Hari ini, nampaknya
tidak ada seorang pun dari masyarakat kota yang tidak kenal Friendster,
Myspace, Facebook, atau Twitter. Situs jejaring sosial tersebut begitu digemari
masyarakat karena dapat membantu memperluas pertemanan, membuat komunitas,
menemukan teman lama, shilaturrohim, berbisnis, kampanye politik, menggalang
aktivitas sosial, berdakwah, dan bahkan cari jodoh.
Namun
disamping membawa dampak positif, situs jejaring sosial juga ternyata membawa
dampak negatif. Misalnya seorang social
networker kerap menghabiskan waktunya untuk memantau status atau komentar,
kinerja perusahaan terganggu karena karyawan rajin surfing, waktu belajar para pelajar habis untuk ngoprek Friendster, Facebook atau
chatting, berkurangnya kebiasaan shilaturrohim antara kerabat ataupun sahabat,
dan salah satu hal yang paling berbahaya dari sudut pandang agama adalah
semakin merebaknya ‘budaya’ ghibah atau bergunjing antar sesama. Di situs
pertemanan ini juga kerap mengemuka fenomena saling fitnah, saling menjatuhkan,
saling tuduh, debat kusir, dan namimah atau penyebaran kabar burung yang
menimbulkan permusuhan satu sama lain.
Dengan
demikian kita harus waspada, kemajuan teknologi komunikasi ternyata dapat
menimbulkan pergeseran nilai. Ghibah, saling fitnah, saling menjatuhkan, saling
tuduh, debat kusir, dan namimah dianggap perkara ringan. Belumlah lagi kita
dapat meredam dampak negatif ‘kebebasan pers’ yang kebablasan dan tayangan
‘infotainment’ biang ghibah, kini muncul media jejaring sosial yang dari
rahimnya lahir ‘sejuta wartawan’ pembawa berita tanpa ‘sanad’ dan ‘rowi’ serta
tanpa etika Islam.[1]
Ghibah adalah dosa
besar!
Alloh
SWT berfirman,
“Dan janganlah
sebagian kamu bergunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang
suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik
kepadanya.” (QS. Al-Hujurot, 49: 12).
Apakah
ghibah atau bergunjing itu? Untuk memahaminya cukuplah bagi kita membaca hadits
dari Abu Huroiroh, bahwa Nabi shollallohu
‘alaihi wa sallam pernah ditanya,
“’Wahai Rosululloh,
apakah ghibah itu?’ Beliau menjawab, ‘Engkau menyebut-nyebut saudaramu dengan
sesuatu yang tidak disukainya’. Beliau ditanya lagi, ‘Bagaimana pendapat engkau
jika pada diri saudaraku itu ada sesuatu yang aku katakan?’ Beliau menjawab,
‘Jika pada dirinya ada sesuatu yang engkau katakan, berarti engkau telah
mengghibahnya, dan jika pada dirinya tidak ada sesuatu yang engkau katakan,
berarti engkau telah mendustakannya’.” (HR.
Muslim, Abu Dawud dan At-Tirmidzy).
“Engkau
menyebut-nyebut saudaramu dengan sesuatu yang tidak disukainya”, inilah kaidah
yang diajarkan Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam agar kita mengetahui
batasan ghibah. Kaidah ini harus dipegang teguh oleh setiap muslim yang hendak
membicarakan saudara-saudaranya sesama muslim, meskipun apa yang dibicarakan
itu memang benar-benar ada pada diri saudaranya terkait dengan cacat tubuh,
budi pekerti, harta, anak, istri, saudaranya, atau apa pun yang ada hubungannya
dengan dirinya.
Hasan,
cucu Nabi, berkata bahwa bergunjing itu ada tiga macam, ketiganya disebutkan
dalam Al-Qur’an, yaitu ghibah, ifki,
dan buhtan. Ghibah atau bergunjing,
yaitu menyebut-nyebut keburukan yang ada pada orang lain. Adapun ifki adalah menyebut-nyebut seseorang
mengenai berita-berita yang sampai kepada kita, dan buhtan atau tuduhan yang palsu ialah bahwa menyebut-nyebut
kejelekan seseorang yang tidak ada padanya. Adnan Ath-Thorsyah menyebutkan
dalam bukunya ‘Majalisuna Ila Aina?’
bahwa tidak ada perbedaan pendapat antara para ulama bahwa bergunjing ini
termasuk dosa besar, dan diwajibkan kepada orang yang bergunjing supaya segera
bertobat kepada Alloh dan meminta maaf kepada orang yang bersangkutan.
