Sabtu, 02 Mei 2015

Kebersamaan

Di sini kita pemah bertemu
Mencari warna seindah pelangi
Ketika kau hulurkan tanganmu
Membawaku ke daerah yang baru
Dan hidupku kini ceria
(Brothers: Untukmu Teman)

RUKUN itu selalu dipenuhi. Ada An-Nafyu, maka harus ada Al-Itsbaat. Ada penafian pada segala, maka ada penetapan pada satu saja. Ada yang dibebas, maka ada yang diikat. Ada yang diulur, maka ada yang dicencang. Ada yang dibenci, maka ada yang dicintai. Ada perpisahan, maka ada kebersamaan. Selalu begitu. Fokusnya tinggal kepada siapa, mengapa, dan bagaimana.

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal sholih, kelak ar-Rohman akan menanamkan dalam hati mereka rasa kasih sayang.” (QS. Maryam: 96)

Keimanan benar-benar telah mengikat hati para hamba Alloh dalam kasih sayang yang menggetarkan. Ini bukan lagi ikatan-ikatan semu: darah, kabilah, kewilayahan, ras, dan warna kulit. Islam memproklamirkan sebuah majelis mulia yang di sana duduk sejajar mesra Abu Bakar bangsawan Arab, Shuhaib imigran Romawi, Salman pengembara Persia, dan tentu juga Bilal, bekas budak Negro Habasyah.

Generasi pertama ummat ini begitu menghayati makna janji setia sebagai sebuah ikrar kebersamaan. Muhajirin dan Anshor telah mencontohkan kebersamaan paling indah dalam sejarah. Mereka tidak ingin mencontoh Bani Isroil yang lancang menyuruh Musa berperang bersama Robbnya sementara mereka menunggu sambil duduk-duduk. Tidak! Sa’ad ibn Mu’adz, ‘Ubadah ibn Shomit, dan Sa’ad ibn Ubadah telah berikrar, “Kami telah berbai’at untuk mendengar dan taat di tiap saat.”

Inilah, di antara makna-makna kebersamaan itu.

Pertama: Bersama Artinya Bersaudara
“Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, maka damaikanlah di antara kedua saudaramu, dan bertakwalah kepada Alloh, agar kamu mendapat rohmat.” (QS. Al-Hujurot: 10)

Ayat ini mengingatkan saya pada Hasan Al-Bashri, ulama besar tabi’in itu. standar paling mudah untuk ‘bersaudara’ menurut beliau adalah, saat seseorang dengan bebas mengakses kantong uang saudaranya. Dalam kalimat ‘Abdulloh ibn ‘Umar Rodhiyallohu ‘Anhu, ini menjadi berbunyi, “Kami pernah melalui suatu masa, di mana seseorang melihat bahwa dirinya tidak lebih berhak atas dirham dan dinar miliknya dibanding saudaranya.” Begitulah mereka melukiskan persaudaraan di zamannya. Dan kita?

“Perumpamaan orang-orang yang beriman dalam cinta mencintai, sayang menyayangi, dan bantu membantu di antara sesamanya laksana sebuah jasad. Apabila salah satu bagiannya sakit, yang lain tiada bisa tidur di malam hari, dan menggigil demam.” (HR. Muslim, dari An-Nu’man ibn Basyir)

Suatu ketika, orang-orang kaya muallaf –sejak zaman Rosululloh- yang lidahnya selalu terjulur kepada dunia mendatangi Kholifah Abu Bakar. “Mana bagian kami dari zakat?”, tanya mereka. Abu Bakar lalu nenulis surat perintah kepada ‘Umar. ‘Umar sebagai Qodhi (hakim) akan memeriksa kelayakan dan kemudian mengesahkan ‘pencairan dana’ yang akan disampaikan pada Abu ‘Ubaidah ibn Al-Jarroh, pengurus Baitul Maal. Ketika mereka mendatangi ‘Umar, ‘Umar malah merobek surat itu. Ia menganggap mereka sudah tidak layak menerima zakat.

Dengan ketakutan mereka melapor kepada Abu Bakar, “Sebenamya kholifahnya itu kamu ataukah ‘Umar?”, tanya mereka. “‘Umar adalah kholifah kapan pun dia mau!”, jawab Abu Bakar. Inilah ekspresi Abu Bakar tentang kebersamaan cintanya dengan ‘Umar, rasa saling mengerti yang sulit dimengerti kecuali dalam bahasa cinta.

Ada sebuah kalimat Rosululloh yang membuat hati Anas ibn Malik begitu tenteram berbunga-bunga. Yakni kalimat bahwa seseorang akan bersama dengan yang dicintainya di akhirat nanti. Kata Anas, “Aku bisa berharap untuk membersamai Rosululloh, Abu Bakar, dan ‘Umar di surga nanti. Karena, meski amalanku tak sebaik amalan mereka, tetapi aku sangat mencintai mereka.” Ah indahnya. Siapa yang kau cintai saudaraku?

Persaudaraan ‘aqidah ini tak menghendaki perubahan meski harus berbeda posisi sampai berhadapan menyikapi sebuah kejadian. Apa kata Ammar bin Yasir yang selalu mendampingi ‘Ali dalam insiden perang berunta menghadapi trio Tholhah-Zubair-’Aisyah ketika salah seorang anggota pasukan mencela sang ibunda, ‘Aisyah Rodhiallohu ‘Anha?

