SALAH satu peran
yang mau tidak mau harus diambil kader da’wah saat ia memasuki wilayah pengarahan
masyarakat adalah untuk berbicara kepada mereka. Berbicara dalam kerangka da’wah
ternyata menjadi tidak sederhana. Kita ambil contoh paling mendasar: khuthbah
Jum’at.
Saya
sering sedih kalau khuthbah Jum’at berubah menjadi ‘pengajian’. Sungguh-sungguh
sedih. Rukun Jum’at ini kemudian menjadi sajian nikmat pengantar tidur. Bahkan
yang kalau malam insomnia pun, seolah
mendapat obat mujarab. Bukan soal boleh tidaknya tidur, tapi sampai tidaknya fungsi
Jum’at sebagai pengingat rutin taqwa. Al-Insaan
(manusia) dekat akarnya dengan An-Nisyaan
(lupa), maka Jum’at adalah mekanisme yang digariskan Alloh untuk menjadi pengingat
tetap, pengingat rutin. Ah, yang salah bukan jama’ahnya. Terkadang lebih pada kita-kita
yang menjadi khothib. Nah, di mana saja letak ‘ketidakberesan’ suatu khuthbah
Jumat?
a. Materi
yang Disampaikan
Khuthbah
Jum’at menjalankan fungsi-fungsi khusus yang tidak diemban oleh forum lain. Rukun
khuthbah bahkan mencantumkan washiat taqwa sebagai hal yang harus ada. Membahas
fenomena, mungkin perlu sebagai bagian dari fungsi penerangan ummat, tapi harus
tetap nyambung dengan taqwa. Pembahasan
yang kemana-mana sungguh tak mengenakkan.
Terkadang
sebagai khothib, tanpa sadar kita ingin membeberkan semua ilmu yang kita miliki
saat itu juga. Keseluruhannya. Kasihan jama’ah jadinya. Dipaksa mengikuti pola
pikir yang kian kemari untuk mementerengkan diri khothib lewat berbagai paparan,
kutipan, analisis, dan simpulan yang bertele. Jama’ah jum’at tidak memerlukan
itu, wallohi! Makanya mereka memilih tidur.
Apalagi khothib yang kesosolen (tidak
bisa mengendalikan intonasi bicara karena banyaknya bahan), kata jama’ah, “Ih
ganggu kenyenyakan aja!”
Rosululloh
menuntunkan materi khuthbah yang ‘sederhana’ Pokoknya berujung taqwa. Itu saja.
Khuthbah bukanlah kajian, pengajian, atau majelis ta’lim. Bukan. Jauh! Yang lebih
sedih jika khuthbah menjadi tempat ghibah politik, ghibah sosial, apalagi
ghibah individual. Solusi konkret nggak akan ketemu di Khuthbah Jum’at kok. Masing-masing
forum memiliki embanan tersendiri. Jadi, kembalilah ke kesederhanaan materi.
“Rosululloh
tidak tergesa menyambung pembicaraan dengan pembicaraan lain yang seperti nyerocos
kalian. Akan tetapi beliau berbicara dengan perkataan yang jelas, mudah ditangkap
dan diingat oleh orang yang duduk dihadapan beliau.” (HR. Al-Bukhori dan Muslim)
b. Cara Penyampaian
Saya
yakin, tidak akan ada jama’ah yang sempat tertidur jika khuthbah kita sesuai yang
dituntunkan Rosululloh. Mengapa? Suasana khuthbah yang seharusnya adalah suasana
perang. Suasana penuh ancaman, suasana penuh pengobaran semangat dan penuh komando
karena mempertaruhkan hidup dan mati. Bahkan lebih dahsyat, karena ini soal siksa
atau nikmat akhirat. Tidak ada satupun jama’ah Jum’at –termasuk khothibnya- yang
boleh merasa aman dari ‘adzab Alloh. Tidak boleh! Dan pensuasanaan itu adalah tanggungjawab
sang khothib!
