menghadapi
orang sulit selalu merupakan masalah
terutama
jika orang sulit itu adalah diri kita sendiri
jika
kita merasa bahwa semua orang memiliki masalah dengan kita,
tidakkah
kita curiga bahwa diri kita inilah masalahnya?
HARI
ITU
Madinah cerah. Tetapi wilayah perkampungan Khozroj terasa hiruk pikuk. Ada
ratapan sayup-sayup. Ada yang hilir mudik mempersiapkan keperluan acara
penyelenggaraan jenazah. Rupanya, salah satu tokoh Yatsrib sekaligus duri dalam
daging yang paling menyakitkan bagi da’wah telah dipanggil Alloh ’Azza wa Jalla. Imam Ahmad mengisahkan
peristiwa meninggalnya ‘Abdulloh ibn Ubay ibn Salul itu melalui penuturan ‘Umar
ibn Khoththob.
“Ketika ‘Abdulloh
ibn Ubay meninggal,” demikian ‘Umar bercerita pada ‘Abdulloh ibn ‘Abbas seperti
terekam dalam Musnad Ahmad,
“Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam
diminta kesediaan untuk mensholatkan jenazahnya. Ketika yang memohon adalah
kawan-kawan ‘Abdulloh ibn Ubay yang munafiq, Rosululloh hanya diam. Mungkin
beliau menanti izin dari Alloh. Namun, ketika putra si mayyit, ‘Abdulloh ibn
‘Abdillah datang, beliau Shollallohu
‘Alaihi wa Sallam segera menyanggupi.”
“Pada saat beliau
sudah berdiri untuk memulai sholat jenazah,” lanjut ‘Umar, “Aku menghalangi
beliau dan berdiri tepat di depannya. Aku berkata, “Wahai Rosululloh, apakah
engkau akan sholat untuk jenazah musuhmu, yaitu ‘Abdulloh ibn Ubay ibn Salul,
yang pernah berkata, ‘Jika kita kembali ke Madinah, orang mulia pasti akan mengeluarkan
orang yang hina!’? Ingatlah bahwa dia juga yang memfitnah dan menyebarkan
berita dusta tentang ‘Aisyah dan keluargamu tercinta! Ingatlah bahwa dia yang
menghasut Anshor untuk tak menolong Muhajirin agar mereka pergi! Ingatlah bahwa
dia yang mengolok-olok Alloh, Kitab dan Rosul-Nya, serta mendirikan masjid
Dhiror! Ingatlah bahwa dia yang membocorkan rahasia kepada musuh dan membelot
lari ketika berperang!”
‘Umar dengan geram
menyebut segala kejahatan ‘Abdulloh ibn Ubay. Banyak sekali, berangkai-rangkai
tanpa putus. Sampai-sampai nafasnya memburu tak teratur.
Mendengar penuturan
‘Umar, Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa
Sallam hanya tersenyum. Beliau tetap hendak memulai takbir. Ketika ‘Umar
bersikukuh menyatakan keberatannya, beliau berkata, “Mundurlah wahai ‘Umar! Aku
telah diberi pilihan, dan aku sudah menetapkan pilihanku. Alloh menyatakan
untukku:
“Kamu memohonkan ampun bagi mereka
atau tidak kamu mohonkan ampun bagi mereka adalah sama saja. Kendatipun kamu
memohonkan ampun bagi mereka sebanyak tujuhpuluh kali, namun Alloh sekali-kali
tidak akan memberi ampunan kepada mereka.” (Qs. at-Taubah [9]: 80)
“Hai
‘Umar”, lanjut Rosululloh, “Seandainya aku tahu bahwa jika aku memohon ampunan
lebih dari tujuh puluh kali untuknya, maka Alloh akan mengampuni ‘Abdulloh ibn
Ubay, niscaya pasti kulakukan.”
Lalu
Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam
tetap melakukan sholat jenazah, mengantarnya, dan berdiri memberi penghormatan
di dekat kuburnya hingga usai. ‘Umar takjub pada kemuliaan akhlak Rosululloh
dan kejelian beliau untuk berbuat lebih dari apa yang diisyaratkan oleh Alloh.
