sebagaimana kemampuan memimpin
kekuatan untuk menjalin hubungan
adalah kecenderungan, sekaligus pembelajaran
“INJAK kepalaku ini, hai Bilal!
Demi Alloh, kumohon
injaklah!”
Abu
Dzar al-Ghiffari meletakkan kepalanya di tanah berdebu. Dilumurkannya pasir ke
wajahnya dan dia menunggu penuh harap terompah Bilal ibn Robah segera mendarat
di pelipisnya.
“Kumohon,
Bilal saudaraku,” rintihnya, “Injaklah wajahku. Demi Alloh aku berharap
dengannya Alloh akan mengampuniku dan menghapus sifat jahiliah dari jiwaku.”
Abu Dzar ingin sekali menangis. Isi hatinya bergumul campur aduk. Dia menyesal.
Dia sedih. Dia takut. Dia marah pada dirinya sendiri. Dia merasa begitu lemah
berhadapan dengan hawa nafsunya. Maka dengan kepala bersaput debu yang
disujudkan dan wajah belepotan pasir yang disurukkan, dia mengerang lagi,
“Kumohon injaklah kepalaku.”
Sayang,
Bilal terus menggeleng dengan mata berkaca-kaca.
Peristiwa
itu memang berawal dari kekesalan Abu Dzar pada Bilal. Dia merasa Bilal tak
mengerjakan sebuah amanah dengan utuh, bahkan seolah membuat alasan untuk
membenarkan dirinya sendiri. Abu Dzar kecewa dan, sayang, dia tak dapat menahan
diri. Dari lisannya terlontar kata-kata kasar. Abu Dzar sempat berteriak
melengking, “Hai anak budak hitam!”
Rosululloh
yang mendengar hardikan Abu Dzar pada Bilal itu memerah wajahnya. Dengan
bergegas bagai petir menyambar, beliau menghampiri dan menegur Abu Dzar.
“Engkau!” sabdanya dengan telunjuk mengarah ke wajah Abu Dzar, “Sungguh dalam
dirimu masih terdapat jahiliah!”
Maka
Abu Dzar yang dikejutkan dengan hakikat dan disergap rasa bersalah itu
serta-merta bersujud dan memohon Bilal menginjak kepalanya. Berulang-ulang dia
memohon. Tapi Bilal tetap tegak mematung. Dia marah, tapi juga haru. “Aku memaafkan
Abu Dzar, ya Rosulalloh,” kata Bilal. “Dan biarlah urusan ini tersimpan di sisi
Alloh, menjadi kebaikan bagiku kelak.”
Hati
Abu Dzar rasanya perih mendengar itu. Alangkah lebih ringan andai semua bisa
ditebusnya di dunia. Alangkah tak nyaman menelusuri sisa umur dengan rasa
bersalah yang tak terlupakan. Demikianlah Abu Dzar, shohabat Rosululloh yang
mulia. Adapun kita, dengan segala kelemahan dan kealpaan dalam menjaga hubungan
dengan sesama, mungkin tak hanya satu jari yang harus ditelunjukkan ke wajah
kita. Lalu sebuah kesadaran menyentak, “Engkau! Dalam dirimu masih terdapat
jahiliah!”
YYY
Semakin
kita renungkan, sepertinya kemampuan untuk berhubungan baik dengan sesama
manusia bukanlah akibat serta-merta dari iman yang kokoh menjulang. Baik iman
maupun kemampuan, itu adalah dua hal yang memang seharusnya bersesuaian. Telah
kita bicarakan di bagian pertama buku ini bahwa sudah seharusnya iman yang
berakar dalam hati, di ujungnya menyajikan rasa buah yang manis, harum, dan
lembut. Maka iman dan kekuatan untuk menjalin hubungan memang seharusnya
seiring sejalan.
Tapi
keduanya tidak berada dalam satu hubungan sebab-akibat yang serta-merta.
Keberadaan yang satu tidak lantas mewujudkan yang lain. Ada saja kita dapati di
kehidupan, namun dinanti bertahun-tahun buahnya tak kunjung menjelma. Atau
buahnya hanya hadir semusim dan tak bisa diharap di musim yang lain.
Orang
yang seagung Abu Dzar tak pernah diragukan imannya. Dia lelaki yang disebut
Sang Nabi memiliki lisan paling lempang, lidah paling jujur, dan tutur paling
benar di segenap kolong langit ini. Dialah sang “Ashdaqu Lahjatan.”
