SETELAH mendarat
di bandara Samsuddin Noor, Banjarmasin, saya segera SMS salah seorang Akh yang saya
kenal akrab. “Akh, saya insya Alloh Jum’atan di Masjid Kampus UnLam lho.” Kebetulan
memang sudah dekat waktu Jum’atan dan memang beliau juga kuliah di Universitas
Lambung Mangkurat. Beberapa waktu saya tunggu, tak ada jawaban. Hingga seusai
Jum’atan, beberapa waktu sesudah HP saya hidupkan lagi, dia menjawab. “Antum di
sebelah mana, Akh? Saya di shoff kedua lho. Di belakang imam.”
Ah,
mana mungkin, pikir saya. Saya kan juga di shof kedua, tepat di belakang imam lagi.
Harusnya ketemu dong. Lalu saya telpon beliau. Ternyata setelah saya tanya, “Antum
Jum’atan di masjid mana?” Dia menjawab, “Di masjid dekat rumah. Ha ha ha..” Wah,
kena deh saya oleh kata bersayap ala Banjarmasin.
Ya, mereka menyebutnya mahalabiu. Sebenarnya,
beberapa waktu yang lalu, anak nakal ini juga mengerjai saya ketika kirim SMS, “Akh,
doain ya, saya lagi belanja buat pernikahan nih.” Pernikahannya sendiri? Bukan.
Kakaknya!
Mahalabiu
ini menarik. Jika saja tak dimaksudkan untuk bercanda, tentu saja berbahaya. Tidak
berbohong memang, tapi mirip overturned
assumption. Apa yang dimaksudkan komunikator, disengaja untuk berbeda dengan
maksud yang ditangkap komunikan. Orang yang memukul rata pasti menuduhnya sebagai
metodologi kemunafikan. Tetapi saya mendapati, dalam maksud bercanda, Nabi Shollalloohu ‘Alaihi wa Sallaam beberapa
kali melakukannya.
Misalnya,
ketika seorang nenek-nenek bertanya, “Ya Rosulalloh, doakan agar aku kelak memasuki
surga bersamamu.” Beliau Shollalloohu 'Alaihi
wa Sallam menjawab, “Di surga tidak ada nenek-nenek." Maksudnya baru beliau
jelaskan setelah si nenek menangis, bahwa ketika masuk surga, semua insan beriman
menjadi muda kembali. Atau ketika seseorang meminta tunggangan kepada beliau. Beliau
menjawab, “Akan kunaikkan kau ke atas anak unta.” Orang itu protes, “Ya Rosulallooh,
teganya. Badan saya kan sebesar ini. Mana mungkin anak unta itu kuat?” Tentunya
Anda sudah bisa menebak apa yang disebut Nabi sebagai anak unta.
Ah,
maaf, hanya ingin berbagi cerita tentang kunjungan ke kota seribu sungai. Sekali
lagi mahalabiu tak ada hubungannya dengan
kemunafikan. Lain di mulut lain di hati yang sering kita mudahkan sebagai definisi,
hanyalah efek dari sebuah i’tiqad di hati. Bukan inti.
Kita
memang akan bicara tentang kemunafikan. Tak ada musuh yang lebih licik dari kemunafikan
yang bersarang di ketiak keimanan. Kadang ia menjadi alat yang dimanfaatkan musuh
terang-terangan. Sering juga ia menjadi dirinya sendiri, mengambil keuntungan di
saat lengahnya barisan kebenaran.
Bibit
yang disemai pertama kali oleh Ibnu Ubay bin Salul ini berkembang menjadi
berbagai pemikiran dengan spirit yang sama menohok kebenaran dari dalam.
Penampilannya begitu memesona. Ia adalah cendekiawan yang selalu didengar
kata-katanya. Pembicaraannya begitu meyakinkan. Ia berargumen, membangun kerangka-kerangka
pikir kosong yang didengarkan dengan kagum. Tetapi ia sendiri ragu dengan yang ia
katakan, khawatir seolah ia selalu diteriaki dengan keras. Ia bicara tentang pluralisme,
tapi ia setia dengan topeng keberagamaannya sendiri. Ia bicara tentang Islam yang
membebaskan, tetapi menjajah dirinya untuk kepentingan entah siapa.
Dan apabila kamu melihat mereka, tubuh-tubuh mereka
menjadikan kamu kagum. Dan jika mereka berkata kamu mendengarkan perkataan
mereka. Mereka adalah seakan-akan kayu yang tersandar. Mereka mengira bahwa
tiap-tiap teriakan yang keras ditujukan kepada mereka. Mereka itulah musuh
(yang sebenarnya) maka waspadalah terhadap mereka; semoga Alloh membinasakan
mereka. Bagaimanakah mereka sampai dipalingkan (dari kebenaran). (QS.
