Alloh Ta’ala memanggil kita untuk berzikir mengingat-Nya. Sesungguhnya
dengan mengingat Alloh, hati akan tenang. Kita tidak merasa risau oleh dunia
yang sesak, dan tidak merasa berat oleh masalah-masalah yang barangkali
menghadang setiap saat. Hati merasa tenang, jiwa menjadi hidup, dan dada
menemukan kelapangannya sehingga pikiran kita jernih. Kita merasa ringan
terhadap dunia karena hati kita mengingati-Nya.
Waktu berjalan dan masa bertukar.
Ayat suci tidak berubah isinya, tetapi sebagian kita menyempitkan makna zikir
hanya sebatas membaca lafaz-lafaz do’a yang panjang dan hitungan-hitungan yang
memusingkan. Jalan untuk mengingat Alloh seakan demikian sulitnya. Padahal
Alloh sendiri tidak menetapkan aturan-aturan yang menyulitkan seperti itu.
Selain sholat yang sudah ditentukan tata caranya, berzikir bisa dilakukan kapan
saja, dimana saja, dan tidak harus berbentuk bacaan wirid yang rumit di atas
sajadah panjang. Alloh Ta’ala justru
mengingatkan kita agar senantiasa mengingat-Nya (zikir) dalam keadaan duduk,
berdiri, ataupun berjalan. Alloh serukan kita untuk mengingati-Nya dimana pun,
dalam keadaan apa pun, dan ketika sedang melakukan berbagai pekerjaan; apa pun
jenisnya.
Mengingat Alloh bermakna menyadari
bahwa sesungguhnya Alloh itu dekat, lebih dekat daripada urat leher kita. Maka
ke mana pun engkau berpaling, di situlah engkau temukan wajah Alloh.
Mengingat Alloh berarti menyadari
bahwa Ia dengar suara-suara kita yang lirih dan tak sanggup kita ucapkan,
ataupun teriakan-teriakan yang tak sanggup kita tahan. Bukankah Alloh Ta’ala telah berfirman, Berdo’alah kepada-Ku, niscaya Aku kabulkan
bagimu. Maka apakah yang merisaukanmu, jika Ia senantiasa bersamamu? Apakah
yang membuatmu lemah jika Ia akan senantiasa menguati orang-orang yang datang
kepada-Nya? Sungguh, tiada daya dan upaya kecuali semata karena Alloh.
Tetapi sebagian kita menyempitkan
maknanya. Zikir hanya sebatas mengucapkan lafaz-lafaz wirid. Zikir menjadi
hanya sebatas metode untuk meraih ketenangan sesaat, demi menepis kepenatan
jiwa kita yang keruh. Seakan-akan kita sedang berjalan menuju Alloh, tetapi
sesungguhnya kita bersibuk dengan diri sendiri. Kita merasa mengingat
kebesaran-Nya, padahal kita sedang asyik dengan kebesaran kita sendiri. Pada
gilirannya, bukan ketenangan yang kita dapatkan, melainkan keasyikan-keasyikan
sesaat atau bahkan justru semakin suntuknya pikiran.
Kita tenggelam dalam tangis saat
bersama-sama membacakannya bersama orang lain. Tetapi sesudah di rumah, kita
kembali merasakan sempitnya dada, keruhnya hati, dan lemahnya jiwa. Sebabnya,
kita tak sungguh-sungguh mengingat-Nya. Atau, jangan-jangan kita berwirid hanya
untuk mendapat katarsis demi melepas beban jiwa yang letih. Wallohu a’lam bishshowwab.
Credit: “Mencari Ketenangan di
Tengah Kesibukan”; Mohammad Fauzil Adhim; Pro-U Media
Tidak ada komentar:
Posting Komentar