Adalah
Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam apabila berkhuthbah, kedua matanya memerah, suaranya
meninggi, dan kemarahannya sungguh-sunguh. Beliau bagaikan komandan pasukan perang
yang sedang berkata, “Musuh menyerang kalian pada pagi hari!” dan “Musuh datang
sore-sore!” (HR. Muslim [2/592, 3/352])
Imam
An-Nawawi berkata dalam Syaroh Shohih Muslim-nya, “Hal menunjukkan bahwa disunnahkan
bagi khothib untuk:
1. Memantapkan
urusan khuthbah
Artinya
mempersiapkan dengan cermat segala hal yang mendukung pensuasanaan. Materinya, teksnya
–tetapi saya sangat tidak menganjurkan berkhuthbah dengan teks, mungkin cara
berpakaian, wewangian, dan sunnah-sunnah Jum’at yang lain agar khothib nyaman dan
berkonsentrasi pada khuthbahnya.
2. Meninggikan suaranya
Artinya nadanya tinggi,
berarti frekuensinya yang tinggi.
3. Membesarkan perkataannya
Artinya amplitudonya
yang tinggi.
4. Hendaknya
pembicaraannya sesuai dengan bagian yang dibicarakannya dari penekanan dan ancaman
Artinya, perhatikan
intonasi.
5. Dan
kemarahannya terlihat sungguh-sungguh karena waktu itu ia memperingatkan urusan
yang sangat besar dan mengancam dengan seruan yang sangat penting.”
Nah,
bisakah kita menghadirkan suasana penuh ancaman, suasana penuh komando, suasana
penuh motivasi, suasana medan perang dalam khuthbah Jum’at? Soal ini, kita
memang harus terus belajar. Tapi belajar lho ya, jangan sampai khuthbah kita bagai
cerita pengantar tidur. Kalau sampai masyarakat jauh dari taqwa, akan ada
bagian pertanggungjawaban yang ditanyakan Alloh pada kita, para khothib.
c. Waktu Penyampaian
Rosululloh
itu memperpendek khuthbah dan memperpanjang sholat. Kita?
“Termasuk
tanda seseorang yang pemahamannya mendalam adalah, khuthbahnya singkat, sholatnya
panjang.” (HR. Muslim [2/594])
Memangnya
panjang sholatnya seberapa? Baca saja surat Qoof
itu yang sering dibaca Rosululloh pada sholat Jum’at sampai para sahabiyah yang
hadir Jum’atan pun hafal. Tetapi yang tak kalah sering adalah surat Al-A’la ditambah Al-Ghoshiyah. Singkat sekali kan? Berarti khuthbah Rosululloh lebih
pendek dari itu. Sepuluh sampai lima belas menit sudah termasuk lama.
Kok
begitu? Ya, memang begitu. Mending juga singkat, padat, jelas, tepat, mengena
daripada bertele tapi jama’ahnya ngiler
semua. Dan secara psikologis, kebanyakan jama’ah Jum’at adalah orang yang ingin
segera sholat. Pun bahkan generasi sahabat yang notabene merupakan generasi terbaik. Maka alangkah zholimnya jika kita
ingin agar jama’ah Jum’at zaman sekarang mau mendengar berlarutnya cempreng suara kita, yang lebih sering menyuarakan
apa yang tidak kita lakukan. Astaghfirullohal
‘Adhiim…
Ada
kisah tentang Musa yang merasa kurang fasih lidahnya. Jadi, jangan terlalu berkecil
hati jika kecerdasan linguistik kita rendah. Belajar masih amat sangat
memungkinkan. Dan Musa yang tak henti belajar membuktikan eksistensinya sebagai
pemimpin bani Isroil yang sukses.
“Dan saudaraku Harun, dia lebih
fasih lisannya daripadaku. Maka utuslah dia bersamaku sebagai pendamping untuk
membenarkanku. Sungguh aku takut, mereka akan mendustakanku.”
(QS. Al-Qoshosh: 34)
Kita
sulit mencari riwayat untuk belajar tentang kefasihan Harun. Tetapi Rosul penutup,
Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam
adalah teladan yang lengkap. Beginilah beliau mengaktualisasi kecerdasan linguistiknya.
Syaikh Shofiyurrohman Al-Mubarokfury dalam Ar-Rohiiqul
Makhtuum menguraikan hal ini dengan indah –dan izinkan saya menambahkan
beberapa hal yang semoga bermanfaat-.
Fasih bicaranya, lancar.
Ada di antara kita yang menyukai “Ee... ee…,” atau “Apa namanya... ee…,” atau “Essshf…,”
untuk mengisi keterlambatan sinyal dari otak ke mulut. Bagi beberapa pendengar,
ini sungguh terdengar menyiksa. Tetap tenang, bisa dihilangkan kok. Benar. Caranya,
biasakan untuk berpikir terlebih dahulu dan menyusun kalimat sebelum bicara.
Jika terhenti di tengah, cukup diam saja. Insya Alloh diam lebih selamat dan
lebih cepat memicu datangnya sinyal selanjutnya daripada ucapan tidak jelas.
Jelas ucapannya dan jernih kata-katanya.
“A” terucap “a”, “i” terucap “i”. Semuanya jelas. Tidak nggrayem. Bunyi konsonan terdengar aksennya masing-masing. Dalam istilah
ilmu tajwid, makhorijul huruuf-nya tepat
dan terpelihara. Ini bisa dilatih. Sebagaimana membaca Al-Qur’an juga bisa dilatih.
Dalam istilah teater ada ‘prep’, suatu latihan dengan mengucapkan berbagai vokal
dengan mantap dan berulang-ulang.
Jika
bicara dalam kondisi berdiri, atur napas dengan baik. Jika duduk, perhatikan posisinya
agar difragma tetap bekerja maksimal. Ini berpengaruh besar terhadap kejelasan
dan kefasihan bicara. Coba sesekali ‘senam lidah’. Gerakkan kanan-kiri atas-bawah
depan-belakang setiap pagi selesai berolahraga. Nah begitu!
Jelas pengucapan, jelas maknanya, rinci.
Tingkat abstraksi kata-katanya rendah, jadi mudah merasuk. Misalnya kalimat “Buah-buahannya
dekat, airnya sejuk. Ada bidadari bermata jeli, berkulit lembut bagaikan yaqut dan
marjan. Istana-istananya bagai kelip bintang. Di bawahnya ada mata air yang memancar.
Penduduknya bertelekan di atas dipan-dipan. Mengenakan sutera halus dan sutera tebal
berwama hiiau. Para bujang hilir mudik menyediakan kebutuhan.” Kalimat ini lebih
rendah abstraksinya, jadi lebih mudah dicerna daripada “Surga yang indah permai.”
Sedikit ditahan, terkadang diulang.
Agar terasa penekanannya. Agar yang mendengar mudah untuk seksama. Disisipi kata-kata
yang luas maknanya, penuh hikmah. Wawasannya gagas.
Mengetahui logat-logat bangsa Arab,
berbicara dengan setiap kabilah sesuai logat masing-masing.
Nah ini. Kalau kita, bicara dengan orang Aceh, Medan, Padang, dan Palembang harusnya
beda sekali aksen dan logatnya. Sunda Garut dengan Sunda Banten, Jawa antara gaya
Solo, Jogja, Semarangan, Tegal, Purwokerto, berbeda juga. Semua, kalau bisa kita
pelajari. Agar tercipta citra awal yang manis antara kita dengan mereka. Soal ini,
Ustadz Mohammad Fauzil Adhim salah satu yang paling keras keinginan belajarnya.
Beliau bicara dengan eksptesi yang penuh.
Tidak menoleh kecuali dengan seluruh badan. Penuh perhatian untuk mendengarkan.
Memberi penekanan dengan memukulkan ibu jari kanan pada telapak tangan kiri. Berjalan
dengan cepat seolah bumi dilandaikan. Ah, indahnya.
Credit: "Saksikan bahwa Aku Seorang Muslim"; Salim A. Fillah; Pro-U Media
Tidak ada komentar:
Posting Komentar