Tapi
dia juga orang yang hidup dalam sunyi. Dia orang yang sendirian dalam
kehidupan, kematian, dan kebangkitannya. “Semoga Alloh menyayangi Abu Dzar,”
begitu sabda Rosululloh saat Abu Dzar terseok-seok menyusul rombongan Sang Nabi
di Perang Tabuk dengan keledainya yang lamban. “Dia berangkat sendirian. Dia
mati sendirian. Dan dia dibangkitkan sendirian.”
Kelak
kita juga akan membaca bahwa Abu Dzar bukanlah orang yang tahan untuk diam dan
berlapang dada terhadap kesalahan sesama. Mu’awiyah dan para pejabatnya di Syam
yang dianggapnya mulai bermewah dan berbeda cara hidupnya dengan Sang Nabi, dia
tegur dengan keras di mimbar-mimbar dan majelis. Maka ‘Utsman memanggilnya ke
Madinah agar senantiasa berada di dekatnya. Tetapi bahkan halnya kepada
‘Utsman, rodhiyallohu ‘anhu, yang
begitu lembut dan peka perasaannya itu, Abu Dzar juga tetap keras dan kukuh.
Suatu
hari ‘Utsman ibn ‘Affan mengelus janggutnya dengan mata berkaca-kaca. Maksud
hatinya adalah bershilaturrohim dan memberikan hadiah pada Abu Dzar agar rasa
cinta di antara mereka makin kuat. “Jika engkau,” kata ‘Utsman berpesan pada
budaknya, “Bisa menyerahkan uang ini kepada Abu Dzar dan dia bersedia
menerimanya, maka engkau aku bebaskan karena Alloh!” Apa jawaban Abu Dzar?
Kepada sang budak dia mengatakan, “Demi Alloh, aku takkan membiarkanmu bebas
dari perbudakan dengan membuatku menjadi budak ‘Utsman!”
Begitulah
Abu Dzar. Dan ‘Utsman begitu sedih karenanya. Lisan kebenarannya kadang tajam
dan tak menimbang perasaan orang. Mungkin sebab itulah, ketika dulu dia meminta
agar Sang Nabi mengangkatnya menjadi salah satu petugas untuk suatu jabatan,
Rosululloh bersabda kepadanya, “Hai Abu Dzar al-Ghiffari, sesungguhnya kulihat
engkau seorang yang lemah!”
Bukan
lemah iman tentu. Tapi lemah dalam memimpin dan menjaga hubungan. Menjadi
pemimpin berarti harus memiliki kelapangan dada. Menjadi pemimpin menuntut
kemampuan untuk tak sekedar mengatakan yang benar, melainkan juga memilih saat
yang tepat, cara yang jitu, dan kalimat yang mengena. Iman Abu Dzar sekokoh
gunung, lisannya lurus tak bercela. Tetapi dengan itu dia bukanlah orang yang
ahli memimpin dan terampil menjaga hubungan dengan sesama.
Mengapa
keduanya terbedakan pada sosok shohabat yang satu ini?
Dalam
hal sebatang pohon, penjelasannya sedikit lebih mudah. Pupuk dan nutrisi yang
dibutuhkan untuk bertumbuhnya akar, batang, dan daun sungguh tak sama dengan
gizi yang diperlukan untuk memekarkan bunga dan mewujudkan buah. Alamnya juga
berbeda. Akar ada di dalam tanah. Buah-buahan ada di pelukan udara. Akar itu
tersembunyi. Buah-buahan itu harus tampil segar, ranum, dan menggiurkan.
Agama
itu menuntut kita beriman, sekaligus meminta kita melampaui batas minimal ‘aman
bagi sesama’. Inti tengahnya, kita didorong untuk berakhlak mulia. Dan
puncaknya, kemanfaatan serta mendahulukan hajat sesama meski diri sendiri lebih
memerlukan menjadikan kita mulia. Akar iman dan buah-buahan itu harus seiring
sejalan. Tetapi, mereka terletak di kecenderungan jiwa yang berbeda. Mereka
memerlukan nutrisi dan gizi yang berlainan. Kesamaannya, keduanya harus
sama-sama diupayakan.
