Selasa, 26 Mei 2015

Landak Menebar Duri

aku takjub pada orang yang suka dipuji atas apa yang tak dilakukannya
aku takjub pada orang yang suka dikagumi atas hal yang bukan miliknya
aku takjub pada orang yang merasa benar dengan menyalahkan kawan
aku takjub pada orang yang merasa mulia dengan menghinakan sesama
dan semua itu akan kuringkas menjadi: aku takjub pada diriku sendiri


HARI ITU, di bukit Shofa.
“Wahai Bani Fihr, wahai Bani Ady, wahai semua orang Quroisy!” lelaki berwajah santun itu memanggil kaumnya dari ketinggian. Teriakannya keras, namun merasuk dada dan enak didengar. Tatapannya teduh dan senyumnya mengembang menyaksikan para pemuka Makkah berkeliling di sekitarnya. Mereka menanti apa yang akan keluar dari lisan al-Amin. Sang Penuh Amanah, yang hari itu terlihat berseri, rapi, dan wangi.

“Apa pendapat kalian sekiranya kukabarkan bahwa di balik bukit itu sepasukan berkuda bersenjata lengkap mengepung, siap menyerbu Makkah dan melumatkannya?”

Berebut jawaban itu seakan, “Kami belum pernah mendengar ada kedustaan keluar dari lisanmu. Benar. Kami tidak pernah menyesap darimu kecuali kejujuran. Engkau adalah al-Amin!”

Ia tersenyum sebelum melanjutkan, “Sesunguhnya aku adalah pembawa peringatan dari sisi Alloh sebelum datangnya azab yang besar…”

Kalimat itu belum terselesaikan ketika tiba-tiba seorang lelaki berkulit putih, bermata juling, dan berpakaian sutra dengan sikap badan menantang maju ke depan, mengacungkan telunjuknya ke wajah sang Rosul sambil berteriak, “Tabban laka, ya Muhammad! Alihaadza jama’tanaa? Binasa engkau, Muhammad! Apakah untuk urusan seremeh ini kami semua kau kumpulkan?”

Yang belum mengenal lelaki juling dan pincang itu pun berbisik pada orang di sebelahnya, “Siapa dia?”

“Itu pamannya, Abu Lahab!”

Saat itulah turun ayat Alloh membalas perkataan Tabban laka, ya Muhammad yang diucapkan Abu Lahab. “Tabbat yadaa Abi Lahaabiw wa Tabb! Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan benar-benar binasa!” Abu Lahab. Nama yang abadi di dalam al-Qur’an sebagai penebar duri yang menyakiti da’wah.

YYY

“Semua orang tahu,” tutur Richard S. Gallagher dalam What to Say to A Customer, “Bahwa landak itu berduri. Yang kurang banyak diketahui adalah bahwa di antara landak-landak itu ada jenis yang suka menebarkan durinya untuk menyakiti sesama makhluk.”

Dalam hubungan-hubungan, harus disadari bahwa secara alami setiap orang memiliki dan menciptakan masalah. Sejumlah orang dengan cara tertentu mengurangi sesuatu dari hidup kita. “Seorang teman,” demikian tokoh Cassius dalam drama Julius Caesar karya William Shakespeare berkata, “Harus menanggung kelemahan temannya. Namun orang seperti Brutus, menjadikan kelemahan-kelemahanku tampak lebih besar daripada apa adanya.”

Itulah para landak. Mereka berduri. Saat berjalan beriringan, mereka tidak ikut membantu memikul beban kita. Kadang, mereka membuat beban yang ada lebih berat dari seharusnya. Dan sering juga durinya tanpa sengaja menusuk dan menyakiti kita. Tetapi kita masih bisa berlapang dada pada para landak ini. Karena sungguh bukan kemauan mereka untuk memiliki duri di tubuhnya. Dan sungguh, sebenarnya mereka tak punya niat untuk menyakiti saat mendekat pada kita lalu duri-durinya menancap dan melukai.

