. Kemudian dibawakan gergaji lalu gergaji itu diletakkan di atas kepalanya, kemudian dia dibelah menjadi dua dan disisir dengan sikat besi hingga tinggal kulit dan tulangnya. Tetapi itu semua tidak memalingkan mereka dari agamanya. Demi Dzat yang jiwaku di tanganNya, Alloh akan menyempurnakan urusan ini sampai seorang penunggang berjalan sendirian dari Shon’a ke Hadhromaut dan tiada yang ditakutinya kecuali Alloh, dan tidak takut serigala akan memakan kambingnya. Tapi tampaknya kalian tergesa-gesa!“

Ini tak sekedar kesengsaraan. Ini bukan hanya kenestapaan. Terjelaslah, ia dan orang-orang yang bersamanya sedang meniti jalan cerita yang disusun Sang Maha Pencipta. Ia sedang menggali lubang terdalam, menata batu terkeras, dan menyusun pondasi terkuat. Maka rasa sakit itu terasa menanjak, agar harapan akan pertolongan Alloh memuncak.

Apakah kalian mengira bahwa kalian akan masuk surga, padahal belum datang kepada kalian (ujian) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kalian? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam ujian), hingga berkatalah Rosul dan orang-orang beriman yang bersamanya, “Bilakah datangnya pertolongan Alloh?“ Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Alloh itu dekat!“ (QS. Al-Baqoroh: 214)

Cukupkah sampai di situ! Tidak!

“Kamu tidak akan menjumpai suatu kaum yang beriman kepada Alloh dan hari akhir saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Alloh dan RosulNya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Mereka itulah yang telah Alloh tulis di dalam hati mereka kalimat iman dan Ia kuatkan mereka dengan ruh (pertolongan) dariNya.” (QS. Al-Mujaadilah: 22)

Nuh, Luth, dan Asiyah binti Muzahim isteri Fir’aun harus rela berpisah dengan pendamping hidupnya. Bahkan Nuh ‘Alaihis Salaam, harus merelakan sang sibiran tulang ditelan banjir karena kekufuran.

Gemilang generasi pertama ummat ini menyelesaikan ujiannya. Mereka menemukan ‘aqidah sebagai buhul ikatan pengganti sempurna untuk menggantikan ikatan jahiliah yang telah lapuk membusuk. Alloh, Rosul, dan jihad begitu mereka cintai. Tak ada lagi alasan untuk mencari cinta yang lain, apatah lagi menyayangi apa yang dibenci Alloh dan RosulNya.

Katakanlah, “Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai adalah lebih kamu cintai daripada Alloh, RosulNya, dan berjihad di jalanNya, maka tunggulah sampai Alloh mendatangkan keputusanNya!” Dan Alloh tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasiq. (QS. At-Taubah: 24)

Tegar Ummu Habibah merebut alas duduk dari Abu Sufyan ayahnya dengan alasan sederhana, “Ayah adalah seorang musyrik yang najis, sementara ini adalah alas duduk Rosululloh!” Begitu juga kita temukan tegasnya Abu Bakar menghardik kekufuran anaknya di medan Badar, “Tidak ada warisan tersisa untukmu selain pedang terhunus ini, wahai anak kecil yang buruk!”

Alangkah ringan Shuhaib melangkah meninggalkan semua usaha yang dulu ia mulai dari nol sebagai imigran di Makkah untuk berhijrah. Seindah cara Sa’d ibn Abi Waqqosh menghentikan mogok makan ibu yang sangat disayanginya dengan berkata, “Bunda, seandainya Bunda memiliki seratus nyawa dan ia keluar satu persatu di hadapan nanda untuk memaksa nanda menanggalkan keyakinan ini, sekali-kali nanda tak akan pernah meninggalkan agama ini selamanya!”

Subhanalloh... Tetapi sebentar. Jangan terbalik logikanya. Demi Alloh, bukan Islam yang mencerai beraikan ikatan. Justru kekufuranlah yang memisahkan ahlinya dari kasih sayang dan lembut mesra persaudaraan keimanan! Jadi, jangan terbalik. Silakan lanjutkan kalau tak percaya.