“Orang
mukmin yang paling sempurna imannya,” demikian Rosululloh bersabda dalam
riwayat Ahmad, “Adalah dia yang paling baik akhlaknya.” Jika kita terjemahkan
akhlak dalam hadits ini sebagai keterampilan menjalin interaksi, maka antara
dia dan iman yang ada bukanlah hubungan sebab-akibat. Artinya, pemaknaan sabda
ini bukan “Jika engkau beriman maka otomatis akhlakmu pasti akan jadi baik.”
Yang lebih dekat pada kebenaran mungkin justru, “Dia yang berjuang agar menjadi
peyakin sejati yang sempurna imannya, seharusnya juga berjuang untuk menjadi
pribadi yang baik akhlaknya.”
Begitulah.
Iman maupun daya kita untuk menjalin hubungan adalah hal yang sama-sama harus
diikhtiarkan dengan segenap kemampuan. Lalu mereka akan seia sekata mengukirkan
kemuliaan pribadi kita, di langit dan di bumi. Dalam pandangan Alloh maupun di
mata sesama manusia.
“Mereka diliputi
kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali
hubungan dengan Alloh dan tali hubungan dengan manusia.” (Qs. Ali Imron [3]: 112)
YYY
Sebagaimana
kemampuan untuk memimpin, kekuatan untuk menjalin hubungan adalah juga paduan
dari kecenderungan dan pembelajaran. Membuatnya seiring dengan keimanan
memerlukan kerja keras yang kadang rumit. Dan pada orang tertentu, seperti juga
Abu Dzar, salah satunya mungkin saja bisa terkalahkan.
Itulah
yang pernah dipusingkan oleh Kholifah ‘Umar ibn al-Khoththob.
Yang
ini bukan tentang Abu Dzar. Adalah Sa’d ibn Abi Waqqosh, gubernur di Kufah,
yang berulang kali dipermasalahkan oleh penduduk kota itu. ‘Umar tahu, bukan
Sa’d yang salah. Ini kota baru di wilayah Iroq dengan penduduk yang dulu
ditaklukkan Islam melalui Sa’d ibn Abi Waqqosh. Dalam hati mereka mungkin
memang ada ketidaksukaan terhadap Sa’d ibn Abi Waqqosh. Maka kepadanya, mereka
bising, ribut, onar, mencari gara-gara, dan membuat kisruh.
Sa’d
orang yang sholih, ahli ibadah, penuh ketaqwaan, dan do’anya mustajabah. Dia
juga amanah dan tak pernah khianat. Dia prajurit ulung, penunggang kuda yang
tangkas, pemanah yang jitu, dan panglima yang brilian. ‘Umar tahu semua itu.
Tapi Sa’d bukan orang yang bisa bersabar atas keberisikan rakyatnya. Dia juga
bukan orang yang suka mengalah meski untuk melunakkan hati mereka.
Pernah,
dia membangun tembok dan gerbang tinggi untuk menutupi ruang kerjanya dari
gemuruh pasar dan hiruk-pikuk penduduk yang dirasanya mengganggu. ‘Umar sampai
harus mengutus Abu Musa al-Asy’ari untuk membakar dan menghancurkan dinding
itu. “Demi Alloh, hai Sa’d,” kata ‘Umar dalam teguran tertulisnya,
“Dengarkanlah kaum Muslimin. Meski engkau tak menyukai apa yang mereka
katakan!”
Pernah
juga, seorang wanita bersengketa dalam masalah tanah dengan Sa’d ibn Abi Waqqosh.
Wanita itu memang curang dan khianat. Maka Sa’d mendo’akannya, “Ya Robbi,”
katanya, “Jika dia benar, maka ridhoilah dia, berkahilah hartanya, dan
ampunilah aku. Tapi jika dia curang dan khianat, maka binasakanlah dia dan
musnahkanlah milik-miliknya.” Beberapa hari kemudian wanita itu terperosok ke
dalam sebuah lubang di tanahnya dan seekor ular mematuknya. Dalam sekarang dia
berteriak, “Celakalah aku. Aku terkena bala’ karena do’a Sa’d ibn Abi Waqqosh!”
