Sabtu, 09 Mei 2015

Air Mata Ibu Kita

Kalau tak pernah ada usapan sayang di waktu kecil, mungkin hari ini kita tak punya jiwa untuk melangkah. Kalau tak ada kecupan lembut dari para bunda untuk anak-anaknya, mungkin tak akan lahir kesejukan hati untuk menata hidup dengan lebih baik. Tulang-tulang kita akan rapuh, jiwa kita tidak akan mampu berdiri kokoh menghadapi tantangan hidup, dan dada kita sempit oleh sesaknya persoalan. Di saat kita masih tak berdaya sama sekali, setetes susu ibu adalah karunia yang menguatkan tubuh kita sekaligus memberi ketenteraman pada jiwa.

Satu malam kasih sayang seorang ibu kepada anaknya, tak akan dapat disamai oleh tulusnya perhatian seorang bapak yang sangat sayang kepada anaknya. Sekuat apa pun cinta seorang bapak, tak akan dapat menggantikan tugas seorang ibu dalam merawat anaknya. Sebab, ia tak hanya memberi seteguk minuman untuk menguatkan badan. Ia juga memberi kasih sayang. Ia juga meneteskan keikhlasan dan memberi dekapan yang membangkitkan pengalaman bathin serta rasa aman bagi anak-anak yang disusuinya. Semakin besar ketulusan hati dan pengharapan jiwa seorang ibu untuk kebaikan anaknya, semakin punya makna setiap tetes ASI dipancarkannya untuk hati, jiwa, otak, dan tubuh sang anak.

Begitu berharganya… begitu tingginya nilai kasih sayang seorang ibu, sampai-sampai Rosululloh saw menempatkan ibu sebagai orang pertama yang paling layak dihormati. Ingatlah, ketika Imam Bukhori meriwayatkan dalam sebuah hadits:

Seorang laki-laki datang kepada Rosululloh saw dan bertanya, “Wahai Rosul Alloh, siapakah manusia yang paling berhak aku hormati?”

Rosululloh saw menjawab, “Ibumu.”

Orang itu berkata, “Siapa lagi?”

Rosululloh saw berkata, “Ibumu.”

Orang itu bertanya lagi, “Lalu siapa lagi?”

Rosululloh saw menjawab, “Ibumu.”

Lalu orang itu berkata lagi, “Siapa berikutnya?”

Rosululloh saw berkata, “Bapakmu.”

Tak ada yang sanggup kita lakukan untuk membalas sebagian saja dari kasih sayang mereka kepada kita. Apalagi, mencintai dan berbuat baik kepada seorang ibu tak sekadar untuk balas jasa. Ada ibadah di dalamnya. Tidak sempurna ketaatan kepada Alloh tanpa bakti kepada ibu. Seandainya ada seorang Muslim yang ibunya musyrik dan bahkan kafir sekalipun, ia masih tetap terkena kewajiban untuk berbuat baik dan menyambung tali shilaturrohim.

Dari Asma’ binti Abu Bakar menyebutkan, “Ibuku datang kepadaku. Dia dalam keadaan musyrik dengan jaminan kaum Quroisy saat Rosululloh saw membuat perjanjian dengan mereka. Kemudian aku meminta nasihat kepada Rosululloh saw.”

Aku berkata, “Ibuku telah datang kepadaku, ia betul-betul menginginkan aku dapat berbakti kepadanya. Apakah aku harus menyambung shilaturrohim dengan ibuku?”

Rosululloh saw menjawab, “Ya. Sambunglah tali shilaturrohim dengan ibumu.” (HR. Bukhori, Muslim, dan Abu Dawud)

Terkadang, menyenangkan orangtua ―khususnya ibu― lebih diutamakan daripada pergi berjihad untuk menegakkan agama Alloh. Padahal, perang di jalan Alloh merupakan kewajiban tertinggi. Tidak ada yang lebih tinggi nilainya kecuali mati syahid karena jihad fii sabilillah. Ia akan dinanti-nanti oleh surga dan masuk ke sana tanpa hisab.

Sekalipun demikian, kadang berbakti kepada orangtua harus didahulukan, karena sesungguh-nya surga itu ada di telapak kaki ibu. Ingatlah ketika Nasa’i meriwayatkan sebuah hadits. Jahimah mendatangi Nabi saw dan berkata, “Wahai Rosul Alloh, aku ingin ikut berperang dan aku datang meminta nasihat kepadamu.”

Rosululloh saw bertanya, “Apakah kamu masih memiliki ibu?”

“Ya”, jawabnya.

Rosululloh saw berkata, “Berbuatbaiklah kepadanya. Karena surga berada di kedua telapak kaki ibu.” (HR. Nasa’i)

Di dalam hadits lain dituturkan:

Dari ‘Abdulloh bin ‘Umar, seorang laki-laki mendatangi Nabi saw kemudian berkata kepada beliau, “Saat aku berbai’at kepadamu untuk hijrah, aku tinggalkan kedua orangtua dalam keadaan sedang menangis.”

Rosululloh saw berkata, “Kembalilah kedua orangtuamu dan perlakukan mereka berdua hingga tertawa gembira sebagaimana kamu telah membuat mereka menangis.” (HR. Nasa’i)


Credit: “Mencari ketenangan di Tengah Kesibukan”; Mohammad Fauzil Adhim; Pro-U Media

Tidak ada komentar:

Posting Komentar