Selasa, 26 Mei 2015

Iman yang Tak Sendiri

sebagaimana kemampuan memimpin
kekuatan untuk menjalin hubungan
adalah kecenderungan, sekaligus pembelajaran


“INJAK kepalaku ini, hai Bilal!
Demi Alloh, kumohon injaklah!”
Abu Dzar al-Ghiffari meletakkan kepalanya di tanah berdebu. Dilumurkannya pasir ke wajahnya dan dia menunggu penuh harap terompah Bilal ibn Robah segera mendarat di pelipisnya.

“Kumohon, Bilal saudaraku,” rintihnya, “Injaklah wajahku. Demi Alloh aku berharap dengannya Alloh akan mengampuniku dan menghapus sifat jahiliah dari jiwaku.” Abu Dzar ingin sekali menangis. Isi hatinya bergumul campur aduk. Dia menyesal. Dia sedih. Dia takut. Dia marah pada dirinya sendiri. Dia merasa begitu lemah berhadapan dengan hawa nafsunya. Maka dengan kepala bersaput debu yang disujudkan dan wajah belepotan pasir yang disurukkan, dia mengerang lagi, “Kumohon injaklah kepalaku.”

Sayang, Bilal terus menggeleng dengan mata berkaca-kaca.

Peristiwa itu memang berawal dari kekesalan Abu Dzar pada Bilal. Dia merasa Bilal tak mengerjakan sebuah amanah dengan utuh, bahkan seolah membuat alasan untuk membenarkan dirinya sendiri. Abu Dzar kecewa dan, sayang, dia tak dapat menahan diri. Dari lisannya terlontar kata-kata kasar. Abu Dzar sempat berteriak melengking, “Hai anak budak hitam!”

Rosululloh yang mendengar hardikan Abu Dzar pada Bilal itu memerah wajahnya. Dengan bergegas bagai petir menyambar, beliau menghampiri dan menegur Abu Dzar. “Engkau!” sabdanya dengan telunjuk mengarah ke wajah Abu Dzar, “Sungguh dalam dirimu masih terdapat jahiliah!”

Maka Abu Dzar yang dikejutkan dengan hakikat dan disergap rasa bersalah itu serta-merta bersujud dan memohon Bilal menginjak kepalanya. Berulang-ulang dia memohon. Tapi Bilal tetap tegak mematung. Dia marah, tapi juga haru. “Aku memaafkan Abu Dzar, ya Rosulalloh,” kata Bilal. “Dan biarlah urusan ini tersimpan di sisi Alloh, menjadi kebaikan bagiku kelak.”

Hati Abu Dzar rasanya perih mendengar itu. Alangkah lebih ringan andai semua bisa ditebusnya di dunia. Alangkah tak nyaman menelusuri sisa umur dengan rasa bersalah yang tak terlupakan. Demikianlah Abu Dzar, shohabat Rosululloh yang mulia. Adapun kita, dengan segala kelemahan dan kealpaan dalam menjaga hubungan dengan sesama, mungkin tak hanya satu jari yang harus ditelunjukkan ke wajah kita. Lalu sebuah kesadaran menyentak, “Engkau! Dalam dirimu masih terdapat jahiliah!”

YYY

Semakin kita renungkan, sepertinya kemampuan untuk berhubungan baik dengan sesama manusia bukanlah akibat serta-merta dari iman yang kokoh menjulang. Baik iman maupun kemampuan, itu adalah dua hal yang memang seharusnya bersesuaian. Telah kita bicarakan di bagian pertama buku ini bahwa sudah seharusnya iman yang berakar dalam hati, di ujungnya menyajikan rasa buah yang manis, harum, dan lembut. Maka iman dan kekuatan untuk menjalin hubungan memang seharusnya seiring sejalan.

Tapi keduanya tidak berada dalam satu hubungan sebab-akibat yang serta-merta. Keberadaan yang satu tidak lantas mewujudkan yang lain. Ada saja kita dapati di kehidupan, namun dinanti bertahun-tahun buahnya tak kunjung menjelma. Atau buahnya hanya hadir semusim dan tak bisa diharap di musim yang lain.