Mu’awiyah
bin Qurroh berkata kepada Syu’bah, “Jika seandainya ada orang yang putus
tangannya lewat di hadapanmu, kemudian kamu berkata ‘Itu si buntung,’ maka
ucapan itu termasuk bergunjing.”
Dalam
Al-Qur’an surah Al-Hujurot ayat 12, Alloh Ta’ala mengemukakan sebuah
perumpamaan supaya terhindar dari bergunjing, yaitu dengan suatu peringatan
yang berbentuk pertanyaan, “Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan
daging saudaranya yang sudah mati?” Oleh karena itu, janganlah menyebut-nyebut
keburukan seseorang ketika ia masih hidup atau sudah mati. Tahanlah lidah kita.
Kalaupun terpaksa harus membicarakan orang lain, maka berbicaralah yang
baik-baik saja.
Diriwayatkan
Ibnu Mundzir dari Ibnu Juraij bahwa Al-Hujurot ayat 12 ini turun berkaitan
dengan Salman Al-Farisi yang makan, kemudian tidur, lalu mendengkur.
Orang-orang membicarakannya. Maka turunlah surah ini yang melarang umat Islam
bergunjing dan mengumpat.
Ghibah
tidak hanya terbatas pada perkataan saja, tetapi juga mencakup segala sesuatu
yang menjelaskan kekurangan saudaramu kepada orang lain. An-Nawawy berkata,
“Ghibah itu mencakup ucapan dan tulisan, atau simbol dan isyarat dengan mata,
tangan maupun kepala. Tepatnya, ghibah adalah segala sesuatu yang menjelaskan
kepada orang lain tentang kekurangan saudaramu sesama muslim.” Yang juga
termasuk ghibah adalah mendengarkan apa yang disampaikan orang lain dengan
menampakkan keta’ajuban.
Salah
satu faktor mengapa ghibah ini demikian dicela oleh Islam ialah karena
potensinya yang sangat dahsyat untuk menghancurkan reputasi dan kehormatan
seseorang. Terlebih lagi jika ia mewabah di tengah masyarakat yang sakit, yakni
masyarakat yang sangat jeli melihat kesalahan orang lain, tapi tidak pernah
berkaca melihat kesalahan pribadi; sangat garang dan sengit menghakimi
kesalahan orang lain, tapi begitu ‘bijak’ memaafkan kesalahan diri sendiri.
Pergunjingan
pada kenyataannya lebih sering berproses menjadi ifki dan buhtan. Berawal
dari tersebarnya berita pada beberapa orang, kemudian terjadi bias informasi,
dan pada akhirnya tereksposlah berita yang telah terdistorsi secara massal.
Dengan begitu berkembanglah kebencian dan munculnya kekacauan di tengah-tengah
masyarakat.
“(Ingatlah)
di waktu kamu menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut dan kamu katakan
dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit juga, dan kamu menganggapnya
suatu yang ringan saja, padahal dia pada sisi Alloh adalah besar.” (QS. An-Nur, 24: 15)
Sebab-sebab
Bangkitnya Syahwat Berghibah
Sebab-sebab
yang membangkitkan ghibah secara umum menurut Adnan Ath-Thorsyah adalah mencari
kepuasan, kedengkian, marah, iri, olok-olok, ejekan dan lain-lainnya. Imam
Al-Ghozaly menyebutkan sebelas sebab dan merincinya dalam Ihya ‘Ulumuddin.
Sebagian diantaranya yang menyebabkan manusia secara umum melakukan ghibah
adalah:
Pertama: Mencari muka di
hadapan teman-teman, menjaga persahabatan, dan membantunya dalam perkataan.