***

Inilah keagungan Islam. Meski pemeluknya membenci kekufuran, tapi ikatan kemanusiaan tak pernah lepas dari perilaku keseharian. Ia ajarkan penghapusan kejahatan sistemik dengan empati, balasan baik yang penuh perhatian, dan menjadilah musuh berdecak, bahkan sedia bersetia.

“Dan tidaklah sama antara kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang jauh lebih baik. Maka tiba-tiba orang yang antara engkau dan dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia.” (QS. Fushshilat: 34)

Hancur sudah penduduk Makkah dan Thoif seandainya Rosululloh menerima tawaran Malaikat yang ingin menimpakan dua gunung Akhsyabain setelah mereka menyakiti beliau. Tapi yang beliau katakan hanya, “Aku berharap Alloh mengeluarkan generasi yang menyembahnya dari sulbi-sulbi mereka!” Hari penaklukan Makkah dan Surat An-Nashr adalah saksi, bahwa kemenangan ini adalah kemenangan ‘aqidah, saat dendam lari terbirit dan yang tersisa hanya, “Pergilah! Kalian semua bebas!”

Sa’d, Mush’ab, dan Asma’ adalah pelita ikutan tentang bagaimana memperlakukan orangtua yang mengingkari ‘aqidah mereka. Lihatlah di surat Luqman ayat 14-15. Keadilan dan perbuatan ihsan tetap ditegakkan selama yang diganggu oleh kuffar bukan wilayah ‘aqidah, kehormatan agama, dan terjaganya kemashlahatan bumi.

“Alloh tiada melarang kalian untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang yang tidak mengusir kalian karena alasan agama, dan tidak (pula) mengusir kalian dari negeri kalian. Sesunguhnya Alloh menyukai orang yang berbuat adil.” (QS. Al-Mumtahanah: 8)

Saat ‘Abdulloh ibn Rowahah menjalankan tugas untuk mengambil sebagian hasil panen kurma orang-orang Yahudi sesuai perjanjian, tampang kecurangan ala Yahudi hendak mereka tampakkan di wajah keimanan itu dengan berusaha menyuapnya. Ya, suap. Namun apa kata Ibnu Rowahah?

“Demi Alloh, kecintaanku kepada Alloh dan RosulNya yang melebihi apapun di dunia ini, membuatku tidak akan pernah mengkhianati amanah ini. Tetapi demi Alloh, kebencianku yang amat sangat kepada kalian wahai makhluk yang lebih hina dari kera dan babi, tidak akan pernah membuatku berbuat zholim dan tidak adil sedikit pun kepada kalian!” Benarlah engkau wahai Ibnu Rowahah, dan Yahudi hina itu pun harus membuat pengakuan jujur yang pahit, “Karena sikap seperti inilah bumi dan langit tegak!”

Ketiga: Berpisah Artinya Berbeda
Tidak ada artinya perpisahan fisik, kalau bathin masih saling terikat. Tak ada kemerdekaan sejati, selama yang jauh di mata masih dekat di hati. Perpisahan kita dengan jahiliah dan musuh fitrah adalah sebuah kemerdekaan dari segala jenis keterbelengguan dalam perasaan, pemikiran, ucapan, dan tindakan. Kita merdeka untuk menegakkan fitrah kita, mentauhidkan Alloh dan memakmurkan bumiNya.

Mungkin sudah menjadi sifat manusia, bahwa ia menyukai simbol-simbol sebagaimana ia ingin meraih substansi. Islam, sebagai risalah fitrah, tentunya sangat memperhatikan kecenderungan ini. Substansinya adalah, bahwa kegelapan jahiliah dan penganutnya tidak sama dengan cahaya Islam dan penegak-penegaknya.

“Dan tidaklah sama orang yang buta dengan orang yang melihat. Dan tidak sama gelap gulita dengan cahaya. Dan tidak sama (pula) yang teduh dengan yang panas!” (QS. Fathir: 19-21)

Ini adalah substansi yang tak akan sempurna tanpa implementasi. Cara pandang, pola fikir, dan bingkai persepsi bisa jadi merupakan implementasi intelektualnya. Tetapi lebih dari itu, jikalau para penentang ‘aqidah ini berjuang mati-matian menunjukkan eksistensi dengan simbol-simbol dan mode yang memboroskan energi dan sumberdaya, maka para pemeluk kebenaran lebih pantas untuk mewarnai dunia dengan celupan warna Ilahi, simbol penuh karakter sebagai identitas tegas yang akan membedakannya dengan pengikut kebathilan.

