KEDUA bendera itu
berkibar. Dan di atas untanya Nabi duduk dengan kepala tertunduk, “Fasabbih bihamdi Robbika wastaghfirh.” Matanya
menitikkan bening yang syahdu. Alloh memenangkannya hari ini. Dan kedua bendera
itu berkibar.
Di
salah satu sayap ada Sa’d ibn ‘Ubadah, membusungkan dada dengan penuh
kebanggaan. Tatapan matanya tajam berkilat. Hari ini, dengan keislamannya, ia merasa
mulia di hadapan Makkah yang tiba-tiba terasa kecil dan takluk pada wadya Madinah
yang dipimpinnya. “Hari ini adalah hari menangnya kebenaran dan hancurnya kebathilan,”
katanya. Bendera yang dihela tangan kanannya mengembang, tegak, dan gagah. Bendera
yang berdarah-darah melindungi risalah, membela persaudaraan, dan kini mengantarnya
pada sebuah kemenangan; bendera Anshor.
Pada
sayap yang lain, Az-Zubair ibn Al-‘Awwam duduk khidmat di atas kudanya. Berjuta
rasa berkecamuk di dadanya. Pada Makkah, kota dengan selaksa kenangan baginya. Bayangan
kanak-kanaknya yang penuh tawa berselebat dengan bayangan darah dan air mata
saat ia dan sejawatnya menegakkan Islam pertama kali, di sana, di titik itu yang
kini sedang ditatapnya dengan berkaca-kaca, di dekat Ka’bah yang mulia. Bendera
yang dipegangnya meliuk-liuk rindu, bergetar oleh angin nostalgi yang tak
terkatakan. Bendera itu, bendera yang menyertai Nabi sejak mula dia didustakan kaumnya,
bendera yang terusir dari tanah yang dicintainya, bendera Muhajirin.
Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama
(masuk Islam) dari golongan Muhajirin dan Anshor dan orang-orang yang mengikuti
mereka dengan baik, Alloh ridho kepada mereka dan merekapun ridho kepada Alloh
dan Alloh menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di
dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang
besar.
(QS. At-Taubah: 100)
Jika
memang –dan memang- kita memperjuangkan Diin ini dengan bendera-bendera yang tak
satu saja, aku ingin bicara padamu tentang dua bendera yang paling indah itu. Muhajirin
dan Anshor.
Penegak Panji yang Kesakitan dan Terusir
Dan ingatlah (hai para Muhajirin) ketika kamu masih
berjumlah sedikit, lagi tertindas di muka bumi (Makkah), kamu takut orang-orang
(Makkah) akan menculik kamu, maka Alloh memberi kamu tempat menetap (Madinah)
dan dijadikan-Nya kamu kuat dengan pertolongan-Nya dan diberi-Nya kamu rezeki
dari yang baik-baik agar kamu bersyukur. (QS. Al-Anfal: 26)
Hari-hari
di Makkah adalah hari-hari ujian bagi para calon Muhajirin. Setiap kabilah berlomba
untuk menyiksa dan mengembalikan anggota kabilah dan budak mereka kepada penyembahan
Lataa dan ‘Uzza.
Ada
banyak cerita nestapa yang menggidikkan bulu roma. Tentang Bilal, keluarga Yassir,
Sumayyah, dan Ammar anaknya. Saat Rosul hanya bisa berkata dengan hati pedih melihat
mereka, “Ishbir, Yaa Aala Yassir; Bersabar,
wahai keluarga Yassir, sesungguhnya istana kembali kalian di surga yang di
bawahnya sungai mengalir.” Juga tentang Khobbab, pandai besi yang dipanggang di
atas bara dan lelehan besi buatannya sendiri sampai keduanya padam oleh cairan tubuhnya,
luar biasa! Bara dan besi membara itu padam karena tetesan cairan tubuhnya yang
melepuh terbakar.
