Senin, 04 Mei 2015

Dua Bendera

KEDUA bendera itu berkibar. Dan di atas untanya Nabi duduk dengan kepala tertunduk, “Fasabbih bihamdi Robbika wastaghfirh.” Matanya menitikkan bening yang syahdu. Alloh memenangkannya hari ini. Dan kedua bendera itu berkibar.

Di salah satu sayap ada Sa’d ibn ‘Ubadah, membusungkan dada dengan penuh kebanggaan. Tatapan matanya tajam berkilat. Hari ini, dengan keislamannya, ia merasa mulia di hadapan Makkah yang tiba-tiba terasa kecil dan takluk pada wadya Madinah yang dipimpinnya. “Hari ini adalah hari menangnya kebenaran dan hancurnya kebathilan,” katanya. Bendera yang dihela tangan kanannya mengembang, tegak, dan gagah. Bendera yang berdarah-darah melindungi risalah, membela persaudaraan, dan kini mengantarnya pada sebuah kemenangan; bendera Anshor.

Pada sayap yang lain, Az-Zubair ibn Al-‘Awwam duduk khidmat di atas kudanya. Berjuta rasa berkecamuk di dadanya. Pada Makkah, kota dengan selaksa kenangan baginya. Bayangan kanak-kanaknya yang penuh tawa berselebat dengan bayangan darah dan air mata saat ia dan sejawatnya menegakkan Islam pertama kali, di sana, di titik itu yang kini sedang ditatapnya dengan berkaca-kaca, di dekat Ka’bah yang mulia. Bendera yang dipegangnya meliuk-liuk rindu, bergetar oleh angin nostalgi yang tak terkatakan. Bendera itu, bendera yang menyertai Nabi sejak mula dia didustakan kaumnya, bendera yang terusir dari tanah yang dicintainya, bendera Muhajirin.

Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan Muhajirin dan Anshor dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Alloh ridho kepada mereka dan merekapun ridho kepada Alloh dan Alloh menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar. (QS. At-Taubah: 100)

Jika memang –dan memang- kita memperjuangkan Diin ini dengan bendera-bendera yang tak satu saja, aku ingin bicara padamu tentang dua bendera yang paling indah itu. Muhajirin dan Anshor.

Penegak Panji yang Kesakitan dan Terusir
Dan ingatlah (hai para Muhajirin) ketika kamu masih berjumlah sedikit, lagi tertindas di muka bumi (Makkah), kamu takut orang-orang (Makkah) akan menculik kamu, maka Alloh memberi kamu tempat menetap (Madinah) dan dijadikan-Nya kamu kuat dengan pertolongan-Nya dan diberi-Nya kamu rezeki dari yang baik-baik agar kamu bersyukur. (QS. Al-Anfal: 26)

Hari-hari di Makkah adalah hari-hari ujian bagi para calon Muhajirin. Setiap kabilah berlomba untuk menyiksa dan mengembalikan anggota kabilah dan budak mereka kepada penyembahan Lataa dan ‘Uzza.

Ada banyak cerita nestapa yang menggidikkan bulu roma. Tentang Bilal, keluarga Yassir, Sumayyah, dan Ammar anaknya. Saat Rosul hanya bisa berkata dengan hati pedih melihat mereka, “Ishbir, Yaa Aala Yassir; Bersabar, wahai keluarga Yassir, sesungguhnya istana kembali kalian di surga yang di bawahnya sungai mengalir.” Juga tentang Khobbab, pandai besi yang dipanggang di atas bara dan lelehan besi buatannya sendiri sampai keduanya padam oleh cairan tubuhnya, luar biasa! Bara dan besi membara itu padam karena tetesan cairan tubuhnya yang melepuh terbakar.

Tak hanya orang lemah yang mendapatkan ujian seperti ini. Mush’ab ibn ’Umair, pemuda paling tampan, wangi, dan halus kulitnya, kemilau rambutnya, serta paling modis pakaiannya di masa jahiliah, diboikot oleh ibu yang sebelumnya sangat menyayanginya. Syaikh Shofiyyurrohman dalam Ar-Rohiqul Makhtum-nya menggambarkan akibat boikot ini, “...Kulit Mush’ab mengelupas seperti ular yang berganti kulit.“ Keadaan ini dibawa Mush’ab dalam hijrahnya, sampai suatu hari di Masjid Nabawi, Rosululloh menangis mengenang keadaannya.

Di kalangan orang terpandang, Abu Jahl akan menjadi orang pertama yang menakut-nakuti, menjanjikan uang dan kedudukan kepada mereka yang masuk Islam agar kembali murtad. Tapi pembentukan jiwa-jiwa keimanan belum berakhir di sini. Semua akan merasai menjadi faqir ddn terusir. Bahkan meski sebelumnya ia orang kaya yang sangat pemurah seperti Abu Bakar yang membeli dan memerdekakan semua budak yang masuk Islam. Semua akan merasai menjadi faqir dan terusir, ketika mereka harus berhijrah meninggalkan segala milik dan kecintaan.