Tetapi Richard S. Gallagher benar. Ada jenis-jenis landak yang memang dengan sengaja menebarkan durinya untuk menyakiti. Saat beriringan, mereka berusaha membuat kita jatuh dan lumpuh. Mereka berupaya menarik kita ke titik yang serendah-rendahnya dengan kesakitan yang paling menyiksa. Itu mereka lakukan dengan segenap kemampuan, dengan berbagai cara, dan sesering mungkin.

John C. Maxwell dalam Winning with People menggambarkannya sebagai sosok seorang presiden perusahaan yang mengirim memo kepada direktur personalianya. “Carilah dalam organisasi ini,” tulisnya dalam memo, “Seseorang yang tajam, agresif, dan mampu menjalankan peran saya. Dan jika Anda telah menemukan orang ini, maka pecatlah dia!”

Orang-orang semacam ini menimbulkan kekacauan. Sebabnya, tidak seperti landak biasa, tindakan-tindakan mereka yang merugikan dilakukan dengan sengaja. Mereka ini adalah orang yang suka menyakiti, membuat diri mereka sendiri kelihatan, atau merasa lebih baik dengan membuat orang lain jadi lebih buruk. Mereka merusak hubungan dan menciptakan kekacauan dalam kehidupan orang lain.

Para penebar duri mengisi kehidupan mereka dengan sebuah tugas mahapenting untuk mengecilkan orang lain. Mereka ada untuk menyampaikan kelemahan-kelemahan yang ada pada seseorang dan membuatnya percaya bahwa dia tak layak dan tak punya kebaikan. Mereka mengungkapkan sejuta hal untuk meyakinkan seorang kawan bahwa dia tertakdir menjadi sampah. Mereka membawakan segala mimpi buruk tentang masa depan.

Para penebar duri seolah tercipta untuk menghalangi orang yang ingin maju atau mendaki ke titik lebih tinggi. Mereka memupuskan mimpi-mimpi kita. Mereka mengaramkan bahtera-bahtera harapan yang kita luncurkan. Mereka menghabiskan ide-ide cemerlang dengan kesinisan. Mereka mencemooh upaya-upaya rintisan dan menyebutnya kesia-siaan. Mereka memberangus makna keberhasilan kecil yang sedang ingin kita rayakan.

Para penebar duri tak suka pada cita-cita tinggi. Mereka benci pada orang-orang yang mengajak manusia untuk memperbaiki diri. Dengan segala umpat dan cela, mereka akan menjadi musuh utama bagi kebangkitan jiwa-jiwa. Mereka, untuk sebuah alasan yang kadang kecil dan remeh, mengerahkan segala daya upaya guna menghancurkan kerja-kerja kebajikan. Tentu saja, di balik itu, mereka adalah pemrakarsa untuk segala hal jelek yang ada di lingkungannya.

Dalam sejarah da’wah, kita menemukan semua ciri penebar duri ini dalam sosok seorang lelaki Quroisy berwajah tampan, berkulit putih, bermata juling, dan berkaki pincang. Dialah paman Sang Nabi, Abu Lahab. Uniknya lagi, Abu Lahab dan istrinya Ummu Jamil, pernah beberapa kali benar-benar secara zhohir menebar duri di jalan yang dilalui oleh Rosululloh hingga kaki beliau terluka dan berdarah.

Nah, apakah kita juga memiliki duri-duri runcing sebagaimana landak? Mungkin ya. Tetapi apakah dalam dekapan ukhuwah kita akan menebarkannya untuk menyakiti sesama, menjadi pewaris akhlak Abu Lahab yang tangannya telah binasa? Katakan dengan yakin dan penuh do’a, “Insya Alloh tidak.”

