Senin, 25 Mei 2015

Sya'ban

Sya'ban adalah bulan ke-8 dalam Hijriah, terletak antara 2 bulan yang dimuliakan yakni Rojab dan Romadhon. Tentangnya Rosululloh bersabda:

"Sya'ban; bulan yang sering dilalaikan insan; antara Rojab dan Romadhon."

"Sya'ban adalah bulan di mana amal-amal diangkat kepada Robb Semesta Alam; maka aku suka jika amalku diangkat, sedang aku dalam keadaan puasa. "(HR. Ahmad dan Nasa'i, dinyatakan hasan oleh Syaikh Al-Albany dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shohihah, no. 1898)

Karena itu, berdasar riwayat shohih disebutkan bahwa Rosululloh SAW berpuasa pada sebagian besar hari di bulan Sya‘ban. ‘Aisyah berkata:

"Tak kulihat Rosululloh SAW menyempurnakan puasanya dalam sebulan penuh, selain di bulan Romadhon. Dan tidak aku lihat bulan yang beliau paling banyak berpuasa di dalamnya selain bulan Sya'ban." (HR. Al-Bukhori dan Muslim)

Dalam Shohih Al-Bukhori (1970) ada tambahan dari ‘Aisyah: "Tidak ada bulan yang Nabi SAW lebih banyak berpuasa di dalamnya selain bulan Sya'ban. Sesungguhnya beliau berpuasa pada bulan Sya'ban seluruhnya."

Maksud hadits: beliau berpuasa pada sebagian besar hari-hari bulan Sya'ban, sebagaimana banyak riwayat lain yang menyatakan demikian.

Dalam ungkapan bahasa Arab, seseorang bisa mengatakan 'berpuasa sebulan penuh' padahal yang dimaksud adalah 'berpuasa pada sebagian besar hari di bulan itu.' Demikian keterangan Ibnu Hajar Al-'Asqolany dalam Fathul Bari, 4/213.

Maka berpuasa di bulan Sya'ban adalah utama, karena:
1) 'Amal-'amal manusia (secara tahunan) sedang diangkat ke hadapan Alloh SWT.
2) Sya'ban ialah bulan yang disepelekan; beramal dan menghidupkan syi'ar di saat manusia lain lalai memiliki keutamaan tersendiri.

Selain kedua hal itu, puasa di bulan Sya'ban juga dimaknai sebagai:
3) Penyambutan dan pengagungan terhadap datangnya bulan Romadhon.

Karena ibadah-ibadah yang mulia, umumnya didahului oleh pembuka yang mengawalinya; Haji diawali persiapan ihrom di Miqot, sholat juga diawali dengan bersuci, berwudhu', dan persiapan-persiapan lainnya yang dimasukkan dalam syarat-syarat sholat.

Hikmah lain: puasa di bulan Sya'ban akan membuat tubuh mulai terbiasa untuk melaksanakan ibadah puasa di bulan Romadhon dengan optimal. Sebab sering di awal Romadhon banyak daya dan waktu habis untuk penyesuaian diri; padahal tiap detik bulan mulia sangat berharga.

Imam An-Nawawi dalam Syarh Shohih Muslim mencantumkan pendapat: puasa Sya'ban seumpama sunnah Rowatib (pengiring) bagi puasa Romadhon. Untuk sholat; ada rowatib qobliyah dan ba'diyah. Untuk Romadhon, qobliyahnya; puasa Sya'ban dan ba'diyahnya; puasa 6 hari di bulan Syawal.

Keutamaan Sya'ban bisa kita lihat di: Tahdzib Sunan Abu Dawud, 1/494, Latho'iful Ma'arif, 1/244. Nah, bagaimana tentang Nishfu Sya'ban?

Hadits-hadits terkait Nishfu Sya'ban ini sebagian dikategorikan dho'if (lemah), bahkan sebagian lagi dikategorikan maudhu' (palsu). Utamanya hadits yang mengkhususkan ibadah tertentu atau yang menjanjikan jumlah dan bilangan pahala atau balasan tertentu. Tetapi, ada sebuah hadits yang berisi keutamaan malam Nishfu Sya'ban yang bersifat umum, tanpa mengkhususkan ibadah-ibadah tertentu.

"Sesungguhnya Alloh memeriksa pada setiap malam Nishfu Sya'ban. Lalu Dia mengampuni seluruh makhluk-Nya, kecuali yang berbuat syirik atau yang bertengkar dengan saudaranya." HR. Ibnu Majah (1390). Dalam Zawa'id-nya, riwayat ini dianggap dho'if karena adanya perowi yang dianggap lemah. TETAPI, Ath-Thobroni juga meriwayatkannya dari Mu'adz ibn Jabal dalam Mu'jamul Kabir (215).

Ibnu Hibban juga mencantumkan hadits ini dalam Shohihnya (5665), begitu pula Imam Ahmad mencantumkan dalam Musnadnya (6642). Al-Arna'uth dalam ta'liqnya pada dua kitab terakhir berkata, "SHOHIH dengan syawahid (riwayat-riwayat semakna yang mendukung)."

