Kamis, 28 Mei 2015

Percayailah yang Terbaik

mempercayai yang terbaik dalam diri seseorang
akan menarik keluar yang terbaik dari mereka

berbagi senyum kecil dan pujian sederhana mungkin saja mengalirkan ruh baru pada jiwa yang nyaris putus asa

atau membuat sekeping hati kembali percaya
bahwa dia berhak dan layak untuk berbuat baik


INI salah satu adegan yang paling saya suka dalam Red Cliff, garapan sutradara John Woo.

Ketika itu, Zhuge Liang, sang ahli strategi legendaris, didampingi Lu Su, penasehat militer kerajaan Wu, sedang mengunjungi Zhou Yu di pusat pelatihan prajurit Wu di Karang Merah. Latihan terhenti karena kumandang bunyi seruling di puncak karang. Dengan begitu gesit dan nyaris tak terindera, Zhou Yu menghampiri si bocah yang ternyata bersama kakeknya. Zhou Yu meminta seruling bambu itu, meraut sedikit bagian lubang udara utamanya dan mengulurkannya kembali.

Suara seruling itu makin merdu. Lagunya menghanyutkan semua yang hadir dalam suasana keindahan alam daratan Cina selatan.

Tapi urusan utama kedua rakyat jelata itu bukan soal seruling. Si kakek dan cucunya ini rupanya kehilangan kerbau air di sawah mereka. Mereka hendak mengadu. “Beberapa saksi melihat bahwa…,” kata sang kakek sambil menjura penuh hormat. Zhou Yu mengangguk sebelum si kakek menyelesaikan kalimatnya. Dia mengerti.

Pasukan yang dikomandani oleh Jenderal Gan Xing segera diperintahkan berhimpun dalam barisan. Zhou Yu memulai kata-katanya dengan pujian. “Aku terkesan oleh penampilan dan kerja keras semua orang hari ini!” serunya disambut gemuruh pekik para prajurit.

“Tapi kakek tua ini kehilangan kerbau milik keluarganya di dekat barak kita,” Zhou Yu berjalan berkeliling sambil menyeksamai wajah para prajurit itu. Sesekali diamatinya kaki mereka. “Apakah ini dilakukan oleh salah seorang saudara kita?”

Suasana mendadak hening.

“Ayo. Dia yang berbuat, maju ke depan dan mengakulah!” salah seorang komandan rendahan tiba-tiba berteriak. Anggota pasukan yang lain kemudian menimpali bersahut-sahutan. “Benar! Ayo mengaku! Tunggu apa lagi? Jadilah ksatria!” Keadaan menjadi begitu riuh dan kacau. “Seret saja mereka keluar! Sungguh perbuatan yang memalukan!” seru yang lain.

“Lu Su,” panggil Zhou Yu yang membuat suasana kembali sunyi, “Apa hukumannya menurut undang-undang Kerajaan Wu?”

“Hukumannya,” jawab Lu Su dengan berat hati, “Adalah mati!”

“Ayo keluar kalian! Tunjukkan diri!” teriak para prajurit bergemuruh. Suasana kembali ribut dan kacau balau. “Dan,” sambung Lu Su, “Untuk mengetahui pelakunya, mudah saja. Kerbau itu baru hilang pagi ini di sebuah sawah. Pasti masih ada banyak lumpur mengotori sepatu para malingnya. Apakah aku benar?”

“Ya, benar! Ayo, siapa pelakunya, tunjukkan diri!”

Zhou Yu sudah mengetahuinya sejak tadi. Dan dia sudah melihat tiga orang prajurit dengan sepatu berlumur tanah becek berdiri dengan gelisah dan takut. Mendengar kata-kata Lu Su dan seruan kawan-kawannya, mereka makin kalut dan ciut nyali.

“Semua prajurit Gan Xing, dengarkan perintah ini!” Zhou Yu berteriak. “Kuminta kalian semua berlari mengelilingi arena latihan. Berputarlah di bawah pohon sebelah sana itu kemudian kembali ke tempat ini! Semuanya, laksanakan! Cepat!”