Dalam keseharian, seorang muslim harus memiliki karakter dan identitas. Bahkan juga penampilan yang berbeda dengan kaum-kaum yang terhukumi jahiliah. Bukan karena Islam bersifat eksklusif dan elitis. Tetapi Islam adalah sistem menyeluruh yang ingin menjadikan revolusi diri para pemeluknya kaffah. Ada jaminan perlindungan, kebanggaan identitas, dan keterakuan bagi yang baru memasuki. Ada ketertarikan atas keunikannya bagi orang yang terpesona.

“Baguskanlah pakaian-pakaianmu, dan baguskanlah kendaraan-kendaraanmu, agar kamu menjadi (ibarat) tahi lalat di tengah-tengah manusia.” (HR. Al-Hakim dari Sahl ibn Ar-Robi’)

Hal-hal sepele menjadi perhatian untuk menegakkan identitas keislaman, sampai pernah Rosululloh mengubah belahan sisiran rambutnya agar berbeda dengan Yahudi dan Nasrani. Janggut seorang lelaki muslim disunnahkan untuk dirawat, sedang kumisnya dicukur, untuk membedakannya dengan pemuka Nasrani yang klimis atau Majusi yang berkumis lebat. Bahkan sampai soal warna rambut pun, ada arahan dari sang Uswah untuk pengikutnya.

“Sesungguhnya Yahudi dan Nasrani tidak menyemir rambut mereka, maka kamu harus menyelisihi mereka.” (Muttafaq ‘Alaih dari Abu Huroiroh)

Kamu harus menyelisihi mereka! Ketika melihat Yahudi suka menumpuk sampah di halaman rumah, maka seorang muslim dianjurkan untuk berbeda. Bahkan perbedaan ciri sosial ini dikaitkan dengan sifat Alloh Subhanahu Wa Ta’ala.

“Sesungguhnya Alloh itu thoyyib dan menyukai yang thoyyib, bersih dan menyukai yang bersih, mulia dan menyukai kemuliaan, dermawan dan menyukai kedermawanan. Maka bersihkanlah rumahmu dan jangan meniru-niru orang Yahudi!” (HR. At-Tirmidzi)

Mengapa kita harus selalu berbeda penampilan dengan orang kafir? Bukankah yang penting substansi, bukan simbol! Saudaraku, bila penampilan identik, tak ada bedanya, maka keterpautan hati lebih mudah menjangkit. Seperti dua orang dengan ciri khas budayanya yang bertemu di rantau, jadilah itu kedekatan, lalu percampuran pola fikir dan pola tindak. Manusia itu kondisinya hanya dua, mempengaruhi dan dipengaruhi. Dan alangkah rugi, jika pola pikir kita saat menerima apa-apa yang datang dari Alloh telah tercampur dengan pola fikir materialisme, kebendaan, atau sekularisme.

Kata Sayyid Quthb, di balik perbedaan zhohir selalu ada perasaan batin yang membedakan satu konsepsi dengan konsepsi lain, sistem kehidupan dengan sistem kehidupan lain, dan ciri khas suatu kelompok manusia dengan kelompok manusia lain. Ini bukan fanatisme tanpa makna, tetapi merupakan pandangan yang mendalam kepada apa yang ada di balik bentuk lahiriah tersebut. Setiap orang kafir, kata Ibnu Taimiyah, akan gembira jika tatacara dan seleranya diikuti. Mereka akan bangga. Dan kebanggaan itu akan terbawa dalam pola pikir, konsep hidup, dan cara pandangnya terhadap segala sesuatu. Kalau itu terjadi, alangkah kasihan mereka. Karena mereka akan bangga selalu berada dalam kesesatan.

Mengapa harus berbeda, berbeda, dan berbeda? Agar orang yang telah mereguk manisnya iman tidak kembali termasuk ke dalam golongan-golongan jahiliah yang hina hanya karena masalah-masalah sepele semacam penampilan.

“Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk golongan mereka!” (HR. Abu Dawud)[]


Credit: “Saksikan bahwa Aku Seorang Muslim”; Salim A. Fillah; Pro-U Media

Tidak ada komentar:

Posting Komentar