HARI itu, anak beranak, Ibrohim dan Isma’il
menyelesaikan tugas peradaban mereka; membina dan meninggikan dasar-dasar Baitulloh.
Mereka berdua, dengan peluh yang belum terseka pada terik padang pasir yang memeras
keringat, menengadahkan tangan. Doa itu, doa yang sederhana. Meminta agar amal-amalnya
diterima. Doa itu, doa yang tawadhu’.
Memohon petunjuk untuk beribadah dalam ridhoNya. Doa itu, doa yang menyejarah.
Memohon kesinambungan peradaban untuk suatu ummat yang terus mendengar ayat-ayatNya,
mempelajari Kitab dan hikmah, serta mensucikan dirinya.
“Ya Tuhan kami; utuslah untuk mereka seorang Rosul
dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan
kepada mereka Al-Kitab dan Al-Hikmah serta menyucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah
yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Baqoroh: 129)
Doa itu berjawab. Dengarlah
ketika Alloh mengingatkan pewaris-pewaris Ka’bah yang membanggakan Ibrohim namun
meninggalkan jalannya itu dengan sebuah kalimat yang abadi.
Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan nikmat Kami
kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rosul diantara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu
dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al-Kitab dan
Al-Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui. (QS. Al-Baqoroh:
151)
Lalu kaum yang buta
huruf itu pun diajari untuk mendengarkan ayat-ayat Alloh, mensucikan diri
mereka dari dosa-dosa dan perilaku jahili, serta mempelajari Kitab Alloh dan peri
teladan manusia yang diutusnya untuk menjadi kemuliaan bagi mereka. Muhammad, Shollallohu ’Alaihi wa Sallam adalah jawab
bagi doa Ibrohim dan Isma’il. Tiga hal selalu tersebut dalam ayat yang senada ini.
Perhatikan misalnya, tiga kata yang selalu saya tebalkan di masing-masing ayat.
Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang
Rosul di antara mereka, yang membacakan
ayat-ayat-Nya kepada mereka, menyucikan
mereka dan mengajarkan kepada mereka
Kitab dan Al-Hikmah. Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam
kesesatan yang nyata.
(QS. Al-Jumu’ah: 2)
Inilah tiga langkah
yang dilakukan Rosululloh untuk merevolusi masyarakat jahiliah, masyarakat yang
berada dalam kesesatan nyata menjadi guru dunia. Pertama, tilawah, berarti membacakan ayat-ayat Alloh. Kedua, tazkiyah, artinya mensucikan. Dan ketiga
ta’lim, artinya mengajarkan. Secara
sederhana, sering kita menyebut tiga hal dari doa Ibrohim, ijabah Alloh, dan
langkah-langkah pembinaan Rosululloh itu dengan satu kata ringkas: tarbiyah.
Syaikhul ’Azhar ‘Ali
‘Abdul Halim Mahmud menyebut tarbiyah sebagai cara ideal dalam berinteraksi dengan
fithrah manusia, secara langsung maupun tidak, untuk memproses perubahan dalam diri
manusia menuju kondisi yang lebih baik. Proses itu, menurutnya, harus menyentuh
seluruh aspek kehidupannya, meliputi ruh, akal, dan jasmaninya. Setelah lama kaum
muslimin ‘sekedar menikmati’ peradaban yang dibangun para pendahulu dengan jalan
Nabawi itu, abad keduapuluh menyaksikan penggalian kembali nilai tarbiyah sebagai
konsekuensi sampainya mereka di titik terbawah kemerosotan.
Saat itu, cuaca peradaban
sedang suram di seluruh dunia Islam. benar-benar telah terbenam setelah kabut yang
menggulungnya berabad lamanya sempurna menjadi malam dengan senja yang
bertanduk syaithon. Tetapi empat tahun setelah 1924, tahun yang dikenang Taqiyyudin
An-Nabhani dan pergerakan Hizbut Tahrir sebagai tahun runtuhnya Khilafah, di
Mesir, purnama itu mulai mengintip malu dari balik awan. Lelaki itu, Hasan Al-Banna,
membuat sebuah keputusan menyejarah di usianya yang keduapuluh dua. Al-Ikhwan
Al-Muslimun. Pergerakan yang core-nya
ia desain menurut doa Ibrohim, sesuai ijabah Ilahi, dan langkah-langkah Nabawi.
Tarbiyah.
‘Umar At-Tilmisani,
pelanjutnya yang ketiga, menyebut sistem tarbiyah ini dalam membangkitkan kejayaan
Islam akan menjadi jalan yang sangat panjang tapi tercepat, butuh waktu lama tapi
terjamin hasilnya, dan perlu banyak pengorbanan namun terjaga asholahnya. Demikianlah, katanya, karakteristik
da’wah para Rosul.