“Siap!”

Seluruh prajurit segera bergerak dengan formasi baris yang rapi dan berlari ke arah yang ditunjuk oleh Zhou Yu. Untuk sampai ke pohon yang dimaksud, mereka harus menyeberangi kolam latihan yang becek dan berlumpur. Dan mereka semua menerabasnya. Masih terus berlari, kini semua sepatu jadi basah dan berlumpur. Ketiga orang yang sepatunya berlumpur, kini dibersamai oleh seluruh kawan-kawan sekesatuannya. Lalu dalam irama yang menghentak, mereka semua kembali ke hadapan Zhou Yu.

“Hari ini,” kata Zhou Yu, “Aku tidak menyeret para pelakunya keluar, karena aku ingin memberi mereka kesempatan kedua untuk menjadi lebih baik. Prajurit Wu sama sekali tidak bisa menenggang penjarah! Tak ada tempat bagi pencuri! Tapi yang kita perlukan hari ini adalah kesatuan, terikat dalam persaudaraan!”

“Benar!”

Jenderal Gan Xing terlihat muncul dengan menuntun seekor kerbau. Dia sendiri yang mengganti kerbau milik kakek tua yang hilang itu. Di hadapan si kakek, dia berlutut. “Kumohon, terimalah hormat dan permohonan ampunku. Aku gagal melatih pasukanku!”

“Hamba tak berani! Hamba tak berani!” si kakek ikut berlutut. Dan dengan sangat mengharukan, seluruh prajurit kini berlutut dan menjura hormat pada sang kakek.

Keputusan Zhou Yu untuk tak menghukum para pelaku pencurian saat itu, terbukti tepat. Kelak, ketiga orang yang mencuri kerbau itu menjadi pasukan perintis yang gagah berani dan rela mengorbankan jiwa saat menghadapi serbuan pasukan Perdana Menteri Cao Cao di seberang Karang Merah. Mereka menjadi patriot negeri Wu. Zhou Yu sangat terharu menyaksikan kepahlawanan mereka.

YYY

Sejarah di Khulafaur Rosyidin mencatat nama seorang shohabat Rosululloh yang masyhur, Abu Minjan ats-Tsaqofi. Sungguh, sebenarnya dia adalah seorang perwira nan pemberani yang sulit dicari tandingannya. Sayang, orang-orang mengenalnya sebagai peminum khomr. Itu kebiasaan jahiliah yang belum juga berhasil ditaklukkannya. Satu saat, Kholifah ‘Umar ibn al-Khoththob menderanya di muka umum sebagai ta’zir.

Beberapa waktu kemudian, dia mengikuti pasukan besar yang dikirim ‘Umar untuk menaklukkan Persia. Barisan besar mujahidin ini dipimpin oleh singa yang menyembunyikan kukunya, Sa’d ibn Abi Waqqosh.

Cerita menarik ini terjadi ketika kecamuk perang terjadi di wilayah Qodisiyah. Lagi-lagi, Abu Mihjan kedapatan meminum khomr sehingga Sa’d ibn Abi Waqqosh menghukum dengan mengikat dan menyekapnya di dalam kemah utama. Ketika Abu Mihjan mendengar derap kuda di sekitar kemah utama, dia melantunkan kekesalannya dalam bait-bait syair.

lengkap sudah kesedihan dan sesalku kini
kutukar kegagahan di atas derap kuda
dengan minuman hina, hingga terikat bahu dan kaki
jika berdiri tubuhku sakit tertahan besi
pintu pun tertutup, membuat teriakanku tak berarti

Pertempuran hari itu berlangsung sangat dahsyat. Orang-orang Persia menyerang penuh murka dengan gajah-gajah dan kereta perang mereka. Pasukan panahnya yang termahsyur terus menghujani barisan depan kaum Muslimin hingga mengakibatkan banyak jatuh korban. Sayang sekali, panglima agung Sa’d ibn Abi Waqqosh dilanda bisul di sekujur tubuhnya. Dia tak bisa memimpin langsung pertempuran di garis depan. Dengan berbaring di atas sebuah ranjang miring yang diletakkan di panggung tinggi, dia terus memberi perintah, menerima laporan, dan mengatur siasat.