(Juga) bagi orang fakir yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Alloh dan keridhoan-Nya dan mereka menolong Alloh dan Rosul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar. (QS. Al-Hasyr: 8)

Hijrah adalah pengorbanan yang begitu mengiris perasaan. Ini adalah perjalanan yang serba mengambang. Tanpa harapan, tak jelas kesudahan. Yang lemah dan terbiasa menderita tak tahu duka lara apa lagi yang akan mereka terima, apatah lagi yang biasa berkecukupan. Keluarga, rumah yang nyaman, tempat usaha yang prospektif, semua harus ditinggalkan untuk mengejar ketidakjelasan. Apalagi Madinah bukan tempat yang menjanjikan.

Shuhaib ibn Sinan, imigran Romawi yang gemilang membangun usahanya di Makkah harus meninggalkan sukses yang ia bangun dari nol itu. Komentar manusiawi atas peristiwa ini tentu berbunyi, “Shuhaib bangkrut!”. Tapi dimensi keimanan ternyata menyusun sebuah kalimat lain di lisan RosulNya yang berbunyi, “Robiha Shuhaib; Shuhaib beruntung, Shuhaib beruntung!”

Hijrah juga menyisipkan kisah keberanian tentang ‘Umar, yang berangkat dengan kata pamit berupa tantangan. Ia tidak ingin seperti orang lain yang berangkat sembunyi-sembunyi. Setelah thowaf mengelilingi Ka’bah, ia berkata di hadapan pemuka-pemuka Quroisy, “Saksikanlah oleh kalian bahwa Ibnul Khoththob akan berhijrah. Siapa yang ingin isterinya menjadi janda, anaknya menjadi yatim, atau ibunya meratapi kematiannya, silahkan ia menemuiku sendiri di balik bukit ini!”

Di balik ketegaran mereka, Abu Bakar dan Bilal tetap saja shock ketika tiba di Madinah. Demam tinggi membuat mereka merintih kesakitan. Rindu rumah, rindu tanah, tetap saja menjadi penyakit yang manusiawi. Dalam demamnya, Abu Bakar pun bersyair:

Kala pagi,
Setiap orang bisa berkumpul dengan keluarga.
Namun kematian lebih dekat dari tali terompahnya!

Ketika keadaan itu disampaikan kepada Rosululloh, beliau pun berdoa:

“Ya Alloh, buatlah kami mencintai Madinah ini seperti cinta kami pada Makkah atau lebih banyak lagi. Sebarkanlah kesehatan di Madinah, berkahilah ukuran dan timbangannya, singkirkan sakit demamnya, dan sisakanlah air padanya.” (HR. Bukhori I/588-589)

Pemilik Rumah yang Memberikan Segalanya
Tidak ada golongan manusia yang begitu mudah memberikan pertolongan sepenuh kemampuan seperti orang-orang Anshor. Sebelumnya, mereka sedikitpun tidak mengenal orang-orang yang mereka tolong. Yang mereka tahu hanyalah bahwa mereka adalah sesama muslim.

Saudara macam apa ini, yang bersedia membagi dua semua miliknya. Dari kebun, toko, rumah, budak, bahkan jika isterinya disuka ia akan ceraikan segera dan menikahkannya dengan sang saudara. Itsar, mengutamakan saudara atas keperluannya sendiri, menjadi puncak dari persaudaraan yang telah dengan cemerlang diukirkan orang-orang Anshor dalam piagam keislaman mereka. Benarlah Rosululloh, “Di dalam rumah orang-orang Anshor selalu ada kebaikan!”

Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) ‘mencintai’ orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung. (QS. Al-Hasyr: 9)

Dengarkan Sa’ad bin Mu’adz berbicara atas nama Anshor menjelang hari Badar. Ini saat mereka akan menghadapi perang yang sebenarnya tidak tercantum dalam klausul bai’at janji setia mereka kepada Rosululloh. “Kami sudah beriman kepada engkau. Kami sudah membenarkan engkau. Kami sudah bersaksi bahwa apa yang engkau bawa adalah kebenaran. Kami sudah berbai’at untuk mendengar dan taat, baik dalam kondisi malas ataupun bersemangat. Maka majulah terus, wahai Rosululloh, seperti yang engkau kehendaki.“

“Sambunglah tali siapa pun yang kau kehendaki, putuslah siapapun yang kau kehendaki. Ambillah dari harta kami menurut kehendak engkau, berikan kepada kami menurut kehendak engkau. Apa pun yang kau ambil dari kami adalah lebih kami sukai daripada yang kau tinggalkan untuk kami.”

