Senin, 18 Mei 2015

Drama Serenteng Rantai Besi

Dari Mesir ke Irak, lelaki itu dipaksa pergi. Dengan siksaan yang mungkin hanya dirinya yang kuat. Yusuf ibn Yahya al-Buwaithi namanya. Lelaki sholih, banyak berbuat kebajikan, rajin ibadah. Terkenal mengkhotamkan al-Qur'an sering hanya dalam satu hari satu malam. Ia adalah murid dan juga penerus Imam Syafi'i. Yusuf harus mengendarai keledai dengan digantungi seberat 40 ritel besi. Di lehernya dikalungi besi, kakinya diikat. Antara kalung di leher dan besi di kaki itu masih diikat lagi dengan rantai besi. Sebabnya, ia tidak mau mengakui bahwa al-Qur'an itu adalah makhluk. Sebuah doktrin baru yang aneh dan menyimpang di masanya, yang kemudian sangat dikenal dalam sejarah Islam sebagai fitnah Mu'tazilah tentang al-Qur'an adalah makhluk.

Orang-orang memintanya agar menyerah saja. Tetapi dengan tegas ia mengatakan, "Di belakangku ada ratusan ribu orang yang tak mengerti arti semua ini." Yusuf memahami betapa ia harus berjuang melawan rasa sakit, dan mungkin saja kematian yang terasa sangat dekat dalam kondisi seperti itu. Tapi ia telah memilih drama jiwa itu. Ia memutuskan, bahwa di tengah ratusan ribu orang yang ramai dengan ketidakmengertian, ia rela bertahan dalam kesendirian yang melelahkan. "Aku lebih memilih mati dengan terikat besi-besi ini agar suatu hari nanti orang-orang itu mengerti bahwa telah mati dalam mempertahankan keyakinan ini seseorang yang terbelenggu dalam ikatan-ikatan besi."

Ia ingin menggambarkan betapa serius permasalahan tersebut. Dan, begitulah orang-orang besar punya drama dan konflik jiwanya yang berbeda dengan orang-orang biasa. Kadang dahulunya sebagian mereka adalah orang-orang yang bergelimang kesalahan. Lalu sesudah itu mereka bersikap, membuat keputusan, memilih jalan hidup yang lurus, kemudian seterusnya setia dengan cita-cita luhurnya. Ada juga yang memutuskan mengambil puncak keteguhan pada momen-momen yang sangat sulit sepanjang hidupnya, ketika pertaruhannya adalah hidup atau mati. Atau mereka yang memilih berkarya, memberi dan terus memberi untuk berjuta orang dengan ilmu, sikap, arahan, dan bahkan kematian mereka pun adalah ajaran tentang kesetiaan itu sendiri. Tetapi tidak banyak orang yang menyadari betapa sepi dan sendirinya kehidupan mereka. Keramaian jiwanya digantungkan pada kerinduannya akan karunia Alloh, ampunan, dan balasan yang lebih terhormat di akhirat kelak.

Rosululloh saw bahkan termasuk orang yang paling banyak mengalami fase kesendirian dalam hidupnya. Sejak kesendirian ditinggal ayah, lalu ibunya, lalu ditinggal mati kakeknya, ditinggal mati istrinya, hingga kesendirian ditinggalkan kaumnya.

Kesendirian sebenarnya hanya suasana lain dari keunikan dan keistimewaan yang dimiliki seseorang. Maka, ketika sejarah banyak mencatat kesendirian orang-orang besar, sesungguhnya kesendirian itu bukan duka maupun kesedihan. Kesendirian orang-orang besar dalam sejarahnya, adalah justru merupakan tahap pemunculan keistimewaan dan keunikannya yang berbeda dan istimewa dibanding orang-orang pada zamannya.

Karenanya, Rosululloh saw memuji orang-orang yang tetap memegang teguh agamanya di saat ia harus melawan arus fitnah yang menyesatkan. Dalam hadits yang disampaikam oleh Anas ibn Malik ra, Rosululloh saw bersabda, "Akan datang suatu zaman di mana orang yang berpegang pada agamanya seperti orang yang memegang bara api." (HR. Tirmidzi)

Hadits ini bisa sebagai berita tentang suatu zaman, juga sebagai petunjuk bagi kita, umatnya. Sebagai berita, hadits Rosululloh saw itu jelas menggambarkan sebuah kondisi yang sangat sulit bagi orang-orang yang ingin menegakkan kebenaran dan tetap berada di jalur kesholihan. Tetap memelihara kejujuran di tengah arus kebohongan dan kepalsuan. Tetap memelihara amal-amal taat di tengah gelombang balik amal-amal kemaksiatan. Kondisi itu akan ada, dan pasti terjadi.

Di sisi lain, hadits ini juga sebagai petunjuk bagi kita untuk lebih bersiap mengalami kondisi sulit jika kita ingin tetap memegang teguh nilai-nilai kebenaran. Kuat menahan beratnya risiko mempertahankan sikap kebaikan dan kesholihan. Kuat menahan sakitnya berpegang pada kebenaran karena kita akan berada di tengah keadaan yang melawan arus. Tapi hadits ini juga memberi penghargaan tersirat dari Rosululloh saw terhadap orang-orang yang tetap bertahan di tengah gelombang yang menerpanya.

Seluruh hidup ini adalah drama. Kita menyusun sebagian besar kisahnya, menjalaninya, dan kemudian menutupnya dengan segala jenis ending. Menjadi pecundang? Pahlawan? Pemburu surga? Atau pemalas yang masa bodoh?

Pada begitu banyak orang besar itu, kita mungkin bisa mengambil semangat untuk meneguhkan kembali pendirian kita, cita-cita dan kehendak kuat untuk menjadi orang yang berguna. Mungkin kebesaran kita tak bisa menyamai mereka. Apalagi seperti drama serenteng rantai besi yang menyiksa Yusuf ibn Yahya al-Buwaithi. Tapi setiap kita bisa memulainya, setidaknya dengan memutuskan untuk memilih jalan terhormat sebagai sebenar-benar seorang muslim.

Bagi orang-orang besar itu, kesendirian bahkan bisa menjadi lebih bermakna dari kebersamaan. Kesendirian bagi mereka, justru membawa mereka pada kematangan jiwa hingga mereka berhasil mengurai rantai prestasi demi prestasi besarnya dalam hidup. Itulah makna kesendirian yang terkandung dalam pesan Ibnu Taimiyah saat berada di balik jeruji penjara, "Sesungguhnya aku menunggu saat seperti ini, karena di dalamnya terdapat kebaikan besar."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar