mempercayai
yang terbaik dalam diri seseorang
akan
menarik keluar yang terbaik dari mereka
berbagi
senyum kecil dan pujian sederhana mungkin saja mengalirkan ruh baru pada jiwa
yang nyaris putus asa
atau
membuat sekeping hati kembali percaya
bahwa
dia berhak dan layak untuk berbuat baik
INI salah satu adegan
yang paling saya suka dalam Red Cliff, garapan sutradara John Woo.
Ketika itu, Zhuge
Liang, sang ahli strategi legendaris, didampingi Lu Su, penasehat militer
kerajaan Wu, sedang mengunjungi Zhou Yu di pusat pelatihan prajurit Wu di
Karang Merah. Latihan terhenti karena kumandang bunyi seruling di puncak
karang. Dengan begitu gesit dan nyaris tak terindera, Zhou Yu menghampiri si
bocah yang ternyata bersama kakeknya. Zhou Yu meminta seruling bambu itu,
meraut sedikit bagian lubang udara utamanya dan mengulurkannya kembali.
Suara seruling itu
makin merdu. Lagunya menghanyutkan semua yang hadir dalam suasana keindahan
alam daratan Cina selatan.
Tapi urusan utama
kedua rakyat jelata itu bukan soal seruling. Si kakek dan cucunya ini rupanya
kehilangan kerbau air di sawah mereka. Mereka hendak mengadu. “Beberapa saksi melihat
bahwa…,” kata sang kakek sambil menjura penuh hormat. Zhou Yu mengangguk
sebelum si kakek menyelesaikan kalimatnya. Dia mengerti.
Pasukan yang
dikomandani oleh Jenderal Gan Xing segera diperintahkan berhimpun dalam
barisan. Zhou Yu memulai kata-katanya dengan pujian. “Aku terkesan oleh
penampilan dan kerja keras semua orang hari ini!” serunya disambut gemuruh
pekik para prajurit.
“Tapi kakek tua
ini kehilangan kerbau milik keluarganya di dekat barak kita,” Zhou Yu berjalan
berkeliling sambil menyeksamai wajah para prajurit itu. Sesekali diamatinya
kaki mereka. “Apakah ini dilakukan oleh salah seorang saudara kita?”
Suasana mendadak
hening.
“Ayo. Dia yang
berbuat, maju ke depan dan mengakulah!” salah seorang komandan rendahan
tiba-tiba berteriak. Anggota pasukan yang lain kemudian menimpali
bersahut-sahutan. “Benar! Ayo mengaku! Tunggu apa lagi? Jadilah ksatria!”
Keadaan menjadi begitu riuh dan kacau. “Seret saja mereka keluar! Sungguh
perbuatan yang memalukan!” seru yang lain.
“Lu Su,” panggil
Zhou Yu yang membuat suasana kembali sunyi, “Apa hukumannya menurut
undang-undang Kerajaan Wu?”
“Hukumannya,”
jawab Lu Su dengan berat hati, “Adalah mati!”
“Ayo keluar
kalian! Tunjukkan diri!” teriak para prajurit bergemuruh. Suasana kembali ribut
dan kacau balau. “Dan,” sambung Lu Su, “Untuk mengetahui pelakunya, mudah saja.
Kerbau itu baru hilang pagi ini di sebuah sawah. Pasti masih ada banyak lumpur
mengotori sepatu para malingnya. Apakah aku benar?”
“Ya, benar! Ayo,
siapa pelakunya, tunjukkan diri!”
Zhou Yu sudah
mengetahuinya sejak tadi. Dan dia sudah melihat tiga orang prajurit dengan
sepatu berlumur tanah becek berdiri dengan gelisah dan takut. Mendengar
kata-kata Lu Su dan seruan kawan-kawannya, mereka makin kalut dan ciut nyali.
“Semua prajurit
Gan Xing, dengarkan perintah ini!” Zhou Yu berteriak. “Kuminta kalian semua
berlari mengelilingi arena latihan. Berputarlah di bawah pohon sebelah sana itu
kemudian kembali ke tempat ini! Semuanya, laksanakan! Cepat!”
“Siap!”