Ketika Alloh berfirman, “Kendatipun kamu
memohonkan ampun bagi mereka sebanyak tujuhpuluh kali, namun Alloh sekali-kali
tidak akan memberi ampunan kepada mereka”, maka Sang Nabi bertekad
memohonkan ampun lebih dari tujuhpuluh kali agar ‘Abdulloh ibn Ubay bisa diampuni.
Pantaslah jika Alloh sendiri yang memuji
beliau, “Sesungguhnya engkau wahai Muhammad, berada di atas suatu akhlak yang
agung.”
“Setelah
peristiwa ini,” kata ‘Umar melanjutkan cerita, “Aku sangat terkejut atas sikap
dan kelancanganku kepada Rosululloh Shollallohu
‘Alaihi wa Sallam dalam kejadian itu, padahal Alloh dan Rosul-Nya lebih
mengetahui hakikat masalahnya.”
Tetapi
demikian pulalah ‘Umar yang agung, yang disebut Sang Nabi sebagai muhaddats, orang yang mendapat ilham
dari Alloh. Pendapatnya seringkali dibenarkan dari langit. Setelah memberi
kesempatan kepada Nabi-Nya untuk mensholatkan ‘Abdulloh ibn Ubay dan
mempertunjukkan akhlak mulia beliau pada dunia, Alloh menurunkan firman-Nya
yang membenarkan pendirian ‘Umar ibn al-Khoththob.
“Dan janganlah kamu sekali-kali
mensholatkan jenazah seorang yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu
berdiri mendoakan di atas kuburnya.” (Qs. at-Taubah [9]: 84)
YYY
Siapakah
‘Abdulloh ibn Ubay?
Inilah
kisah tentangnya pada suatu hari di tahun keenam Hijriah. Saat itu, Sang Nabi
dan para shohabat baru pulang dari perang Bani Mustholiq dan singgah di
Muroisi’, sebuah oase yang ditumbuhi banyak pohon kurma. Di tempat ini terdapat
mata air milik Bani Mustholiq. Di sinilah Rosululloh dan rombongan mengambil
air dan mengisi perbekalan mereka untuk pulang ke Madinah.
Adalah
‘Umar ibn al-Khoththob menyewa Jahjah ibn Mas’ud al-Ghifari untuk mengurus
kudanya. Jahjah yang merasa mendapat amanah segera menghambur ke mata air. Dia
ikut berdesak-desakan. Tak berapa lama, dia sudah saling serobot air dengan
Sinan ibn Wabar al-Juhani dari kabilah Juhainah. Kabilah ini adalah kaum yang
menjadi sekutu Bani Aus ibn Khozroj, orang-orang Madinah. Jahjah dan Sinan
berebut air dan berkelahi.
Sinan
berteriak memanggil bantuan, “Wahai orang-orang Anshor!”
Jahjah
pun berseru meminta pertolongan, “Wahai orang-orang Muhajirin!”
‘Abdulloh
ibn Ubay ibn Salul yang mendapat kabar pertengkaran ini naik pitam. “Apakah
para Jalabib Quroisy itu telah bersikap demikian?” serunya murka. “Apakah
mereka telah terlepas dari kita dan merasa lebih banyak dari kita di negeri
kita sendiri? Demi Alloh, kita tidak membekali diri kita dan para hina dina
Quroisy itu melainkan sebagaimana dikatakan oleh orang-orang terdahulu.
‘Gemukkanlah anjingmu, maka ia pasti memakanmu.’” Dia mendengus kesal.
“Oleh
karena itu, demi Alloh,” lanjutnya, “Bila kita telah kembali ke Madinah, maka
benar-benar orang yang mulia akan mengusir orang yang hina dari dalamnya.”
Kemudian
‘Abdulloh ibn Ubay ibn Salul berpaling kepada orang-orang yang ada disekitarnya
dan kepada setiap yang hadir dari kaumnya. “Inilah yang telah kalian perbuat
terhadap diri kalian,” semburnya. “Kalian menyediakan negeri kalian untuk
mereka. Kalian bagikan kepada mereka harta benda kalian. Demi Alloh, sekiranya
kalian tidak memberikan sarana-sarana dan bantuan kalian kepada mereka, maka
mereka pasti akan beralih kepada negeri lain, bukan ke negeri kalian!”