Tak
hanya orang lemah yang mendapatkan ujian seperti ini. Mush’ab ibn ’Umair, pemuda
paling tampan, wangi, dan halus kulitnya, kemilau rambutnya, serta paling modis
pakaiannya di masa jahiliah, diboikot oleh ibu yang sebelumnya sangat menyayanginya.
Syaikh Shofiyyurrohman dalam Ar-Rohiqul
Makhtum-nya menggambarkan akibat boikot ini, “...Kulit Mush’ab mengelupas seperti
ular yang berganti kulit.“ Keadaan ini dibawa Mush’ab dalam hijrahnya, sampai suatu
hari di Masjid Nabawi, Rosululloh menangis mengenang keadaannya.
Di
kalangan orang terpandang, Abu Jahl akan menjadi orang pertama yang
menakut-nakuti, menjanjikan uang dan kedudukan kepada mereka yang masuk Islam agar
kembali murtad. Tapi pembentukan jiwa-jiwa keimanan belum berakhir di sini. Semua
akan merasai menjadi faqir ddn terusir. Bahkan meski sebelumnya ia orang kaya yang
sangat pemurah seperti Abu Bakar yang membeli dan memerdekakan semua budak yang
masuk Islam. Semua akan merasai menjadi faqir dan terusir, ketika mereka harus
berhijrah meninggalkan segala milik dan kecintaan.
(Juga) bagi orang fakir yang berhijrah yang diusir
dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari
Alloh dan keridhoan-Nya dan mereka menolong Alloh dan Rosul-Nya. Mereka itulah
orang-orang yang benar. (QS. Al-Hasyr: 8)
Hijrah
adalah pengorbanan yang begitu mengiris perasaan. Ini adalah perjalanan yang serba
mengambang. Tanpa harapan, tak jelas kesudahan. Yang lemah dan terbiasa menderita
tak tahu duka lara apa lagi yang akan mereka terima, apatah lagi yang biasa berkecukupan.
Keluarga, rumah yang nyaman, tempat usaha yang prospektif, semua harus ditinggalkan
untuk mengejar ketidakjelasan. Apalagi Madinah bukan tempat yang menjanjikan.
Shuhaib
ibn Sinan, imigran Romawi yang gemilang membangun usahanya di Makkah harus meninggalkan
sukses yang ia bangun dari nol itu. Komentar manusiawi atas peristiwa ini tentu
berbunyi, “Shuhaib bangkrut!”. Tapi dimensi keimanan ternyata menyusun sebuah kalimat
lain di lisan RosulNya yang berbunyi, “Robiha
Shuhaib; Shuhaib beruntung, Shuhaib beruntung!”
Hijrah
juga menyisipkan kisah keberanian tentang ‘Umar, yang berangkat dengan kata pamit
berupa tantangan. Ia tidak ingin seperti orang lain yang berangkat
sembunyi-sembunyi. Setelah thowaf mengelilingi Ka’bah, ia berkata di hadapan pemuka-pemuka
Quroisy, “Saksikanlah oleh kalian bahwa Ibnul Khoththob akan berhijrah. Siapa yang
ingin isterinya menjadi janda, anaknya menjadi yatim, atau ibunya meratapi kematiannya,
silahkan ia menemuiku sendiri di balik bukit ini!”
Di
balik ketegaran mereka, Abu Bakar dan Bilal tetap saja shock ketika tiba di Madinah. Demam tinggi membuat mereka merintih kesakitan.
Rindu rumah, rindu tanah, tetap saja menjadi penyakit yang manusiawi. Dalam demamnya,
Abu Bakar pun bersyair:
Kala pagi,
Setiap orang bisa berkumpul dengan keluarga.
Namun kematian lebih dekat dari tali
terompahnya!
Ketika
keadaan itu disampaikan kepada Rosululloh, beliau pun berdoa:
“Ya
Alloh, buatlah kami mencintai Madinah ini seperti cinta kami pada Makkah atau lebih
banyak lagi. Sebarkanlah kesehatan di Madinah, berkahilah ukuran dan
timbangannya, singkirkan sakit demamnya, dan sisakanlah air padanya.” (HR. Bukhori
I/588-589)
Pemilik Rumah yang Memberikan Segalanya
Tidak
ada golongan manusia yang begitu mudah memberikan pertolongan sepenuh kemampuan
seperti orang-orang Anshor. Sebelumnya, mereka sedikitpun tidak mengenal orang-orang
yang mereka tolong. Yang mereka tahu hanyalah bahwa mereka adalah sesama muslim.
