Kamis, 28 Mei 2015

Sebab Baik Sangka adalah Cermin Hasilnya

hidup tidak dihitung dari jumlah nafas yang kita hirup
hidup, ternilai dari berapa kali nafas terhenti karena takjub dan anehnya
keajaiban justru hanya memberi kejutan, pada mereka yang percaya


IKLAN sebuah perusahaan pembiayaan di Amerika Serikat itu menarik.

Tergambar seorang bapak muda, berkulit hitam, pulang dari kerja di suatu petang sambil menenteng belanjaan. Ada banyak bahan untuk memasak yang dibawanya karena dia memang ingin memberi kejutan istimewa untuk keluarganya. Untuk makan malam nanti, dia akan menyiapkan sebuah masakan khas Italia yang baru saja dia tahu resepnya dari seorang kawan.

Sambil bersiul dan bernyanyi riang, dia mulai beraksi. Dipakainya celemek putih kesayangannya. Diraihnya pisau. Baru saja hendak mengambil asparagus dan jamur untuk diiris, tiba-tiba seekor kucing berbulu putih bersih datang, mengaum kecil dan menyenggol sebuah mangkuk. Ah, itu mangkuk berisi pasta tomat! Mangkuk itu meluncur jatuh ke tepi meja, berdebam di lantai, dan menghamburkan pasta berwarna merah darah ke segala arah. Lantai, celemek putih, dan wajah si bapak kini belepotan pasta. Si kucing pun terciprat di beberapa bagian tubuhnya.

Dengan sigap ditangkapnya kucing itu dengan tangan kiri, sementara tangan kanannya masih memegang pisau. Tepat pada saat itulah seorang wanita, mungkin sang istri, membuka pintu dapur dan melihat ke arahnya. Si perempuan terpekik ketakutan. Yang dilihatnya tentu adalah darah yang berceceran di mana-mana, sementara si pria memegang pisau sembari mencengkeram leher seekor kucing, siap menjagalnya!

Pesan iklan itu bagus sekali. “Jangan terlalu cepat menilai!” ujar sang narator. “Kami tidak kok.”

YYY

Dalam perbincangan sebelum ini, kita telah belajar berprasangka baik kepada Alloh dan meyakini bahwa Dia menyertai prasangka hamba-Nya. Mari kita kuatkan lagi cara pandang itu sembari melatih baik sangka pada orang-orang yang ada di sekitar kita. Kadang, kita merasa mereka menyakiti. Tapi seringkali, sebenarnya mereka justru ingin membantu kita. Dengan prasangka baik, bantuan itulah yang akan kita rasa. Bukan rasa sakitnya.

Satu waktu, mungkin mereka memang malah menaburkan tanah ketika kita jatuh dan perlu uluran tangan. Bisa kacau memang. Tapi ya, begitulah. Dengan prasangka baik bisa saja guyuran tanah itu benar-benar menolong kita tanpa melukai dan menyakiti. Semuanya kembali ke soal cara pandang berdasar prasangka yang kita bangun. Seperti kisah tentang seekor keledai tua, milik seorang petani tua, yang pada suatu sore terperosok ke dalam sebuah sumur tua.

Petani itu begitu menyayangi keledainya, sahabat perjuangan selama belasan tahun menyambung hidup. Si keledai adalah andalannya untuk membajak ladang, menjerai benih, dan mengangkut panen. Kini, keledai itu meringkik-ringkik di dalam kegelapan sumur di bawah sana. Mungkin ia kesakitan, mungkin ketakutan, mungkin kebingungan. Maka dicobanya segala cara untuk menolong sang keledai agar bisa keluar.

Dia berpikir keras. Mula-mula disambarnya segulung tali. Diulurkannya ke bawah. Diteriakinya sang keledai agar menggigit tali itu. Ditariknya kuat-kuat, tapi dia justru terpelanting menarik utasan tali itu. Cara ini tak berhasil. Dilemparnya lagi ke bawah. “Ambil tali itu,” serunya, “Ikatkan ke tubuhmu! Akan kutarik kau ke atas!” Ini pun tidak bisa.

Lalu diikatnya tali itu membentuk laso. Diulurkannya ke bawah lagi. Diserunya sang keledai masuk ke simpulan laso. Ditariknya perlahan. Berat. Berat sekali. Dan sang keledai berseru-seru serak. Sepertinya dia kesakitan dan tersiksa. Oh itu, hanya bagian lehernya yang terjerat. Gagal lagi. Dicobanya segala cara dengan tali. Dan hasilnya masih nihil. Dia mulai merasa sia-sia dan tak berguna.

Menerawang sejenak, dilihatnya ada rumpun bambu di dekat situ.