Zaid
ibn Arqom, seorang bocah yang mendengar hal itu segera menuju ke tempat
Rosululloh berada. Dia mengabarkan semua peristiwa yang disaksikannya dan
setiap kata yang didengarnya. ‘Umar ibn al-Khoththob yang ada di sisi Sang Nabi
berkata kepada beliau, “Perintahkanlah kepada ‘Abbad ibn Bisyir agar membunuhnya,
ya Rosulalloh!”
“Lalu
bagaimana, wahai ‘Umar,” jawab Sang Nabi, “Bila orang-orang berkata bahwa
Muhammad telah membunuh sahabatnya? Tidak! Tapi sekarang serukanlah agar semua
pasukan segera bertolak pulang.”
Dalam
perjalanan, ‘Abdulloh ibn Ubay ibn Salul segera menjajarkan kendaraannya di
sisi Sang Nabi. Dia telah mendengar bahwa Zaid ibn Arqom melaporkan
perkataannya tadi kepada Rosululloh. ‘Abdulloh ibn Ubay bersumpah dengan nama
Alloh bahwa dia tidak pernah mengatakan seperti yang dilaporkan Zaid ibn Arqom.
Apalagi dia termasuk orang yang dihormati dan tinggi kedudukannya di tengah
kaumnya.
“Wahai
Rosululloh,” demikian beberapa orang dari kalangan Anshor di dekat Sang Nabi
mohon izin bicara, “Mungkin Zaid ibn Arqom si bocah itu telah salah dalam
menyampaikan berita, dan dia tidak menyimpan dengan baik perkataan ‘Abdullon
ibn Ubay.”
‘Abdulloh
ibn Ubay melirik pada mereka. Dia tahu, mereka mengatakan hal itu sebagai rasa
hormat kepadanya dan sebagai pembelaan. Tapi hatinya sakit. Kata-kata mereka
justru terasa sebagai hinaan.
Sang
Nabi hanya diam. Sunyi di sepanjang jalan.
Setelah
‘Abdulloh ibn Ubay dan kawan-kawannya memisahkan diri dari berkendara agak di
belakang, Usaid ibn Hudhoir, pemuka Anshor, menjumpai Rosululloh dan
mengucapkan penghormatan kepada beliau dengan salam kenabian. “Wahai Nabi
Alloh,” ujarnya, “Sesungguhnya engkau telah bertolak pulang pada waktu yang
sangat aneh. Tidak seperti biasanya engkau melakukan perjalanan seperti ini.”
“Belumkah
sampai kepadamu kabar tentang sahabat kalian itu?”
“Teman
yang mana?”
“’Abdulloh
ibn Ubay.”
“Apa
yang dikatakannya, ya Rosulalloh?”
“Dia,”
kata Sang Nabi sambil memandang Usaid dengan teduh, “Menyangka bahwa
sesungguhnya bila dia kembali ke Madinah, maka orang yang lebih mulia akan
mengusir orang yang lebih hina darinya.”
“Dia
benar, ya Rosululloh,” kata Usaid. “Demi Alloh, dia benar. Dan engkau, wahai
Nabi, demi Alloh, pasti akan mengeluarkannya dari Madinah bila engkau
menghendaki. Demi Alloh, dialah yang lebih hina dan lemah. Andalah yang lebih
kuat dan perkasa!”
Wajah
Usaid ibn Hudhoir memerah. Dia tak rela Nabinya dihinakan. Tetapi kemudian dia
berusaha tenang kembali. Setelah menarik nafas dalam-dalam, ditatapnya wajah
Sang Nabi. Beliau Shollallohu ‘Alaihi wa
Sallam tersenyum padanya dan menganggukkan kepala.
“Wahai
Rosululloh,” kata Usaid dengan nada iba, “Kumohon bersikap lembutlah kepada
‘Abdulloh ibn Ubay. Karena, demi Alloh, kami telah dilimpahi nikmat dengan
diutusnya engkau kepada kami. Adapun dia, tepat sebelum kedatanganmu kepada
kami, maka kaumnya telah menata permata pada sebuah mahkota untuk dipakaikan ke
atas kepalanya sebagai penguasa. Sungguh, kurasa dia memandang kedatanganmu
telah merampas haknya untuk menjadi raja.”
Kini
kita tahu. ‘Abdulloh ibn Ubay adalah orang yang terluka.
YYY
Seorang
gembala suatu hari merauti kayu dengan pisaunya. Kemarin, tongkat yang biasa
dipakainya untuk menghalau dan mengatur ternaknya patah. Kayu yang disisiki itu
adalah bakal tongkat baru.
Di
tengah keasyikannya mengukir hiasan pegangan tongkat barunya, salah satu
dombanya tiba-tiba memekik-mekik. Domba itu melompati kawanannya dan
lengkingannya makin nyaring tiap kali dia menapakkan kakinya ke tanah. Kawanan
domba itu kisruh kalang kabut. Sementara si pembuat onar terus mengacau. Dalam
keriuhan, larinya kian cepat. Akhirnya dia menghambur menubruk tuannya dengan
jerit menyayat hati. Sang gembala terpelanting kaget. Pisau di tangannya
terlempar dan seurat serat kayu menyelusup ke dalam jari telunjuknya.
Sang
domba terguling-guling, lalu bangkit. Lalu tenang. Dia mulai berjalan lagi,
sedikit pincang, namun tak lagi kesetanan. Sang gembala marah dan menghalaunya
dengan pukulan. Dia tak tahu penyebab kehebohan barusan. Dia tak sadar bahwa
sebuah paku berkarat yang tadi menancap di kaki sang domba kini tergeletak di
dekatnya.
Dan
dia meraut lagi. Tak peduli pada telusuk kayu yang merasuki jarinya. Pasti
sakit jika dicabut, pikirnya. Biarkan saja.
Hari
berganti dan selusup itu mulai membuat jarinya bengkak, meradang, dan
menggembung nyeri. Sakit sekali. Dia berteriak mengaduh tiap kali sesuatu
menyentuhnya. Bahkan tiap kali berjabat tangan dengan rekan, dia meringis
kesakitan, marah, dan menyumpah serapahi mereka.
“Aaw…
Sakit sekali!” jeritnya.
YYY
Ketika
seseorang yang terluka menyerang, tindakan itu lebih merupakan tanggapan atas
apa yang terjadi di dalam diri mereka. Apa yang terjadi di dalam diri itu jauh
lebih memberi pengaruh daripada apa yang terjadi di luar sana. Mereka sedang
merasa, atau percaya, bahwa ada hal buruk dan menyakitkan yang terjadi di dalam
diri mereka sendiri.
“Kau
tahu John,” ujar seorang kawan kepada John C. Maxwell seperti diabadikan dalam
bukunya Winning with People, “Orang
terluka melukai orang lain. Ketika seseorang mengatakan, atau melakukan sesuatu
yang menyakitkan, kau perlu memeriksa lebih dalam. Kau perlu melihat hingga ke
bawah permukaan.”
Dalam
kisah ‘Abdulloh ibn Ubay, kata-kata Usaid ibn Hudhoir sungguh bijaksana.
Orang-orang
terluka, seperti cerita tentang gembala yang kena telusukan, merasakan sakit
bukan karena apa yang sedang terjadi di luar memang menyakitkan. Dia merasakan
sakit itu karena dia sedang terluka. Lukanya bengkak dan bernanah. Tak beda,
apakah luka itu kini terkena palu, tersentuh jari, ataupun belaian saputangan
beludru, semua terasa menyakitkan. Mereka menjerit. Mereka menanggapi di luar
batas kewajaran, melebih-lebihkan, dan bertingkah dengan rasa terancam yang
begitu tinggi. Orang-orang terluka dalam sejarah da’wah adalah orang-orang
munafik, seperti ‘Abdulloh ibn Ubay. Alloh menggambarkan sifat mereka ini
dengan ungkapan yang indah.
“Mereka mengira bahwa tiap-tiap teriakan yang
keras ditujukan kepada mereka.” (Qs. al-Munafiqun [63]: 4)
Kesalahan
terbesar dari orang-orang terluka adalah mereka tak segera menyembuhkan luka
lamanya. Telusukan yang mengganggu itu dibiarkan. Jadilah orang-orang yang
terluka itu sebagai mereka yang enggan berubah. Andai saja, ‘Abdulloh ibn Ubay
lapang dada menerima kehadiran Rosululloh dan mengakui keutamaan-keutamaan
beliau, pastilah dia telah menjadi pemuka Anshor yang paling utama.