“Diam kau, wahai si buruk laku! Akankah kau sakiti kecintaan Rosululloh, yang telah dibebaskan Alloh dari segala tuduhan? Demi Alloh, ‘Aisyah adalah isteri beliau di dunia dan di surga. Hanya saja kini Alloh hendak menguji kita, apakah kepadaNya kita taat atau kepadanya!”

Zubair segera tersedu ketika ‘Ali mengingatkan saat mereka bersama Rosululloh dan beliau bersabda, “Zubair, apakah engkau mencintai ‘Ali? Kalau suatu ketika kau memeranginya, engkau yang menzholiminya!” Tholhah yang pemalu segera menangis tersipu membuang pedang ketika ‘Ali mengingatkan sebab turunnya larangan menikahi janda Rosululloh, yaitu keinginan Tholhah menikahi ‘Aisyah, dan kini –setelah Rosululloh wafat- ia malah mengajaknya serta berperang.

Jangan lupakan kebersamaan Mu’awiyah dan ‘Ali sebagai sesama penulis wahyu. Bukankah tangis Mu’awiyah sampai membasah jenggot ketika mendengar Dhoror mengisahkan keutamaan ‘Ali saat ia wafat ditikam di Masjid Kufah pada suatu shubuh. “Demi Alloh, memang begitulah Abul Hasan. Bagaimana sedihmu atas dirinya, wahai Dhoror?”

“Seperti kesedihan seorang ibu yang anaknya disembelih di atas pangkuannya sendiri, tak akan putus tangisnya sampai ajal menjemput!”

Akhirnya, kebersamaan yang penuh atmosfer persaudaraan dan getaran cinta ini menjanjikan keagungan karunia berupa mimbar cahaya, mimbar yang membuat iri jajaran manusia-manusia mulia.

“Alloh ‘Azza wa Jalla berfirman, “Mereka yang saling mencintai karena keagunganKu mempunyai mimbar-mimbar dari cahaya yang dinginkan oleh para Nabi dan para Syuhada.” (HR. At-Tirmidzi dari Mu’adz ibn Jabal)

Siapkah hati, jiwa, raga, dan harta kita untuk bersaudara?
Siapkah mata, telinga, lisan, dan tangan kita untuk bersaudara?

Kedua: Bersama Artinya Berjuang
“Dan berapa banyaknya para Nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut(nya) yang bertakwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Alloh, tidak lesu, dan tidak (pula) menyerah. Dan Alloh menyukai orang-orang yang sabar.” (QS. Ali ‘Imron: 146)

Kebersamaan dalam ikatan ‘aqidah akan mengikrarkan sebuah perjuangan untuk menegakkan ‘aqidah itu. Tiada kemuliaan tanpa perjuangan. Sebuah kaidah telah digoreskan, bahwa ‘aqidah ini adalah mulia, dan ia akan mulia dengan perjuangan para penegaknya. Wahai pejuang, perjuangan pertama yang harus kau tegakkan adalah melawan nafsu diri agar mampu bersabar dalam kebersamaan!

“Dan sabarkanlah dirimu untuk selalu bersama dengan orang-orang yang menyeru kepada Robbnya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhoanNya. Dan janganlah kamu palingkan kedua matamu dari mereka karena mengharap perhiasan kehidupan dunia.” (QS. Al –Kahfi: 28)

Dalam perjuangan itu, musnah segala khawatir dan takut.. Hilang gelisah, resah, dan kalut. Karena kebersamaan yang kita ukir begitu meneguhkan. Kebersamaan yang menyandarkan kekuatannya kepada Alloh, Dzat yang telah meridhoi kebersamaan dan persaudaraan ini.

“(Yaitu) orang-orang yang kepada mereka manusia mengatakan, “Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerangmu, karena itu takutlah kepada mereka!” Maka perkataan itu menambah keimanan mereka, dan mereka mengatakan, “Cukuplah Alloh menjadi Penolong dan Dialah sebaik-baik Pelindung!” (QS. Ali ‘Imron: 173)

Bahkan di kala jumlah jauh lebih sedikit dan peralatan terbatas, kebersamaan yang disandarkan kepada Alloh ini sekali lagi menjadi inspirator kekuatan dalam perjuangan.

Dan orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Alloh berkata, “Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang lebih banyak dengan izin Alloh. Dan Alloh beserta orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqoroh: 249)

Kesulitan, kerepotan, rasa sakit... semua yang ada dalam kebersamaan perjuangan imani ini melahirkan kegemilangan itsar yang tiada duanya dalam sejarah. Puncak persaudaraan yang menembus langit-langit peradaban ini, menjadi fragmen nilai termahal. Ah, indahnya kebersamaan dalam perjuangan.

Malam siang berlalu
Gerhana kesayuan, tiada berkesudahan
Detik masa berganti, tiada berhenti
Oh syahdunya…

Sejenak ku terkenang
Hakikat perjuangan, penuh onak dan cabaran
Bersama teman-teman, arungi kehidupan
Oh indahnya…
(Brothers: Selamat Berjuang)[]


Credit: “Saksikan bahwa Aku Seorang Muslim”; Salim A. Fillah; Pro-U Media

Tidak ada komentar:

Posting Komentar