Di
saat lain, ‘Umar mengunjunginya, memeriksa pekerjaannya, dan ingin mendengarkan
apa kata rakyat tentang pribadi Sang Gubernur. “Adakah kalian mengeluhkan dia?”
tanya ‘Umar di tengah jama’ah Masjid Kufah. Seorang laki-laki berdiri dan
bicara dengan lantang, “Adapun dia, wahai Amirul Mukminin,” katanya, “Dia
menutup pintunya dari keluhan kami. Dia tidak adil dalam memutuskan perkara,
tidak rata dalam membagi, tidak mau berjalan bersama tentara, dan dia mengimami
kami sholat dengan bacaan yang panjang hingga kami payah karenanya!”
“Ya
Alloh,” ucap Sa’d dengan sedih, “Jika dia ini menasehatiku sebagai saudaranya
dengan ketulusan dan maksud baik untuk meluruskanku, maka muliakanlah dia dalam
kehidupan dan setelah kematiannya. Adapun jika dia dusta, dengki, riya’, dan hanya ingin dikenal orang,
maka sempitkanlah hidupnya, panjangkanlah umurnya, dan masyhurkanlah
kehinaannya.” Kelak, perowi kisah ini bertemu dengan seorang lelaki tua
peminta-minta di Kufah yang ke sana-kemari menggodai gadis-gadis muda.
“Celaka,” kata si perowi, “Siapakah engkau ini? Tidakkah engkau memiliki rasa
malu?” Lelaki tua bangka itu menjawab, “Aku adalah orang yang terkena bala’
dari do’a Sa’d ibn Abi Waqqosh!”
Allohu
Akbar! Semua hal ini adalah keutamaan Sa’d ibn Abi Waqqosh. Semua ini
menunjukkan kemuliaan dan ketaqwaannya dengan do’a-do’a yang selalu diijabah.
Itulah memang yang pernah dia minta kepada Sang Nabi saat beliau Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam
menawarinya untuk dido’akan. “Do’akanlah aku, ya Rosulalloh,” kata Sa’d, “Agar
do’a-do’aku sendiri mustajabah!” Sebuah permintaan yang cerdas dan menakjubkan.
Ketika itu Sang Nabi menjawab, “Bantulah aku, hai Sa’d, dengan memperbaiki
makananmu.”
Dan
Sa’d yang penuh taqwa itu benar-benar menjadi orang yang selalu diijabah
do’anya.
Tetapi
bagi ‘Umar ibn al-Khoththob, Sang Kholifah, ada yang terasa mengganjal dari
keutamaan Sa’d ini. Sisi lain dari kelebihan itu kadang sekaligus menjadi
kelemahannya dalam memimpin dan menjalin hubungan dengan rakyatnya. Dia peka.
Dia terlalu mudah tersinggung atas hal pribadi dan tak mampu berlapang dada pada
orang-orang yang menyelisihinya. Mereka yang bersalah telah merasakan bala’
akibat do’a Sa’d. mereka yang hendak menyampaikan sesuatu, takut pada hatinya
yang mudah terluka dan lisan bertuahnya yang jika berdo’a pasti dikabulkan
Robbnya.
Repotnya
lagi, orang-orang Kufah ketika itu adalah rakyat yang paling rewel dan paling
menjengkelkan di seluruh wilayah kaum Muslimin. Maka kasak-kusuk terjadi di
mana-mana. Ketidakpuasan merebak. Keresahan melanda. Semuanya terjadi karena
perpaduan unik antara rakyat yang bermulut usil dengan Gubernur sholih yang tak
sabar mendengar. Ini sungguh menggelisahkan ‘Umar.
Sampai
suatu hari datanglah al-Mughiroh ibn Syu’bah, rodhiyallohu ‘anhu.
“Wahai
Amirul Mukminin,” kata al-Mughiroh, “Seseorang yang bertaqwa namun lemah itu,
ketaqwaannya menjadi miliknya sendiri. Sementara kelemahannya akan menjadi aib
bagimu sebagai penanggungjawabnya. Adapun orang kuat yang bermaksiat, maka
maksiatnya menjadi tanggungannya sendiri. Sementara kekuatannya akan menjadi
kekuatan bagimu!”
‘Umar
tersenyum.
“Engkau
benar, wahai al-Mughiroh,” kata ‘Umar, “Berangkatlah engkau ke Kufah. Ku angkat
kau menggantikan Sa’d ibn Abi Waqqosh menjadi gubernur di sana. Sungguh demi
Alloh, Sa’d adalah orang yang bertaqwa namun lemah, dan engkaulah orang yang kuat
lagi maksiat!”
