Rabu, 13 Mei 2015

Dahaga yang Tak Kunjung Sirna

Kalau bukan iman yang mengendalikan, hidup kita akan berakhir sia-sia. Kita sibuk mengejar harta, menumpuk-numpuknya seraya tak henti menghitung. Padahal umur sudah hampir masuk kubur. Kalau bukan karena iman yang membimbing, hidup kita akan habis tanpa guna. Usia sudah amat tua, bahkan terlalu tua untuk disebut senja, tetapi atas kematian yang bisa datang sewaktu-waktu, kita tak mengambil pelajaran. Kita masih sibuk memburu dunia, di saat dunia secara pasti bergerak meninggalkan kita. Padahal, kita meninggalkan dunia tanpa membawa satu pun dari harta yang kita punya.

Sepertinya, manusia memang tak pernah merasa cukup, kecuali orang-orang yang mendapat hidayah. Padahal, berbeda dengan ilmu dan iman, bertambahnya harta tak membuat jiwa semakin tenteram. Pada saat sangat kekurangan, setiap tetes rezeki yang kita raih akan membangkitkan kebahagiaan, meluapkan rasa syukur, serta melahirkan harapan. Kelelahan jiwa yang nyaris mendekati kata putus asa karena hidup yang tak kunjung berubah, seketika sirna ketika Alloh Ta’ala karuniakan rezeki-Nya kepada kita.

Tetapi, ketika harta bertambah, sudah melewati batas kecukupan sehingga kebutuhan hidup seluruhnya terpenuhi, maka diri kita mulai berubah. Kalau tak hati-hati, rasa syukur menjadi takabur. Padahal, kesuksesan itu sabar bekalnya, syukur penyuburnya, ikhlas penjaganya, dan takabur perusaknya yang paling ganas dan cepat.

Sesungguhnya ilmu itu menjagamu. Sedangkan harta, engkau yang menjaganya. Bertambahnya ilmu akan menenteramkan jiwamu dan membaguskan akhlakmu, sedangkan bertambahnya harta di saat engkau sudah berkelimpahan hanya akan menggelisahkan jiwa jika tak diiringi dengan bertambahnya kemurahan hati untuk memberi.

Betapa banyak hubungan yang retak dan rumah yang hampa dari ketulusan karena kita terlalu mengkhawatiri harta. Bapak dan anak yang dulu erat berpelukan, bersama mengangkat tangan seraya menyeru memuji Alloh Ta’ala, begitu harta bertambah-tambah hingga rumahnya ada di mana-mana, hubungan tak lagi mesra. Bahkan sebaliknya, banyak dipenuhi amarah.

Benarlah kata Nabi saw bahwa kaya yang sesungguhnya bukanlah kaya harta, melainkan kaya hati. Betapa banyak orang-orang yang sudah berlimpah hartanya, tetapi amat tega hatinya untuk menganiaya orang-orang yang menderita hidupnya karena tak berpunya. Mereka sudah lebih dari cukup penghidupannya, tetapi hak orang miskin yang seharusnya mereka tolong, diambil juga. Di saat orang sedang ditimpa kesusahan, mereka justru berjuang untuk meraih tunjangan puluhan juta rupiah. Padahal, uang ini seharusnya bisa menyelamatkan seorang gelan-dangan agar tidak terus-menerus dalam kenistaan.

Sungguh, alangkah zholim mereka. Semoga Alloh mempercepat azab-Nya bagi mereka, kecuali apabila mereka mau bertaubat dan mengembalikannya pada yang berhak. Kita mendo’akan cepatnya azab bagi mereka karena sesungguhnya kejahatan yang mereka lakukan akan menimbulkan kesengsaraan bagi jutaan manusia, menutup pintu-pintu kebaikan, dan mengancam hidup orang lain. Bukankah yang mereka lakukan dapat melukai jiwa orang-orang yang telah bertahun-tahun menanggung perihnya hidup?

Ah, benarlah kata Nabi saw ketika mengingatkan kita agar tak rakus harta. Dari Anas bin Malik ra bahwa Rosululloh saw bersabda, “Anak Adam telah pikun dan masih menginginkan dua hal; menginginkan harta dan menginginkan umur.” (HR. Muslim)

Bagi orang-orang yang lupa itu, syahwat terhadap harta adalah dahaga yang tak kunjung sirna.

Wallohu a’lam bishshowwab.


Credit: “Mencari Ketenangan di Tengah Kesibukan”; Mohammad Fauzil Adhim; Pro-U Media

Tidak ada komentar:

Posting Komentar