Tetapi
dia memilih menikmati lukanya. Dia merawat baik-baik telusukan itu agar tetap
berada di dalam kulitnya. Dia kian kemari menampilkan kesakitannya dengan
segala cara. Dia menanggapi uluran tangan Rosululloh yang hendak membimbingnya
ke jalan hidayah dan kemuliaan dengan raungan kepedihan. Dia menyambut uluran
lembut Sang Nabi dengan jeritan kesakitan. Dia selalu melebih-lebihkan dan
bertingkah dengan rasa terancam yang begitu tinggi.
“Orang
terluka,” kata John C. Maxwell, “Juga sulit menerima kegagalan.” Semua
ketidakberesan dalam kehidupan yang sebenarnya bersumber dari lukanya tidak
disikapi sebagai pelajaran berharga. Dia selalu menemukan orang, pihak,
kelompok, benda, atau apapun yang menurutnya telah menjadi sebab dari segala
kepahitan. Telusukan itu masih ada di sana, mengeram dalam diam namun
mendatangkan kuman-kuman. Tapi tiap orang yang menyalaminya dituduh sebagai
sumber siksaan. “Kalian menyakitiku,” erangnya.
Orang
terluka kurang suka membahas persoalan. Mereka tak tertarik untuk
memperbincangkan akar masalah. Yang mereka tahu hanyalah bahwa mereka kesakitan.
Rasa tersiksa itu disebabkan seseorang telah menyentuh luka mereka, entah
dengan cara apa. Mereka selalu memandang dirinya sebagai korban. Rasanya pedih.
Dan bagi mereka, orang-oranglah yang salah. Selesai.
Lebih
lanjut, orang terluka tak terlalu suka belajar dari orang lain. Itu akibat dari
menganggap bahwa orang lain bersalah dan menyakiti dirinya. Dia juga enggan
bertindak. Dia tak terpengaruh melakukan sesuatu untuk menghadapi berbagai
masalahnya dan memecahkannya. Ya. Karena dia menganggap semua ini bukan
salahnya. Seharusnya orang lain yang telah menyakitinya itu yang bertindak
terlebih dahulu. Seharusnya mereka yang meminta maaf. Seharusnya mereka yang
memberi hadiah. Seharusnya mereka yang mengerjakan tugas. Seharusnya mereka
yang menanggung biaya. Seharusnya mereka.
Begitulah.
Apakah kita termasuk orang-orang terluka?
YYY
Ke
mana perginya orang-orang terluka?
Awal-awal,
orang terluka akan menjadi pengecut yang memalukan. Mereka adalah orang yang
jika berkata maka berdusta, jika berjanji maka ingkar, jika dipercaya maka
khianat, jika berembug maka menjilat, dan jika bertengkar maka tindakannya
melampaui batas.
Inilah
kisah mimpi Rosululloh Shollallohu
‘Alaihi wa Sallam menjelang Perang Uhud.
“Demi
Alloh, aku telah bermimpi,” kata beliau. “Sebuah mimpi yang baik. Dalam mimpi
itu kulihat beberapa ekor lembu yang disembelih. Lalu bagian mata pedangku ada
yang rompal, dan aku memasukkan tanganku ke dalam baju besi yang kokoh.” kata
beliau mengawali musyawarah dengan para shohabat setelah menerima kabar
teliksandi tentang pergerakan tiga ribu wadya Quroisy dari Makkah.
Ta’wil
atas mimpi ini diabadikan Syaikh Shofiyurrohman al-Mubarokfuri dalam ar-Rohiiqul Makhtuum. Beberapa ekor
lembu yang disembelih berarti beberapa shohabat beliau akan terbunuh syahid.
Mata pedang yang rompal berarti anggota keluarga beliau akan mendapat musibah.
Dan baju besi yang kokoh itu adalah kota Madinah.