YYY

Apa jadinya bila landak berkumpul sesama landak, dan mereka serupa dalam kerja-kerja menebar duri? Di tengah kaumnya, Bani Hasyim, Abu Lahab tak mendapat tempat lantaran permusuhan yang dilancarkannya pada Rosululloh. Dia tak dianggap keluarga lagi oleh Abu Tholib, sang pemimpin kaum. Bani Hasyim hampir keseluruhan, meski belum beriman pada Rosululloh, sepakat untuk menjaga dan melindungi kemenakan mereka yang berakhlak mulia ini apapun resikonya.

Adapun di tengah-tengah Quroisy pada umumnya yang memusuhi Rosululloh, Abu Lahab juga bukan sosok yang dihormati. Dia memang memusuhi Muhammad habis-habisan. Bahkan dia tega membatalkan ikatan pernikahan kedua putranya, Utbah dan Utaibah, dengan Ruqoyyah dan Ummu Kultsum putri Rosululloh. Itu adalah penimpaan aib besar bagi keluarga mempelai perempuan dalam tradisi Arab.

Namun dengan permusuhan sengitnya pada Sang Nabi ini, dia tak juga mendapat tempat utama di tengah para pemuka Quroisy. Namanya tak diperhitungkan dibanding al-Walid ibn al-Mughiroh, al-Ash ibn Wail, an-Nadhr ibn Harits, ‘Uqbah ibn Abi Mu’aith, Abu Jahl ibn Hisyam, Utbah ibn Robi’ah, Abu Sufyan ibn Harb, “Umayyah ibn Kholaf, dan al-Akhnas ibn Syariq. Sungguh tragis.

Dan dia tak terlalu disukai. Abu Jahl pernah mengejeknya sebagai paman tak berbudi yang tega memusuhi dan menyakiti keponakan sendiri. Tetapi dia malah bersumpah, “Demi Alloh, selama aku masih bernafas, takkan kubiarkan Muhammad menghina Latta dan ‘Uzza, atau memecah belah di antara kita!” Mendengar itu, orang-orang tertawa.

Dan mereka lebih menertawakannya tatkala dalam Perang Badar dia tidak ikut. Dia sayang nyawa. Dia punya jalan untuk menghindar. Adalah al-Ash ibn Hisyam ibn al-Mughiroh yang berhutang padanya empat ribu dirham sebab bangkrut dalam dagang. Maka Abu Lahab memaksa al-Ash ibn Hisyam untuk mewakilinya dalam perang ini dengan iming-iming dibebaskan dari hutang.

Landak itu tak pernah mempesona bagi sahabat-sahabatnya. Satu-satunya yang seia sekata dengan dirinya hanyalah Ummu Jamil, istrinya.

“Binasalah kedua tangan Abu Lahab, dan benar-benar binasa. Tiada berfaedah baginya harta dan segala yang diusahakannya. Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak. Dan begitu pula istrinya si pembawa kayu bakar. Yang di lehernya ada tali dari sabut.” (Qs. al-Lahab [111]: 1-5)

“Keserasian dan kerapian ungkapan dalam surat ini yang penuh irama,” tulis Sayyid Quthb dalam Fii Zhilaalil Qur’an, “Membuat Ummu Jamil beranggapan bahwa Rosululloh menyindirnya dengan syair. Khususnya, setelah tersebarnya surat ini dengan kandungannya yang berisi ancaman, hinaan, dan pelukisan yang buruk terhadap Ummu Jamil. Lukisan yang merendahkan seorang wanita yang ujub dan suka membanggakan diri, suka mengunggulkan kemuliaan leluhur dan nasabnya. Kemudian, dia dilukiskan dengan gambaran ini, “Pembawa kayu bakar yang dilehernya ada tali dari ijuk.” Semuanya dikemukakan dengan menggunakan uslub yang sudah demikian masyhur di kalangan bangsa Arab.”

“Saya mendapatkan kabar,” tulis Ibnu Ishaq dalah Siroh-nya, “Bahwa Ummu Jamil pembawa kayu bakar itu ketika mendengar al-Qur’an yang membicarakan diri dan suaminya, maka datanglah dia kepada Rosululloh. Ketika itu beliau sedang duduk di masjid, di sisi Ka’bah, bersama Abu Bakar ash-Shiddiq. Ummu Jamil datang dengan membawa segenggam batu. Matanya menyala. Wajahnya murka.