Jika teman-temannya menodai kehormatan seseorang, lalu dia tidak ikut-ikutan
dan menjauhi mereka, maka dia merasa sungkan dan berat. Sehingga mau tidak mau
dia harus ikut-ikutan. Jika teman-temannya marah kepada seseorang, maka dia
juga harus marah kepadanya sebagai rasa solidaritas, sehingga dia harus ikut
menyingkap keburukan dan aib orang lain.
Kedua: Karena hendak
membanggakan diri. Maksudnya dia mengangkat kedudukannya dengan mengurangi
kedudukan orang lain, misalnya dengan mengucapkan: “Fulan bodoh, pemahamannya
dangkal dan ucapannya tidak kuat.” Tujuannya agar ucapannya itu bisa
menonjolkan kelebihan dirinya dan dia tampak lebih pandai.
Ketiga: Untuk main-main,
bersenda gurau dan lawakan. Dia menyebutkan aib orang lain agar orang-orang
tertawa saat mendengarnya.
Keempat: Mengejek dan
mengolok-olok, sebagai penghinaan terhadap orang yang disebut-sebut.
Pendorongnya yang utama adalah untuk merendahkan orang lain.
Selain itu,
‘orang-orang khusus’, seperti: aktivis dakwah, muballigh, ustadz, dan bahkan
para ulama, kadangkala terjebak pula melakukan ghibah atau pergunjingan.
Penyebabnya adalah:
Pertama: Munculnya
keheranan dalam mengingkari yang mungkar dan kesalahan dalam agama. Misalnya
ucapan seorang da’i: “Aku heran terhadap Fulan!” Boleh jadi apa yang disebutkan
ini memang benar-benar terjadi pada diri orang yang dibicarakan. Tapi
seharusnya, dia tidak perlu menyebutkan nama orangnya. Sebab setan sangat mudah
mempengaruhinya, sehingga lama-kelamaan dia bisa mengghibahnya dan tanpa terasa
akhirnya dia pun berdosa.
Kedua: Merasa kasihan.
Misalnya seorang da’i merasa kasihan terhadap musibah yang menimpa seseorang
seraya berkata, “Sungguh kasihan Fulan itu. Musibah yang menimpanya telah
menyentuh perasaan saya.” Tapi berikutnya setan menyeretnya kepada keburukan
sehingga menjadi ghibah.
Ketiga: Marah karena Alloh.
Kadang-kadang seorang da’i merasa marah menghadapi kemungkaran yang dilakukan
manusia, lalu dia menyebut nama pelakunya itu. Hal ini tidak diperbolehkan.
Seharusnya tidak perlu menyebutkan nama pelakunya.
Ghibah yang
diperbolehkan
Segolongan
ulama mengecualikan beberapa kondisi sehingga diperbolehkannya ghibah.
An-Nawawy, misalnya, mengemukakan ada enam sebab diperbolehkannya ghibah,
yaitu:
Pertama: Pengaduan.
Seseorang yang dizholimi bisa mengadu kepada penguasa atau hakim atau seseorang
yang memegang kekuasaan untuk berbuat adil terhadap orang yang menzholiminya.
Dia bisa berkata, “Fulan menzholimiku begini dan begini.”
Kedua: Sebagai sarana
untuk merubah kemungkaran dan mempengaruhi orang yang durhaka agar menjadi
benar. Seseorang bisa berkata kepada orang yang bisa mengenyahkan kemungkaran:
“Fulan berbuat begini dan begitu.” Maksudnya laporan itu sebagai upaya untuk
menghentikan kemungkaran pelakunya. Tetapi jika niatnya bukan untuk itu, maka
perbuatannya adalah haram.
Ketiga: Untuk meminta
fatwa. Misalnya ucapan seseorang: “Ayahku, saudaraku, suamiku, atau Fulan telah
menzholimi aku. Apakah dia boleh berbuat begitu? Apa caraku untuk
menghindarinya? Bagaimana agar bisa kudapatkan hakku dan sekaligus mencegah kezholimannya?”
Perkataan seperti
ini diperbolehkan kalau memang dibutuhkan. Tetapi yang lebih baik ialah dengan
berkata: “Bagaimana pendapatmu tentang seseorang yang berbuat begini dan begitu
kepadaku?” Yaitu tanpa menyebutkan nama orang yang bersangkutan. Tapi
menyebutkan nama orang yang bersangkutan tetap diperbolehkan.
