EJEKAN zaman Reconquesta menyebut Masjid sebagai mosque, hunian mosquito,
alias sarang nyamuk. Begitu juga kata moslem.
Jangan pernah mengambil definisinya dari buku Psikolog dunia Victor E. Frankl, Man’s Search for Meaning ataupun From the Death Camp to Existentialism.
Mengapa?
Karena Frankl,
Yahudi Austria yang survive dari kamp
konsentrasi NAZI di Auschwitz hingga Daffa itu menyebut rekan-rekannya sesama tawanan
yang tidak bisa survive di kamp
sebagai moslem. Moslem, menurut Frankl, adalah mereka yang tidak lagi memancarkan
semangat untuk hidup, putus asa, lemah, dan siap untuk dimasukkan ke kamar gas.
Saya tidak tahu dari mana dia memulai propaganda ini. Yang jelas, faktanya mengatakan
sebaliknya. Para penghuni kamp konsentrasi yang terdiri atas muslim Balkan jauh
lebih tangguh daripada para Yahudi Eropa.
Berbahasa Inggrislah.
Tetapi abadikan kata masjid seperti Al-Qur’an menamai. Tetapi sebut dan tuliskan
kata muslim sebagaimana ilmu tajwid menata lafazhnya. Maka muslim, ejaan melayu
untuk hamba yang berserah padaNya ini terasa lebih indah. Ketika sudutan dan tekanan
melanda, saudara-saudara kita berteriak, “Muslim
is not terrorist!” Dalam struktur kalimat tauhid, ini baru An-Nafyu (penafian), belum Al-Itsbaat (penetapan). Pernyataan seharusnya
tak berhenti di situ. Ya, kalau bukan teroris lalu apa?
Alhamdulillaah, di
arena Piala Dunia 2006 Jerman, WAMY (World
Assembly of Muslims – sengaja saya menulisnya begitu- Youth) membagikan 1,5 juta eksemplar buklet warna-wami dalam bahasa
Inggris dan Jerman tentang Islam dan Muslim kepada para supporter yang datang dari
berbagai bangsa. Saya tidak tahu, adakah hubungannya kemudian dengan keberanian
Zidane mempertaruhkan akhir indah kariernya demi kehormatan ibu dan agamanya.
Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang
yang menyeru kepada Alloh, mengerjakan amal yang sholih, dan berkata,
“Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri!” (QS. Fushshilat:
33)
Kegemilangan sejarah
seorang muslim terukir bukan hanya pasca risalah Muhammad Shollalloohu ‘Alaihi wa Sallam. Muslim adalah gelar agung yang sejak
semula disandang para guru peradaban cahaya. Termasuk tentu Ibrohim ’Alaihis Salaam. Dialah muslim yang haniif. Muslim yang telah memenggal berhala
dengan kapak kecerdasan serta meruntuhkan argumentasi paganisme1, membungkam
Namrud tuhan palsu2, dan dengan cantik melukiskan sesatnya menyembah
benda-benda antariksa3.
Dan berjihadlah kamu pada jalan Alloh dengan jihad
yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan
untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrohim.
Dia (Alloh) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu, dan
(begitu pula) dalam (Al-Qur’an) ini, supaya Rosul itu menjadi saksi atas dirimu
dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, maka dirikanlah sholat,
tunaikanlah zakat, dan berpeganglah kamu pada tali Alloh. Dia adalah
Pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong. (QS. Al-Hajj: 78)
Inilah muslim,
predikat sepanjang masa yang tak akan kita lepaskan sampai maut menjemput. Muslim,
sebuah panggilan indah dari pepohonan dan bebatuan yang akan berbicara di akhir
zaman tentang Yahudi, musuh kebenaran yang bersembunyi di belakangnya.
“Belum akan tiba kiamat sehingga kaum muslimin
berperang dengan Yahudi. Kaum muslimin membunuh mereka dan mereka bersembunyi
di balik batu dan pohon. Lalu batu dan pohon berkata, “Wahai Muslim, wahai ‘Abdulloh,
ini ada Yahudi di belakang saya. Mari bunuhlah ia!” (HR. Ahmad dalam Musnadnya)
Tetaplah menjadi
muslim, muslim yang bangga dengan keislamannya. Para hawari pengikut setia ‘Isa pun memberi contoh bahwa mereka bangga dengan
keislamannya.
Maka tatkala ‘Isa mengetahui keingkaran mereka (Bani
lsroil), berkatalah dia, “Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku untuk
(menegakkan agama) Alloh?” Para hawariyyin (sahabat-sahabat setia) menjawab,
“Kamilah penolong-penolong (agama) Alloh, kami beriman kepada Alloh; dan
saksikanlah bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berserah diri.” (QS. Ali ‘Imron:
52)
Para hawari murid ‘Isa telah tiada. Sementara
yang mengaku menjadi Ahli Kitab pewaris mereka telah berpaling dari Laa llaaha Illallooh. Saudaraku, ini giliran
kita. Kita muslim sejati, yang selalu mengajak semua manusia kembali pada kebenaran
fitrah, tapi kalau mereka berpaling, cukup katakan dengan bangga dan penuh kemuliaan
bahwa kita adalah muslim.
Katakanlah, “Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang)
kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan
kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Alloh dan tidak kita persekutukan Dia
dengan sesuatu pun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain
sebagai tuhan selain Alloh”. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada
mereka, “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada
Alloh).”
(QS. Ali ‘Imron: 64)
Seribu, seratus, sepuluh,
ataupun sesatu, muslim sejati takkan pernah ragu untuk berkata, “Saksikan bahwa
Aku Seorang Muslim!” []
1 Tersebut dalam A-Qur’an, Surat Al-Anbiya’:
52-67
2 Tersebut dalam Al-Qur’an, Surat Al-Baqoroh:
258
3 Tersebut dalam Al-Qur’an, Surat Al-An’am:
75-83
Credit: “Saksikan bahwa Aku Seorang Muslim”;
Salim. A. Fillah; Pro-U Media
Tidak ada komentar:
Posting Komentar