YYY
Suatu
hari di pembaringan, ketika darah yang mengalir dari luka di perutnya makin
bersimbah, ‘Umar ibn al-Khoththob menyampaikan wasiat kepada keenam calon
penggantinya. Di antara wasiat itu ada kalimat yang dikhususkan tentang Sa’d ibn
Abi Waqqosh di mana tak seorang lain pun diberi wasiat demikian. “Jika Sa’d ibn
Abi Waqqosh yang terpilih,” kata ‘Umar patah-patah, “Maka itu adalah hal yang
baik. Sungguh demi Alloh, aku dulu memecatnya bukan karena kesalahan ataupun
adanya sifat khianat pada dirinya.”
Begitulah.
Seiring waktu, usia, dan pembelajaran, tentu saja manusia bisa tumbuh menjadi
lebih baik.
Segala
kisah tentang sisi lain para shohabat Rosululloh yang kita simak di
halaman-halaman ini tidaklah mengurangi terpujinya nama mereka di hati kita,
insya Alloh. Abu Dzar, Sa’d ibn Abi Waqqosh, dan juga al-Mughiroh ibn Syu’bah
adalah bintang yang menyala penuh cahaya di langit sejarah. Mereka telah
melakukan apa yang mereka bisa. Kemuliaan mereka menjadi cermin terindah yang
kilat kilaunya takkan pernah terkejar oleh sinar dari segala amal kita.
Bahkan
mereka memiliki sisi-sisi manusiawi yang tak terelakkan, itu karena mereka
bukan malaikat dan kemaksuman juga tak dijaminkan untuk mereka. Mereka adalah
apa adanya mereka. Dan kita belajar banyak dari itu.
“Orang
mulia,” demikian ditulis Imam Ibnu Hajar al-‘Asqolani dalam al-Ishobah fii Tamyiizish Shohabah,
sebuah kitab yang mengurai biografi para shohabat periwayat hadits, “Bukanlah
dia yang tak memiliki cela. Orang mulia adalah mereka yang aibnya bisa
dihitung.” Dalam Siyaru A’lamin Nubala
karya Imam adz-Dzahabi, dinukil kata-kata ‘Abdulloh ibn al-Mubarok, “Jika
kebaikan seseorang lebih banyak daripada keburukannya,” ujar Imam para tabi’in
ini, “Maka keburukannya tersebut tidak dianggap. Namun jika keburukannya lebih
banyak daripada kebaikan, maka kebaikannya tidak diperhitungkan.”
Dalam
dekapan ukhuwah, di lembar-lembar selanjutnya, setelah berjumpa dengan beberapa
musuh para rosul, kita juga akan bertemu banyak kisah tentang para shohabat Sang
Nabi. Kita akan tahu, bahwa mereka benar-benar manusia dengan segala sisinya.
Ada hal-hal yang mungkin akan membuat kita geleng-geleng kepala. Tapi
ketakjuban utama kita adalah, bahwa dalam kemanusiawiannya, mereka berjuang
untuk selalu jujur dan menggunakan hati jika sudah bertemu firman Ilahi dan
sabda Sang Nabi.
“Itulah,”
tulis Abul A’la al-Maududi dalam karya cantiknya al-Khilafah wal Mulk, “Makna salah satu kaidah terpenting dalam
ilmu hadits: ‘Semua shohabat adalah orang yang adil.’ Adapun perilaku mereka
dalam keseharian dan hubungan-hubungan memang bukan tanpa cela. Marilah kita
terima itu apa adanya.” Mereka memiliki kecenderungan jiwa, pola pikir, sikap,
dan watak yang penuh warna. Itu membuat persaudaraan dan hubungan di antara
mereka dijejali dinamika, penuh pergumulan batin hingga sengketa berdarah. Itu
semua akan menjadi pembelajaran penting bagi kita, dalam dekapan ukhuwah.
Dalam
dekapan ukhuwah kita menginsyafi, bahwa sebagaimana kemampuan memimpin,
kemampuan menjalin hubungan adalah sebuah keterampilan yang selayaknya
dipelajari. Dengannya kita menyajikan buah yang paling manis, paling harum, dan
paling lembut dari pohon iman yang juga terus kita sirami dengan amal ketaatan.
Credit: “Dalam
Dekapan Ukhuwah”; Salim A. Fillah; Pro-U Media
Tidak ada komentar:
Posting Komentar