Ketika dia berhenti di hadapan Rosululloh dan Abu Bakar, Alloh menutup matanya dari memandang Sang Nabi. Di tempat itu, dia hanya melihat Abu Bakar.

“Hai Aba Bakar,” hardiknya, “Mana sahabatmu itu? Aku telah mendengar bahwa dia menyindirku. Demi Alloh, kalau aku menjumpainya niscaya kupukul mulutnya dengan batu ini. Ketahuilah, demi Alloh, sesungguhnya aku juga seorang penyair!” Kemudian sambil mengacung-acungkan batu di tangannya dia bersyair:

Mudzammam si tercela kami tentang
Pada perintahnya kami membangkang
Dan pada agamanya kami tak senang

Setelah itu, dengan bersungut-sungut Ummu Jamil pun berlalu. Abu Bakar takjub dan berkata, “Wahai Rosululloh, apakah dia tidak melihatmu?”

“Dia tidak melihatku,” jawab Sang Nabi, “Sesungguhnya Alloh telah menutup penglihatannya dariku. Tidakkah engkau heran bagaimana Alloh menjaga namaku dari mereka, hai Abu Bakar? Mereka mengolok-olok Mudzammam si tercela, padahal aku adalah Muhammad sang terpuji.”

Kebersamaan Abu Lahab dengan Ummu Jamil agaknya akan abadi hingga akhirat. Namun di dunia, mereka pun dilanda ketidaknyamanan yang menyesakkan. Dengan kedudukan Abu Lahab yang terhina di tengah kaumnya, Ummu Jamil banyak mengeluhkan suaminya sebagai lelaki yang tak becus. Saat Abu Lahab membantahnya bahwa inilah yang dikehendaki istrinya dengan memusuhi Muhammad, Ummu Jamil balas bentak dengan mengatakan bahwa dia kurang total dalam upaya menghancurkan keponakannya. Dia setengah-setengah. Itulah mengapa semua pihak membencinya.

Ketika para landak berkumpul jadi satu, mereka saling menyakiti. Apalagi ketika bintang Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam makin bercahaya. Keadaan mereka seperti yang digambarkan oleh filsuf Arthur Schopenhauer. “Semakin dingin di luar,” tulisnya dalam Soliloque, “Semakin kita berkerumun untuk untuk mencari kehangatan. Namun semakin dekat kita satu sama lain, semakin parah pula kita saling menyakiti dengan duri kita yang panjang dan tajam. Dan pada malam musim dingin yang sepi di bumi, pada akhirnya kita mulai hanyut terpisah dan berjalan sendiri-sendiri. Kemudian kita semua membeku, mati dalam kesunyian.”

YYY

Ya. Kematian Abu Lahab terjadi tak lama sesudah Perang Badar.

Begini kisahnya. “Dahulu aku adalah pembantu ‘Abbas ibn ‘Abdil Mutholib,” tutur Abu Rofi’ sebagaimana dirangkum dengan indah oleh Syaikh Shofiyurrohman al-Mubarokfuri dalam ar-Rohiiqul Makhtuum. “Ketika itu banyak anggota keluarganya telah masuk Islam. Hanya saja ‘Abbas sendiri merahasiakan keislamannya.”

“Saat Perang Badar,” lanjut Abu Rofi’, “Abu Lahab tidak ikut serta. Dia seorang pengecut yang memilih mewakilkan diri pada seorang yang berhutang kepadanya. Ketika telah ada kabar tentang kekalahan pasukan Quroisy, maka Alloh membuatnya rendah dan hina sementara kami merasa mulia dan perkasa. Adapun aku sendiri adalah seorang lemah yang bertugas membuat anak panah. Aku merautnya sambil duduk di batu pembatas sumur Zamzam.”

“Demi Alloh, saat aku sedang duduk sambil merauti anak panahku dan di sisiku ada Ummul Fadhl, istri ‘Abbas yang juga sedang duduk-duduk dan kami berbincang gembira tentang kemenangan Rosululloh, tiba-tiba Abu Lahab datang. Dia berjalan sambil menyeret kakinya yang pincang tak berdaya, hingga dia ikut duduk di batu pembatas Zamzam. Punggungnya yang berat menyandar ke punggungku.”

“Ini dia Abu Sufyan ibn Harits ibn ‘Abdil Mutholib telah datang,” kata orang-orang.

“Kemarilah putra saudaraku,” ujar Abu Lahab, “Demi Alloh, kabar apakah yang engkau bawa?”

Abu Sufyan ibn Harits lalu duduk di samping Abu Lahab sementara orang-orang merubungi mereka.

“Wahai keponakanku, beritahukanlah kepadaku bagaimana urusan orang-orang?”

“Selagi kami berhadapan dengan segolongan orang,” Abu Sufyan bercerita, “Justru kami menyerahkan pundak-pundak kami kepada mereka. Mereka menyerang kami sekehendak hati dan menawan kami sesukanya. Demi Alloh, sekalipun begitu aku tidak mencela siapapun. Kami harus berhadapan dengan orang-orang yang berpakaian putih sambil menunggang kuda yang perkasa, berseliweran di antara langit dan bumi. Demi Alloh, kuda-kuda itu tidak meninggalkan jejak sedikitpun dan tidak menginjak apapun.”

“Kemudian aku,” lanjut Abu Rofi’, “Bangkit dari batu pembatas Zamzam sembari berkata, ‘Demi Alloh, itu adalah para malaikat!’

“Abu Lahab mengangkat tangannya tinggi-tinggi, lalu menghantamkannya ke mukaku keras-keras. Aku hendak melawannya, namun dia membanting tubuhku ke tanah, kemudian menindihiku sambil melancarkan pukulan bertubi-tubi. Dia terus menghajarku padahal aku adalah seorang yang sangat lemah. Melihat itu, Ummul Fadhl bangkit memungut tiang pembatas Zamzam, lalu memukulkannya keras-keras ke kepala Abu Lahab sampai menimbulkan luka menganga. Lelaki itu menjerit dan mengaduh dengan suara yang sungguh jelek.”

“Beraninya engkau menyiksa budak ini,” pekik Ummul Fadhl, “Selagi tuannya tidak di tempat!”

“Setelah itu Abu Lahab beranjak pergi sambil menundukkan muka. Demi Alloh, Abu Lahab hanya mampu bertahan hidup tujuh hari setelah itu. Itu pun Alloh menimpakan penyakit di sekujur tubuhnya, berupa luka bernanah yang memborok. Adapun bangsa Arab sangat jijik pada penyakit semacam ini. Maka sanak keluarganya tidak mau mengurusnya. Bahkan setelah meninggal pun jasadnya ditelantarkan selama tiga hari. Mereka tidak berani untuk mendekatinya dan tak berupaya untuk menguburnya.

Tetapi tentu saja keluarga besarnya khawatir dicemooh kabilah-kabilah lain akibat tindakan ini. Maka mereka pun menggali lubang di dekat jenazah sambil menutup hidung dan mulut karena jijik. Lalu mereka mendorong tubuhnya masuk ke dalam lubang dengan galah-galah. Setelah itu, mereka menimbun lubangnya dengan cara melemparkan batu besar maupun kerikil dari kejauhan.”

YYY

Dalam dekapan ukhuwah, kita berlindung kepada Alloh agar tak menjadi landak penebar duri yang berakhir dalam kehinaan sunyi…


Credit: “Dalam Dekapan Ukhuwah”; Salim A. Fillah; Pro-U Media

1 komentar:

  1. terima kasih infonya
    kunjungi blog sederhana saya http://ptbanyakcerita.blogspot.co.id

    BalasHapus