Orang yang seagung Abu Dzar tak pernah diragukan imannya. Dia lelaki yang disebut Sang Nabi memiliki lisan paling lempang, lidah paling jujur, dan tutur paling benar di segenap kolong langit ini. Dialah sang “Ashdaqu Lahjatan.”

Tapi dia juga orang yang hidup dalam sunyi. Dia orang yang sendirian dalam kehidupan, kematian, dan kebangkitannya. “Semoga Alloh menyayangi Abu Dzar,” begitu sabda Rosululloh saat Abu Dzar terseok-seok menyusul rombongan Sang Nabi di Perang Tabuk dengan keledainya yang lamban. “Dia berangkat sendirian. Dia mati sendirian. Dan dia dibangkitkan sendirian.”

Kelak kita juga akan membaca bahwa Abu Dzar bukanlah orang yang tahan untuk diam dan berlapang dada terhadap kesalahan sesama. Mu’awiyah dan para pejabatnya di Syam yang dianggapnya mulai bermewah dan berbeda cara hidupnya dengan Sang Nabi, dia tegur dengan keras di mimbar-mimbar dan majelis. Maka ‘Utsman memanggilnya ke Madinah agar senantiasa berada di dekatnya. Tetapi bahkan halnya kepada ‘Utsman, rodhiyallohu ‘anhu, yang begitu lembut dan peka perasaannya itu, Abu Dzar juga tetap keras dan kukuh.

Suatu hari ‘Utsman ibn ‘Affan mengelus janggutnya dengan mata berkaca-kaca. Maksud hatinya adalah bershilaturrohim dan memberikan hadiah pada Abu Dzar agar rasa cinta di antara mereka makin kuat. “Jika engkau,” kata ‘Utsman berpesan pada budaknya, “Bisa menyerahkan uang ini kepada Abu Dzar dan dia bersedia menerimanya, maka engkau aku bebaskan karena Alloh!” Apa jawaban Abu Dzar? Kepada sang budak dia mengatakan, “Demi Alloh, aku takkan membiarkanmu bebas dari perbudakan dengan membuatku menjadi budak ‘Utsman!”

Begitulah Abu Dzar. Dan ‘Utsman begitu sedih karenanya. Lisan kebenarannya kadang tajam dan tak menimbang perasaan orang. Mungkin sebab itulah, ketika dulu dia meminta agar Sang Nabi mengangkatnya menjadi salah satu petugas untuk suatu jabatan, Rosululloh bersabda kepadanya, “Hai Abu Dzar al-Ghiffari, sesungguhnya kulihat engkau seorang yang lemah!”

Bukan lemah iman tentu. Tapi lemah dalam memimpin dan menjaga hubungan. Menjadi pemimpin berarti harus memiliki kelapangan dada. Menjadi pemimpin menuntut kemampuan untuk tak sekedar mengatakan yang benar, melainkan juga memilih saat yang tepat, cara yang jitu, dan kalimat yang mengena. Iman Abu Dzar sekokoh gunung, lisannya lurus tak bercela. Tetapi dengan itu dia bukanlah orang yang ahli memimpin dan terampil menjaga hubungan dengan sesama.

Mengapa keduanya terbedakan pada sosok shohabat yang satu ini?

Dalam hal sebatang pohon, penjelasannya sedikit lebih mudah. Pupuk dan nutrisi yang dibutuhkan untuk bertumbuhnya akar, batang, dan daun sungguh tak sama dengan gizi yang diperlukan untuk memekarkan bunga dan mewujudkan buah. Alamnya juga berbeda. Akar ada di dalam tanah. Buah-buahan ada di pelukan udara. Akar itu tersembunyi. Buah-buahan itu harus tampil segar, ranum, dan menggiurkan.

Agama itu menuntut kita beriman, sekaligus meminta kita melampaui batas minimal ‘aman bagi sesama’. Inti tengahnya, kita didorong untuk berakhlak mulia. Dan puncaknya, kemanfaatan serta mendahulukan hajat sesama meski diri sendiri lebih memerlukan menjadikan kita mulia. Akar iman dan buah-buahan itu harus seiring sejalan. Tetapi, mereka terletak di kecenderungan jiwa yang berbeda. Mereka memerlukan nutrisi dan gizi yang berlainan. Kesamaannya, keduanya harus sama-sama diupayakan.

