Sebab,
pohon kebesaran suatu ummat hanya dapat tumbuh
Di
taman sejarah yang disirami air mata kesedihan dan darah pengorbanan
(M. Anis Matta)
MENGAPA jika kata revolusi muncul, yang terbayang
di benak kita selalu ‘kekiri-kirian’? Yah, memang, berawal dari pemikiran sederhana
seorang Hegel, komunisme pernah menjadi hal yang menghangatkan kopi sejarah. Berdasarkan
kemusykilan untuk menjawab sebuah pertanyaan, Hegel membangun trilogi teorinya,
Tesis, Antitesis, dan Sintesis. Apakah
sesuatu itu ada? -Maaf, saya tak berani mengganti ‘sesuatu’ dengan ‘tuhan’-. Tesisnya
akan mengatakan, ya. Ada. Tetapi antitesis akan mempertanyakan, ‘Mana?’, dan menjawabnya
sendiri, tidak ada. Maka, menurut Hegel, sintesisnya adalah, sesuatu itu sedang
bergerak dari tiada menjadi ada. Ia menyebutnya ‘menjadi’, maka filsafatnya, Idea-isme, disebut Filsafat Menjadi.
Sebenarnya, kalau saya
mengajukan pertanyaan, ”Anda ini pintar atau bodoh?”, filsafat Hegel bisa
diterima. Maksud saya, tesisnya akan berbunyi, “Anda pintar”. Lalu antitesisnya
berbunyi, “Anda bodoh”. Maka yang terpenting adalah sintesisnya, “Anda belajar”.
Pintar atau bodoh menjadi tidak penting, yang penting Anda belajar. Bagus kan?
Tetapi Karl Friderich Marx yang kecewa terhadap agama Kristen dan sistem ekonomi
Eropa yang kapitalistik mengubah trilogi ini menjadi unik. Tesis: masyarakat borjuis.
Antitesis: masyarakat proletar. Sintesis: revolusi untuk masyarakat tanpa kelas.
Nah, Marx baru berteori. Vladimir Ulyich Ulyanov dari Rusia-lah yang
mengempirikkan teori itu. Dialah presiden pertama USSR, Lenin. Tetapi apakah asas
yang seharusnya menjadi terminal keberangkatan sebuah revolusi? Perjalanan kenabian
telah memberikan cahaya pelajaran tentang dari mana memulai. Mari kita temui Sayyid
Quthb dalam buku Ma’alim fith Thoriq untuk
lebih jelasnya.
Muhammad, begitu katanya,
diutus membawa risalah ini saat penduduk Arab hanya bisa menikmati kerontangnya
tetandusan Hijjaz, Tihamah, dan Najd. Lembah Syam dan Iraq yang subur di utara dikangkangi Romawi,
sedang Yaman yang makmur di selatan dijajah Persia. Sebagai Al-Amin, manusia terpercaya dari suku paling
terpandang, yang telah sukses menyelesaikan sengketa berdarah Hajarul Aswad, dengan mudah Muhammad
bisa mengobarkan Nasionalisme Arab melawan dua imperialis ini dan muncullah bangsa
baru penguasa bumi. Ingat langkah yang ditempuh Temujin ‘Jenghiz Khan’ dengan kebangsaan Mongolnya? Tapi ini tidak dilakukan
Muhammad.
Muhammad tinggal di
tengah ketimpangan ekonomi, penindasan, perbudakan, dan kesewenang-wenangan golongan
kuat atas golongan lemah. Dengan kapasitasnya dia bisa saja menggulirkan revolusi
untuk kesamaan hak bersama ‘kaum proletar’ sebagaimana Lenin dengan Bolshevijk-nya... Tapi sekali lagi, bukan
ini solusinya!
Muhammad muncul di
tengah bangsa yang akhlaknya sedang terjatuh ke lembah nista. sebagai Al-Amin berakhlak mulia dari suku paling
terpandang, dia sangat kredibel untuk mengkampanyekan perbaikan moral yang pasti
akan disambut orang-orang bernurani bersih yang selama ini low profile namun tetap mulia di tengah kaumnya... St. Franciscus of
Assisi di tengah komunitas Gereja pernah melakukannya, tapi sepertinya kurang dahsyat
untuk menjadi contoh. Dan memang bukan ini jalan terbaik.
Muhammad Shollallohu ’Alaihi wa Sallam, justru memulainya
dari jalan yang rawan. Cukup dua kalimat namun penuh penentangan, “Laa Ilaaha Illallooh Muhammadur Rosuululloh”.
Dan revolusi peradaban manusia pun bermula. Maka, saksikanlah keajaiban dari dua
kalimat itu.[]
Credit: “Saksikan bahwa Aku Seorang
Muslim”; Salim A. Fillah; Pro-U Media
Tidak ada komentar:
Posting Komentar