Ada hak orang lain pada harta kita.
Sebagian kita keluarkan lewat zakat yang besarnya telah ditentukan ―misalnya
2,5% untuk harta yang telah memenuhi nishobnya selama satu tahun dan 20% untuk
barang temuan. Di antara harta yang termasuk barang temuan adalah hadiah yang
kita peroleh dari undian, sepanjang undian itu tidak mengandung unsur judi.
Sebagian lagi, ada hak orang lain
yang tidak ditentukan besarnya. Ini adalah hak di luar zakat. Belum melakukan
kebajikan seseorang yang menunaikan zakat kepada yang berhak menerima, tetapi
menahan hartanya dari yang membutuhkan. Padahal, ia sedang dalam lapangan,
sementara orang yang mengharapkan dapat kita pastikan keadaannya sangat
memerlukan dan apabila tidak terpenuhi, bisa mendatangkan keadaan yang buruk.
Bukanlah kebaikan itu menghadapkan
wajah ke arah timur atau barat. Bagusnya sholat akan tidak berarti apabila
tidak diiringi dengan lapangnya hati menunaikan zakat. Sebab, kesempurnaan
menegakkan sholat berkait erat dengan penunaian zakat bagi yang telah terkena kewajiban.
Sementara, menunaikan sholat saja belum cukup untuk mengantarkan kita pada
pintu-pintu kebajikan apabila Alloh ‘Azza
wa Jalla mengamanahkan pada kita harta dan kekayaan.
Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
Bukanlah
menghadapkan wajahmu ke timur dan ke barat itu suatu kebajikan. Tetapi
sesungguhnya kebajikan itu ialah keimanan kepada Alloh, hari Kemudian,
malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi, dan memberikan harta yang dicintainya
kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang
memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta, dan (memerdekakan)
hamba sahaya, mendirikan sholat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang
menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam
kesempitan, penderitaan, dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang
benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertaqwa.” (Qs. al-Baqoroh [2]: 177)
Pada ayat ini, ada beberapa
pelajaran yang bisa kita petik. Berkait dengan pembicaraan kita kali ini,
sekurangnya ada dua hal yang perlu kita cermati. Pertama, memberikan harta yang kita cintai didahulukan daripada
menunaikan zakat. Ini berarti ada keutamaan pada kemurahan hati tanpa menunggu datangnya
kewajiban berzakat, dan bahwa kebajikan itu di luar zakat. Kedua, sebagaimana pada ayat-ayat lain, kata sholat hampir selalu
beriringan dengan kata zakat. Ini menandakan saling berkaitnya kesempurnaan
sholat dengan kelapangan hati menunaikan zakat.
Penting untuk kita pahami. Zakat
bukanlah pemberian kita kepada orang-orang yang berhak menerima, tetapi
pembayaran atas hak mereka yang dititipkan Alloh Ta’ala pada kita, sehingga kitalah yang berkewajiban menunaikannya.
Andaikata mereka tak datang ke rumah kita untuk mengambilnya, baik karena tak
sanggup atau karena malu, maka kitalah yang wajib menyampaikannya kepada
mereka. Dengan demikian, sungguh belum termasuk berbuat kebajikan kalau kita
hanya menunaikan zakat, tetapi tak mau menyisihkan sedikit saja dari harta kita
yang sudah dizakati kepada mereka yang berhak menerima.
Di antara golongan yang berhak itu
adalah musafir yang sedang melakukan perjalanan untuk sesuatu yang baik.
Sayangnya, hari ini kita kadang sulit membedakan antara musafir yang sungguh-sungguh
kehabisan bekal dengan mereka yang pura-pura kehabisan bekal demi mendapatkan
harta dengan cara mudah.
Credit: “Mencari Ketenangan di
Tengah Kesibukan”; Mohammad Fauzil Adhim; Pro-U Media
Tidak ada komentar:
Posting Komentar