Berawal dari jiwa yang lemah atau karena mata yang
telah digelapkan oleh dunia, kita bisa kehilangan ‘izzah (kehormatan diri). Bila kehormatan diri sudah tidak ada
lagi, maka kita pun akan kehilangan ‘iffah.
Kita tidak mampu menjaga diri kita sehingga bangunan kebajikan yang kita bangun
menjadi rapuh dan mudah runtuh.
Sepanjang sejarah peradaban,
kebesaran selalu dibangun oleh jiwa yang kokoh, pemikiran yang matang, mental
yang dapat diandalkan dan hati yang teguh. Perubahan-perubahan besar selalu
berangkat dari jiwa. Bukan harta dan kekuasaan. Jika jiwa kita berubah, maka
akan berubah cara kita memaknai apa-apa yang ada di sekililing kita.
Selanjutnya, berubah pula sikap kita, penerimaan kita dan perilaku kita.
Jaudat Sa’id, seorang yang telah
lama mempelajari kekuatan jiwa, pernah menulis syarat-syarat yang dibutuhkan
dari jiwa untuk terjadinya perubahan-perubahan besar yang mendasar. Saya tidak
membahasnya di sini karena saya tidak mampu menerangkannya kepada Anda. Tetapi
ada satu hal pokok yang perlu kita pegang: tidak
mungkin kita melakukan perbaikan jika jiwa kita sendiri rapuh.
Masalah terakhir ini mendesak
sekali untuk kita pikirkan, terutama ketika kita bermaksud untuk membenahi
ummat. Kita perlu memperhati-kan secara hati-hati siapa yang akan kita serahi
urusan kaum Muslimin. Boleh jadi seseorang sangat rajin mendatangi masjid dan
amat tekun melakukan ibadah, tetapi imannya masih mengkhawatirkan. Mereka
begitu bersemangat, tetapi imannya masih perlu diluruskan.
Saya teringat dengan sebuah hadits.
Rosululloh saw memperingatkan, “Jika kalian melihat seseorang yang sering
mendatangi masjid, maka persaksikanlah kelurusan imannya.” (HR. Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Darimi)
Hadits ini mengajarkan kita agar
tidak terlalu mudah menilai. Jika seseorang tampak sering larut dalam
sholatnya, perhatikanlah apakah ia tidak banyak berbuat mungkar di luar
sholatnya. Jika seseorang sangat rajin mendatangi masjid, perhatikanlah
kelurusan imannya. Semoga dengan itu, Alloh memberi petunjuk dan menyelamatkan
kita dari apa yang tampaknya membawa kebaikan, padahal justru membuat Alloh
murka.
Salah satu perkara yang tampaknya
baik tetapi sangat buruk akibatnya adalah mengemis pada orang-orang kafir
karena kita ingin memakmurkan masjid. Kita mengira dengan bantuan itu, dapat
menguatkan iman kaum Muslimin. Padahal, yang terjadi justru bisa sebaliknya.
Hanya karena sekeping rupiah yang mereka berikan, dakwah kehilangan barokahnya,
masjid kehilangan karomahnya, ulama kehilangan wibawanya, dan kaum Muslimin
bisa guncang keyakinannya.
Masya
Alloh…! Alangkah
mahal harga yang harus dibayar.
Saya teringat dengan firman Alloh.
Dalam surat at-Taubah, Alloh swt menegaskan. Tidaklah pantas orang-orang musyrik itu memakmurkan masjid-masjid
Alloh, sedang mereka mengakui bahwa mereka sendiri kafir. Itulah orang-orang
yang sia-sia pekerjaan-nya, dan mereka kekal di dalam neraka. Hanyalah yang
memakmurkan masjid-masjid Alloh ialah orang-orang yang beriman kepada Alloh dan
hari Kemudian, serta tetap mendirikan sholat, menunaikan zakat dan tidak takut
(kepada siapa pun) selain kepada Alloh, maka merekalah orang-orang yang
diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk. (Qs. at-Taubah [9]: 17-18)
Astaghfirullohal
‘azhim. Bagaimana
mungkin kita bisa menancapkan iman yang kokoh di hati kaum Muslimin, bila kita
sendiri meminta belas kasihan orang-orang kafir? Bahkan seandainya mereka
memberi tanpa diminta, Alloh tunjukkan bahwa tidak pantas mereka memakmurkan
masjid-masjid Alloh. Hari ini, mungkin akan banyak yang datang mengetuk
pintumu.
Bagaimana jika mereka memberi
bantuan tanpa pamrih? Sungguh, tak seorang pun yang bisa memastikan isi hati
orang lain, bahkan seandai mereka bersumpah melakukannya dengan tulus. Andaikan
pun bantuan itu diberikan tanpa mengharap apa-apa, maka perintah Alloh lebih
layak didengar. Apalagi jika kita menerima bantuan dengan sejumlah persyaratan,
yang ringan maupun yang berat. Alih-alih berdakwah, kita justru melemahkan jiwa
kaum Muslimin.
Masya
Alloh! Akankah
kita memakmurkan masjid dengan menentang perintah Alloh?
Credit:
“Mencari Ketenangan di Tengah Kesibukan”; Mohammad Fauzil Adhim; Pro-U Media
Tidak ada komentar:
Posting Komentar