Sabtu, 02 Mei 2015

Asas Revolusi

Sebab, pohon kebesaran suatu ummat hanya dapat tumbuh
Di taman sejarah yang disirami air mata kesedihan dan darah pengorbanan
(M. Anis Matta)

MENGAPA jika kata revolusi muncul, yang terbayang di benak kita selalu ‘kekiri-kirian’? Yah, memang, berawal dari pemikiran sederhana seorang Hegel, komunisme pernah menjadi hal yang menghangatkan kopi sejarah. Berdasarkan kemusykilan untuk menjawab sebuah pertanyaan, Hegel membangun trilogi teorinya, Tesis, Antitesis, dan Sintesis. Apakah sesuatu itu ada? -Maaf, saya tak berani mengganti ‘sesuatu’ dengan ‘tuhan’-. Tesisnya akan mengatakan, ya. Ada. Tetapi antitesis akan mempertanyakan, ‘Mana?’, dan menjawabnya sendiri, tidak ada. Maka, menurut Hegel, sintesisnya adalah, sesuatu itu sedang bergerak dari tiada menjadi ada. Ia menyebutnya ‘menjadi’, maka filsafatnya, Idea-isme, disebut Filsafat Menjadi.

Sebenarnya, kalau saya mengajukan pertanyaan, ”Anda ini pintar atau bodoh?”, filsafat Hegel bisa diterima. Maksud saya, tesisnya akan berbunyi, “Anda pintar”. Lalu antitesisnya berbunyi, “Anda bodoh”. Maka yang terpenting adalah sintesisnya, “Anda belajar”. Pintar atau bodoh menjadi tidak penting, yang penting Anda belajar. Bagus kan? Tetapi Karl Friderich Marx yang kecewa terhadap agama Kristen dan sistem ekonomi Eropa yang kapitalistik mengubah trilogi ini menjadi unik. Tesis: masyarakat borjuis. Antitesis: masyarakat proletar. Sintesis: revolusi untuk masyarakat tanpa kelas. Nah, Marx baru berteori. Vladimir Ulyich Ulyanov dari Rusia-lah yang mengempirikkan teori itu. Dialah presiden pertama USSR, Lenin. Tetapi apakah asas yang seharusnya menjadi terminal keberangkatan sebuah revolusi? Perjalanan kenabian telah memberikan cahaya pelajaran tentang dari mana memulai. Mari kita temui Sayyid Quthb dalam buku Ma’alim fith Thoriq untuk lebih jelasnya.

Muhammad, begitu katanya, diutus membawa risalah ini saat penduduk Arab hanya bisa menikmati kerontangnya tetandusan Hijjaz, Tihamah, dan Najd. Lembah Syam dan Iraq yang subur di utara dikangkangi Romawi, sedang Yaman yang makmur di selatan dijajah Persia. Sebagai Al-Amin, manusia terpercaya dari suku paling terpandang, yang telah sukses menyelesaikan sengketa berdarah Hajarul Aswad, dengan mudah Muhammad bisa mengobarkan Nasionalisme Arab melawan dua imperialis ini dan muncullah bangsa baru penguasa bumi. Ingat langkah yang ditempuh Temujin ‘Jenghiz Khan’ dengan kebangsaan Mongolnya? Tapi ini tidak dilakukan Muhammad.

Muhammad tinggal di tengah ketimpangan ekonomi, penindasan, perbudakan, dan kesewenang-wenangan golongan kuat atas golongan lemah. Dengan kapasitasnya dia bisa saja menggulirkan revolusi untuk kesamaan hak bersama ‘kaum proletar’ sebagaimana Lenin dengan Bolshevijk-nya... Tapi sekali lagi, bukan ini solusinya!

Muhammad muncul di tengah bangsa yang akhlaknya sedang terjatuh ke lembah nista. sebagai Al-Amin berakhlak mulia dari suku paling terpandang, dia sangat kredibel untuk mengkampanyekan perbaikan moral yang pasti akan disambut orang-orang bernurani bersih yang selama ini low profile namun tetap mulia di tengah kaumnya... St. Franciscus of Assisi di tengah komunitas Gereja pernah melakukannya, tapi sepertinya kurang dahsyat untuk menjadi contoh. Dan memang bukan ini jalan terbaik.

Muhammad Shollallohu ’Alaihi wa Sallam, justru memulainya dari jalan yang rawan. Cukup dua kalimat namun penuh penentangan, “Laa Ilaaha Illallooh Muhammadur Rosuululloh”. Dan revolusi peradaban manusia pun bermula. Maka, saksikanlah keajaiban dari dua kalimat itu.[]


Credit: “Saksikan bahwa Aku Seorang Muslim”; Salim A. Fillah; Pro-U Media

Tidak ada komentar:

Posting Komentar