“Orang mukmin yang paling sempurna imannya,” demikian Rosululloh bersabda dalam riwayat Ahmad, “Adalah dia yang paling baik akhlaknya.” Jika kita terjemahkan akhlak dalam hadits ini sebagai keterampilan menjalin interaksi, maka antara dia dan iman yang ada bukanlah hubungan sebab-akibat. Artinya, pemaknaan sabda ini bukan “Jika engkau beriman maka otomatis akhlakmu pasti akan jadi baik.” Yang lebih dekat pada kebenaran mungkin justru, “Dia yang berjuang agar menjadi peyakin sejati yang sempurna imannya, seharusnya juga berjuang untuk menjadi pribadi yang baik akhlaknya.”

Begitulah. Iman maupun daya kita untuk menjalin hubungan adalah hal yang sama-sama harus diikhtiarkan dengan segenap kemampuan. Lalu mereka akan seia sekata mengukirkan kemuliaan pribadi kita, di langit dan di bumi. Dalam pandangan Alloh maupun di mata sesama manusia.

“Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali hubungan dengan Alloh dan tali hubungan dengan manusia.” (Qs. Ali Imron [3]: 112)

YYY

Sebagaimana kemampuan untuk memimpin, kekuatan untuk menjalin hubungan adalah juga paduan dari kecenderungan dan pembelajaran. Membuatnya seiring dengan keimanan memerlukan kerja keras yang kadang rumit. Dan pada orang tertentu, seperti juga Abu Dzar, salah satunya mungkin saja bisa terkalahkan.

Itulah yang pernah dipusingkan oleh Kholifah ‘Umar ibn al-Khoththob.

Yang ini bukan tentang Abu Dzar. Adalah Sa’d ibn Abi Waqqosh, gubernur di Kufah, yang berulang kali dipermasalahkan oleh penduduk kota itu. ‘Umar tahu, bukan Sa’d yang salah. Ini kota baru di wilayah Iroq dengan penduduk yang dulu ditaklukkan Islam melalui Sa’d ibn Abi Waqqosh. Dalam hati mereka mungkin memang ada ketidaksukaan terhadap Sa’d ibn Abi Waqqosh. Maka kepadanya, mereka bising, ribut, onar, mencari gara-gara, dan membuat kisruh.

Sa’d orang yang sholih, ahli ibadah, penuh ketaqwaan, dan do’anya mustajabah. Dia juga amanah dan tak pernah khianat. Dia prajurit ulung, penunggang kuda yang tangkas, pemanah yang jitu, dan panglima yang brilian. ‘Umar tahu semua itu. Tapi Sa’d bukan orang yang bisa bersabar atas keberisikan rakyatnya. Dia juga bukan orang yang suka mengalah meski untuk melunakkan hati mereka.

Pernah, dia membangun tembok dan gerbang tinggi untuk menutupi ruang kerjanya dari gemuruh pasar dan hiruk-pikuk penduduk yang dirasanya mengganggu. ‘Umar sampai harus mengutus Abu Musa al-Asy’ari untuk membakar dan menghancurkan dinding itu. “Demi Alloh, hai Sa’d,” kata ‘Umar dalam teguran tertulisnya, “Dengarkanlah kaum Muslimin. Meski engkau tak menyukai apa yang mereka katakan!”

Pernah juga, seorang wanita bersengketa dalam masalah tanah dengan Sa’d ibn Abi Waqqosh. Wanita itu memang curang dan khianat. Maka Sa’d mendo’akannya, “Ya Robbi,” katanya, “Jika dia benar, maka ridhoilah dia, berkahilah hartanya, dan ampunilah aku. Tapi jika dia curang dan khianat, maka binasakanlah dia dan musnahkanlah milik-miliknya.” Beberapa hari kemudian wanita itu terperosok ke dalam sebuah lubang di tanahnya dan seekor ular mematuknya. Dalam sekarang dia berteriak, “Celakalah aku. Aku terkena bala’ karena do’a Sa’d ibn Abi Waqqosh!”

