Senin, 04 Mei 2015

Tarbiyah, Menyejarah

HARI itu, anak beranak, Ibrohim dan Isma’il menyelesaikan tugas peradaban mereka; membina dan meninggikan dasar-dasar Baitulloh. Mereka berdua, dengan peluh yang belum terseka pada terik padang pasir yang memeras keringat, menengadahkan tangan. Doa itu, doa yang sederhana. Meminta agar amal-amalnya diterima. Doa itu, doa yang tawadhu’. Memohon petunjuk untuk beribadah dalam ridhoNya. Doa itu, doa yang menyejarah. Memohon kesinambungan peradaban untuk suatu ummat yang terus mendengar ayat-ayatNya, mempelajari Kitab dan hikmah, serta mensucikan dirinya.

“Ya Tuhan kami; utuslah untuk mereka seorang Rosul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan Al-Hikmah serta menyucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Baqoroh: 129)

Doa itu berjawab. Dengarlah ketika Alloh mengingatkan pewaris-pewaris Ka’bah yang membanggakan Ibrohim namun meninggalkan jalannya itu dengan sebuah kalimat yang abadi.

Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rosul diantara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al-Kitab dan Al-Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui. (QS. Al-Baqoroh: 151)

Lalu kaum yang buta huruf itu pun diajari untuk mendengarkan ayat-ayat Alloh, mensucikan diri mereka dari dosa-dosa dan perilaku jahili, serta mempelajari Kitab Alloh dan peri teladan manusia yang diutusnya untuk menjadi kemuliaan bagi mereka. Muhammad, Shollallohu ’Alaihi wa Sallam adalah jawab bagi doa Ibrohim dan Isma’il. Tiga hal selalu tersebut dalam ayat yang senada ini. Perhatikan misalnya, tiga kata yang selalu saya tebalkan di masing-masing ayat.

Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rosul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, menyucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Al-Hikmah. Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata. (QS. Al-Jumu’ah: 2)

Inilah tiga langkah yang dilakukan Rosululloh untuk merevolusi masyarakat jahiliah, masyarakat yang berada dalam kesesatan nyata menjadi guru dunia. Pertama, tilawah, berarti membacakan ayat-ayat Alloh. Kedua, tazkiyah, artinya mensucikan. Dan ketiga ta’lim, artinya mengajarkan. Secara sederhana, sering kita menyebut tiga hal dari doa Ibrohim, ijabah Alloh, dan langkah-langkah pembinaan Rosululloh itu dengan satu kata ringkas: tarbiyah.

Syaikhul ’Azhar ‘Ali ‘Abdul Halim Mahmud menyebut tarbiyah sebagai cara ideal dalam berinteraksi dengan fithrah manusia, secara langsung maupun tidak, untuk memproses perubahan dalam diri manusia menuju kondisi yang lebih baik. Proses itu, menurutnya, harus menyentuh seluruh aspek kehidupannya, meliputi ruh, akal, dan jasmaninya. Setelah lama kaum muslimin ‘sekedar menikmati’ peradaban yang dibangun para pendahulu dengan jalan Nabawi itu, abad keduapuluh menyaksikan penggalian kembali nilai tarbiyah sebagai konsekuensi sampainya mereka di titik terbawah kemerosotan.

Saat itu, cuaca peradaban sedang suram di seluruh dunia Islam. benar-benar telah terbenam setelah kabut yang menggulungnya berabad lamanya sempurna menjadi malam dengan senja yang bertanduk syaithon. Tetapi empat tahun setelah 1924, tahun yang dikenang Taqiyyudin An-Nabhani dan pergerakan Hizbut Tahrir sebagai tahun runtuhnya Khilafah, di Mesir, purnama itu mulai mengintip malu dari balik awan. Lelaki itu, Hasan Al-Banna, membuat sebuah keputusan menyejarah di usianya yang keduapuluh dua. Al-Ikhwan Al-Muslimun. Pergerakan yang core-nya ia desain menurut doa Ibrohim, sesuai ijabah Ilahi, dan langkah-langkah Nabawi. Tarbiyah.

‘Umar At-Tilmisani, pelanjutnya yang ketiga, menyebut sistem tarbiyah ini dalam membangkitkan kejayaan Islam akan menjadi jalan yang sangat panjang tapi tercepat, butuh waktu lama tapi terjamin hasilnya, dan perlu banyak pengorbanan namun terjaga asholahnya. Demikianlah, katanya, karakteristik da’wah para Rosul.

Bagi gerakan yang didirikan Al-Banna, tarbiyah memiliki sedikitnya tiga makna. Katakanlah ia berakar dari kata Robaa, Yarbuu. Tumbuh. Tarbiyah menumbuhkan seseorang dari kekanakan ruh, kekanakan akal, dan kekanakan jasad menuju kematangan dan kedewasaan masing-masingnya. Ruh yang dewasa, akal yang dewasa, dan jasad yang dewasa untuk memetakan diri, menyikapi masalah-masalah, dan mengemban tugas-tugas. Tarbiyah adalah sebuah Improvement.

Atau Robiya, Yurbii. Berkembang. Tarbiyah mengembangkan manusia muslim dalam kemampuan-kemampuan yang dibutuhkannya menjalani kehidupan. Ia dalam tugasnya sebagai ‘abdullah yang beribadah kepada Alloh, dan sebagai kholifah yang akan mengelola bumi seisinya di-train untuk memiliki kompetensi yang dikembangkan dari potensi-potensi yang telah dikaruniakan Alloh kepadanya. Setelah mengajaknya mengenali potensinya, ia mengajaknya mengembangkannya. Tarbiyah adalah Development.

Atau Robbaa, Yarubbu. Memberdayakan. Ia yang telah tumbuh dan berkembang, harus diarahkan untuk berdayaguna. Islam memanggil manusia-manusia muslim untuk membuktikan keunggulannya. Islam menghendaki agar sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat, paling besar dayaguna dan kontribusinya bagi dunia. Tarbiyah adalah Empowerment.

Dalam kerangka kerja peradaban Anis Matta, tarbiyah adalah Afiliasi, Partisipasi, dan Kontribusi. Jarak antara Islam dan manusia muslim sedemikian jauh, hingga Muhammad ‘Abduh harus tertekuk dengan ungkapan terkenalnya, “Al-Islaamu mahjuubun bil muslimiin; Keagungan Islam telah terhijab oleh kekerdilan pemeluknya.” Maka dibutuhkan sebuah rekonstruksi terhadap manusia muslim agar ia menjadi terjemahan hidup dari Islam yang tertatah dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Islam, kata beliau, dengan mudah akan memenangkan pertarungan di tataran ideologi dan pemikiran. Tetapi medan pertarungan yang sesungguhnya justru terletak di belantara politik, di panggung budaya, di tengah desingan mesiu, dan di seluruh pojok bumi. Itulah medan manusia. Kebenaran Islam, adalah layaknya sebilah pedang tajam terhunus yang menanti tangan perkasa sang pahlawan.

Langkah pertama, afiliasi, mengisyaratkan agar da’wah mengembalikan keberpihakan ummat kepada agamanya. Pemahaman terwaris itu harus diubah menjadi pemahaman yang diperoleh dalam keterbimbingan. Keislaman itu harus memiliki akar yang tidak mudah tercerabut dari hati. Bangunkan ketertiduran itu. Padanya ada kerja-kerja tarbiyah. Membacakan ayat Alloh, mensucikan hati, dan mengajarkan apa-apa yang akan menjawab pertanyaan dan kebutuhan mereka.

Langkah kedua, partisipasi, adalah kerja-kerja untuk melepas individu muslim yang kokoh afiliasinya terhadap Islam ke tengah masyarakat. Ia yang sholih, akan menjadi seorang mushlih, mendistribusikan kesholihannya di tengah masyarakat. Ia menjadi bagian, sekaligus inti keras yang akan menguatkan masyarakat. Padanya ada kerja-kerja tarbiyah. Menumbuhkan, mengembangkan, memberdayakan.

Langkah ketiga, kontribusi, adalah memastikan agar tiap individu muslim yang berpartisipasi itu mencapai taraf optimal dalam memberikan kontribusi bagi Islam. Salah satu sumber kekayaan masyarakat Islam adalah keunikan individual dari masing-masing manusia muslim, yang apabila potensi-potensi itu tertuang secara penuh dan membentuk suatu muara Islam yang sinergis, sebuah gelombang peradaban yang dahsyat akan segera menggemuruh membelah sejarah. Padanya ada kerja-kerja tarbiyah. Menyentuh seluruh aspek kehidupan. Ruhnya, akalnya, dan jasadnya.

Akan ada waktu kiranya, kata beliau, di mana ummat manusia akan sulit membedakan antara pesona kebenaran Islam, dengan pesona kepribadian muslim. Saya percaya, tentu dengan satu kata awal yang menyejarah itu. Tarbiyah.[]


Credit: “Saksikan bahwa Aku Seorang Muslim”; Salim A. Fillah; Pro-U Media

Tidak ada komentar:

Posting Komentar