Seluruh prajurit
segera bergerak dengan formasi baris yang rapi dan berlari ke arah yang
ditunjuk oleh Zhou Yu. Untuk sampai ke pohon yang dimaksud, mereka harus
menyeberangi kolam latihan yang becek dan berlumpur. Dan mereka semua
menerabasnya. Masih terus berlari, kini semua sepatu jadi basah dan berlumpur.
Ketiga orang yang sepatunya berlumpur, kini dibersamai oleh seluruh kawan-kawan
sekesatuannya. Lalu dalam irama yang menghentak, mereka semua kembali ke
hadapan Zhou Yu.
“Hari ini,” kata
Zhou Yu, “Aku tidak menyeret para pelakunya keluar, karena aku ingin memberi
mereka kesempatan kedua untuk menjadi lebih baik. Prajurit Wu sama sekali tidak
bisa menenggang penjarah! Tak ada tempat bagi pencuri! Tapi yang kita perlukan
hari ini adalah kesatuan, terikat dalam persaudaraan!”
“Benar!”
Jenderal Gan Xing
terlihat muncul dengan menuntun seekor kerbau. Dia sendiri yang mengganti
kerbau milik kakek tua yang hilang itu. Di hadapan si kakek, dia berlutut.
“Kumohon, terimalah hormat dan permohonan ampunku. Aku gagal melatih
pasukanku!”
“Hamba tak berani!
Hamba tak berani!” si kakek ikut berlutut. Dan dengan sangat mengharukan,
seluruh prajurit kini berlutut dan menjura hormat pada sang kakek.
Keputusan Zhou Yu
untuk tak menghukum para pelaku pencurian saat itu, terbukti tepat. Kelak,
ketiga orang yang mencuri kerbau itu menjadi pasukan perintis yang gagah berani
dan rela mengorbankan jiwa saat menghadapi serbuan pasukan Perdana Menteri Cao
Cao di seberang Karang Merah. Mereka menjadi patriot negeri Wu. Zhou Yu sangat
terharu menyaksikan kepahlawanan mereka.
YYY
Sejarah di Khulafaur Rosyidin mencatat nama seorang
shohabat Rosululloh yang masyhur, Abu Minjan ats-Tsaqofi. Sungguh, sebenarnya
dia adalah seorang perwira nan pemberani yang sulit dicari tandingannya.
Sayang, orang-orang mengenalnya sebagai peminum khomr. Itu kebiasaan jahiliah
yang belum juga berhasil ditaklukkannya. Satu saat, Kholifah ‘Umar ibn
al-Khoththob menderanya di muka umum sebagai ta’zir.
Beberapa waktu
kemudian, dia mengikuti pasukan besar yang dikirim ‘Umar untuk menaklukkan
Persia. Barisan besar mujahidin ini dipimpin oleh singa yang menyembunyikan
kukunya, Sa’d ibn Abi Waqqosh.
Cerita menarik ini
terjadi ketika kecamuk perang terjadi di wilayah Qodisiyah. Lagi-lagi, Abu
Mihjan kedapatan meminum khomr sehingga Sa’d ibn Abi Waqqosh menghukum dengan
mengikat dan menyekapnya di dalam kemah utama. Ketika Abu Mihjan mendengar
derap kuda di sekitar kemah utama, dia melantunkan kekesalannya dalam bait-bait
syair.
lengkap sudah kesedihan dan sesalku kini
kutukar kegagahan di atas derap kuda
dengan minuman hina, hingga terikat bahu dan kaki
jika berdiri tubuhku sakit tertahan besi
pintu pun tertutup, membuat teriakanku tak berarti
Pertempuran hari
itu berlangsung sangat dahsyat. Orang-orang Persia menyerang penuh murka dengan
gajah-gajah dan kereta perang mereka. Pasukan panahnya yang termahsyur terus
menghujani barisan depan kaum Muslimin hingga mengakibatkan banyak jatuh
korban. Sayang sekali, panglima agung Sa’d ibn Abi Waqqosh dilanda bisul di
sekujur tubuhnya. Dia tak bisa memimpin langsung pertempuran di garis depan.
Dengan berbaring di atas sebuah ranjang miring yang diletakkan di panggung
tinggi, dia terus memberi perintah, menerima laporan, dan mengatur siasat.
Gajah-gajah itu
yang menjadi masalah terbesar! Kuda-kuda kaum Muslimin tak terbiasa
menghadapinya. Hewan-hewan yang biasanya tangkas itu panik, lalu menjadi liar
dan tak terkendali. Formasi penyerbuan bubar dan kacau, sementara para gajah
dengan belalai yang dipersenjatai gelang baja berpisau mengibas ke kanan dan ke
kiri menceraiberaikan pasukan. Para pejuang Muslim yang mencoba mendekat pun
banyak yang celaka karena amukannya.
Antara yakin dan
tidak, dari atas ranjangnya, Sa’d ibn Abi Waqqosh melihat sosok yang mirip Abu
Mihjan ats-Tsaqofi di atas seekor kuda yang ditutupi matanya menghambur ke arah
barisan gajah Persia. Dengan sebilah tombak, diserangnya gajah terbesar yang
seolah menjadi pimpinan kawanannya. Dengan sebuah gerakan lincah, orang itu
melonjak dan menusukkan tombaknya tepat di mata sang gajah. Gajah itu kini
menjadi tak terkendali dan barisan hewan-hewan raksasa itu pun kacau. Para
prajurit Muslim yang lain segera mengikuti langkah orang itu, menutup
penglihatan kudanya dan menyerbu mata para gajah dengan tombak mereka.
Sa’d ibn Abi
Waqqosh sampai tertegak dari pembaringannya menyaksikan kegagahan sosok yang
mirip Abu Mihjan itu. Dengan pedang teracung, lelaki pemberani itu mendekat ke
arah gajah-gajah dan melumpuhkannya dengan tebasan di kaki depan. Para prajurit
Persia yang mengeroyoknya kewalahan. Sayang, orang itu menutup muka dengan
ujung sorban. Wajahnya tak terlihat. Tapi hei, Sa’d ibn Abi Waqqosh mulai
mengenali kuda yang dipakai orang itu. Itu adalah kuda miliknya! Kuda milik
Sa’d ibn Abi Waqqosh sendiri. Jangan-jangan benar, itu adalah Abu Mihjan? Tapi
bukankah dia terikat erat disekap di kemah utama?
Ketika malam
menjelang dan pertempuran agak mereda, Sa’d ibn Abi Waqqosh dengan tertatih
memeriksa kemah utama. Abu Mihjan ats-Tsaqofi masih di sana, terbelenggu tangan
dan kakinya. Wajahnya ditundukkan, mungkin merasa malu dan tak berguna. Dia
beralih ke sudut lain. Kudanya juga ada terikat, tapi tampak begitu lelah dan
kepayahan. “Demi Alloh, ada apa dengan kuda ini?” seru Sa’d.
Istri Sa’d ibn Abi
Waqqosh yang kemudian menjelaskan, bahwa dialah yang melepaskan Abu Mihjan
untuk ikut bertempur. Abu Mihjan bahkan memohon supaya bisa menggunakan kuda
Sa’d ibn Abi Waqqosh. “Aku melihatnya sebagai seorang yang baik. Dia bersumpah
pada Alloh!” ujar wanita itu, “Untuk kembali dan mengikat dirinya jika sore
tiba. Dan Alhamdulillah dia menepati
janjinya.”
“Kalau begitu,”
ujar Sa’d, “Seharusnya dia tak lagi di belenggu. Dia seorang yang mencintai
Alloh dan berjihad untuk meninggikan kalimat-Nya. Bergembiralah, wahai Abu
Mihjan. Semoga Alloh mengampunimu. Sungguh hari ini engkau telah memenuhi haq
kuda ini, saat tuannya sedang sakit dan tak bisa membawanya berjihad. Sibukkan
dirimu dengan perang memenangkan agama Alloh, dan jangan sampai syaithon
menipumu lagi untuk mendekati khomr!”
YYY
“Dia yang tak
mampu memaafkan kesalahan orang lain,” demikian yang dikatakan oleh George
Herbert, “Telah menghancurkan jembatan yang seharusnya dia lalui sendiri.” Ya.
Kita selalu hidup dengan bersama orang lain. Tak peduli seberapa berprestasinya
sesosok insan, tiap orang pasti memerlukan dukungan. Sebuah timbal balik yang
setara takkan terjadi tanpa ada yang memulai. Zhou Yu, juga Sa’d ibn Abi
Waqqosh dan istrinya sangat memahami itu. Dalam dekapan ukhuwah, kita memilih
untuk memulainya dengan berbaik sangka.
Mempercayai yang
terbaik dalam diri seseorang, akan mengeluarkan yang terbaik dari mereka. Dalam
dekapan ukhuwah, mari kita percayai asas itu. Dan mari kita perlakukan
saudara-saudara tercinta kita dengan asas yang sama. Johann Wolfgang von
Goethe, pemikir Jerman yang sangat mengagumi Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam itu punya ungkapan yang menarik.
“Perlakukan seseorang dia tampak saat ini,” tulisnya dalam Faust, “Dan kau akan menjadikannya lebih buruk. Namun jika kau
memperlakukannya seolah dia telah menggapai potensinya dan mewujudkan citanya,
kau akan menjadikannya sebagaimana dia yang seharusnya.”
Sungguh, setiap
orang ingin hidupnya berarti. Semua orang ingin merasa dirinya penting dan
punya makna. Kita pun demikian. Sebab itulah, dalam dekapan ukhuwah, ini
berlaku untuk setiap orang, bahkan mereka yang tidak mempertunjukkannya.
Mungkin saja, mereka sedang menunggu rangsangan kecil dari kita untuk menjadi
seseorang yang hebat. Mari bukakan kesempatan itu dengan mempercayai adanya
kebaikan yang tersembunyi. Seperti sebuah kisah masyhur yang terjadi di masa
Bani Isroil.
YYY
Lelaki itu
menyipitkan mata di terjang terik. Kakinya tersaruk seok dalam sengatan pasir.
Dia datang dari jauh memikul beban hati yang memayahkan. Perjalanannya
melelahkan. Tapi biara yang ditujunya tak jauh lagi. Jalan agak mendaki kini,
tapi sekuncup harap telah bersemi di hati.
Di pintu biara,
Rahib ahli badah itu menyambutnya dengan wajah datar. Lisannya terus
berkomat-kamit. Rahib itu masuk sebentar dan keluar dengan dua gelas logam di
tangannya. Dia letakkan salah satu di hadapan si lelaki, dan gelas lain dia
genggam dengan dua tangan. Dihirupnya dalam-dalam aroma yang menguar bersama
asap.
“Rahib yang suci,”
kata si lelaki. Dia diam sejenak lalu mengunjal nafasnya panjang-panjang.
“Mungkinkah dosaku diampuni?”
Rahib itu
tersenyum setengah menyeringai. “Memangnya apa khilafmu?”
Agak tercekat dia
menjawab. “Aku telah membunuh,” katanya, “Sebanyak sembilanpuluh sembilan
jiwa.”
Hampir saja gelas
di tangan sang rahib jatuh. Matanya terbelalak dan mulutnya ternganga.
“Mungkinkah dosaku
diampuni?” lanjut si lelaki sambil menatap harap-harap. Tangannya cemas
menggaruki permukaan gelas logam. Dia lalu menunduk menanti sabda.
Tetapi Rahib itu
memalingkan muka. Rautnya tampak tak suka. Lelaki itu menangkap mimik jijik di
garis-garis wajah sang Rahib. Sayup dia menggumamkan sebuah ayat dalam Taurot,
“Membunuh satu jiwa sama artinya membinasakan seluruh jiwa, memusnahkan segala
kehidupan. Sembilanpuluh sembilan… Sungguh dosa yang tak terperikan. Tak
terampunkan.”
Entah mengapa si
lelaki pembunuh tiba-tiba disergap benci yang bergulung-gulung pada si Rahib.
Batinnya yang luka dan tersiksa oleh dosa serasa disiram cuka yang memedihkan
mendengar gumam itu. Cara Rahib itu memperlakukannya, bersikap, berkata-kata,
dan menjawab tanya seolah mereka dibatasi dinding tak tertembus. Si Rahib suci.
Tanpa dosa. Dan dia adalah lelaki hina, najis, tak terampuni.
Sekuncup harap
yang tadi bersemi, kini gugur disengat api.
Maka sekali lagi
syaithon mengalahkannya. Dalam detikan saja, pedangnya telah memenggal si
Rahib, membelahnya menjadi dua. Dan dia disergap sesal yang jauh lebih
menyakitkan. Genap sudah seratus nyawa. Darah sang Rahib yang mengalir merah
terlihat bagai neraka menyala, siap membakarnya. Dia tergidik. Dia beringsut
mundur. Nafasnya tersengal, jangganya terasa tercekik hebat, keringat dinginnya
merembesi baju. Dengan tenaga yang dihimpun sepicak-sepicak, dia berlari. Terus
berlari.
Untuk beberapa
waktu, dia bersembunyi. Tapi dia tahu, yang dia takuti bukan apa yang ada di
luar sana. Yang paling menakutkannya ada di dalam dada. Tak tampak. Tak pernah
membiarkannya nyenyak. Tak pernah mengizinkannya hening.
Satu hari dia tak
tahan lagi. Diberanikannya menemui orang yang dianggapnya mampu memberi jawab
gelisah hatinya. Kali ini bukan Rahib yang dipilihnya. Kali ini seorang ‘alim
yang didatanginya. Dan lelaki berilmu itu menerimanya dengan senyum tulus.
“Alloh itu Maha
Pengampun, Saudaraku,” ujar sang ‘alim ramah. “Taubatmu pasti diterima. Hanya
saja, selain menyesali segala yang telah berlalu dan menebusnya dengan
kebaikan-kebaikan, engkau juga harus meninggalkan negeri yang selama ini kau
tinggali. Pergilah ke negeri lain untuk memulai hidupmu yang baru. Engkau harus
berhijrah.”
Lelaki pembunuh
itu, kita tahu, benar-benar berhijrah. Tapi dia mati di perjalanan. Dan
malaikat rohmat pun memenangi perdebatannya dengan malaikat adzab. Sebab ketika
diukur jaraknya, lelaki itu sejengkal lebih dekat ke arah negeri
pertaubatannya. Dia benar-benar telah meninggalkan kejahatan, meski baru
sejengkal. Maka Alloh memerintahkan agar dia dibawa ke surga.
YYY
Kebaikan itu hanya
menyembul sedikit, mengintip di balik terbunuhnya seratus nyawa. Seorang Rahib
memang ahli ibadah. Tetapi dia bukan ahli ilmu. Dia tak kuasa mengenali
kebaikan yang tersembunyi. Begitulah kita hari-hari ini, banyak terpesona dan
dengan mudah menyebut seseorang sebagai “Ustadz!” Padahal boleh jadi dia bukan
ahli ilmu. Dia bisa saja ‘Abid, ahli
ibadah. Atau juga Khothib, seorang
yang fasih bicara. Atau bisa juga Katib,
seorang yang pandai menulis.
Adapun ulama,
adalah mereka yang benar-benar mengenal Alloh dan takut pada-Nya.
Seperti ‘alim yang
menuntun sang pembunuh untuk bertaubat. Dia lelaki jernih yang penuh prasangka
baik. Jika si Rahib lebih tertekan oleh kata “membunuh”, sang ahli ilmu lebih
terkesan oleh kata “taubat”. Kebaikan itu memang belum wujud, tapi dia
memperlakukan sang pembunuh dengan penuh cinta, mempercayai yang terbaik dalam
dirinya, dan menjadikan lelaki itu mampu menyongsong jalan surga.
Itulah ulama.
Dalam dekapan ukhuwah kita belajar dari mereka untuk takut kepada Alloh dan tak
mudah-mudah memvonis pada sesama hamba. Dalam dekapan ukhuwah kita belajar
untuk mengenali kebaikan yang mengintip, mempercayainya, dan memberinya
kesempatan untuk tampil mengemuka.
Credit: “Dalam
Dekapan Ukhuwah”; Salim A. Fillah; Pro-U Media
Tidak ada komentar:
Posting Komentar