Gajah-gajah itu yang menjadi masalah terbesar! Kuda-kuda kaum Muslimin tak terbiasa menghadapinya. Hewan-hewan yang biasanya tangkas itu panik, lalu menjadi liar dan tak terkendali. Formasi penyerbuan bubar dan kacau, sementara para gajah dengan belalai yang dipersenjatai gelang baja berpisau mengibas ke kanan dan ke kiri menceraiberaikan pasukan. Para pejuang Muslim yang mencoba mendekat pun banyak yang celaka karena amukannya.

Antara yakin dan tidak, dari atas ranjangnya, Sa’d ibn Abi Waqqosh melihat sosok yang mirip Abu Mihjan ats-Tsaqofi di atas seekor kuda yang ditutupi matanya menghambur ke arah barisan gajah Persia. Dengan sebilah tombak, diserangnya gajah terbesar yang seolah menjadi pimpinan kawanannya. Dengan sebuah gerakan lincah, orang itu melonjak dan menusukkan tombaknya tepat di mata sang gajah. Gajah itu kini menjadi tak terkendali dan barisan hewan-hewan raksasa itu pun kacau. Para prajurit Muslim yang lain segera mengikuti langkah orang itu, menutup penglihatan kudanya dan menyerbu mata para gajah dengan tombak mereka.

Sa’d ibn Abi Waqqosh sampai tertegak dari pembaringannya menyaksikan kegagahan sosok yang mirip Abu Mihjan itu. Dengan pedang teracung, lelaki pemberani itu mendekat ke arah gajah-gajah dan melumpuhkannya dengan tebasan di kaki depan. Para prajurit Persia yang mengeroyoknya kewalahan. Sayang, orang itu menutup muka dengan ujung sorban. Wajahnya tak terlihat. Tapi hei, Sa’d ibn Abi Waqqosh mulai mengenali kuda yang dipakai orang itu. Itu adalah kuda miliknya! Kuda milik Sa’d ibn Abi Waqqosh sendiri. Jangan-jangan benar, itu adalah Abu Mihjan? Tapi bukankah dia terikat erat disekap di kemah utama?

Ketika malam menjelang dan pertempuran agak mereda, Sa’d ibn Abi Waqqosh dengan tertatih memeriksa kemah utama. Abu Mihjan ats-Tsaqofi masih di sana, terbelenggu tangan dan kakinya. Wajahnya ditundukkan, mungkin merasa malu dan tak berguna. Dia beralih ke sudut lain. Kudanya juga ada terikat, tapi tampak begitu lelah dan kepayahan. “Demi Alloh, ada apa dengan kuda ini?” seru Sa’d.

Istri Sa’d ibn Abi Waqqosh yang kemudian menjelaskan, bahwa dialah yang melepaskan Abu Mihjan untuk ikut bertempur. Abu Mihjan bahkan memohon supaya bisa menggunakan kuda Sa’d ibn Abi Waqqosh. “Aku melihatnya sebagai seorang yang baik. Dia bersumpah pada Alloh!” ujar wanita itu, “Untuk kembali dan mengikat dirinya jika sore tiba. Dan Alhamdulillah dia menepati janjinya.”

“Kalau begitu,” ujar Sa’d, “Seharusnya dia tak lagi di belenggu. Dia seorang yang mencintai Alloh dan berjihad untuk meninggikan kalimat-Nya. Bergembiralah, wahai Abu Mihjan. Semoga Alloh mengampunimu. Sungguh hari ini engkau telah memenuhi haq kuda ini, saat tuannya sedang sakit dan tak bisa membawanya berjihad. Sibukkan dirimu dengan perang memenangkan agama Alloh, dan jangan sampai syaithon menipumu lagi untuk mendekati khomr!”

YYY

“Dia yang tak mampu memaafkan kesalahan orang lain,” demikian yang dikatakan oleh George Herbert, “Telah menghancurkan jembatan yang seharusnya dia lalui sendiri.” Ya. Kita selalu hidup dengan bersama orang lain. Tak peduli seberapa berprestasinya sesosok insan, tiap orang pasti memerlukan dukungan. Sebuah timbal balik yang setara takkan terjadi tanpa ada yang memulai. Zhou Yu, juga Sa’d ibn Abi Waqqosh dan istrinya sangat memahami itu. Dalam dekapan ukhuwah, kita memilih untuk memulainya dengan berbaik sangka.

Mempercayai yang terbaik dalam diri seseorang, akan mengeluarkan yang terbaik dari mereka. Dalam dekapan ukhuwah, mari kita percayai asas itu. Dan mari kita perlakukan saudara-saudara tercinta kita dengan asas yang sama. Johann Wolfgang von Goethe, pemikir Jerman yang sangat mengagumi Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam itu punya ungkapan yang menarik. “Perlakukan seseorang dia tampak saat ini,” tulisnya dalam Faust, “Dan kau akan menjadikannya lebih buruk. Namun jika kau memperlakukannya seolah dia telah menggapai potensinya dan mewujudkan citanya, kau akan menjadikannya sebagaimana dia yang seharusnya.”

Sungguh, setiap orang ingin hidupnya berarti. Semua orang ingin merasa dirinya penting dan punya makna. Kita pun demikian. Sebab itulah, dalam dekapan ukhuwah, ini berlaku untuk setiap orang, bahkan mereka yang tidak mempertunjukkannya. Mungkin saja, mereka sedang menunggu rangsangan kecil dari kita untuk menjadi seseorang yang hebat. Mari bukakan kesempatan itu dengan mempercayai adanya kebaikan yang tersembunyi. Seperti sebuah kisah masyhur yang terjadi di masa Bani Isroil.

YYY

Lelaki itu menyipitkan mata di terjang terik. Kakinya tersaruk seok dalam sengatan pasir. Dia datang dari jauh memikul beban hati yang memayahkan. Perjalanannya melelahkan. Tapi biara yang ditujunya tak jauh lagi. Jalan agak mendaki kini, tapi sekuncup harap telah bersemi di hati.

Di pintu biara, Rahib ahli badah itu menyambutnya dengan wajah datar. Lisannya terus berkomat-kamit. Rahib itu masuk sebentar dan keluar dengan dua gelas logam di tangannya. Dia letakkan salah satu di hadapan si lelaki, dan gelas lain dia genggam dengan dua tangan. Dihirupnya dalam-dalam aroma yang menguar bersama asap.

“Rahib yang suci,” kata si lelaki. Dia diam sejenak lalu mengunjal nafasnya panjang-panjang. “Mungkinkah dosaku diampuni?”

Rahib itu tersenyum setengah menyeringai. “Memangnya apa khilafmu?”

Agak tercekat dia menjawab. “Aku telah membunuh,” katanya, “Sebanyak sembilanpuluh sembilan jiwa.”

Hampir saja gelas di tangan sang rahib jatuh. Matanya terbelalak dan mulutnya ternganga.

“Mungkinkah dosaku diampuni?” lanjut si lelaki sambil menatap harap-harap. Tangannya cemas menggaruki permukaan gelas logam. Dia lalu menunduk menanti sabda.

Tetapi Rahib itu memalingkan muka. Rautnya tampak tak suka. Lelaki itu menangkap mimik jijik di garis-garis wajah sang Rahib. Sayup dia menggumamkan sebuah ayat dalam Taurot, “Membunuh satu jiwa sama artinya membinasakan seluruh jiwa, memusnahkan segala kehidupan. Sembilanpuluh sembilan… Sungguh dosa yang tak terperikan. Tak terampunkan.”

Entah mengapa si lelaki pembunuh tiba-tiba disergap benci yang bergulung-gulung pada si Rahib. Batinnya yang luka dan tersiksa oleh dosa serasa disiram cuka yang memedihkan mendengar gumam itu. Cara Rahib itu memperlakukannya, bersikap, berkata-kata, dan menjawab tanya seolah mereka dibatasi dinding tak tertembus. Si Rahib suci. Tanpa dosa. Dan dia adalah lelaki hina, najis, tak terampuni.

