Rabu, 13 Mei 2015

Berzikir Tapi Tidak Tenang

Alloh Ta’ala memanggil kita untuk berzikir mengingat-Nya. Sesungguhnya dengan mengingat Alloh, hati akan tenang. Kita tidak merasa risau oleh dunia yang sesak, dan tidak merasa berat oleh masalah-masalah yang barangkali menghadang setiap saat. Hati merasa tenang, jiwa menjadi hidup, dan dada menemukan kelapangannya sehingga pikiran kita jernih. Kita merasa ringan terhadap dunia karena hati kita mengingati-Nya.

Waktu berjalan dan masa bertukar. Ayat suci tidak berubah isinya, tetapi sebagian kita menyempitkan makna zikir hanya sebatas membaca lafaz-lafaz do’a yang panjang dan hitungan-hitungan yang memusingkan. Jalan untuk mengingat Alloh seakan demikian sulitnya. Padahal Alloh sendiri tidak menetapkan aturan-aturan yang menyulitkan seperti itu. Selain sholat yang sudah ditentukan tata caranya, berzikir bisa dilakukan kapan saja, dimana saja, dan tidak harus berbentuk bacaan wirid yang rumit di atas sajadah panjang. Alloh Ta’ala justru mengingatkan kita agar senantiasa mengingat-Nya (zikir) dalam keadaan duduk, berdiri, ataupun berjalan. Alloh serukan kita untuk mengingati-Nya dimana pun, dalam keadaan apa pun, dan ketika sedang melakukan berbagai pekerjaan; apa pun jenisnya.

Mengingat Alloh bermakna menyadari bahwa sesungguhnya Alloh itu dekat, lebih dekat daripada urat leher kita. Maka ke mana pun engkau berpaling, di situlah engkau temukan wajah Alloh.

Mengingat Alloh berarti menyadari bahwa Ia dengar suara-suara kita yang lirih dan tak sanggup kita ucapkan, ataupun teriakan-teriakan yang tak sanggup kita tahan. Bukankah Alloh Ta’ala telah berfirman, Berdo’alah kepada-Ku, niscaya Aku kabulkan bagimu. Maka apakah yang merisaukanmu, jika Ia senantiasa bersamamu? Apakah yang membuatmu lemah jika Ia akan senantiasa menguati orang-orang yang datang kepada-Nya? Sungguh, tiada daya dan upaya kecuali semata karena Alloh.

Tetapi sebagian kita menyempitkan maknanya. Zikir hanya sebatas mengucapkan lafaz-lafaz wirid. Zikir menjadi hanya sebatas metode untuk meraih ketenangan sesaat, demi menepis kepenatan jiwa kita yang keruh. Seakan-akan kita sedang berjalan menuju Alloh, tetapi sesungguhnya kita bersibuk dengan diri sendiri. Kita merasa mengingat kebesaran-Nya, padahal kita sedang asyik dengan kebesaran kita sendiri. Pada gilirannya, bukan ketenangan yang kita dapatkan, melainkan keasyikan-keasyikan sesaat atau bahkan justru semakin suntuknya pikiran.

Kita tenggelam dalam tangis saat bersama-sama membacakannya bersama orang lain. Tetapi sesudah di rumah, kita kembali merasakan sempitnya dada, keruhnya hati, dan lemahnya jiwa. Sebabnya, kita tak sungguh-sungguh mengingat-Nya. Atau, jangan-jangan kita berwirid hanya untuk mendapat katarsis demi melepas beban jiwa yang letih. Wallohu a’lam bishshowwab.


Credit: “Mencari Ketenangan di Tengah Kesibukan”; Mohammad Fauzil Adhim; Pro-U Media

Tidak ada komentar:

Posting Komentar