Hal ini didasarkan
kepada riwayat ‘Aisyah rodhiyallohu ‘anha,
bahwa Hindun binti Utbah, istri Abu Sufyan pernah berkata, “Wahai Rosululloh,
sesungguhnya Abu Sufyan adalah orang yang kikir. Dia tidak memberiku belanja
yang mencukupi kebutuhanku dan kebutuhan anakku, kecuali harus mengambil harta
darinya, sementara dia tidak mengetahuinya.”
Beliau berkata,
“Ambilah yang bisa mencukupi kebutuhanmu dan kebutuhan anakmu dengan cara yang
ma’ruf.” (Muttafaq ‘Alaihi).
Keempat: Untuk
memperingatkan orang-orang muslim dan menasihati mereka. Misalnya jika
seseorang melihat orang lain yang sedang belajar, akan condong kepada ahli
bid’ah, atau hendak mendatangi orang fasik yang akan dijadikan guru, sehingga
orang yang akan belajar itu dikhawatirkan akan mendapat kemudharatan bagi
agamanya. Dalam keadaan seperti ini dia bisa memberitahukan keadaan orang yang
hendak didatangi tersebut.
Tapi sebelum
melakukannya, dia perlu mendalami terlebih dahulu dengan hati-hati, apakah
orang yang akan didatangi tersebut memang benar-benar ahli bid’ah? Apakah
memang yang dilakukannya itu sebuah kemungkaran? Atau hanya ikhtilaf atau
perbedaan ijtihad yang syar’i? Atau masih banyaknya hal-hal samar? Jika
keadaannya belum jelas benar, hendaknya dia berhati-hati dan tidak terburu-buru
menyebutkan berbagai hal tentang orang itu, karena tidak jarang tindakan
memperingatkan orang ternyata dilatarbelakangi kedengkian.
Kelima: Memberitahukan
keburukan seseorang yang jelas kefasikan atau perbuatan bid’ahnya, seperti
orang yang terang-terangan meminum khomr, menghalang-halangi manusia dari
Islam, mengambil harta secara zholim, dan melakukan hal-hal yang batil.
Keenam: Untuk pengenalan.
Misalnya penyebutan Si Buta, Si Pincang, Si Tuli, dan lain-lain, yang tidak
dimaksudkan untuk mengolok-olok atau memperlihatkan kekurangan.
Meskipun begitu,
Asy-Syaukany telah mengomentari pendapat An-Nawawy tersebut, bahwa sebagian di
antara contoh-contoh ini tidak bisa dijadikan pengecualian pengharaman ghibah
dan beliau tetap menganggapnya sebagai ghibah.
Bagaimana
Menghindari Ghibah?
Agar
terhindar dari ghibah, kita harus menyadari bahwa perbuatan bergunjing itu
membangkitkan kemarahan Alloh Ta’ala.
Kita
pun harus selalu mengaca kepada diri sendiri yang mungkin banyak memiliki
kekurangan, maka hendaknya kita sibuk mengurusi kekurangan tersebut. Hendaknya
kita malu jika tidak mau mencela diri sendiri, dan justru mencela orang lain.
Jika kita tidak mendapati cela pada diri sendiri, maka hendaklah dia bersyukur
kepada Alloh dan tidak menodainya dengan aib yang lebih besar.
Kita
harus tahu, sebagaimana kita, orang lain pun akan tersiksa dan terganggu oleh
ghibah. Jika kita tidak rela tersiksa dan terganggu karena ghibah orang lain,
maka orang lain pun tidak rela jika kita mengghibahnya.
Hendaklah
kita melihat latar belakang melakukan ghibah. Jika sebabnya marah, maka
hendaklah kita mengobatinya dengan berkata: “Jika aku terus mengikuti rasa
marahku, boleh jadi Alloh juga terus marah kepadaku karena ghibah. Jika aku
menghentikan marahku, maka aku tidak akan mendapatkan ancaman-Nya.”