Dengan
mimpi itu beliau mengusulkan kepada majelis untuk mengambil strategi bertahan
di dalam kota Madinah. Ini akan membuat musuh bimbang. Jika mereka mengepung
tanpa masuk, kondisi akan dibiarkan mengambang. Jika mereka menyerbu masuk maka
kaum Muslimin bisa menyergap mereka di mulut-mulut gang dan para wanita bisa
menyerang dari atap-atap rumah.
Yang
penuh semangat mendukung ide Rosululloh ini adalah seorang pemuka Khozroj yang
anggun dan elegan. Penampilannya menawan, bicaranya memikat hati. Disokongnya
beliau dengan argumen-argumen yang meyakinkan. Diyakinkannya para shohabat
dengan menyebut-nyebut keutamaan Rosululloh dan keutamaan mengikuti isyarat
agung dalam mimpi beliau yang mulia. Namanya, lagi-lagi, adalah ‘Abdulloh ibn
Ubay ibn Salul.
“Dan apabila kamu melihat mereka,
tubuh-tubuh mereka menjadikan kamu kagum. Dan jika mereka bicara, kamu
mendengarkan perkataan mereka. Mereka adalah seakan-akan kayu yang tersandar.
Mereka mengira bahwa tiap-tiap teriakan yang keras ditujukan kepada mereka.
Mereka itulah musuh yang sebenarnya, maka waspadalah terhadap mereka; semoga
Alloh membinasakan mereka. Bagaimanakah mereka sampai dipalingkan dari
kebenaran?” (Qs.
al-Munafiqun [63]: 4)
Tetapi
coba bayangkan perasaan beberapa shohabat yang tidak sempat ikut serta dalam
Perang Badar? Hati mereka bergolak rindu untuk mendapatkan kemuliaan dari
Alloh. Dalam kalimat yang menggebu-gebu mereka berkata, “Ya Rosululloh. Sejak
dulu kami sudah menanti-nanti dan berharap akan datangnya hari seperti ini.
Kami selalu berdo’a kepada Alloh untuk itu. Kini, Alloh telah menuntun kami dan
tempat yang dituju sudah dekat. Keluarlah, ya Rosululloh, untuk menyongsong
mereka! Jangan sampai mereka menghinakan Alloh dan Rosul-Nya karena menganggap
kita takut pada mereka!”
“Beraninya
kalian,” hardik ‘Abdulloh ibn Ubay, “Menyelisihi perintah seorang Nabi!”
“Diam
kamu, Ibnu Ubay!”, sambut Hamzah ibn ‘Abdul Mutholib, paman kecintaan
Rosululloh. “Ya Rosululloh,” ujarnya, “Demi yang menurunkan al-Kitab kepadamu
dengan kebenaran, aku tidak akan memberikan makanan sampai bisa membabat mereka
dengan pedangku ini di luar Madinah!”
“Demi
Alloh,” ujar ‘Abdulloh ibn Ubay, “Celaka dan kehinaan bagi kalian! Alloh dan
Rosul-Nya telah menetapkan suatu urusan, lalu kalian menentangnya dengan
mengikuti hawa nafsu. Sungguh urusan kalian ini takkan diberkahi dan kalian
pasti kembali dengan membawa kehancuran!”
Perdebatan
masih panjang. ‘Abdulloh ibn Ubay habis-habisan membela mimpi Sang Nabi.
Tetapi
akhirnya Rosululloh mengalah. Beliau mengikuti pendapat para shohabat. Mereka
menyongsong musuh di Uhud. Dan seperti telah kita fahami, perang ini berakhir
dengan kekalahan kaum Muslimin sampai-sampai beliau Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam terluka, dan Hamzah gugur bersama
tujuhpuluh orang shohabat yang lain.
Adakah
Rosululloh kemudian mengeluh dengan berkata, “Kalau saja kalian ikuti apa yang
kukatakan… Kalau saja kita bertahan di Madinah… Kalau saja mimpi kenabianku
kalian percayai…!”
Tidak.
