Ketika sakit semakin keras dan
kematian semakin mendekat, Rosululloh saw bersabda tentang orang-orang Anshor.
Kata Nabi saw, “Setiap Nabi punya peninggalan. Dan kaum Anshor adalah
peninggalanku. Orang-orang lain makin banyak, sedang kaum Anshor sedikit.
Terimalah yang baik dari mereka, dan maafkanlah yang bersalah dari mereka.”
Rosululloh saw keluar di saat
sakitnya cukup keras. Kaum Anshor menyongsong beliau dengan anak-anak dan para
pembantu mereka. Beliau bersabda, “Demi Tuhan yang jiwaku ada di Tangan-Nya,
aku sungguh mencintai kalian. Kaum Anshor telah menunaikan kewajiban mereka.
Tinggal kalian. Maka, baikilah yang yang baik dari mereka dan maafkanlah yang
bersalah dari mereka.”
Beliau bersabda pula, “Wahai kaum
Anshor, kalian mendapat diskriminasi setelahku.”
Mereka bertanya, “Jika begitu, apa
pesan Anda?”
“Aku perintahkan kalian bersabar
sampai kalian bertemu Alloh swt dan Rosul-Nya.”
Ummu Fadhl binti al-Harits
bercerita bahwa ia mengunjungi Nabi saw pada waktu beliau sakit. Aku menangis.
Beliau mengangkat kepala, lalu bertanya, “Mengapa kamu menangis?”
“Kami mencemaskan engkau. Kami pun
tidak tahu apa yang diperbuat orang terhadap kami setelah engkau meninggal.”
Beliau menjawab, “Kalian adalah
orang-orang yang dianggap lemah setelahku.”
Kata-kata mengharukan di akhir
kehidupan Nabi saw ini saya petik dari buku karya Muhammad Mahir al-Buhairi, Saat-saat Mengharukan dalam Kehidupan Nabi
dan Sahabat. Ada yang perlu kita renungkan dari nukilan kisah yang baru
saja kita simak. Mereka yang tulus menolong, ada kalanya harus tersisih oleh
mereka-mereka yang datang kemudian. Mereka yang tulus berjuang, tak jarang
harus rela untuk dipinggirkan oleh mereka-mereka yang datang ketika pesta tepuk
tangan sudah dilangsungkan. Tetapi, perjuangan harus tetap berjalan dan
kebenaran tak boleh berhenti diperjuangkan.
Berpijak dari nukilan kisah tadi,
agaknya ada yang harus kita renungkan lebih dalam. Ada yang harus kita periksa
dengan seksama dalam diri kita, apakah kita termasuk orang-orang yang mudah
melupakan jasa besar manusia? Tak jarang, mereka-mereka yang memberi peran
sangat berarti, segera kita anggap lemah dan kita lemahkan. Terkadang itu bukan
hanya dilakukan oleh mereka-mereka yang menjadi penumpang dari keberhasilan
sebuah perjuangan, melainkan justru oleh seorang yang turut mengawali
perjuangan. Hanya saja, ia terburu merasa diri sebagai pahlawan. Ia merasa
memiliki kekuatan, sampai datang masa ketika Alloh menunjukkan bahwa ia lemah.
Kita tak berdaya kerap kali bukan
karena hilangnya kekuatan, melainkan karena kita tak tahu menghargai ketulusan.
Mereka yang dengan tulus menemani kita berjuang, mendo’akan dari kejauhan,
menyediakan tangannya untuk memupus letih dan kesedihan kita, terkadang kita
lupakan justru di saat kita hampir menuai keberhasilan. Kita terpedaya oleh
tepuk tangan yang datang dengan bergemuruh dan bergelombang, sehingga kita
menyangka di sanalah terletak kekuatan. Kita larut di dalamnya sehingga
meninggalkan sahabat-sahabat yang ikhlas hatinya mengawal perjuangan kita. Kita
tak lagi menyukai kehadiran mereka karena mereka memberi nasihat di saat orang
lain memberikan tepuk tangan.
Sekali lagi, kita salah sangka.
Kita mengira orang-orang yang menyambut dengan wajah gembira adalah para
kekasih yang tulus dan pendukung perjuangan yang ikhlas. Kita menyangka mereka
mencintai dengan sepenuh jiwa sehingga kita tak menganggap ada mereka yang dulu
menjadi penolong kita. Kita baru tersadar ketika mereka tak menyambut seruan
kita, sebab mereka memang hanyalah orang-orang yang sedang menikmati tontonan.
Tetapi di saat tersadar, tak setiap sahabat dapat kita rengkuh kembali untuk
berjuang. Bukan karena hilangnya kesetiaan… Bukan.
Credit:
“Mencari Ketenangan di Tengah Kesibukan”; Mohammad Fauzil Adhim; Pro-U Media
Tidak ada komentar:
Posting Komentar