Jika
tujuan ghibah yang kita lakukan untuk menonjolkan dan mengangkat diri sendiri,
dengan cara mencela orang lain, maka kita harus tahu bahwa perbuatan itu akan
melenyapkan keutamaan kita di sisi Alloh. Bahkan di mata manusia, keutamaan
kita sedang berada di pinggir jurang, atau boleh jadi kepercayaan mereka
terhadap kita akan menyusut jika mereka tahu tujuan ghibah kita. Kalau pun kita
bisa mendapatkan kepercayaan manusia karena perbuatan kita itu, toh mereka
tidak akan berguna sedikit pun di hadapan Alloh.
Sedangkan
ghibah karena iri dan dengki, berarti menghimpun dua siksaan. Di dunia tersiksa
oleh bara kedengkian dan di akhirat tersiksa api neraka.
Tebusan Ghibah
Sebagian
ulama berpendapat, orang yang mengghibah harus menyesali perbuatannya dan bertaubat,
agar dia keluar dari hak Alloh, kemudian membayar denda, agar dia bebas dari kezholimannya.
Menurut
Al-Hasan, pelaku ghibah cukup memohon ampun tanpa harus membayar denda.
Menurut
Mujahid, denda atas tindakan ‘memakan daging saudaranya’ ialah memujinya dan
berdo’a bagi dirinya.
Atho’
bin Abu Robbah pernah ditanya tentang taubat ghibah, dia menjawab, “Dia harus
menemui saudaranya yang dighibah seraya berkata, ‘Aku telah berkata dusta
tentang dirimu dan menzholimi dirimu. Jika engkau mau, maka engkau bisa berbuat
menurut hakmu, dan jika engkau mau, maka engkau bisa memaafkan aku’.”
Mari
kita renungkan hadits Rosululloh shollallohu
‘alaihi wa sallam dari Abu Huroiroh berikut ini.
“Barangsiapa yang
pernah menganiaya saudaranya baik yang berhubungan dengan kehormatan diri
maupun sesuatu yang berhubungan dengan yang lain, maka hendaklah ia minta
dihalalkan (minta maaf) sekarang juga sebelum datangnya saat dimana dinar dan
dirham tidak berguna, dimana bila ia mempunyai amal salih maka amal itu akan
diambil sesuai dengan kadar penganiayaannya, dan bila ia tidak mempunyai
kebaikan maka kejahatan orang yang dianiaya itu diambilnya dan dibebankan
kepadanya”. (HR. Bukhori).
Majelis Amar Ma’ruf
Nahi Munkar atau Majelis Ghibah?
Diantara
bentuk perbuatan yang harus selalu diwaspadai oleh setiap muslim khususnya para
da’i adalah berkumpulnya mereka dalam ‘majelis amar ma’ruf nahi munkar’, namun
sebenarnya ia adalah ‘majelis ghibah’. Bagaimana tidak disebut demikian, jika
setiap kali berkumpul di majelis itu, selalu saja disediakan santapan berupa
daging saudaranya sesama muslim, minumannya adalah kehormatannya, buah-buah
hidangannya adalah aib-aibnya, dan manisannya adalah kekurangan-kekurangannya.
Majelis itu hanya diisi dengan serangan terhadap kehornatan orang-orang muslim
dan mencari-cari kekurangan mereka. Semua itu kemudian dianggapnya sebagai
‘amar ma’ruf nahi munkar’.
Al-Ghozaly
berkata, “Persoalan ghibah merupakan sesuatu yang paling rumit dan tersamar,
karena ia merupakan kejahatan yang disembunyikan setan dalam selimut kebaikan.
Memang disitu ada kebaikan, kemudian setan memupuknya dengan kejahatan.”
Prosedur
amar ma’ruf nahi munkar itu sangat jelas, seperti disabdakan oleh Nabi shollallohu ‘alihi wa sallam:
"Barang siapa
di antara kamu melihat kemunkaran maka ubahlah ia dengan tangannya, jika ia
tidak mampu maka ubahlah dengan lisannya, jika ia tidak mampu maka ubahlah
dengan hati, dan yang demikian itu selemah-lemah iman" (HR. Muslim).
Dari
hadits di atas kita mengetahui bahwa jika seorang mukmin melihat kemungkaran,
yang harus dilakukannya adalah merubah dengan tangan atau kekuasaannya. Namun
jika tidak mampu, ia harus menghadapinya dengan menggunakan lisan, yakni
mendatangi orang yang berbuat munkar, berhadapan langsung dengannya untuk
memberikan nasihat. Tetapi kalau cara ini tidak memungkinkan, maka berikutnya
yang harus dilakukan adalah mengingkarinya dengan hati.
Marah
karena Alloh tidak mengharuskan seseorang menyebutkan nama pelaku kemungkaran
atau menunjuknya secara langsung. Apalagi menyebutnya di tengah-tengah majelis
dimana disana berkumpul orang-orang dengan beragam niatnya. Ada orang yang
datang hanya untuk mengisi kekosongan waktu dengan sedikit kesenangan dan obrolan
yang sejalan dengan tuntunan hawa nafsunya, dan ada pula orang-orang yang
sengaja datang untuk mendengar informasi ghibah.
Pada
diri Rosululloh shollallohu alaihi wa
sallam terdapat teladan yang baik. Beliau tidak pernah menunjuk secara
langsung. Jika beliau tidak menyukai sesuatu pada diri seseorang, maka beliau
bertanya, “Bagaimana keadaan segolongan orang yang begini dan begitu, atau
berbuat begini dan begitu?” atau pertanyaan lain yang serupa dengan ini.
Dari
‘Aisyah rodhiyallohu ‘anha, dia
berkata, “Jika Nabi shollallohu alaihi wa
sallam mendengar sesuatu pada diri seseorang, maka beliau tidak bertanya,
“Ada apa Fulan berkata begitu?” Tetapi beliau bertanya, “Ada apa segolongan
orang berkata begini dan begini?”
Nabi shollallohu alaihi wa sallam bersabda,
“Muslim itu saudara muslim lainnya, tidak menzholiminya, tidak
menelantarkannya, dan tidak merendahkannya.” (HR. Muslim).
Menurut
An-Nawawy, perkataan Nabi: “Tidak menelantarkannya”, maksudnya tatkala melaksanakan
amar ma’ruf nahi munkar, atau tatkala menuntutnya suatu hak tertentu.
Seharusnya dia menolongnya, membantunya dan menjaganya sekuat tenaga. Perkataan
beliau: “Tidak merendahkannya”, artinya dia tidak boleh menganggap dirinya
lebih baik daripada yang lain, tetapi dia harus menganggap bahwa orang lain
lebih baik darinya, atau tidak menganggap apa pun. Sebab apa yang terjadi
kemudian masih tersamar dan seseorang tidak tahu bagaimana kesudahannya.
Seorang
muslim yang baik harus marah karena Alloh kepada teman-temannya yang
menyebutkan keburukan seseorang. Sebab mereka telah mendurhakai Rabb mereka
dengan dosa yang amat keji, yaitu ghibah. Membenarkan ghibah sama dengan ghibah
itu sendiri. Orang yang mendengarkan ghibah merupakan sekutu orang yang mengghibah,
kecuali jika dia mengingkari atau membela kehormatan saudaranya.
Dari
‘Utbah bin Malik rodhiyallohu ‘anhu,
dia berkata, “Ada beberapa orang di antara mereka berkata, ‘Mana Malik bin
Ad-Dukhoisyin?” Maksudnya anak Dahsyam.
Lalu
sebagian menanggapi, “Itulah orang munafik yang tidak mencintai Alloh dan Rosul-Nya.”
Rosululloh
shollallohu alaihi wa sallam berkata,
“Janganlah kamu berkata begitu! Tidakkah kamu tahu bahwa dia telah mengucapkan:
‘Tiada Ilah selain Alloh’, dan dia menghendaki keridhoan Alloh?”
‘Utban
berkata, “Alloh dan Rosul-Nya lebih mengetahui. Sesungguhnya kami juga tahu
nasihat yang diberikannya kepada orang-orang munafik.”
Beliau
shollallohu alaihi wa sallam berkata,
“Sesungguhnya Alloh telah mengharamkan api neraka terhadap orang yang berkata:
‘La ilaha illalloh’, yang dengan
ucapan ini dia mencari keridhoan Alloh.”
Begitulah
tindakan Rosululloh shollallohu alaihi wa
sallam yang membela kehormatan orang yang tidak ada di sisinya dan beliau
tidak suka jika orang ini dighibah atau disebut-sebut keburukannya di majelis
beliau.