“Apa pun yang kau perintahkan, urusan kami hanyalah mengikuti perintahmu. Demi Alloh, jika engkau maju hingga mencapai dasar sumur yang gelap, tentu kami akan maju bersama engkau. Demi Alloh, jika engkau terhalang oleh lautan, lalu engkau terjun ke lautan itu, tentu kami akan terjun bersamamu.”

“Tak seorang pun di antara kami akan mundur. Sesungguhnya kami dikenal sebagai orang yang sabar dalam peperangan dan jujur dalam pertempuran. Semoga Alloh memperlihatkan kepadamu tentang diri kami apa yang engkau senangi. Maka majulah bersama kami dalam barokah Alloh!”.

Anshor memang penolong sejati. Keistiqomahan menjaga keberlangsungan pertolongan yang mereka berikan menjadi indikasi jauhnya mujamalah (basa basi) dari visi dan aksi mereka. Banyak orang yang bisa menolong, tapi jarang yang bisa bertahan dalam posisinya sebagai penolong untuk waktu yang begitu lama sebagaimana telah dilakukan orang-orang Anshor.

Adalah wajar kalau kadang-kadang sifat manusiawi muncul. Sifat ini justru menunjukkan bahwa mereka tetap manusia dan bukan ‘malaikat penolong’. Tapi tentu saja, mereka manusia-manusia yang mulia.

Pembagian rampasan Hunain di Ji’ronah adalah saksi sisi manusiawi mereka. Sisi manusiawi yang ketika disadarkan membuat mereka terbang ke alam maha tinggi untuk tetap menjadi penolong sejati yang dengan bangga pulang membawa serta Alloh dan RosulNya.

Siapa yang dipanggil di saat semua orang lari dari Rosululloh di lembah Hunain? Dan siapa yang dengan bergegas menyambut, “Labbaik!” hingga menggetarkan seluruh wadya musuh yang berlindung di atas bukit? Bukankah Anshor? Bukankah Anshor yang menjadi kunci kemenangan pasukan ini?

Pertimbangan manusiawi mengatakan, Anshor yang paling berhak mendapatkan rampasan Hunain yang memenuhi Wadi itu. Tapi Rosululloh justru membagikannya kepada pemuka-pemuka Thulaqoo, muallaf Makkah yang paling depan dalam melarikan diri dari pertempuran dan berkata, “Mereka takkan berhenti berlari sampai mencapai laut!”

Ada sesuatu yang mengganjal setelah pembagian itu, sesuatu yang disampaikan oleh Sa’ad ibn ‘Ubadah dan membuat orang-orang Anshor dikumpulkan di sebuah kandang. Rosululloh datang dan berbicara kepada mereka.

“Amma ba’du. Wahai semua orang Anshor, ada kasak kusuk yang sempat kudengar dari kalian, dan di dalam diri kalian ada perasaan yang mengganjal terhadapku. Bukankah dulu aku datang, sementara kalian dalam keadaan sesat lalu Alloh memberi petunjuk kepada kalian melalui diriku? Bukankah kalian dulu miskin lalu Alloh membuat kalian kaya, bukankah dulu kalian bercerai berai lalu Alloh menyatukan hati kalian?”

Mereka menjawab, “Begitulah. Alloh dan RosulNya lebih murah hati dan lebih banyak karunianya.”

“Apakah kalian tak mau menjawabku, wahai orang-orang Anshor?” tanya beliau.

Mereka ganti bertanya, “Dengan apa kami menjawabmu, ya Rosulalloh? Milik Alloh dan RosulNya-lah anugerah dan karunia...”

Beliau bersabda, “Demi Alloh, kalau kalian menghendaki, dan kalian adalah benar lagi dibenarkan, maka kalian bisa mengatakan padaku: Engkau datang kepada kami dalam keadaan didustakan, lalu kami membenarkanmu. Engkau datang dalam keadaan lemah lalu kami menolongmu. Engkau datang dalam keadaan terusir lagi papa lalu kami memberikan tempat dan menampungmu.”

Sampai di sini air mata sudah mulai melinang, pelupuk mereka terasa panas, dan isak mulai tersedan.

“Apakah di dalam hati kalian masih membersit hasrat terhadap sampah dunia yang dengan sampah itu aku hendak mengambil hati segolongan orang agar masuk Islam, sedangkan keislaman kalian tak mungkin kuragukan?”

“Wahai semua orang Anshor, apakah tidak berkenan di hati kalian jika orang-orang pulang bersama domba dan unta, sedang kalian kembali bersama Alloh dan RosulNya ke tempat tinggal kalian?”

Isak itu semakin keras, janggut-janggut sudah basah oleh air mata...