Dengan golok, dipapasnya sebatang sedang yang tampak kuat. Lalu dia mencoba mengulurkannya ke dalam sumur. “Jepit bambu itu dengan kaki-kakimu!” teriaknya, ”Akan kuungkit kau naik!” Berulang-ulang dia mencoba mengungkit dan mengungkil. Dan selalu gagal. Segala cara dia kerahkan dengan bambu. Segala upaya dia coba. Sesekali dia padukan tali dengan bambu. Tapi semuanya nihil hasil. Dicobanya pula balok-balok kayu. Dengan segala rekadaya. Dan ia makin lelah. Dan harapnya makin menguap. Merembes keluar dari jiwa bersama keringat yang mengkuyupi pakaiannya.

Matahari makin rendah di barat sana, hari kian senja. Dan sang petani telah mengambil keputusan bersama keputusasaannya. Dia akan menimbun sang keledai. Biarlah si keledai tua beristirahat di sana. Rehat yang damai setelah belasan tahun pengabdian. Biarlah. “Keledaiku tersayang… Terima kasih atas persahabatan kita. Kini saatnya engkau beristirahat. Rehatlah dengan tenang.”

Matanya basah. Dadanya sesak. Tangannya tertahan. Tapi dia mulai mengayunkan cangkul. Setimbun demi setimbun tanah meluncur ke dasar sumur.

Si keledai marah ketika segenggam tanah pertama mengenai punggungnya. Ketika datang yang kedua meluncur berdebam, dia menghindar. Tapi kian lama, dia makin tahu apa yang harus dilakukannya. Dia mengangkat kakinya, naik ke atas tiap timbun tanah yang jatuh ke dasar. Kadangkala ia harus bergerak ke kanan atau kiri, menghindari bongkahan tanah yang meluncur bertubi-tubi. Atau menggoyang tubuhnya hebat-hebat, agar guyuran tanah yang menimpa punggungnya gugur ke bawah. Dan dia terus naik.

Tiap kali ada tanah mengguyur turun, dia naik ke atasnya. Tiap kali ada bongkahan meluncur jatuh, dia naik, dan terus naik.

Hingga senja tamat menjadi malam. Sang petani yang bersedih mengira bahwa dia telah sempurna menguburkan keledai kesayangannya. Dalam lelah, dalam payah, dalam duka yang menyembilu hati dia berbaring di samping sumur. Sejenak memejamkan mata, menghayati gemuruh dalam dadanya. Diam-diam, hatinya menggumamkan do’a. dan saat itulah, sang keledai meloncati tubuhnya dengan ringkikan bahagia, keluar dari sumur tanpa kurang suatu apa.

Itu keajaiban baik sangka.

Tugas kita adalah berbaik sangka. Bahwa yang seringkali kita anggap sebagai musibah, mungkin saja bukanlah musibah itu sendiri. Bahwa yang seringkali kita anggap sebagai penderitaan, bisa jadi adalah pertolongan Alloh dari jalan yang tak kita sangka-sangka. Bahwa sesama yang zhohirnya akan menyakiti, bisa jadi punya niat mulia di dalam hatinya. Bahwa kalaupun niatnya tak suci, kita tetap bisa mendapatkan kebaikannya. Dengan prasangka baik.

YYY

Dalam dekapan ukhuwah, kita mengembangkan berbagai sudut pandang untuk selalu berprasangka baik pada sesama. Seperti dilakukan seorang ‘alim bernama Tholhah ibn ‘Abdillah ibn ‘Auf. Tercatat dalam kitab Roudhotul ‘Uqola karya Imam Abu Hatim, bahwa suatu hari sang istri, ‘Aisyah binti ‘Abdillah ibn Muthi’ al-Aswad mengajaknya bicara. “Demi Alloh, hai saudaraku,” keluhnya, “Aku tidak pernah menemukan orang yang lebih buruk sifatnya dari sahabat-sahabatmu.”

Tholhah agak terkejut mendengar kata-kata istrinya. “Demi Alloh,” ujarnya, “Jangan sampai mereka mendengar kata-kata ini. Sifat buruk apakah yang kau maksud itu, Sayang?”

“Demi Alloh, sifat buruk itu tampak sangat jelas.”

“Apakah gerangan?”

“Jika engkau dalam keadaan senang,” kata sang istri, “Mereka datang dan menemuimu. Namun jika engkau susah, mereka menjauhimu.”

“Sebenarnya tidak seperti itu,” timpal Tholhah sambil tersenyum. “Aku justru melihatnya sebagai budi yang mulia.”

“Apa maksudmu menganggapnya sebagai budi yang mulia?”

“Memang demikian,” tegas Tholhah. “Mereka hanya berkunjung di saat kita sedang mampu menjamu. Saat kita sedang tidak sanggup menjamu, mereka memahaminya. Lalu mereka tidak datang kemari.”

Credit: “Dalam Dekapan Ukhuwah”; Salim A. Fillah; Pro-U Media

Tidak ada komentar:

Posting Komentar