Di saat lain, ‘Umar mengunjunginya, memeriksa pekerjaannya, dan ingin mendengarkan apa kata rakyat tentang pribadi Sang Gubernur. “Adakah kalian mengeluhkan dia?” tanya ‘Umar di tengah jama’ah Masjid Kufah. Seorang laki-laki berdiri dan bicara dengan lantang, “Adapun dia, wahai Amirul Mukminin,” katanya, “Dia menutup pintunya dari keluhan kami. Dia tidak adil dalam memutuskan perkara, tidak rata dalam membagi, tidak mau berjalan bersama tentara, dan dia mengimami kami sholat dengan bacaan yang panjang hingga kami payah karenanya!”

“Ya Alloh,” ucap Sa’d dengan sedih, “Jika dia ini menasehatiku sebagai saudaranya dengan ketulusan dan maksud baik untuk meluruskanku, maka muliakanlah dia dalam kehidupan dan setelah kematiannya. Adapun jika dia dusta, dengki, riya’, dan hanya ingin dikenal orang, maka sempitkanlah hidupnya, panjangkanlah umurnya, dan masyhurkanlah kehinaannya.” Kelak, perowi kisah ini bertemu dengan seorang lelaki tua peminta-minta di Kufah yang ke sana-kemari menggodai gadis-gadis muda. “Celaka,” kata si perowi, “Siapakah engkau ini? Tidakkah engkau memiliki rasa malu?” Lelaki tua bangka itu menjawab, “Aku adalah orang yang terkena bala’ dari do’a Sa’d ibn Abi Waqqosh!”

Allohu Akbar! Semua hal ini adalah keutamaan Sa’d ibn Abi Waqqosh. Semua ini menunjukkan kemuliaan dan ketaqwaannya dengan do’a-do’a yang selalu diijabah. Itulah memang yang pernah dia minta kepada Sang Nabi saat beliau Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam menawarinya untuk dido’akan. “Do’akanlah aku, ya Rosulalloh,” kata Sa’d, “Agar do’a-do’aku sendiri mustajabah!” Sebuah permintaan yang cerdas dan menakjubkan. Ketika itu Sang Nabi menjawab, “Bantulah aku, hai Sa’d, dengan memperbaiki makananmu.”

Dan Sa’d yang penuh taqwa itu benar-benar menjadi orang yang selalu diijabah do’anya.

Tetapi bagi ‘Umar ibn al-Khoththob, Sang Kholifah, ada yang terasa mengganjal dari keutamaan Sa’d ini. Sisi lain dari kelebihan itu kadang sekaligus menjadi kelemahannya dalam memimpin dan menjalin hubungan dengan rakyatnya. Dia peka. Dia terlalu mudah tersinggung atas hal pribadi dan tak mampu berlapang dada pada orang-orang yang menyelisihinya. Mereka yang bersalah telah merasakan bala’ akibat do’a Sa’d. mereka yang hendak menyampaikan sesuatu, takut pada hatinya yang mudah terluka dan lisan bertuahnya yang jika berdo’a pasti dikabulkan Robbnya.

Repotnya lagi, orang-orang Kufah ketika itu adalah rakyat yang paling rewel dan paling menjengkelkan di seluruh wilayah kaum Muslimin. Maka kasak-kusuk terjadi di mana-mana. Ketidakpuasan merebak. Keresahan melanda. Semuanya terjadi karena perpaduan unik antara rakyat yang bermulut usil dengan Gubernur sholih yang tak sabar mendengar. Ini sungguh menggelisahkan ‘Umar.

Sampai suatu hari datanglah al-Mughiroh ibn Syu’bah, rodhiyallohu ‘anhu.

“Wahai Amirul Mukminin,” kata al-Mughiroh, “Seseorang yang bertaqwa namun lemah itu, ketaqwaannya menjadi miliknya sendiri. Sementara kelemahannya akan menjadi aib bagimu sebagai penanggungjawabnya. Adapun orang kuat yang bermaksiat, maka maksiatnya menjadi tanggungannya sendiri. Sementara kekuatannya akan menjadi kekuatan bagimu!”

‘Umar tersenyum.

“Engkau benar, wahai al-Mughiroh,” kata ‘Umar, “Berangkatlah engkau ke Kufah. Ku angkat kau menggantikan Sa’d ibn Abi Waqqosh menjadi gubernur di sana. Sungguh demi Alloh, Sa’d adalah orang yang bertaqwa namun lemah, dan engkaulah orang yang kuat lagi maksiat!”