“Demi Dzat yang jiwa Muhammad dalam genggamanNya, kalau bukan karena hijrah, tentu aku termasuk orang-orang Anshor. Jika manusia menempuh suatu jalan di celah gunung, dan orang-orang Anshor memilih celah gunung yang lain, tentulah aku pilih celah yang dilalui orang-orang Anshor. Ya Alloh, sayangilah orang-orang Anshor, anak orang-orang Anshor, dan cucu orang-orang Anshor...”, Rosululloh menutup penjelasannya dengan doa yang begitu menenteramkan.

Dan tentu, akhir dari semua ini mempesona. Semempesona semua pengorbanan orang-orang Anshor selama ini, “Kami ridho kepada Alloh dan RosulNya dalam pembagian ini. Kami ridho Alloh dan RosulNya menjadi bagian kami.”

Dan Mereka Bersaudara karena Alloh
Di keping mata uang perjuangan Islam, Muhajirin dan Anshor mencetak peran agung di masing-masing sisinya. Masing-masing sisi mata uang itu ditempa dengan palu godam kesulitan, kenestapaan, rasa sakit, dan airmata, lalu dikilapkan dengan kerelaan, dan cinta.

Terperangah kota Qodisiyah menyaksikan pasukan Muhajirin dan Anshor menyeberangi sungai yang membatasi mereka dengan kamp pasukan Persia. Bangsa Arab yang ‘tak mengenal air’ ini menjadi begitu berani, saling bergandeng tangan, berangkulan membelah Eufrat yang deras.

Cerita belum usai, ada yang lebih membuat terperangah. Rombongan besar itu tiba-tiba berhenti di tengan arus yang ganas dan semuanya membungkuk meraba-raba ke dalam riak. “Qo’bku! Qo’bku!; Kantong airku! Kantong airku jatuh!”, seru salah satu anggota pasukan kaum muslimin yang kantong airnya jatuh. Hal itu membuat puluhan ribu tangan seketika mengaduk-aduk Eufrat untuk mencarinya.

Panglima Persia dan pasukannya yang sedang dag dig dug menanti di seberang dengan pedang terhunus tercekat tenggorokannya. Hanya karena sebuah kantong air semua pasukan mengaduk-aduk sungai raksasa? “Lalu bagaimana kalau salah satu dari mereka terbunuh oleh kita?,” serunya.

Ya, mereka tak pernah akan mengerti tentang ukhuwwah sebelum merasainya. Jika pedang menebas salah satu dari pasukan muslimin, yang kena pedang tak akan berteriak karena ia hanya merasakan cubitan yang mengantarnya menuju keridhoan Robbnya. Yang justru akan berteriak adalah saudara seiman yang ada di sampingnya! “Aaaah!”, melengking teriakannya, “...Saudaraku, engkau mendahuluiku ke surga! Engkau mendahuluiku ke surga!”

Masya Alloh!

Persaudaraan ini begitu indah, namun tentu tak lepas dari ujian. Salah satu kronik menegangkan antara Muhajirin dan Anshor adalah ketika tiba masa pengangkatan kholifah setelah Rosululloh. Orang-orang Anshor berkumpul di Saqifah Bani Sa’idah menyepakati pengangkatan Sa’ad ibn ‘Ubadah, pemimpin Anshor yang sedang terbaring demam menggigil di pojok balai.

Abu Bakar, ‘Umar, dan Abu ‘Ubaidah kemudian datang ke Saqifah. Dengan fasih Abu Bakar menenangkan Anshor yang sedang dibakar ghiroh. “Kami (Muhajirin) adalah para Amir, dan kalian (Anshor) adalah para Wazir... maka bai’atlah ‘Umar atau orang kepercayaan ummat ini Abu ‘Ubaidah!”

‘Umar mengepalkan tangan dan gemeretak giginya karena malu sedang Abu ‘Ubaidah menunduk berkeringat dingin tak mampu mengangkat kepalanya. “Justru engkau yang akan kami bai’at...”, kata ‘Umar kemudian sambil menggenggam tangan sahabatnya itu.

Satu saja yang melatari kronik bersejarah ini, motif tanggungjawab kelangsungan da’wah dan kepemimpinan kaum muslimin. Anshor, penghuni kota sebelum kedatangan Muhajirin layak untuk menanggung amanah itu, tapi keutamaan Muhajirin dalam tempaan dan manajemen lebih diperlukan bagi kemashlahatan. Masya Alloh, orang-orang mulia yang bersaudara ini bisa berselisih, tapi motifnya mulia, dan berakhir juga dengan kemuliaan.

Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan Muhajirin dan Anshor dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Alloh ridho kepada mereka dan merekapun ridho kepada Alloh dan Alloh menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar. (QS. At-Taubah: 100)[]


Credit: “Saksikan bahwa Aku Seorang Muslim”; Salim A. Fillah; Pro-U Media

Tidak ada komentar:

Posting Komentar