aku takjub pada orang yang suka dipuji atas apa yang
tak dilakukannya
aku takjub pada orang yang suka dikagumi atas hal yang
bukan miliknya
aku takjub pada orang yang merasa benar dengan
menyalahkan kawan
aku takjub pada orang yang merasa mulia dengan
menghinakan sesama
dan semua itu akan kuringkas menjadi: aku takjub pada
diriku sendiri
HARI ITU, di bukit Shofa.
“Wahai Bani Fihr,
wahai Bani Ady, wahai semua orang Quroisy!” lelaki berwajah santun itu
memanggil kaumnya dari ketinggian. Teriakannya keras, namun merasuk dada dan
enak didengar. Tatapannya teduh dan senyumnya mengembang menyaksikan para
pemuka Makkah berkeliling di sekitarnya. Mereka menanti apa yang akan keluar
dari lisan al-Amin. Sang Penuh
Amanah, yang hari itu terlihat berseri, rapi, dan wangi.
“Apa
pendapat kalian sekiranya kukabarkan bahwa di balik bukit itu sepasukan berkuda
bersenjata lengkap mengepung, siap menyerbu Makkah dan melumatkannya?”
Berebut
jawaban itu seakan, “Kami belum pernah mendengar ada kedustaan keluar dari
lisanmu. Benar. Kami tidak pernah menyesap darimu kecuali kejujuran. Engkau
adalah al-Amin!”
Ia
tersenyum sebelum melanjutkan, “Sesunguhnya aku adalah pembawa peringatan dari
sisi Alloh sebelum datangnya azab yang besar…”
Kalimat
itu belum terselesaikan ketika tiba-tiba seorang lelaki berkulit putih, bermata
juling, dan berpakaian sutra dengan sikap badan menantang maju ke depan,
mengacungkan telunjuknya ke wajah sang Rosul sambil berteriak, “Tabban laka, ya Muhammad! Alihaadza
jama’tanaa? Binasa engkau, Muhammad! Apakah untuk urusan seremeh ini kami
semua kau kumpulkan?”
Yang
belum mengenal lelaki juling dan pincang itu pun berbisik pada orang di
sebelahnya, “Siapa dia?”
“Itu
pamannya, Abu Lahab!”
Saat
itulah turun ayat Alloh membalas perkataan Tabban
laka, ya Muhammad yang diucapkan Abu Lahab. “Tabbat yadaa Abi Lahaabiw wa Tabb! Binasalah kedua tangan Abu Lahab
dan benar-benar binasa!” Abu Lahab. Nama yang abadi di dalam al-Qur’an sebagai
penebar duri yang menyakiti da’wah.
YYY
“Semua
orang tahu,” tutur Richard S. Gallagher dalam What to Say to A Customer, “Bahwa landak itu berduri. Yang kurang
banyak diketahui adalah bahwa di antara landak-landak itu ada jenis yang suka
menebarkan durinya untuk menyakiti sesama makhluk.”
Dalam
hubungan-hubungan, harus disadari bahwa secara alami setiap orang memiliki dan
menciptakan masalah. Sejumlah orang dengan cara tertentu mengurangi sesuatu
dari hidup kita. “Seorang teman,” demikian tokoh Cassius dalam drama Julius Caesar karya William Shakespeare
berkata, “Harus menanggung kelemahan temannya. Namun orang seperti Brutus,
menjadikan kelemahan-kelemahanku tampak lebih besar daripada apa adanya.”
Itulah
para landak. Mereka berduri. Saat berjalan beriringan, mereka tidak ikut
membantu memikul beban kita. Kadang, mereka membuat beban yang ada lebih berat
dari seharusnya. Dan sering juga durinya tanpa sengaja menusuk dan menyakiti
kita. Tetapi kita masih bisa berlapang dada pada para landak ini. Karena
sungguh bukan kemauan mereka untuk memiliki duri di tubuhnya. Dan sungguh,
sebenarnya mereka tak punya niat untuk menyakiti saat mendekat pada kita lalu
duri-durinya menancap dan melukai.
Tetapi
Richard S. Gallagher benar. Ada jenis-jenis landak yang memang dengan sengaja
menebarkan durinya untuk menyakiti. Saat beriringan, mereka berusaha membuat
kita jatuh dan lumpuh. Mereka berupaya menarik kita ke titik yang
serendah-rendahnya dengan kesakitan yang paling menyiksa. Itu mereka lakukan
dengan segenap kemampuan, dengan berbagai cara, dan sesering mungkin.
John
C. Maxwell dalam Winning with People
menggambarkannya sebagai sosok seorang presiden perusahaan yang mengirim memo
kepada direktur personalianya. “Carilah dalam organisasi ini,” tulisnya dalam
memo, “Seseorang yang tajam, agresif, dan mampu menjalankan peran saya. Dan
jika Anda telah menemukan orang ini, maka pecatlah dia!”
Orang-orang
semacam ini menimbulkan kekacauan. Sebabnya, tidak seperti landak biasa,
tindakan-tindakan mereka yang merugikan dilakukan dengan sengaja. Mereka ini
adalah orang yang suka menyakiti, membuat diri mereka sendiri kelihatan, atau
merasa lebih baik dengan membuat orang lain jadi lebih buruk. Mereka merusak
hubungan dan menciptakan kekacauan dalam kehidupan orang lain.
Para
penebar duri mengisi kehidupan mereka dengan sebuah tugas mahapenting untuk
mengecilkan orang lain. Mereka ada untuk menyampaikan kelemahan-kelemahan yang
ada pada seseorang dan membuatnya percaya bahwa dia tak layak dan tak punya
kebaikan. Mereka mengungkapkan sejuta hal untuk meyakinkan seorang kawan bahwa
dia tertakdir menjadi sampah. Mereka membawakan segala mimpi buruk tentang masa
depan.
Para
penebar duri seolah tercipta untuk menghalangi orang yang ingin maju atau
mendaki ke titik lebih tinggi. Mereka memupuskan mimpi-mimpi kita. Mereka
mengaramkan bahtera-bahtera harapan yang kita luncurkan. Mereka menghabiskan
ide-ide cemerlang dengan kesinisan. Mereka mencemooh upaya-upaya rintisan dan
menyebutnya kesia-siaan. Mereka memberangus makna keberhasilan kecil yang
sedang ingin kita rayakan.
Para
penebar duri tak suka pada cita-cita tinggi. Mereka benci pada orang-orang yang
mengajak manusia untuk memperbaiki diri. Dengan segala umpat dan cela, mereka
akan menjadi musuh utama bagi kebangkitan jiwa-jiwa. Mereka, untuk sebuah
alasan yang kadang kecil dan remeh, mengerahkan segala daya upaya guna
menghancurkan kerja-kerja kebajikan. Tentu saja, di balik itu, mereka adalah
pemrakarsa untuk segala hal jelek yang ada di lingkungannya.
Dalam
sejarah da’wah, kita menemukan semua ciri penebar duri ini dalam sosok seorang
lelaki Quroisy berwajah tampan, berkulit putih, bermata juling, dan berkaki
pincang. Dialah paman Sang Nabi, Abu Lahab. Uniknya lagi, Abu Lahab dan
istrinya Ummu Jamil, pernah beberapa kali benar-benar secara zhohir menebar
duri di jalan yang dilalui oleh Rosululloh hingga kaki beliau terluka dan
berdarah.
Nah,
apakah kita juga memiliki duri-duri runcing sebagaimana landak? Mungkin ya.
Tetapi apakah dalam dekapan ukhuwah kita akan menebarkannya untuk menyakiti
sesama, menjadi pewaris akhlak Abu Lahab yang tangannya telah binasa? Katakan
dengan yakin dan penuh do’a, “Insya Alloh tidak.”
YYY
Apa
jadinya bila landak berkumpul sesama landak, dan mereka serupa dalam
kerja-kerja menebar duri? Di tengah kaumnya, Bani Hasyim, Abu Lahab tak
mendapat tempat lantaran permusuhan yang dilancarkannya pada Rosululloh. Dia tak
dianggap keluarga lagi oleh Abu Tholib, sang pemimpin kaum. Bani Hasyim hampir
keseluruhan, meski belum beriman pada Rosululloh, sepakat untuk menjaga dan
melindungi kemenakan mereka yang berakhlak mulia ini apapun resikonya.
Adapun
di tengah-tengah Quroisy pada umumnya yang memusuhi Rosululloh, Abu Lahab juga
bukan sosok yang dihormati. Dia memang memusuhi Muhammad habis-habisan. Bahkan
dia tega membatalkan ikatan pernikahan kedua putranya, Utbah dan Utaibah,
dengan Ruqoyyah dan Ummu Kultsum putri Rosululloh. Itu adalah penimpaan aib
besar bagi keluarga mempelai perempuan dalam tradisi Arab.
Namun
dengan permusuhan sengitnya pada Sang Nabi ini, dia tak juga mendapat tempat
utama di tengah para pemuka Quroisy. Namanya tak diperhitungkan dibanding
al-Walid ibn al-Mughiroh, al-Ash ibn Wail, an-Nadhr ibn Harits, ‘Uqbah ibn Abi
Mu’aith, Abu Jahl ibn Hisyam, Utbah ibn Robi’ah, Abu Sufyan ibn Harb, “Umayyah
ibn Kholaf, dan al-Akhnas ibn Syariq. Sungguh tragis.
Dan
dia tak terlalu disukai. Abu Jahl pernah mengejeknya sebagai paman tak berbudi
yang tega memusuhi dan menyakiti keponakan sendiri. Tetapi dia malah bersumpah,
“Demi Alloh, selama aku masih bernafas, takkan kubiarkan Muhammad menghina
Latta dan ‘Uzza, atau memecah belah di antara kita!” Mendengar itu, orang-orang
tertawa.
Dan
mereka lebih menertawakannya tatkala dalam Perang Badar dia tidak ikut. Dia
sayang nyawa. Dia punya jalan untuk menghindar. Adalah al-Ash ibn Hisyam ibn
al-Mughiroh yang berhutang padanya empat ribu dirham sebab bangkrut dalam
dagang. Maka Abu Lahab memaksa al-Ash ibn Hisyam untuk mewakilinya dalam perang
ini dengan iming-iming dibebaskan dari hutang.
Landak
itu tak pernah mempesona bagi sahabat-sahabatnya. Satu-satunya yang seia sekata
dengan dirinya hanyalah Ummu Jamil, istrinya.
“Binasalah kedua
tangan Abu Lahab, dan benar-benar binasa. Tiada berfaedah baginya harta dan
segala yang diusahakannya. Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak.
Dan begitu pula istrinya si pembawa kayu bakar. Yang di lehernya ada tali dari
sabut.”
(Qs. al-Lahab [111]: 1-5)
“Keserasian
dan kerapian ungkapan dalam surat ini yang penuh irama,” tulis Sayyid Quthb
dalam Fii Zhilaalil Qur’an, “Membuat
Ummu Jamil beranggapan bahwa Rosululloh menyindirnya dengan syair. Khususnya,
setelah tersebarnya surat ini dengan kandungannya yang berisi ancaman, hinaan,
dan pelukisan yang buruk terhadap Ummu Jamil. Lukisan yang merendahkan seorang
wanita yang ujub dan suka membanggakan diri, suka mengunggulkan kemuliaan
leluhur dan nasabnya. Kemudian, dia dilukiskan dengan gambaran ini, “Pembawa
kayu bakar yang dilehernya ada tali dari ijuk.” Semuanya dikemukakan dengan
menggunakan uslub yang sudah demikian masyhur di kalangan bangsa Arab.”
“Saya
mendapatkan kabar,” tulis Ibnu Ishaq dalah Siroh-nya,
“Bahwa Ummu Jamil pembawa kayu bakar itu ketika mendengar al-Qur’an yang
membicarakan diri dan suaminya, maka datanglah dia kepada Rosululloh. Ketika
itu beliau sedang duduk di masjid, di sisi Ka’bah, bersama Abu Bakar
ash-Shiddiq. Ummu Jamil datang dengan membawa segenggam batu. Matanya menyala.
Wajahnya murka.
Ketika
dia berhenti di hadapan Rosululloh dan Abu Bakar, Alloh menutup matanya dari
memandang Sang Nabi. Di tempat itu, dia hanya melihat Abu Bakar.
“Hai
Aba Bakar,” hardiknya, “Mana sahabatmu itu? Aku telah mendengar bahwa dia
menyindirku. Demi Alloh, kalau aku menjumpainya niscaya kupukul mulutnya dengan
batu ini. Ketahuilah, demi Alloh, sesungguhnya aku juga seorang penyair!”
Kemudian sambil mengacung-acungkan batu di tangannya dia bersyair:
Mudzammam si
tercela kami tentang
Pada perintahnya
kami membangkang
Dan pada agamanya
kami tak senang
Setelah
itu, dengan bersungut-sungut Ummu Jamil pun berlalu. Abu Bakar takjub dan
berkata, “Wahai Rosululloh, apakah dia tidak melihatmu?”
“Dia
tidak melihatku,” jawab Sang Nabi, “Sesungguhnya Alloh telah menutup
penglihatannya dariku. Tidakkah engkau heran bagaimana Alloh menjaga namaku
dari mereka, hai Abu Bakar? Mereka mengolok-olok Mudzammam si tercela, padahal
aku adalah Muhammad sang terpuji.”
Kebersamaan
Abu Lahab dengan Ummu Jamil agaknya akan abadi hingga akhirat. Namun di dunia,
mereka pun dilanda ketidaknyamanan yang menyesakkan. Dengan kedudukan Abu Lahab
yang terhina di tengah kaumnya, Ummu Jamil banyak mengeluhkan suaminya sebagai
lelaki yang tak becus. Saat Abu Lahab membantahnya bahwa inilah yang
dikehendaki istrinya dengan memusuhi Muhammad, Ummu Jamil balas bentak dengan
mengatakan bahwa dia kurang total dalam upaya menghancurkan keponakannya. Dia
setengah-setengah. Itulah mengapa semua pihak membencinya.
Ketika
para landak berkumpul jadi satu, mereka saling menyakiti. Apalagi ketika
bintang Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa
Sallam makin bercahaya. Keadaan mereka seperti yang digambarkan oleh filsuf
Arthur Schopenhauer. “Semakin dingin di luar,” tulisnya dalam Soliloque, “Semakin kita berkerumun
untuk untuk mencari kehangatan. Namun semakin dekat kita satu sama lain,
semakin parah pula kita saling menyakiti dengan duri kita yang panjang dan
tajam. Dan pada malam musim dingin yang sepi di bumi, pada akhirnya kita mulai hanyut
terpisah dan berjalan sendiri-sendiri. Kemudian kita semua membeku, mati dalam
kesunyian.”
YYY
Ya.
Kematian Abu Lahab terjadi tak lama sesudah Perang Badar.
Begini
kisahnya. “Dahulu aku adalah pembantu ‘Abbas ibn ‘Abdil Mutholib,” tutur Abu
Rofi’ sebagaimana dirangkum dengan indah oleh Syaikh Shofiyurrohman
al-Mubarokfuri dalam ar-Rohiiqul Makhtuum.
“Ketika itu banyak anggota keluarganya telah masuk Islam. Hanya saja ‘Abbas
sendiri merahasiakan keislamannya.”
“Saat
Perang Badar,” lanjut Abu Rofi’, “Abu Lahab tidak ikut serta. Dia seorang
pengecut yang memilih mewakilkan diri pada seorang yang berhutang kepadanya.
Ketika telah ada kabar tentang kekalahan pasukan Quroisy, maka Alloh membuatnya
rendah dan hina sementara kami merasa mulia dan perkasa. Adapun aku sendiri
adalah seorang lemah yang bertugas membuat anak panah. Aku merautnya sambil
duduk di batu pembatas sumur Zamzam.”
“Demi
Alloh, saat aku sedang duduk sambil merauti anak panahku dan di sisiku ada
Ummul Fadhl, istri ‘Abbas yang juga sedang duduk-duduk dan kami berbincang
gembira tentang kemenangan Rosululloh, tiba-tiba Abu Lahab datang. Dia berjalan
sambil menyeret kakinya yang pincang tak berdaya, hingga dia ikut duduk di batu
pembatas Zamzam. Punggungnya yang berat menyandar ke punggungku.”
“Ini
dia Abu Sufyan ibn Harits ibn ‘Abdil Mutholib telah datang,” kata orang-orang.
“Kemarilah
putra saudaraku,” ujar Abu Lahab, “Demi Alloh, kabar apakah yang engkau bawa?”
Abu
Sufyan ibn Harits lalu duduk di samping Abu Lahab sementara orang-orang
merubungi mereka.
“Wahai
keponakanku, beritahukanlah kepadaku bagaimana urusan orang-orang?”
“Selagi
kami berhadapan dengan segolongan orang,” Abu Sufyan bercerita, “Justru kami
menyerahkan pundak-pundak kami kepada mereka. Mereka menyerang kami sekehendak
hati dan menawan kami sesukanya. Demi Alloh, sekalipun begitu aku tidak mencela
siapapun. Kami harus berhadapan dengan orang-orang yang berpakaian putih sambil
menunggang kuda yang perkasa, berseliweran di antara langit dan bumi. Demi
Alloh, kuda-kuda itu tidak meninggalkan jejak sedikitpun dan tidak menginjak
apapun.”
“Kemudian
aku,” lanjut Abu Rofi’, “Bangkit dari batu pembatas Zamzam sembari berkata,
‘Demi Alloh, itu adalah para malaikat!’
“Abu
Lahab mengangkat tangannya tinggi-tinggi, lalu menghantamkannya ke mukaku keras-keras.
Aku hendak melawannya, namun dia membanting tubuhku ke tanah, kemudian
menindihiku sambil melancarkan pukulan bertubi-tubi. Dia terus menghajarku
padahal aku adalah seorang yang sangat lemah. Melihat itu, Ummul Fadhl bangkit
memungut tiang pembatas Zamzam, lalu memukulkannya keras-keras ke kepala Abu
Lahab sampai menimbulkan luka menganga. Lelaki itu menjerit dan mengaduh dengan
suara yang sungguh jelek.”
“Beraninya
engkau menyiksa budak ini,” pekik Ummul Fadhl, “Selagi tuannya tidak di tempat!”
“Setelah
itu Abu Lahab beranjak pergi sambil menundukkan muka. Demi Alloh, Abu Lahab
hanya mampu bertahan hidup tujuh hari setelah itu. Itu pun Alloh menimpakan
penyakit di sekujur tubuhnya, berupa luka bernanah yang memborok. Adapun bangsa
Arab sangat jijik pada penyakit semacam ini. Maka sanak keluarganya tidak mau
mengurusnya. Bahkan setelah meninggal pun jasadnya ditelantarkan selama tiga
hari. Mereka tidak berani untuk mendekatinya dan tak berupaya untuk
menguburnya.
Tetapi
tentu saja keluarga besarnya khawatir dicemooh kabilah-kabilah lain akibat
tindakan ini. Maka mereka pun menggali lubang di dekat jenazah sambil menutup
hidung dan mulut karena jijik. Lalu mereka mendorong tubuhnya masuk ke dalam
lubang dengan galah-galah. Setelah itu, mereka menimbun lubangnya dengan cara
melemparkan batu besar maupun kerikil dari kejauhan.”
YYY
Dalam
dekapan ukhuwah, kita berlindung kepada Alloh agar tak menjadi landak penebar
duri yang berakhir dalam kehinaan sunyi…
Credit: “Dalam
Dekapan Ukhuwah”; Salim A. Fillah; Pro-U Media
terima kasih infonya
BalasHapuskunjungi blog sederhana saya http://ptbanyakcerita.blogspot.co.id