Al-Albani juga menilai hadits Nishfu Sya'ban ini SHOHIH (Silsilah Al-Ahadits Ash-Shohihah (1144), Shohih Targhib wa Tarhib (1026))

Karena itu, ada sebagian ulama salaf dari kalangan TABI'IN di negeri Syam, seperti Kholid ibn Ma'dan dan Luqman ibn Amir yang menghidupkan malam tersebut dengan berkumpul di masjid-masjid untuk melakukan ibadah tertentu pada malam Nishfu Sya'ban. Dari merekalah kaum muslimin mengambil kebiasaan itu. Imam Ishaq ibn Rohawayh menegaskannya dengan berkata, "Ini BUKAN BID'AH!"

'Ulama Syam lain, di antaranya Al-Auza'i, TIDAK MENYUKAI perbuatan berkumpul di masjid untuk sholat dan berdoa bersama di Nishfu Sya'ban. Tetapi beliau -dan 'ulama yang lain- MENYETUJUI keutamaan sholat, baca Al-Qur'an dll pada Nishfu Sya'ban jika dilakukan sendiri-sendiri. Pendapat ini yang dikuatkan Ibn Rojab Al-Hanbali (Latho'iful Ma'arif, 151) dan Ibn Taimiyah (Mukhtashor Fatawa Al-Mishriyah, 292)

Adapun 'ulama Hijaz seperti Atho', Ibnu Abi Mulaikah, dan para pengikut Imam Malik menganggap hal terkait Nishfu Sya'ban sebagai bid'ah. Tapi kata mereka; qiyamullail sebagaimana tersunnah pada malam lain dan puasa di siangnya sebab termasuk Ayyamul Bidh ialah baik.

Demikian agar perbedaan pendapat ini difahami dan tak menghalangi kita untuk melaksanakan segala 'amal ibadah utama pada bulan Sya'ban.

Bulan Sya'ban adalah juga kesempatan tuk meng-qodho' hutang puasa Romadhon kemarin sebelum datangnya Romadhon berikut. ‘Aisyah berkata:

“Aku punya hutang puasa Romadhon, aku tak dapat mengqodho'nya kecuali di bulan Sya'ban, karena sibuk melayani Nabi.” (HR. Al-Bukhori-Muslim)

Imam An-Nawawi (Syarh Shohih Muslim, 8/21) dan Ibn Hajar (Fathul Bari, 4/189) menjelaskan; dari hadits ‘Aisyah ini disimpulkan:
Jika ada 'udzur, maka qodho' puasa bisa diakhirkan sampai bulan Sya'ban. Tanpa 'udzur, menyegerakannya di bulan Syawal dan seterusnya lebih utama.

Bagaimana jika lalai; tanpa 'udzur, hutang puasa belum terbayar, tapi Romadhon baru telah datang? Jumhur ‘ulama berpendapat: Dia harus beristighfar atas kelalaiannya pada kewajiban itu dan harus bertekad untuk segera meng-qodho'-nya setelah Romadhon ini.

Menurut mereka, tiada kewajiban khusus selain hal itu. Tetapi sebagian 'ulama berpendapat agar si lalai menambahkan 1 hal lagi, yakni mengeluarkan 1/2 Sho' makanan pokok (+1,5 kg) untuk tiap hari yang terlalai belum dibayar hutang puasanya tahun lalu. Ini sebagai pengingat atas kelalaiannya dan dia harus tetap mengganti puasa yang terlalai diganti tahun ini pada tahun depannya. Ini berdasar ijtihad beberapa sahabat Nabi SAW. Tak ada nash khususnya, tetapi ijtihad ini dianggap baik. (Fathul Bari, 4/189)

Jika masuk bulan Sya'ban, hendaknya kita saling mengingatkan (juga terutama pada kaum wanita) yang punya hutang puasa agar ditunaikan.

Sehari atau 2 hari terakhir Sya'ban dinamakan Yaumusy-Syakk (hari keraguan), sebab ketidakjelasan apa sudah masuk Romadhon atau belum.

Nabi bersabda:

"Janganlah kalian mendahului Romadhon dengan berpuasa sehari atau dua hari sebelumnya. Kecuali seseorang yang (memang seharusnya/biasanya) melakukan puasanya pada hari itu. Maka hendaklah ia berpuasa." (HR. Al-Bukhori dan Muslim)

Maknanya; terlarang tuk sengaja mengkhususkan berpuasa pada Yaumusy Syakk. Tetapi boleh bagi yang HARUS (nadzar, qodho', dll) dan boleh juga yang BIASA (karena puasa Dawud, bertepatan Senin/Kamis, dll). Hikmah pelarangan itu sekedar sebagai pemisah antara puasa Romadhon yang fardhu dengan puasa sebelum/sesudahnya yang sunnah. (Syarh Muslim 7/194, Latho'iful Ma'arif 151)

Demikian Sholih(in+at) bincang kita tentang Sya'ban.

"Ya Alloh; berkahi kami di bulan Sya'ban, karuniakan taufiq pada kami di dalamnya, dan sampaikan kami ke bulan Romadhon."


Credit: Kultwit @salimafillah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar