Sabtu, 09 Mei 2015

Kebanyakan

Al-Qur’an sering menyebutkan “kebanyakan” (misalnya, “…aktsaruhum la ya’qiluun”) dengan menunjukkan kualitas mental yang buruk, mudah terpengaruh, tidak berpikir jernih, mudah lalai dan lengah, mudah ingkar, tidak beriman, fasik, tidak bersyukur, dan mudah mengalami kesesatan.

Orang-orang ‘kebanyakan’ adalah orang yang merugi. Meski tidak menyebutkan dengan ungkapan “kebanyakan”, tetapi yang dimaksud merugi pada surat al-‘Ashr adalah orang ‘kebanyakan’. Bahkan lebih mendasar lagi, sesungguhnya setiap manusia itu merugi, kecuali bagi orang-orang yang beriman dan beramal sholih serta saling menasehati dalam kebenaran dan kesabaran. Dalam surat at-Tin, orang yang selamat dari “asfala saafilin” merupakan pengecualian, yakni “kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal sholih; maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya”.

Orang ‘kebanyakan’ adalah golongan yang tidak peka, tidak mengambil pelajaran dari peristiwa-peristiwa, dan mudah digiring opininya. Orang kebanyakan adalah mereka yang tidak bersyukur (dan agaknya kita masih termasuk yang demikian). Alloh swt. berfirman, “Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang keluar dari kampung-kampung halaman mereka, sedang mereka beribu-ribu (jumlahnya) karena takut mati, maka Alloh berfirman kepada mereka, ‘Matilah kamu’ kemudian Alloh menghidupkan mereka. Sesungguhnya Alloh mempunyai karunia terhadap manusia, tetapi ‘kebanyakan’ manusia tidak bersyukur”. (Qs. al-Baqoroh [2]: 243)

‘Kebanyakan’ bisikan dan yang serupa dengan itu merupakan sampah. Tidak ada kebaikan di dalamnya. Alloh berfirman, “Tidak ada kebaikan pada ‘kebanyakan’ najwa mereka, kecuali najwa dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma’ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari ridho Alloh, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar”. (Qs. an-Nisaa’ [4]: 114)

Najwa adalah bisikan, obrolan, atau perbincangan. Ia juga berdekatan maknanya dengan kalam (ucapan). Ibnu Katsir menerangkan bahwa tidak ada kebaikan dalam najwa manusia, kecuali najwa orang-orang yang mengungkapkan ketiga hal itu. Ibnu Katsir mendasarkan pada hadits riwayat Ibnu Mardawih, “Semua ucapan anak Adam memberatkannya, kecuali berzikir kepada Alloh ‘Azza wa Jalla, menyuruh kepada yang ma’ruf, atau melarang dari kemungkaran”.

Kebanyakan najwa adalah sampah dan sia-sia, tetapi kebanyakan orang mengikutinya, kecuali orang-orang yang peka mata hatinya. Mengikuti kebanyakan pendapat orang-orang yang ada di muka bumi akan mengantarkan kita kepada kesia-siaan; hidup yang tanpa makna, mati tanpa arti.

Jika peribahasa latin mengatakan “Vox populi vox dei” (suara rakyat adalah suara Tuhan), maka al-Qur’an mengingatkan kita, “Jika kamu mengikuti ‘kebanyakan’ orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Alloh. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Alloh)”. (Qs. al-An’am [6]: 116)

Mengikuti logika ‘kebanyakan’ akan membawa kita pada kejumudan, kemunduran, dan bahkan kehancuran. Itu sebabnya perlu orang-orang yang ahli dan mumpuni untuk menangani urusan ummat. Mereka harus memiliki kemampuan yang benar-benar dapat diandalkan, sesuai dengan bidang yang menjadi tanggung jawabnya. Jika urusan tidak dipegang oleh ahli-nya, maka tunggulah saatnya kehancuran datang, apalagi jika kita serahkan begitu saja kepada orang ‘kebanyakan’ karena kita menganggap seluruh masyarakat telah cukup dewasa untuk memilah.

Benarlah kata ‘Ali bin Abi Tholib, “Athi’il ‘aqila taghnam, wa i’shil jahila taslam”. Taatilah orang-orang yang berakal niscaya kamu beruntung, dan jauhilah pendapat orang-orang yang bodoh niscaya kamu akan selamat.

Wallohu a’lam bishshowwab. Semoga Alloh menolong kita.

Credit: “Mencari Ketenangan di Tengah Kesibukan"; Mohammad Fauzil Adhim; Pro-U Media

Tidak ada komentar:

Posting Komentar