Di
sini kita pemah bertemu
Mencari
warna seindah pelangi
Ketika
kau hulurkan tanganmu
Membawaku
ke daerah yang baru
Dan
hidupku kini ceria
(Brothers:
Untukmu Teman)
RUKUN itu selalu dipenuhi. Ada An-Nafyu, maka harus ada Al-Itsbaat. Ada penafian pada segala, maka
ada penetapan pada satu saja. Ada yang dibebas, maka ada yang diikat. Ada yang diulur,
maka ada yang dicencang. Ada yang dibenci, maka ada yang dicintai. Ada perpisahan,
maka ada kebersamaan. Selalu begitu. Fokusnya tinggal kepada siapa, mengapa, dan
bagaimana.
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal sholih,
kelak ar-Rohman akan menanamkan dalam hati mereka rasa kasih sayang.” (QS. Maryam: 96)
Keimanan benar-benar
telah mengikat hati para hamba Alloh dalam kasih sayang yang menggetarkan. Ini bukan
lagi ikatan-ikatan semu: darah, kabilah, kewilayahan, ras, dan warna kulit. Islam
memproklamirkan sebuah majelis mulia yang di sana duduk sejajar mesra Abu Bakar
bangsawan Arab, Shuhaib imigran Romawi, Salman pengembara Persia, dan tentu juga
Bilal, bekas budak Negro Habasyah.
Generasi pertama ummat
ini begitu menghayati makna janji setia sebagai sebuah ikrar kebersamaan. Muhajirin
dan Anshor telah mencontohkan kebersamaan paling indah dalam sejarah. Mereka tidak
ingin mencontoh Bani Isroil yang lancang menyuruh Musa berperang bersama Robbnya
sementara mereka menunggu sambil duduk-duduk. Tidak! Sa’ad ibn Mu’adz, ‘Ubadah ibn
Shomit, dan Sa’ad ibn Ubadah telah berikrar, “Kami telah berbai’at untuk mendengar
dan taat di tiap saat.”
Inilah, di antara makna-makna
kebersamaan itu.
Pertama:
Bersama Artinya Bersaudara
“Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, maka
damaikanlah di antara kedua saudaramu, dan bertakwalah kepada Alloh, agar kamu
mendapat rohmat.”
(QS. Al-Hujurot: 10)
Ayat ini mengingatkan
saya pada Hasan Al-Bashri, ulama besar tabi’in itu. standar paling mudah untuk ‘bersaudara’
menurut beliau adalah, saat seseorang dengan bebas mengakses kantong uang
saudaranya. Dalam kalimat ‘Abdulloh ibn ‘Umar Rodhiyallohu ‘Anhu, ini menjadi berbunyi, “Kami pernah melalui suatu
masa, di mana seseorang melihat bahwa dirinya tidak lebih berhak atas dirham dan
dinar miliknya dibanding saudaranya.” Begitulah mereka melukiskan persaudaraan di
zamannya. Dan kita?
“Perumpamaan
orang-orang yang beriman dalam cinta mencintai, sayang menyayangi, dan bantu membantu
di antara sesamanya laksana sebuah jasad. Apabila salah satu bagiannya sakit, yang
lain tiada bisa tidur di malam hari, dan menggigil demam.” (HR. Muslim, dari An-Nu’man
ibn Basyir)
Suatu ketika,
orang-orang kaya muallaf –sejak zaman
Rosululloh- yang lidahnya selalu terjulur kepada dunia mendatangi Kholifah Abu Bakar.
“Mana bagian kami dari zakat?”, tanya mereka. Abu Bakar lalu nenulis surat perintah
kepada ‘Umar. ‘Umar sebagai Qodhi (hakim) akan memeriksa kelayakan dan kemudian
mengesahkan ‘pencairan dana’ yang akan disampaikan pada Abu ‘Ubaidah ibn Al-Jarroh,
pengurus Baitul Maal. Ketika mereka mendatangi ‘Umar, ‘Umar malah merobek surat
itu. Ia menganggap mereka sudah tidak layak menerima zakat.
Dengan ketakutan mereka
melapor kepada Abu Bakar, “Sebenamya kholifahnya itu kamu ataukah ‘Umar?”, tanya
mereka. “‘Umar adalah kholifah kapan pun dia mau!”, jawab Abu Bakar. Inilah ekspresi
Abu Bakar tentang kebersamaan cintanya dengan ‘Umar, rasa saling mengerti yang
sulit dimengerti kecuali dalam bahasa cinta.
Ada sebuah kalimat
Rosululloh yang membuat hati Anas ibn Malik begitu tenteram berbunga-bunga.
Yakni kalimat bahwa seseorang akan bersama dengan yang dicintainya di akhirat nanti.
Kata Anas, “Aku bisa berharap untuk membersamai Rosululloh, Abu Bakar, dan ‘Umar
di surga nanti. Karena, meski amalanku tak sebaik amalan mereka, tetapi aku sangat
mencintai mereka.” Ah indahnya. Siapa yang kau cintai saudaraku?
Persaudaraan ‘aqidah
ini tak menghendaki perubahan meski harus berbeda posisi sampai berhadapan menyikapi
sebuah kejadian. Apa kata Ammar bin Yasir yang selalu mendampingi ‘Ali dalam insiden
perang berunta menghadapi trio Tholhah-Zubair-’Aisyah ketika salah seorang anggota
pasukan mencela sang ibunda, ‘Aisyah Rodhiallohu
‘Anha?
“Diam kau, wahai si
buruk laku! Akankah kau sakiti kecintaan Rosululloh, yang telah dibebaskan Alloh
dari segala tuduhan? Demi Alloh, ‘Aisyah adalah isteri beliau di dunia dan di surga.
Hanya saja kini Alloh hendak menguji kita, apakah kepadaNya kita taat atau kepadanya!”
Zubair segera
tersedu ketika ‘Ali mengingatkan saat mereka bersama Rosululloh dan beliau bersabda,
“Zubair, apakah engkau mencintai ‘Ali? Kalau suatu ketika kau memeranginya, engkau
yang menzholiminya!” Tholhah yang pemalu segera menangis tersipu membuang pedang
ketika ‘Ali mengingatkan sebab turunnya larangan menikahi janda Rosululloh, yaitu
keinginan Tholhah menikahi ‘Aisyah, dan kini –setelah Rosululloh wafat- ia malah
mengajaknya serta berperang.
Jangan lupakan kebersamaan
Mu’awiyah dan ‘Ali sebagai sesama penulis wahyu. Bukankah tangis Mu’awiyah
sampai membasah jenggot ketika mendengar Dhoror mengisahkan keutamaan ‘Ali saat
ia wafat ditikam di Masjid Kufah pada suatu shubuh. “Demi Alloh, memang
begitulah Abul Hasan. Bagaimana sedihmu atas dirinya, wahai Dhoror?”
“Seperti kesedihan
seorang ibu yang anaknya disembelih di atas pangkuannya sendiri, tak akan putus
tangisnya sampai ajal menjemput!”
Akhirnya,
kebersamaan yang penuh atmosfer persaudaraan dan getaran cinta ini menjanjikan keagungan
karunia berupa mimbar cahaya, mimbar yang membuat iri jajaran manusia-manusia mulia.
“Alloh ‘Azza wa Jalla berfirman, “Mereka yang saling
mencintai karena keagunganKu mempunyai mimbar-mimbar dari cahaya yang dinginkan
oleh para Nabi dan para Syuhada.” (HR. At-Tirmidzi dari Mu’adz ibn Jabal)
Siapkah hati, jiwa,
raga, dan harta kita untuk bersaudara?
Siapkah mata, telinga,
lisan, dan tangan kita untuk bersaudara?
Kedua:
Bersama Artinya Berjuang
“Dan berapa banyaknya para Nabi yang berperang
bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut(nya) yang bertakwa. Mereka
tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Alloh, tidak lesu,
dan tidak (pula) menyerah. Dan Alloh menyukai orang-orang yang sabar.” (QS. Ali ‘Imron: 146)
Kebersamaan dalam
ikatan ‘aqidah akan mengikrarkan sebuah perjuangan untuk menegakkan ‘aqidah itu.
Tiada kemuliaan tanpa perjuangan. Sebuah kaidah telah digoreskan, bahwa ‘aqidah
ini adalah mulia, dan ia akan mulia dengan perjuangan para penegaknya. Wahai pejuang,
perjuangan pertama yang harus kau tegakkan adalah melawan nafsu diri agar mampu
bersabar dalam kebersamaan!
“Dan sabarkanlah dirimu untuk selalu bersama dengan orang-orang
yang menyeru kepada Robbnya di pagi dan senja hari dengan mengharap
keridhoanNya. Dan janganlah kamu palingkan kedua matamu dari mereka karena mengharap
perhiasan kehidupan dunia.” (QS. Al –Kahfi: 28)
Dalam perjuangan itu,
musnah segala khawatir dan takut.. Hilang gelisah, resah, dan kalut. Karena
kebersamaan yang kita ukir begitu meneguhkan. Kebersamaan yang menyandarkan kekuatannya
kepada Alloh, Dzat yang telah meridhoi kebersamaan dan persaudaraan ini.
“(Yaitu) orang-orang yang kepada mereka manusia
mengatakan, “Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerangmu,
karena itu takutlah kepada mereka!” Maka perkataan itu menambah keimanan mereka,
dan mereka mengatakan, “Cukuplah Alloh menjadi Penolong dan Dialah sebaik-baik Pelindung!” (QS. Ali ‘Imron: 173)
Bahkan di kala jumlah
jauh lebih sedikit dan peralatan terbatas, kebersamaan yang disandarkan kepada Alloh
ini sekali lagi menjadi inspirator kekuatan dalam perjuangan.
Dan orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan
menemui Alloh berkata, “Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan
golongan yang lebih banyak dengan izin Alloh. Dan Alloh beserta orang-orang yang
sabar.”
(QS. Al-Baqoroh: 249)
Kesulitan, kerepotan,
rasa sakit... semua yang ada dalam kebersamaan perjuangan imani ini melahirkan kegemilangan
itsar yang tiada duanya dalam sejarah.
Puncak persaudaraan yang menembus langit-langit peradaban ini, menjadi fragmen nilai
termahal. Ah, indahnya kebersamaan dalam perjuangan.
Malam siang berlalu
Gerhana kesayuan, tiada berkesudahan
Detik masa berganti, tiada berhenti
Oh syahdunya…
Sejenak ku terkenang
Hakikat perjuangan, penuh onak dan cabaran
Bersama teman-teman, arungi kehidupan
Oh indahnya…
(Brothers: Selamat Berjuang)[]
Credit: “Saksikan bahwa Aku Seorang
Muslim”; Salim A. Fillah; Pro-U Media
Tidak ada komentar:
Posting Komentar