· Bersumpah serapah demi melepaskan diri dari
beban jihad meski ia harus dipoles dengan seribu satu kebohongan.
· Menyalahkan gema jihad meski itu datang dari
Alquran.
· Melihat benar dirinya jika duduk bersama dengan
keluarga menikmati hasil panen dari menceburkan diri di medan perang yang tidak
pasti hasilnya.
· Lebih memilih yang bersifat duniawi sementara
dari yang bernuansa ukhrawi abadi.
Mengarungi medan perang bukanlah perkara remeh. Sebelum kekuatan
fisik, asa perlu diasah, niat diteguhkan dan keyakinan digenggam kuat. Siap
perang dalam situasi apa pun dapat menjadi ukuran dan cermin tebal-tipisnya
keimanan. Yang tahu arti dan hakikat jihad di jalan Allah menyambut baik
panggilan suci ini, namun yang di pikirannya hanyalah dunia, enggan menjawab
panggilan ini. Jihad bagi kelompok terakhir ini tidak lain kecuali
bayang-bayang kematian, kerugian dan kehancuran.
Dalam bingkai perang Tabuk yang dikemas rapi Q.S. At-Taubah 9: 38,
wajah-wajah yang kalah perang sebelum bertempur tidak dapat menyembunyikan
diri. Kaki mereka lebih berat dari kaki gajah, tubuh mereka kaku tidak berdaya,
kehilangan akal, genderang perang seperti menyuarakan kematian yang pasti.
“Oh, perang lagi, perang lagi… kenapa pula kita yang diajak…
bukankah ini musim panen, anggur dan kurma menanti dipetik. Jika bukan kami,
siapa lagi, tidak mungkin anak dan istri kami yang memetik. Jika tidak segera
dipetik, hasil kebun pasti membusuk. Bukankah ini kebodohan dan kegilaan yang
nyata, apatah lagi perang kali ini sangatlah berat; di musim panas, perjalanan
jauh dan jumlah musuh yang banyak.” Keluh mereka.
Nafas-nafas kekalahan yang lagi sesak ini dibahasakan Alquran
secara lugas dengan اثَّاقَلْتُمْ. Meski ringkas, namun muatan maknanya
menyiratkan seribu satu bahasa kekalahan. Ini terlihat dari struktur kalimat
dengan huruf-hurufnya.
Kalimat yang asalnya dari تَثَاقَلْتُمْ yang kemudian huruf ta’
(ت) dilebur (diidgham) ke dalam pengucapan huruf tsa (ث) sehingga
struktur ini perlu sisipan huruf alif (ا) sebagai media penyambung untuk
menyebut huruf yang mati. Seperti rumitnya pola struktur kalimat ini dan
pengucapannya, seperti itu juga rasa galau, gunda dan ketakutan yang sedang
menyelimuti diri mereka dari gema jihad.
Kaki mereka seperti terpaku kuat di bumi, tidak dapat melangkah
meski sejengkal. Itu karena cinta dunia dan kenikmatannya. Inilah yang kemudian
membutakan hati, membuat terlena dan lupa bahwa akhirat lebih kekal dari dunia.
Makna-makna ini dikemas rapi untaian kalimat berikut ini,
اثَّاقَلْتُمْ إِلَى الْأَرْضِ .
Karena kehilangan hikmah, mereka pun ditegur keras Alqur’an,
“Hanya duniakah di hatimu, sudah tidak ada lagikah akhirat di
sana? Sulit dipercaya, tetapi seperti itulah kenyataannya. Bukankah sayap lalat
lebih berat dari isi dunia di sisi Allah. Dunia yang semestinya jadi kendaraan
mewah Anda menuju istana akhirat, justru Anda Jadikan seperti destinasi
terakhir, seakan-akan Anda tidak ingin berpisah dengannya.” Tegur keras
Alquran.
Ya, karena perang kali ini sangatlah berat dan dahsyat, Alquran
pun mengerasi mereka dengan kalimat-kalimat yang menyentuh.
Ini senada dengan sikap dan antusias Rasulullah Saw. Jika berita
dan strategi perang seringkali ditutup dan dirahasiakan meski dari orang
terdekat, Rasulullah Saw kali ini membuka lebar berita perang ini sehingga
tidak ada satu pun sudut kota Madinah kecuali menguping dan mendengar.
Olehnya itu, teguran Alquran tidak berhenti di sini saja, teguran
kali ini lebih pedas dan menggigit, “yang beriman di dunia bukanlah kalian
seorang, di sana ada umat lain yang siap menggantikan posisi mulia Anda di
barisan jihad. Jika kalian tidak keluar berjihad, boleh jadi kemuliaan ini
jatuh di tangan orang lain. Bukan hanya itu, Azab akhirat pun menanti Anda.”
Karena ini pun tidak menyengat meski dengan nada tinggi, mereka
pun diminta mengorek bukti sejarah, “jika kalian berdiam diri, tidak
memenangkan Rasulullah Saw dengan menjawab panggilan jihadnya, cukuplah Allah
penolong baginya, dan itulah sebaik-baik pertolongan. Bukankah kisah Rasulullah
dan sahabat sejatinya, Abu Bakar di saat mereka dikejar-kejar kaum Quraisy yang
ingin menghabisinya merupakan fakta yang tidak terpatahkan? Bukankah bala
tentara Allah tidak terhitung jumlahnya? Pertolongan Allah tidak dapat
diprediksi datangnya dari mana dan dengan apa. Semuanya siap memberikan
pertolongan terhadap Rasul-Nya Saw kapanpun dan di manapun. Inilah kemenangan
mutlak Rasulullah Saw secara maknawi yang selalu menyertainya sebelum
kemenangan lahiriah yang kadang jauh dari genggaman oleh sebab-sebab duniawi
seperti di perang Uhud.” Lanjutnya.
Intonasi teguran-teguran ini dari rendah ke tinggi, dari tinggi ke
datar tertata rapi di kelompok ayat Q.S. At-Taubah 9: 39-40 berikut ini
Meski nampak jelas volume tinggi teguran kelompok ayat di atas,
namun mereka tetap saja terpaku berdiam diri di tempat, memegang
khayalan-khayalan semu dan percaya desir-desir hati yang membelenggu. Olehnya
itu, mereka malu di muka dunia karena ulah sendiri. Rahasia mereka menjadi
rahasia umum sejak kelompok ayat ini diturunkan hingga hari kiamat.
“Seperti apa rahasia umum mereka?” Tanya Anda.
“Ternyata karena perjalanan panjang ke Tabuk yang menguras pikiran
dan tenaga. Andai saja di sana ada kepingan emas atau perniagaan yang
menguntungkan, tentulah mereka ikut. Olehnya itu, alasan mereka, “itu karena
tahun ini musim panen,” tidak beralasan lagi. Yang ditutupi terungkap dengan
jelas. Alquran memenangkan Rasul-Nya dan orang-orang beriman yang menyertainya
dengan cara yang sangat spektakuler.” Jawab maknawi Alquran yang terekod di
ayat berikut:
Pada dasarnya, sifat yang dibidik oleh ayat ini adalah sifat
kenifakan. Sifat yang senantiasa menginginkan kemenangan dan keuntungan meski
dengan cara yang tidak legal. Sifat khianat yang siap memberi kesetiaan dan
pengabdian jika nampak di pelupuk mata kemenangan, namun menikam kawan dari
belakang jika nampak kekalahan berpihak kepadanya. Sifat yang ingin menang
selalu meski kawan terluka, ingin kekal di atas meski kawan menjerit terinjak
di bawah, mendambakan kebahagiaan abadi meski kawan tersisi dan terusir dari
keluarga dan lingkungan. Sifat yang siap mengumbar sumpah dan janji demi meraih
maslahat pribadi atau kelompok, siap menjilat ludah sendiri demi sebuah
kemenangan semu. Karena itulah, kehancuran datang dari diri mereka sendiri,
bukan karena faktor luar.
Dari ayat ini pula diketahui rahasia teguran-teguran keras di
atas. Ya, Alquran menegur keras mereka karena ia tahu bahwa sifat malas
berjihad, lebih cinta dunia dari akhirat dan ingin menang selalu meski
menghabisi kawan merupakan media terdekat menuju kemunafikan jika dibiarkan
berterusan dan tidak ditegur keras. Olehnya itu, teguran demi teguran yang
menyengat datang menghujani.
Olehnya itu, bidikan selanjutnya Q.S. At-Taubah adalah orang-orang
munafik yang ayat-ayatnya datang setelah ayat-ayat yang enggan keluar berjihad.
Mereka disifati sebagai penebar fitnah, penipu dan pemecah kata
sepakat di antara muslimin. Berusaha memadamkan semangat jihad yang berkobar di
hati para sahabat dengan menakut-nakuti mereka dengan kekalahan dan kerugian
yang menanti di medan perang. Inilah yang kemudian direkod halus Q.S. At-Taubah
9: 46-50.
Mereka yang tidak ikut serta berjihad karena alasan konyol yang
dibuat-buat, membangun masjid ad-Dhirar, masjid yang menjadi
pusat kejahatan mereka untuk menghancurkan Islam, namun semuanya ini terekod
rapi di Q.S. At-Taubah 9: 107-109 yang mencoreng kehormatan diri mereka di
depan mata dunia.
Sungguh tinggi nilai keindahan Alquran, semuanya diberi tempat dan
pemaknaan yang sesuai, tidak ada korupsi makna atau tempat. Setiap kata,
kalimat, bahkan huruf rida dengan tempat dan makna yang dipilihkan untuk
mereka. Semuanya saling bergandengan tangan dan menyapa dalam memamerkan khazanah
Alquran yang tidak pernah kering menyuguhi hakikat-hakikat ketauhidan dan
kenabian.
Di penghujung tulisan ini, pemerhati ayat-ayat kehancuran diajak
menyimpulkan percikan tersirat makna-makna kelompok ayat di atas:
· Perang di jalan Allah merupakan testing
keimanan yang paling ampuh dalam meneropong tebal-tipisnya keimanan
dalam hati.
· Kemunafikan bukan hanya dikantongi orang-orang
munafik, tetapi boleh jadi menjangkiti orang-orang beriman.
· Kenifakan bukan hanya satu wajah, tetapi seribu
satu wajah yang siap menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi demi meraih
segenggam harapan semu.
· Selain Q.S. Al-Munafiqun, Q.S. At-Taubah menjadi boomerang yang
menghujat dan membeberkan aib orang-orang munafik di mata dunia.
· Meski tidak nyata kenifakan menyatakan perang
terhadap Islam, tetapi karena ia musuh dalam selimut, ia pun jauh lebih
berbahaya dari kemusyrikan dan kekafiran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar