Jumat, 08 Mei 2015

Kembalikan Ruh Khuthbah

SALAH satu peran yang mau tidak mau harus diambil kader da’wah saat ia memasuki wilayah pengarahan masyarakat adalah untuk berbicara kepada mereka. Berbicara dalam kerangka da’wah ternyata menjadi tidak sederhana. Kita ambil contoh paling mendasar: khuthbah Jum’at.

Saya sering sedih kalau khuthbah Jum’at berubah menjadi ‘pengajian’. Sungguh-sungguh sedih. Rukun Jum’at ini kemudian menjadi sajian nikmat pengantar tidur. Bahkan yang kalau malam insomnia pun, seolah mendapat obat mujarab. Bukan soal boleh tidaknya tidur, tapi sampai tidaknya fungsi Jum’at sebagai pengingat rutin taqwa. Al-Insaan (manusia) dekat akarnya dengan An-Nisyaan (lupa), maka Jum’at adalah mekanisme yang digariskan Alloh untuk menjadi pengingat tetap, pengingat rutin. Ah, yang salah bukan jama’ahnya. Terkadang lebih pada kita-kita yang menjadi khothib. Nah, di mana saja letak ‘ketidakberesan’ suatu khuthbah Jumat?

a.      Materi yang Disampaikan
Khuthbah Jum’at menjalankan fungsi-fungsi khusus yang tidak diemban oleh forum lain. Rukun khuthbah bahkan mencantumkan washiat taqwa sebagai hal yang harus ada. Membahas fenomena, mungkin perlu sebagai bagian dari fungsi penerangan ummat, tapi harus tetap nyambung dengan taqwa. Pembahasan yang kemana-mana sungguh tak mengenakkan.

Terkadang sebagai khothib, tanpa sadar kita ingin membeberkan semua ilmu yang kita miliki saat itu juga. Keseluruhannya. Kasihan jama’ah jadinya. Dipaksa mengikuti pola pikir yang kian kemari untuk mementerengkan diri khothib lewat berbagai paparan, kutipan, analisis, dan simpulan yang bertele. Jama’ah jum’at tidak memerlukan itu, wallohi! Makanya mereka memilih tidur. Apalagi khothib yang kesosolen (tidak bisa mengendalikan intonasi bicara karena banyaknya bahan), kata jama’ah, “Ih ganggu kenyenyakan aja!”

Rosululloh menuntunkan materi khuthbah yang ‘sederhana’ Pokoknya berujung taqwa. Itu saja. Khuthbah bukanlah kajian, pengajian, atau majelis ta’lim. Bukan. Jauh! Yang lebih sedih jika khuthbah menjadi tempat ghibah politik, ghibah sosial, apalagi ghibah individual. Solusi konkret nggak akan ketemu di Khuthbah Jum’at kok. Masing-masing forum memiliki embanan tersendiri. Jadi, kembalilah ke kesederhanaan materi.

“Rosululloh tidak tergesa menyambung pembicaraan dengan pembicaraan lain yang seperti nyerocos kalian. Akan tetapi beliau berbicara dengan perkataan yang jelas, mudah ditangkap dan diingat oleh orang yang duduk dihadapan beliau.” (HR. Al-Bukhori dan Muslim)

b.      Cara Penyampaian
Saya yakin, tidak akan ada jama’ah yang sempat tertidur jika khuthbah kita sesuai yang dituntunkan Rosululloh. Mengapa? Suasana khuthbah yang seharusnya adalah suasana perang. Suasana penuh ancaman, suasana penuh pengobaran semangat dan penuh komando karena mempertaruhkan hidup dan mati. Bahkan lebih dahsyat, karena ini soal siksa atau nikmat akhirat. Tidak ada satupun jama’ah Jum’at –termasuk khothibnya- yang boleh merasa aman dari ‘adzab Alloh. Tidak boleh! Dan pensuasanaan itu adalah tanggungjawab sang khothib!

Adalah Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam apabila berkhuthbah, kedua matanya memerah, suaranya meninggi, dan kemarahannya sungguh-sunguh. Beliau bagaikan komandan pasukan perang yang sedang berkata, “Musuh menyerang kalian pada pagi hari!” dan “Musuh datang sore-sore!” (HR. Muslim [2/592, 3/352])

Imam An-Nawawi berkata dalam Syaroh Shohih Muslim-nya, “Hal menunjukkan bahwa disunnahkan bagi khothib untuk:
1.      Memantapkan urusan khuthbah
Artinya mempersiapkan dengan cermat segala hal yang mendukung pensuasanaan. Materinya, teksnya –tetapi saya sangat tidak menganjurkan berkhuthbah dengan teks, mungkin cara berpakaian, wewangian, dan sunnah-sunnah Jum’at yang lain agar khothib nyaman dan berkonsentrasi pada khuthbahnya.
2.      Meninggikan suaranya
Artinya nadanya tinggi, berarti frekuensinya yang tinggi.
3.      Membesarkan perkataannya
Artinya amplitudonya yang tinggi.
4.      Hendaknya pembicaraannya sesuai dengan bagian yang dibicarakannya dari penekanan dan ancaman
Artinya, perhatikan intonasi.
5.      Dan kemarahannya terlihat sungguh-sungguh karena waktu itu ia memperingatkan urusan yang sangat besar dan mengancam dengan seruan yang sangat penting.”

Nah, bisakah kita menghadirkan suasana penuh ancaman, suasana penuh komando, suasana penuh motivasi, suasana medan perang dalam khuthbah Jum’at? Soal ini, kita memang harus terus belajar. Tapi belajar lho ya, jangan sampai khuthbah kita bagai cerita pengantar tidur. Kalau sampai masyarakat jauh dari taqwa, akan ada bagian pertanggungjawaban yang ditanyakan Alloh pada kita, para khothib.

c.      Waktu Penyampaian
Rosululloh itu memperpendek khuthbah dan memperpanjang sholat. Kita?

“Termasuk tanda seseorang yang pemahamannya mendalam adalah, khuthbahnya singkat, sholatnya panjang.” (HR. Muslim [2/594])

Memangnya panjang sholatnya seberapa? Baca saja surat Qoof itu yang sering dibaca Rosululloh pada sholat Jum’at sampai para sahabiyah yang hadir Jum’atan pun hafal. Tetapi yang tak kalah sering adalah surat Al-A’la ditambah Al-Ghoshiyah. Singkat sekali kan? Berarti khuthbah Rosululloh lebih pendek dari itu. Sepuluh sampai lima belas menit sudah termasuk lama.

Kok begitu? Ya, memang begitu. Mending juga singkat, padat, jelas, tepat, mengena daripada bertele tapi jama’ahnya ngiler semua. Dan secara psikologis, kebanyakan jama’ah Jum’at adalah orang yang ingin segera sholat. Pun bahkan generasi sahabat yang notabene merupakan generasi terbaik. Maka alangkah zholimnya jika kita ingin agar jama’ah Jum’at zaman sekarang mau mendengar berlarutnya cempreng suara kita, yang lebih sering menyuarakan apa yang tidak kita lakukan. Astaghfirullohal ‘Adhiim

Ada kisah tentang Musa yang merasa kurang fasih lidahnya. Jadi, jangan terlalu berkecil hati jika kecerdasan linguistik kita rendah. Belajar masih amat sangat memungkinkan. Dan Musa yang tak henti belajar membuktikan eksistensinya sebagai pemimpin bani Isroil yang sukses.

“Dan saudaraku Harun, dia lebih fasih lisannya daripadaku. Maka utuslah dia bersamaku sebagai pendamping untuk membenarkanku. Sungguh aku takut, mereka akan mendustakanku.” (QS. Al-Qoshosh: 34)

Kita sulit mencari riwayat untuk belajar tentang kefasihan Harun. Tetapi Rosul penutup, Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam adalah teladan yang lengkap. Beginilah beliau mengaktualisasi kecerdasan linguistiknya. Syaikh Shofiyurrohman Al-Mubarokfury dalam Ar-Rohiiqul Makhtuum menguraikan hal ini dengan indah –dan izinkan saya menambahkan beberapa hal yang semoga bermanfaat-.

Fasih bicaranya, lancar. Ada di antara kita yang menyukai “Ee... ee…,” atau “Apa namanya... ee…,” atau “Essshf…,” untuk mengisi keterlambatan sinyal dari otak ke mulut. Bagi beberapa pendengar, ini sungguh terdengar menyiksa. Tetap tenang, bisa dihilangkan kok. Benar. Caranya, biasakan untuk berpikir terlebih dahulu dan menyusun kalimat sebelum bicara. Jika terhenti di tengah, cukup diam saja. Insya Alloh diam lebih selamat dan lebih cepat memicu datangnya sinyal selanjutnya daripada ucapan tidak jelas.

Jelas ucapannya dan jernih kata-katanya. “A” terucap “a”, “i” terucap “i”. Semuanya jelas. Tidak nggrayem. Bunyi konsonan terdengar aksennya masing-masing. Dalam istilah ilmu tajwid, makhorijul huruuf-nya tepat dan terpelihara. Ini bisa dilatih. Sebagaimana membaca Al-Qur’an juga bisa dilatih. Dalam istilah teater ada ‘prep’, suatu latihan dengan mengucapkan berbagai vokal dengan mantap dan berulang-ulang.

Jika bicara dalam kondisi berdiri, atur napas dengan baik. Jika duduk, perhatikan posisinya agar difragma tetap bekerja maksimal. Ini berpengaruh besar terhadap kejelasan dan kefasihan bicara. Coba sesekali ‘senam lidah’. Gerakkan kanan-kiri atas-bawah depan-belakang setiap pagi selesai berolahraga. Nah begitu!

Jelas pengucapan, jelas maknanya, rinci. Tingkat abstraksi kata-katanya rendah, jadi mudah merasuk. Misalnya kalimat “Buah-buahannya dekat, airnya sejuk. Ada bidadari bermata jeli, berkulit lembut bagaikan yaqut dan marjan. Istana-istananya bagai kelip bintang. Di bawahnya ada mata air yang memancar. Penduduknya bertelekan di atas dipan-dipan. Mengenakan sutera halus dan sutera tebal berwama hiiau. Para bujang hilir mudik menyediakan kebutuhan.” Kalimat ini lebih rendah abstraksinya, jadi lebih mudah dicerna daripada “Surga yang indah permai.”

Sedikit ditahan, terkadang diulang. Agar terasa penekanannya. Agar yang mendengar mudah untuk seksama. Disisipi kata-kata yang luas maknanya, penuh hikmah. Wawasannya gagas.

Mengetahui logat-logat bangsa Arab, berbicara dengan setiap kabilah sesuai logat masing-masing. Nah ini. Kalau kita, bicara dengan orang Aceh, Medan, Padang, dan Palembang harusnya beda sekali aksen dan logatnya. Sunda Garut dengan Sunda Banten, Jawa antara gaya Solo, Jogja, Semarangan, Tegal, Purwokerto, berbeda juga. Semua, kalau bisa kita pelajari. Agar tercipta citra awal yang manis antara kita dengan mereka. Soal ini, Ustadz Mohammad Fauzil Adhim salah satu yang paling keras keinginan belajarnya.


Beliau bicara dengan eksptesi yang penuh. Tidak menoleh kecuali dengan seluruh badan. Penuh perhatian untuk mendengarkan. Memberi penekanan dengan memukulkan ibu jari kanan pada telapak tangan kiri. Berjalan dengan cepat seolah bumi dilandaikan. Ah, indahnya.

Credit: "Saksikan bahwa Aku Seorang Muslim"; Salim A. Fillah; Pro-U Media

Tidak ada komentar:

Posting Komentar