Al-Munafiquun: 4)
Generasi
awal kemunafikan menganggap imannya para sahabat adalah iman orang-orang yang bodoh.
Dan kita saksikan generasi masa kininya menganggap orang-orang yang ingin menegakkan
keimanan utuh sebagaimana para sahabat, iman yang kaffah sesuai Al-Qur’an dan Sunnah,
sebagai orang-orang kolot dan primitif yang bodoh terhadap perkembangan zaman.
Apabila dikatakan kepada mereka, “Berimanlah kamu
sebagaimana orang-orang lain telah beriman”, mereka menjawab, “Akan berimankah
kami sebagaimana orang-orang yang bodoh itu telah beriman?” Ingatlah,
sesungguhnya merekalah orang-orang yang bodoh; tetapi mereka tidak tahu. (QS. Al-Baqoroh:
13)
Betapa mereka yakin
bahwa demokrasi, liberalisme, dan kesetaraan jender adalah nilai final
universal dari semua agama. Mereka berdalih ingin melakukan perbaikan dengan
semangat pluralisme, menggabungkan energi kesholihan dan kemaksiatan dalam negara
sekuler, kesamaan hakekat agama dan anti-kaffah. Tapi mereka merusak pemahaman umat
tentang ‘aqidah dan ibadah, bahkan menakut-nakuti orang dengan kata “Syari’at
Islam” yang sebenarnya indah dan mulia.
Dan bila dikatakan kepada mereka, “Janganlah kamu
membuat kerusakan di muka bumi”, mereka menjawab, “Sesungguhnya kami
orang-orang yang mengadakan perbaikan.” Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah
orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar. (QS. Al-Baqoroh:
11-12)
Sungguh
berani, mereka membahas Al-Qur’an tanpa rasa hormat tanpa getaran ketundukan
pada firmanNya. Mereka menyebut jilbab sebagai budaya Arab. Belumkah ia dengar kisah
wanita-wanita Madinah yang menyambar apa pun di dekatnya saat turunnya perintah
berjilbab, atau kisah thowaf jahiliah yang dilakukan telanjang? Bukankah mukminat
pun tidak wajib berjilbab sebelum turunnya perintah ini?
Mereka
hendak mengkritisi Rosululloh. Padahal Alloh telah menjaga dan pasti akan langsung
menegur saat beliau bersalah sekecil apapun seperti pada surah At-Tahrim atau ‘Abasa,
misalnya. Maha Suci Engkau, Ya Alloh, adakah yang terlewat dari kritikMu?
Bersandar
dalam kepura-puraan, ‘Abdulloh ibn Ubay ibn Salul dan wajah-wajah masa kininya yang
tak berubah menipu kanan dan kiri. Musuh-musuh nyata siap memberikan dukungan
dana melalui The Asia Foundation, misalnya.
Dan munafiq akan siap bekerja menjadi stuntman
bagi syaithon-syaithonnya dalam setiap aksi penentangan atau pengacauan kebenaran.
Dan bila mereka berjumpa dengan orang-orang yang
beriman, mereka mengatakan, “Kami telah beriman.” Dan bila mereka kembali
kepada syaithon-syaithon mereka, mereka mengatakan, “Sesungguhnya kami
sependirian dengan kamu, kami hanyalah berolok-olok.” (QS. Al-Baqoroh:
14)
Betapa
celaka kemunafikan, bagaikan berdiri tepat di bawah cucuran atap saat hujan deras,
bukan di dalam rumah, dan bukan di luar. Akibatnya, ia jadi lebih kuyup daripada
yang berdiri di tengah hujan sekalian. Ia berusaha mencari titik tengah keimanan
dan kekafiran, tapi sayang ini membuatnya terperosok gosong ke kerak jahannam.
Mereka dalam keadaan ragu-ragu antara yang demikian
(iman atau kafir): tidak masuk kepada golongan ini (orang-orang beriman) dan
tidak (pula) kepada golongan itu (orang-orang kafir), maka kamu sekali-kali
tidak akan mendapat jalan (untuk memberi petunjuk) baginya. Hai orang-orang
yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan
meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata
bagi Alloh (untuk menyiksamu). Sesungguhnya orang-orang munafik itu
(ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. Dan kamu
sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolong pun bagi mereka. (QS. An-Nisaa’:
143-145)[]
Credit: “Saksikan bahwa Aku Seorang
Muslim”; Salim A. Fillah; Pro-U Media
Tidak ada komentar:
Posting Komentar