Kalau bukan iman yang mengendalikan, hidup kita akan
berakhir sia-sia. Kita sibuk mengejar harta, menumpuk-numpuknya seraya tak henti
menghitung. Padahal umur sudah hampir masuk kubur. Kalau bukan karena iman yang
membimbing, hidup kita akan habis tanpa guna. Usia sudah amat tua, bahkan
terlalu tua untuk disebut senja, tetapi atas kematian yang bisa datang
sewaktu-waktu, kita tak mengambil pelajaran. Kita masih sibuk memburu dunia, di
saat dunia secara pasti bergerak meninggalkan kita. Padahal, kita meninggalkan
dunia tanpa membawa satu pun dari harta yang kita punya.
Sepertinya, manusia memang tak
pernah merasa cukup, kecuali orang-orang yang mendapat hidayah. Padahal,
berbeda dengan ilmu dan iman, bertambahnya harta tak membuat jiwa semakin
tenteram. Pada saat sangat kekurangan, setiap tetes rezeki yang kita raih akan
membangkitkan kebahagiaan, meluapkan rasa syukur, serta melahirkan harapan.
Kelelahan jiwa yang nyaris mendekati kata putus asa karena hidup yang tak
kunjung berubah, seketika sirna ketika Alloh Ta’ala karuniakan rezeki-Nya kepada kita.
Tetapi, ketika harta bertambah,
sudah melewati batas kecukupan sehingga kebutuhan hidup seluruhnya terpenuhi,
maka diri kita mulai berubah. Kalau tak hati-hati, rasa syukur menjadi takabur.
Padahal, kesuksesan itu sabar bekalnya, syukur penyuburnya, ikhlas penjaganya,
dan takabur perusaknya yang paling ganas dan cepat.
Sesungguhnya ilmu itu menjagamu.
Sedangkan harta, engkau yang menjaganya. Bertambahnya ilmu akan menenteramkan
jiwamu dan membaguskan akhlakmu, sedangkan bertambahnya harta di saat engkau
sudah berkelimpahan hanya akan menggelisahkan jiwa jika tak diiringi dengan
bertambahnya kemurahan hati untuk memberi.
Betapa banyak hubungan yang retak
dan rumah yang hampa dari ketulusan karena kita terlalu mengkhawatiri harta.
Bapak dan anak yang dulu erat berpelukan, bersama mengangkat tangan seraya
menyeru memuji Alloh Ta’ala, begitu
harta bertambah-tambah hingga rumahnya ada di mana-mana, hubungan tak lagi
mesra. Bahkan sebaliknya, banyak dipenuhi amarah.
Benarlah kata Nabi saw bahwa kaya
yang sesungguhnya bukanlah kaya harta, melainkan kaya hati. Betapa banyak
orang-orang yang sudah berlimpah hartanya, tetapi amat tega hatinya untuk
menganiaya orang-orang yang menderita hidupnya karena tak berpunya. Mereka
sudah lebih dari cukup penghidupannya, tetapi hak orang miskin yang seharusnya
mereka tolong, diambil juga. Di saat orang sedang ditimpa kesusahan, mereka
justru berjuang untuk meraih tunjangan puluhan juta rupiah. Padahal, uang ini
seharusnya bisa menyelamatkan seorang gelan-dangan agar tidak terus-menerus
dalam kenistaan.
Sungguh, alangkah zholim mereka.
Semoga Alloh mempercepat azab-Nya bagi mereka, kecuali apabila mereka mau
bertaubat dan mengembalikannya pada yang berhak. Kita mendo’akan cepatnya azab
bagi mereka karena sesungguhnya kejahatan yang mereka lakukan akan menimbulkan
kesengsaraan bagi jutaan manusia, menutup pintu-pintu kebaikan, dan mengancam
hidup orang lain. Bukankah yang mereka lakukan dapat melukai jiwa orang-orang
yang telah bertahun-tahun menanggung perihnya hidup?
Ah, benarlah kata Nabi saw ketika
mengingatkan kita agar tak rakus harta. Dari Anas bin Malik ra bahwa Rosululloh
saw bersabda, “Anak Adam telah pikun dan masih menginginkan dua hal;
menginginkan harta dan menginginkan umur.” (HR.
Muslim)
Bagi orang-orang yang lupa itu,
syahwat terhadap harta adalah dahaga yang tak kunjung sirna.
Wallohu
a’lam bishshowwab.
Credit: “Mencari Ketenangan di Tengah Kesibukan”; Mohammad
Fauzil Adhim; Pro-U Media
Tidak ada komentar:
Posting Komentar