Saudara
macam apa ini, yang bersedia membagi dua semua miliknya. Dari kebun, toko, rumah,
budak, bahkan jika isterinya disuka ia akan ceraikan segera dan menikahkannya dengan
sang saudara. Itsar, mengutamakan saudara
atas keperluannya sendiri, menjadi puncak dari persaudaraan yang telah dengan cemerlang
diukirkan orang-orang Anshor dalam piagam keislaman mereka. Benarlah Rosululloh,
“Di dalam rumah orang-orang Anshor selalu ada kebaikan!”
Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan
telah beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor)
‘mencintai’ orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshor)
tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan
kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin),
atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang
dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung. (QS. Al-Hasyr: 9)
Dengarkan
Sa’ad bin Mu’adz berbicara atas nama Anshor menjelang hari Badar. Ini saat mereka
akan menghadapi perang yang sebenarnya tidak tercantum dalam klausul bai’at janji
setia mereka kepada Rosululloh. “Kami sudah beriman kepada engkau. Kami sudah membenarkan
engkau. Kami sudah bersaksi bahwa apa yang engkau bawa adalah kebenaran. Kami
sudah berbai’at untuk mendengar dan taat, baik dalam kondisi malas ataupun bersemangat.
Maka majulah terus, wahai Rosululloh, seperti yang engkau kehendaki.“
“Sambunglah
tali siapa pun yang kau kehendaki, putuslah siapapun yang kau kehendaki. Ambillah
dari harta kami menurut kehendak engkau, berikan kepada kami menurut kehendak
engkau. Apa pun yang kau ambil dari kami adalah lebih kami sukai daripada yang kau
tinggalkan untuk kami.”
“Apa
pun yang kau perintahkan, urusan kami hanyalah mengikuti perintahmu. Demi Alloh,
jika engkau maju hingga mencapai dasar sumur yang gelap, tentu kami akan maju
bersama engkau. Demi Alloh, jika engkau terhalang oleh lautan, lalu engkau terjun
ke lautan itu, tentu kami akan terjun bersamamu.”
“Tak
seorang pun di antara kami akan mundur. Sesungguhnya kami dikenal sebagai orang
yang sabar dalam peperangan dan jujur dalam pertempuran. Semoga Alloh
memperlihatkan kepadamu tentang diri kami apa yang engkau senangi. Maka majulah
bersama kami dalam barokah Alloh!”.
Anshor
memang penolong sejati. Keistiqomahan menjaga keberlangsungan pertolongan yang mereka
berikan menjadi indikasi jauhnya mujamalah
(basa basi) dari visi dan aksi mereka. Banyak orang yang bisa menolong, tapi jarang
yang bisa bertahan dalam posisinya sebagai penolong untuk waktu yang begitu lama
sebagaimana telah dilakukan orang-orang Anshor.
Adalah
wajar kalau kadang-kadang sifat manusiawi muncul. Sifat ini justru menunjukkan
bahwa mereka tetap manusia dan bukan ‘malaikat penolong’. Tapi tentu saja, mereka
manusia-manusia yang mulia.
Pembagian
rampasan Hunain di Ji’ronah adalah saksi sisi manusiawi mereka. Sisi manusiawi yang
ketika disadarkan membuat mereka terbang ke alam maha tinggi untuk tetap menjadi
penolong sejati yang dengan bangga pulang membawa serta Alloh dan RosulNya.
Siapa
yang dipanggil di saat semua orang lari dari Rosululloh di lembah Hunain? Dan siapa
yang dengan bergegas menyambut, “Labbaik!”
hingga menggetarkan seluruh wadya musuh yang berlindung di atas bukit? Bukankah
Anshor? Bukankah Anshor yang menjadi kunci kemenangan pasukan ini?
Pertimbangan
manusiawi mengatakan, Anshor yang paling berhak mendapatkan rampasan Hunain yang
memenuhi Wadi itu. Tapi Rosululloh justru membagikannya kepada pemuka-pemuka Thulaqoo, muallaf Makkah yang paling depan dalam melarikan diri dari pertempuran
dan berkata, “Mereka takkan berhenti berlari sampai mencapai laut!”
Ada
sesuatu yang mengganjal setelah pembagian itu, sesuatu yang disampaikan oleh Sa’ad
ibn ‘Ubadah dan membuat orang-orang Anshor dikumpulkan di sebuah kandang. Rosululloh
datang dan berbicara kepada mereka.
“Amma
ba’du. Wahai semua orang Anshor, ada kasak kusuk yang sempat kudengar dari kalian,
dan di dalam diri kalian ada perasaan yang mengganjal terhadapku. Bukankah dulu
aku datang, sementara kalian dalam keadaan sesat lalu Alloh memberi petunjuk kepada
kalian melalui diriku? Bukankah kalian dulu miskin lalu Alloh membuat kalian kaya,
bukankah dulu kalian bercerai berai lalu Alloh menyatukan hati kalian?”
Mereka
menjawab, “Begitulah. Alloh dan RosulNya lebih murah hati dan lebih banyak karunianya.”
“Apakah
kalian tak mau menjawabku, wahai orang-orang Anshor?” tanya beliau.
Mereka
ganti bertanya, “Dengan apa kami menjawabmu, ya Rosulalloh? Milik Alloh dan RosulNya-lah
anugerah dan karunia...”
Beliau
bersabda, “Demi Alloh, kalau kalian menghendaki, dan kalian adalah benar lagi dibenarkan,
maka kalian bisa mengatakan padaku: Engkau datang kepada kami dalam keadaan
didustakan, lalu kami membenarkanmu. Engkau datang dalam keadaan lemah lalu kami
menolongmu. Engkau datang dalam keadaan terusir lagi papa lalu kami memberikan tempat
dan menampungmu.”
Sampai
di sini air mata sudah mulai melinang, pelupuk mereka terasa panas, dan isak mulai
tersedan.
“Apakah
di dalam hati kalian masih membersit hasrat terhadap sampah dunia yang dengan sampah
itu aku hendak mengambil hati segolongan orang agar masuk Islam, sedangkan keislaman
kalian tak mungkin kuragukan?”
“Wahai
semua orang Anshor, apakah tidak berkenan di hati kalian jika orang-orang pulang
bersama domba dan unta, sedang kalian kembali bersama Alloh dan RosulNya ke tempat
tinggal kalian?”
Isak
itu semakin keras, janggut-janggut sudah basah oleh air mata...
“Demi
Dzat yang jiwa Muhammad dalam genggamanNya, kalau bukan karena hijrah, tentu aku
termasuk orang-orang Anshor. Jika manusia menempuh suatu jalan di celah gunung,
dan orang-orang Anshor memilih celah gunung yang lain, tentulah aku pilih celah
yang dilalui orang-orang Anshor. Ya Alloh, sayangilah orang-orang Anshor, anak orang-orang
Anshor, dan cucu orang-orang Anshor...”, Rosululloh menutup penjelasannya dengan
doa yang begitu menenteramkan.
Dan
tentu, akhir dari semua ini mempesona. Semempesona semua pengorbanan orang-orang
Anshor selama ini, “Kami ridho kepada Alloh dan RosulNya dalam pembagian ini. Kami
ridho Alloh dan RosulNya menjadi bagian kami.”
Dan Mereka Bersaudara karena Alloh
Di
keping mata uang perjuangan Islam, Muhajirin dan Anshor mencetak peran agung di
masing-masing sisinya. Masing-masing sisi mata uang itu ditempa dengan palu godam
kesulitan, kenestapaan, rasa sakit, dan airmata, lalu dikilapkan dengan
kerelaan, dan cinta.
Terperangah
kota Qodisiyah menyaksikan pasukan Muhajirin dan Anshor menyeberangi sungai yang
membatasi mereka dengan kamp pasukan Persia. Bangsa Arab yang ‘tak mengenal air’
ini menjadi begitu berani, saling bergandeng tangan, berangkulan membelah Eufrat
yang deras.
Cerita
belum usai, ada yang lebih membuat terperangah. Rombongan besar itu tiba-tiba
berhenti di tengan arus yang ganas dan semuanya membungkuk meraba-raba ke dalam
riak. “Qo’bku! Qo’bku!; Kantong airku!
Kantong airku jatuh!”, seru salah satu anggota pasukan kaum muslimin yang kantong
airnya jatuh. Hal itu membuat puluhan ribu tangan seketika mengaduk-aduk Eufrat
untuk mencarinya.
Panglima
Persia dan pasukannya yang sedang dag dig dug menanti di seberang dengan pedang
terhunus tercekat tenggorokannya. Hanya karena sebuah kantong air semua pasukan
mengaduk-aduk sungai raksasa? “Lalu bagaimana kalau salah satu dari mereka terbunuh
oleh kita?,” serunya.
Ya,
mereka tak pernah akan mengerti tentang ukhuwwah sebelum merasainya. Jika
pedang menebas salah satu dari pasukan muslimin, yang kena pedang tak akan
berteriak karena ia hanya merasakan cubitan yang mengantarnya menuju keridhoan Robbnya.
Yang justru akan berteriak adalah saudara seiman yang ada di sampingnya! “Aaaah!”,
melengking teriakannya, “...Saudaraku, engkau mendahuluiku ke surga! Engkau mendahuluiku
ke surga!”
Masya
Alloh!
Persaudaraan
ini begitu indah, namun tentu tak lepas dari ujian. Salah satu kronik menegangkan
antara Muhajirin dan Anshor adalah ketika tiba masa pengangkatan kholifah setelah
Rosululloh. Orang-orang Anshor berkumpul di Saqifah Bani Sa’idah menyepakati pengangkatan
Sa’ad ibn ‘Ubadah, pemimpin Anshor yang sedang terbaring demam menggigil di pojok
balai.
Abu
Bakar, ‘Umar, dan Abu ‘Ubaidah kemudian datang ke Saqifah. Dengan fasih Abu Bakar
menenangkan Anshor yang sedang dibakar ghiroh.
“Kami (Muhajirin) adalah para Amir, dan
kalian (Anshor) adalah para Wazir... maka
bai’atlah ‘Umar atau orang kepercayaan ummat ini Abu ‘Ubaidah!”
‘Umar
mengepalkan tangan dan gemeretak giginya karena malu sedang Abu ‘Ubaidah menunduk
berkeringat dingin tak mampu mengangkat kepalanya. “Justru engkau yang akan kami
bai’at...”, kata ‘Umar kemudian sambil menggenggam tangan sahabatnya itu.
Satu
saja yang melatari kronik bersejarah ini, motif tanggungjawab kelangsungan da’wah
dan kepemimpinan kaum muslimin. Anshor, penghuni kota sebelum kedatangan Muhajirin
layak untuk menanggung amanah itu, tapi keutamaan Muhajirin dalam tempaan dan manajemen
lebih diperlukan bagi kemashlahatan. Masya Alloh, orang-orang mulia yang bersaudara
ini bisa berselisih, tapi motifnya mulia, dan berakhir juga dengan kemuliaan.
Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama
(masuk Islam) dari golongan Muhajirin dan Anshor dan orang-orang yang mengikuti
mereka dengan baik, Alloh ridho kepada mereka dan merekapun ridho kepada Alloh
dan Alloh menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di
dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang
besar.
(QS. At-Taubah: 100)[]
Credit: “Saksikan bahwa Aku Seorang Muslim”;
Salim A. Fillah; Pro-U Media
Tidak ada komentar:
Posting Komentar