Bagi gerakan yang didirikan
Al-Banna, tarbiyah memiliki sedikitnya tiga makna. Katakanlah ia berakar dari
kata Robaa, Yarbuu. Tumbuh. Tarbiyah menumbuhkan seseorang dari kekanakan ruh, kekanakan
akal, dan kekanakan jasad menuju kematangan dan kedewasaan masing-masingnya.
Ruh yang dewasa, akal yang dewasa, dan jasad yang dewasa untuk memetakan diri, menyikapi
masalah-masalah, dan mengemban tugas-tugas. Tarbiyah adalah sebuah Improvement.
Atau Robiya, Yurbii. Berkembang. Tarbiyah mengembangkan manusia muslim dalam kemampuan-kemampuan
yang dibutuhkannya menjalani kehidupan. Ia dalam tugasnya sebagai ‘abdullah yang beribadah kepada Alloh, dan
sebagai kholifah yang akan mengelola bumi seisinya di-train untuk memiliki kompetensi yang dikembangkan dari potensi-potensi
yang telah dikaruniakan Alloh kepadanya. Setelah mengajaknya mengenali potensinya,
ia mengajaknya mengembangkannya. Tarbiyah adalah Development.
Atau Robbaa, Yarubbu. Memberdayakan. Ia yang telah tumbuh dan berkembang, harus diarahkan
untuk berdayaguna. Islam memanggil manusia-manusia muslim untuk membuktikan keunggulannya.
Islam menghendaki agar sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat, paling
besar dayaguna dan kontribusinya bagi dunia. Tarbiyah adalah Empowerment.
Dalam kerangka kerja
peradaban Anis Matta, tarbiyah adalah Afiliasi, Partisipasi, dan Kontribusi.
Jarak antara Islam dan manusia muslim sedemikian jauh, hingga Muhammad ‘Abduh harus
tertekuk dengan ungkapan terkenalnya, “Al-Islaamu
mahjuubun bil muslimiin; Keagungan Islam telah terhijab oleh kekerdilan pemeluknya.”
Maka dibutuhkan sebuah rekonstruksi terhadap manusia muslim agar ia menjadi terjemahan
hidup dari Islam yang tertatah dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Islam, kata beliau,
dengan mudah akan memenangkan pertarungan di tataran ideologi dan pemikiran. Tetapi
medan pertarungan yang sesungguhnya justru terletak di belantara politik, di
panggung budaya, di tengah desingan mesiu, dan di seluruh pojok bumi. Itulah medan
manusia. Kebenaran Islam, adalah layaknya sebilah pedang tajam terhunus yang
menanti tangan perkasa sang pahlawan.
Langkah pertama, afiliasi, mengisyaratkan agar da’wah mengembalikan
keberpihakan ummat kepada agamanya. Pemahaman terwaris itu harus diubah menjadi
pemahaman yang diperoleh dalam keterbimbingan. Keislaman itu harus memiliki
akar yang tidak mudah tercerabut dari hati. Bangunkan ketertiduran itu. Padanya
ada kerja-kerja tarbiyah. Membacakan ayat Alloh, mensucikan hati, dan mengajarkan
apa-apa yang akan menjawab pertanyaan dan kebutuhan mereka.
Langkah kedua, partisipasi, adalah kerja-kerja untuk melepas
individu muslim yang kokoh afiliasinya terhadap Islam ke tengah masyarakat. Ia yang
sholih, akan menjadi seorang mushlih,
mendistribusikan kesholihannya di tengah masyarakat. Ia menjadi bagian, sekaligus
inti keras yang akan menguatkan masyarakat. Padanya ada kerja-kerja tarbiyah. Menumbuhkan,
mengembangkan, memberdayakan.
Langkah ketiga, kontribusi, adalah memastikan agar tiap individu
muslim yang berpartisipasi itu mencapai taraf optimal dalam memberikan kontribusi
bagi Islam. Salah satu sumber kekayaan masyarakat Islam adalah keunikan individual
dari masing-masing manusia muslim, yang apabila potensi-potensi itu tertuang secara
penuh dan membentuk suatu muara Islam yang sinergis, sebuah gelombang peradaban
yang dahsyat akan segera menggemuruh membelah sejarah. Padanya ada kerja-kerja tarbiyah.
Menyentuh seluruh aspek kehidupan. Ruhnya, akalnya, dan jasadnya.
Akan ada waktu kiranya,
kata beliau, di mana ummat manusia akan sulit membedakan antara pesona kebenaran
Islam, dengan pesona kepribadian muslim. Saya percaya, tentu dengan satu kata
awal yang menyejarah itu. Tarbiyah.[]
Credit: “Saksikan bahwa Aku Seorang
Muslim”; Salim A. Fillah; Pro-U Media
Tidak ada komentar:
Posting Komentar