YYY

Suatu hari di pembaringan, ketika darah yang mengalir dari luka di perutnya makin bersimbah, ‘Umar ibn al-Khoththob menyampaikan wasiat kepada keenam calon penggantinya. Di antara wasiat itu ada kalimat yang dikhususkan tentang Sa’d ibn Abi Waqqosh di mana tak seorang lain pun diberi wasiat demikian. “Jika Sa’d ibn Abi Waqqosh yang terpilih,” kata ‘Umar patah-patah, “Maka itu adalah hal yang baik. Sungguh demi Alloh, aku dulu memecatnya bukan karena kesalahan ataupun adanya sifat khianat pada dirinya.”

Begitulah. Seiring waktu, usia, dan pembelajaran, tentu saja manusia bisa tumbuh menjadi lebih baik.

Segala kisah tentang sisi lain para shohabat Rosululloh yang kita simak di halaman-halaman ini tidaklah mengurangi terpujinya nama mereka di hati kita, insya Alloh. Abu Dzar, Sa’d ibn Abi Waqqosh, dan juga al-Mughiroh ibn Syu’bah adalah bintang yang menyala penuh cahaya di langit sejarah. Mereka telah melakukan apa yang mereka bisa. Kemuliaan mereka menjadi cermin terindah yang kilat kilaunya takkan pernah terkejar oleh sinar dari segala amal kita.

Bahkan mereka memiliki sisi-sisi manusiawi yang tak terelakkan, itu karena mereka bukan malaikat dan kemaksuman juga tak dijaminkan untuk mereka. Mereka adalah apa adanya mereka. Dan kita belajar banyak dari itu.

“Orang mulia,” demikian ditulis Imam Ibnu Hajar al-‘Asqolani dalam al-Ishobah fii Tamyiizish Shohabah, sebuah kitab yang mengurai biografi para shohabat periwayat hadits, “Bukanlah dia yang tak memiliki cela. Orang mulia adalah mereka yang aibnya bisa dihitung.” Dalam Siyaru A’lamin Nubala karya Imam adz-Dzahabi, dinukil kata-kata ‘Abdulloh ibn al-Mubarok, “Jika kebaikan seseorang lebih banyak daripada keburukannya,” ujar Imam para tabi’in ini, “Maka keburukannya tersebut tidak dianggap. Namun jika keburukannya lebih banyak daripada kebaikan, maka kebaikannya tidak diperhitungkan.”

Dalam dekapan ukhuwah, di lembar-lembar selanjutnya, setelah berjumpa dengan beberapa musuh para rosul, kita juga akan bertemu banyak kisah tentang para shohabat Sang Nabi. Kita akan tahu, bahwa mereka benar-benar manusia dengan segala sisinya. Ada hal-hal yang mungkin akan membuat kita geleng-geleng kepala. Tapi ketakjuban utama kita adalah, bahwa dalam kemanusiawiannya, mereka berjuang untuk selalu jujur dan menggunakan hati jika sudah bertemu firman Ilahi dan sabda Sang Nabi.

“Itulah,” tulis Abul A’la al-Maududi dalam karya cantiknya al-Khilafah wal Mulk, “Makna salah satu kaidah terpenting dalam ilmu hadits: ‘Semua shohabat adalah orang yang adil.’ Adapun perilaku mereka dalam keseharian dan hubungan-hubungan memang bukan tanpa cela. Marilah kita terima itu apa adanya.” Mereka memiliki kecenderungan jiwa, pola pikir, sikap, dan watak yang penuh warna. Itu membuat persaudaraan dan hubungan di antara mereka dijejali dinamika, penuh pergumulan batin hingga sengketa berdarah. Itu semua akan menjadi pembelajaran penting bagi kita, dalam dekapan ukhuwah.

Dalam dekapan ukhuwah kita menginsyafi, bahwa sebagaimana kemampuan memimpin, kemampuan menjalin hubungan adalah sebuah keterampilan yang selayaknya dipelajari. Dengannya kita menyajikan buah yang paling manis, paling harum, dan paling lembut dari pohon iman yang juga terus kita sirami dengan amal ketaatan.


Credit: “Dalam Dekapan Ukhuwah”; Salim A. Fillah; Pro-U Media

Tidak ada komentar:

Posting Komentar