Rabu, 13 Mei 2015

Kasih Sayang Sesama Kita

Alloh tebarkan kasih sayang di hati manusia, bukan karena perbuatan yang memang kita maksudkan untuk merebut cinta dan kasih secara langsung. Sebaliknya, tindakan untuk membangkitkan kasih sayang, tak jarang hanya melahirkan perasaan yang sementara. Sebentar ada perhatian yang besar, sesudah itu hati kembali gersang dan kering. Sebentar kita merasakan keakraban, sesudah itu dengan tetangga pun kita tak mengenalnya.

Ada perkara-perkara yang mendatangkan rasa kasih dan sayang sesama kita. Ia tak menumbuhkan kasih sayang di hati kita secara khusus, tetapi bersebab dari sanalah Alloh gerakkan hati untuk saling mengasihi. Kita saling merasakan sesama kita sebagai saudara yang penuh rasa sayang. Kita saling merasakan sesama kita sebagai saudara yang penuh rasa sayang. Ruh kita saling bertemu dan terjalin kedekatan yang erat.

Teringat saya kepada firman Alloh ‘Azza wa Jalla:

Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal sholih, kelak Alloh Yang Maha Pemurah akan menanamkan dalam (hati) mereka rasa kasih sayang. (Qs. Maryam [19]: 96)

Berkenaan dengan kasih sayang, Ibnu Abbas berkata, “Maksud kasih sayang dalam ayat ini adalah kasih sayang yang ada pada hati orang-orang Muslim.”

Apa kuncinya? Kita lihat dua hal yang tidak bisa saling dipisahkan satu sama lain dalam hadits tersebut: iman dan amal sholih. Mengimani Alloh ‘Azza wa Jalla tetapi tidak mau menyertai dengan amal sholih, adalah dusta. Sementara amal yang baik tanpa dilandasi iman yang kokoh, akan sia-sia. Di hadapan Alloh ia tidak berguna, sementara di hadapan manusia hanya mendatangkan simpati yang mungkin sangat sementara. Bahkan boleh jadi sebaliknya.

Kadang ada sebagian manusia yang menunaikan haji berkali-kali. Mereka pergi ke Tanah Suci menuju Baitulloh (Rumah Alloh), tetapi mereka belum benar-benar meninggalkan rumah kediriannya. Mereka berputar-putar mengelilingi Ka’bah dengan airmata yang berjatuhan, sementara di saat yang sama tetangganya juga sedang tidak kuat menahan airmata. Bedanya, ia menangis karena merasakan pengalaman ekstase ―dan mungkin sekadar katarsis― sementara tetangganya harus menangis karena tak ada lagi sesendok nasi yang bisa dikais untuk anaknya. Ia tahu keadaan tetangganya, tetapi tidak pernah menyisihkan sedikit dari hartanya untuk mereka.

Sebagian kita kemudian mengatakan, “Orang-orang itu sholih secara spiritual, sementara secara sosial tidak.” Tetapi kalau kita menengok firman Alloh swt, mereka bahkan dianggap dusta secara spiritual. Alloh Ta’ala berfirman, Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Yakni orang yang menghardik anak-anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. (Qs. al-Ma’un [107]: 1-3)

Tidak menganjurkan memberi makan orang miskin saja dianggap dusta secara spiritual, apalagi kalau kita memang tidak bersedia mengulurkan tangan sama sekali.


Credit: “Mencari Ketenangan di Tengah Kesibukan”; Mohammad Fauzil Adhim; Pro-U Media

Tidak ada komentar:

Posting Komentar