Sekuncup harap yang tadi bersemi, kini gugur disengat api.

Maka sekali lagi syaithon mengalahkannya. Dalam detikan saja, pedangnya telah memenggal si Rahib, membelahnya menjadi dua. Dan dia disergap sesal yang jauh lebih menyakitkan. Genap sudah seratus nyawa. Darah sang Rahib yang mengalir merah terlihat bagai neraka menyala, siap membakarnya. Dia tergidik. Dia beringsut mundur. Nafasnya tersengal, jangganya terasa tercekik hebat, keringat dinginnya merembesi baju. Dengan tenaga yang dihimpun sepicak-sepicak, dia berlari. Terus berlari.

Untuk beberapa waktu, dia bersembunyi. Tapi dia tahu, yang dia takuti bukan apa yang ada di luar sana. Yang paling menakutkannya ada di dalam dada. Tak tampak. Tak pernah membiarkannya nyenyak. Tak pernah mengizinkannya hening.

Satu hari dia tak tahan lagi. Diberanikannya menemui orang yang dianggapnya mampu memberi jawab gelisah hatinya. Kali ini bukan Rahib yang dipilihnya. Kali ini seorang ‘alim yang didatanginya. Dan lelaki berilmu itu menerimanya dengan senyum tulus.

“Alloh itu Maha Pengampun, Saudaraku,” ujar sang ‘alim ramah. “Taubatmu pasti diterima. Hanya saja, selain menyesali segala yang telah berlalu dan menebusnya dengan kebaikan-kebaikan, engkau juga harus meninggalkan negeri yang selama ini kau tinggali. Pergilah ke negeri lain untuk memulai hidupmu yang baru. Engkau harus berhijrah.”

Lelaki pembunuh itu, kita tahu, benar-benar berhijrah. Tapi dia mati di perjalanan. Dan malaikat rohmat pun memenangi perdebatannya dengan malaikat adzab. Sebab ketika diukur jaraknya, lelaki itu sejengkal lebih dekat ke arah negeri pertaubatannya. Dia benar-benar telah meninggalkan kejahatan, meski baru sejengkal. Maka Alloh memerintahkan agar dia dibawa ke surga.

YYY

Kebaikan itu hanya menyembul sedikit, mengintip di balik terbunuhnya seratus nyawa. Seorang Rahib memang ahli ibadah. Tetapi dia bukan ahli ilmu. Dia tak kuasa mengenali kebaikan yang tersembunyi. Begitulah kita hari-hari ini, banyak terpesona dan dengan mudah menyebut seseorang sebagai “Ustadz!” Padahal boleh jadi dia bukan ahli ilmu. Dia bisa saja ‘Abid, ahli ibadah. Atau juga Khothib, seorang yang fasih bicara. Atau bisa juga Katib, seorang yang pandai menulis.

Adapun ulama, adalah mereka yang benar-benar mengenal Alloh dan takut pada-Nya.

Seperti ‘alim yang menuntun sang pembunuh untuk bertaubat. Dia lelaki jernih yang penuh prasangka baik. Jika si Rahib lebih tertekan oleh kata “membunuh”, sang ahli ilmu lebih terkesan oleh kata “taubat”. Kebaikan itu memang belum wujud, tapi dia memperlakukan sang pembunuh dengan penuh cinta, mempercayai yang terbaik dalam dirinya, dan menjadikan lelaki itu mampu menyongsong jalan surga.

Itulah ulama. Dalam dekapan ukhuwah kita belajar dari mereka untuk takut kepada Alloh dan tak mudah-mudah memvonis pada sesama hamba. Dalam dekapan ukhuwah kita belajar untuk mengenali kebaikan yang mengintip, mempercayainya, dan memberinya kesempatan untuk tampil mengemuka.


Credit: “Dalam Dekapan Ukhuwah”; Salim A. Fillah; Pro-U Media

Tidak ada komentar:

Posting Komentar