Hanya
‘Abdulloh ibn Ubay ibn Salul yang bersikap begitu. Dia berkata, “Binasalah
kalian karena tidak menaati Rosululloh dan membantah pendapatnya!” Tetapi ada
apa dengannya? Menjelang barisan sampai ke Uhud, bukankah ia membawa sepertiga
pasukan untuk membelot dan kembali ke Madinah? Ya. Peperangan tidak termasuk
hal yang disukainya. Ia sangat menyayangi nafasnya. Bahkan dukungan atas
pendapat Sang Nabi untuk bertahan di Madinah hanyalah agar dia bisa menghindarkan
diri dari pertarungan dan tumpahnya darah tanpa terlihat mencolok.
YYY
Di saat lain,
orang-orang terluka menjadi para pengeluh yang fasih dan penuh penjiwaan. Dalam
dekapan ukhuwah, orang-orang mukmin mengeluh hanya kepada Alloh. Mereka bagai
Ya’qub yang dalam surat Yusuf ayat ke-86 berkata, “Sesungguhnya hanya kepada
Alloh aku mengadukan kesusahan dan kesedihan, dan aku mengetahui dari Alloh apa
yang kamu tidak mengetahuinya.”
Adapun orang-orang
terluka, suka mengeluh pada manusia. Padahal, sembarangan mengeluh itu
berbahaya. Seperti kisah tentang seorang ibu yang baik di keluarga penjahit.
Satu hari dia
berbelanja ke pusat kota, dan dibelikannya celana panjang untuk anak lelakinya
tercinta. Seusai belanja, diapun bergegas pulang. Sang anak dengan suka cita
mencoba celana itu sementara si ibu pergi ke dapur membereskan belanjaan dan
mempersiapkan makan malam. Tak berapa lama, terdengar teriakan keras.
“Ibu ini bagaimana
sih? Masak beliin aku celana kepanjangan begini! Kan jelek banget
kelihatannya!”
“Ooh… Tapi lingkar
pinggangnya gimana, kebesaran nggak?”
“Ya enggak. Tapi
kalau kepanjangan begini aku nggak mau pakai!”
“Berapa senti
lebihnya?”
“Sepuluh senti!”
Remaja tanggung
belasan tahun itu sepertinya pergi keluar. Pintu depan terdengar dibanting. Sang
ibu geleng-geleng kepala. Tak ingin mendengar omelan putranya lagi, dia
bergegas menuju ruang kerja suaminya yang seorang penjahit. Diambilnya gunting.
Lalu kres, kres, kres. Dipotongnya ujung bawah celana itu sesuai ukuran lebih
yang disebutkan anaknya. Lalu dengan jarum dan benang, celana bahan berwarna
hitam itu di-sum ujungnya. “Beres,”
katanya sambil tersenyum.
Si anak lelaki
pergi ke halaman samping. Di sana ada kakak perempuannya yang sedang merawat
kaktus-kaktus koleksinya. Di beberapa pot lain juga ada kamboja Jepang, bonsai
dari pohon serut, dan aneka bunga.
“Kok cemberut?”
tanya sang kakak sambil tersenyum. “Kenapa?”
“Ibu tuh, mbak.
Masak beliin celana nggak ngerti ukuranku. Kepanjangan sepuluh senti. Jelek
banget dilihatnya!”
“Oh, gitu aja ngambek.
Perbaiki sendiri kan bisa. Sana, gih! Daripada nggak jelas gitu.”
“Malas ah. Mau
main bola dulu ke lapangan.”
Si adik berlalu
menuju garasi. Sang kakak yang telah selesai merawat tanaman hiasnya segera
menuju ruang dalam. Melewati ruang kerja ayahnya yang kosong, dilihatnya ada
celana baru. “Oh itu celana yang kepanjangan,” gumamnya. Disempatkannya
memeriksa sejenak. Lalu gunting pun beraksi, kres, kres, kres. Tak lupa dijahit
ulangnya ujung celana itu dengan jarum dan benang yang tersedia.
Si adik kini sudah
duduk di jok sepeda motor bebeknya. Dicarinya kunci kontak. Tidak ada. Kuncinya
pasti dibawa kakak lelakinya. Ditemuinya si kakak di kamar tidur.
“Mas,” katanya
sambil mengguncang bahu kakaknya. “Pinjam motor dong!”
“Mau ke mana?”
tanya si kakak sambil mengucek mata.
“Main bola.”
“Jiah… Tumben anak
cemen mau main bola!”
“Yah, daripada
suntuk di rumah gara-gara dibeliin celana kepanjangan sepuluh senti.”
Kakaknya tertawa,
“Siapa yang beliin?”
“Ibu.”
“Ya udah. Buat aku
aja kalau kepanjangan.”
“Enak aja. Kan
bisa diperbaiki. Lagian lingkar pinggangnya pas kok.”
“Tuh, kuncinya di
meja.”
“OK deh.”
Si kakak
menggeliat lalu bangun dari pembaringan.. tidur siangnya sudah cukup. Agak
sempoyongan dia bangun dan menuju kamar mandi. Sempat mampir ruang makan dan
menyambar pisang goreng, dia melirik sekilas ke ruang kerja ayahnya yang
terbuka. “Oh itu celana yang kepanjangan,” gumamnya. Dengan gontai, dia menuju
ke arah celana itu. Sambil sesekali masih menguap dan matanya terasa berat,
diambilnya gunting dan, kres, kres, kres. Dipotongnya celana itu sepuluh senti.
Dijahit ulang ujungnya. Dan beres. Sang kakak pergi mandi.
Si adik baru akan
menyalakan motor ketika sang ayah muncul dari pintu pagar. Agaknya baru pulang
dari rumah tetangga.
“Mau ke mana?”
“Main bola, pak.”
“Eh, sebentar.
Bapak mau pakai motornya dulu. Mau beli kancing hias untuk baju pesanan seragam
TK.”
“Wah, nanti
ketinggalan dong sepakbolanya.”
“Ya sudah, sana.
Tapi jangan lama-lama.”
“Wah nggak bisa,
pak. Untuk menghilangkan suntuk gini, harus lama main bolanya. Sampai capek!”
“Suntuk kenapa?”
“Ibu tuh. Masak
beliin celana ukurannya kepanjangan sepuluh senti. Kan nggak enak banget
dipakainya.”
“Nanti biar bapak
betulin.”
“Nah, itu baru
bagus.”
“Berangkat dulu
ya, pak.”
“Ya, hati-hati.”
Si bapak masuk
ruang kerjanya. Dilihatnya celana baru yang teronggok di situ. “Oh, jadi celana
barunya model selutut? Ini memang kepanjangan sepuluh senti kalau mau model
selutut.” Maka kres, kres, kres. Celana itu dipotong lagi, dan dijahit ulang.
Menjelang maghrib, ketika si anak pulang terdengar teriakan membahana, “Aaa…
Celana panjangnya kok tinggal selutut?”
YYY
Dalam dekapan
ukhuwah, mari sembuhkan luka-luka kita. Apalagi jika kita merasa terluka oleh
orang-orang sholih dan para insan beriman. Waspadalah. Karena luka itu bisa
memicu kebencian kita pada iman dan kesholihan. Seperti yang terjadi pada
‘Abdulloh ibn Ubay dan orang-orang munafik. Maka jangan pernah melupakan do’a
yang diajarkan Alloh pada kita. “Dan janganlah engkau jadikan ada rasa ghill di hati kami kepada orang-orang
beriman, wahai Robb kami. Sesungguhnya Engkau Mahalembut lagi Maha Penyayang.”
Melenyapkan
perasaan tak nyaman pada sesama peyakin sejati dengan do’a itu menjelang tidur,
telah membuat seorang shohabat tak dikenal yang amal-amalnya sama sekali tak
istimewa, dijaminkan surga oleh Rosululloh Shollallohu
‘Alaihi wa Sallam.
Dalam dekapan
ukhuwah, jadilah orang yang mau berubah, mampu menerima kegagalan, bersedia
membahas persoalan, bisa belajar dari orang lain, dan siap melakukan sesuatu
untuk mengatasi masalah.
Dalam dekapan
ukhuwah, hindarkan diri dari kepengecutan dan mengeluhlah hanya pada yang mampu
memberikan penyelesaian. Katakan saja, “Ya Alloh, aku punya masalah besar.” Dan
sebagai variasi yang manis, terkadang ucapkan juga, “Hai masalah, aku punya
Alloh Yang Mahabesar!”
Credit: “Dalam
Dekapan Ukhuwah”; Salim A. Fillah; Pro-U Media
Tidak ada komentar:
Posting Komentar