Bahaya Ghibah Bagi
Gerakan Dakwah
Ghibah
sangat berbahaya bagi gerakan dakwah. Karena salah satu faktor yang dapat
merusak barisan, mengurai ikatan, dan mengguncang bangunan dakwah menurut
Ustadz Fathi Yakan, adalah lahirnya perilaku suka bergunjing, mengadu domba,
mengintai aib orang lain, banyak bicara, dan tersebarnya itu semua tanpa
kendali dengan alasan memperbaiki keadaan melalui amar makruf nahi munkar.
Penyakit
yang berbahaya ini, lanjut beliau, sayangnya telah mewarnai gerakan Islam
diseluruh wilayah Islam, baik di lingkup lokal, regional, maupun negara.
Hasilnya adalah: rasa rendah diri, goncangnya barisan, tiadanya tsiqoh, serta tersingkapnya kelemahan harokah di hadapan musuh.
Membudayanya
sikap suka bicara dan menceritakan apa yang didengar tanpa seleksi dapat
menyebabkan gerakan Islam hancur. Bermula dari mencela qiyadah lalu meragukan konsep, akhirnya hancurlah bangunan harokah sama sekali.
Ustadz
Fathi Yakan menegaskan nasihatnya kepada para pengemban dakwah yang berperilaku
seperti itu untuk takut kepada Alloh dari menodai kehormatan
saudara-saudaranya. Jangan sampai mereka melukai saudara-saudaranya itu seperti
seorang dokter memotong-motong jenazah, atau seperti tukang jagal memotong
hewan, tanpa menjaga ucapan dan etika perbedaan antar sesama, objektivitas
dalam mengeritik, serta memperhatikan pilihan kata yang tepat ketika
melemparkan pembicaraannya.
Hendaknya
mereka memperhatikan firman Alloh SWT, “Hai orang-orang yang beriman,
bertakwalah kamu kepada Alloh dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Alloh
memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu.
Barangsiapa mentaati Alloh dan Rosul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat
kemenangan yang besar.” (QS. Al-Ahzab,
33: 70-71).
Mereka
pun hendaknya merenungkan hadits berikut,
Dari Sufyan bin ‘Abdillah
rodhiyallohu ‘anhu, ia berkata, “Saya
bertanya, ‘Wahai Rosululloh, katakan kepadaku sesuatu yang bisa kujadikan
pegangan.’ Beliau menjawab, ‘Katakan bahwa Tuhanku adalah Alloh lalu istiqomahlah.’
Saya bertanya lagi, ‘Wahai Rosululloh, apa yang paling Anda khawatirkan atas
diriku?’ Rosululloh menunjuk mulutnya sendiri dan berkata, ‘Ini’.” (HR. Tirmidzi).
Kemudian
hendaknya mereka mengindahkan sabda Nabi shollallohu
‘alaihi wa sallam,
“Sungguh salah
seorang di antara kalian berbicara dengan kata-kata yang membuat murka Alloh
tanpa dipertimbangkan akibatnya, maka Alloh menetapkan dengan ucapannya itu
murka-Nya hingga hari kiamat” (HR.
Tirmidzi).
Jadi,
virus ghibah ini harus kita berantas, dan kita hambat pertumbuhannya. Terutama
di lingkungan pergerakan da'wah. Karena bagaimana kita akan mengobati
penyakit-penyakit umat, jika para aktivis, da’i, ustadz dan ulamanya tidak
mengobati penyakit-penyakitnya sendiri?
Wallohu a’lam...
Daftar Pustaka
Majalisuna Ila Aina?, Adnan Ath-Thorsyah, Pustaka
Al-Kautsar Jakarta Timur
Qobasun Min Nuri Muhammad, DR. Faiz Almath,
Gema Insani Press, Jakarta
Al-Qur’anul Karim Wa Tafsiruhu Jilid IX, Kementerian Agama
RI
Miracle The Reference Syamil Qur’an, Sygma Publishing,
Bandung
Riyadhus Sholihin, Imam An-Nawawy, CV. Toha Putra,
Semarang
Credit: al-intima.com
Credit: al-intima.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar