Jumat, 01 Mei 2015

Budak-budak Fir’aun

Pernah dengar tentang Kabbalah? Hampir semua referensi yang bicara tentang Freemasonry dan Zionisme tak lupa untuk membahasnya sebagai akar paganis dari kedua gerakan terselubung ini. Semua juga sepakat, Kabbalah diwarisi dari ajaran paganisme Mesir kuno. Segala perangkat dan simbolnya, dari anak lembu hingga Sang Mata, sedikitnya tak berubah. Buku yang dirilis Harun Yahya, Ancaman Global Freemasonry, memberi kita banyak keterangan tentang ini.

Maaf, kita masih bicara tentang jahiliah sejauh ini. Beberapa halaman di depan, jika kita indeks, kata Fir’aun sangat banyak muncul. Nah, sekarang kita bicarakan satu bangsa yang semula dipilih Alloh untuk menjadi model bagi alam semesta. Bani Isroil. Sayangnya, dengan cerita tentang Kabbalah dan beberapa ayat yang akan kita bahas ke muka, saya lebih nyaman menyebut mereka budak-budak Fir’aun. Tentu saja dengan mengecualikan Musa, Harun, dan Nabi-nabi Bani Isroil berikutnya, ‘Alaihimus Salaam.

Dan (ingatlah), ketika Musa berkata kepada kaumnya, “Ingatlah nikmat Alloh atasmu ketika Dia menyelamatkan kamu dari (Fir’aun dan) pengikut-pengikutnya, mereka menyiksa kamu dengan siksa yang pedih, mereka menyembelih anak-anak laki-lakimu, membiarkan hidup anak-anak perempuanmu; dan pada yang demikian itu ada cobaan yang besar dari Tuhanmu.” (QS. Ibrohim: 6)

Inilah perbudakan itu. Sangat dalamnya, hingga mereka tak bisa membedakan lagi dengan kebebasan yang mereka nikmati. Hatinya telah kebas. Perasaannya tawar. Wajahnya melulang badak. Hingga tentang nikmat Alloh yang begitu besar pun mereka harus diingatkan.

Seperti terasai oleh Bani Isroil, sebenarnya zaman ini menyaksikan kondisi terjajah yang lebih parah. Si zholim selalu zholim, dan si mazhlum berakting zholim. Betapa malang sebenarnya orang terzholimi, tapi lebih malang lagi yang tidak menyadari keterzholimannya. Bedak di wajah kezholiman sudah semakin tebal, menutupi wajahnya yang penuh borok berulat. Terjajah rasanya biasa saja.

Dengan manis penjajah bisa mengeruk kekayaan dari suaru negeri, oleh rakyat negeri itu sendiri dan untuk menyengsarakan negeri itu. Yang dijajah dipaksa menelan bulat-bulat suapan racun sang penjajah. Tapi tragisnya, karena lapar ia justru mengangakan mulutnya lebar-lebar. Aneh pula, warga kelas entah yang memakan sampah dengan membayar mahal pun merasa mulia. Inilah terjajah murokkab, terjajah kuadrat. Bagaimana dengan budak-budak Fir’aun? Oh, mereka sedang melarikan diri dari Sang Tiran dan kini Laut Merah membentang di hadapan mereka.

Maka Fir’aun dan bala tentaranya dapat menyusuli mereka di waktu matahari terbit. Maka setelah kedua golongan itu saling melihat, berkatalah pengikut-pengikut Musa, “Sesunggahnya kita benar-benar akan tersusul.” Musa menjawab, “Sekali-kali tidak akan tersusul; sesungguhnya Robbku besertaku, Dia akan memberi petunjuk kepadaku.” (QS. Asy-Syu’aroo: 60-62)

Ada yang unik dalam diksi Musa. Mengapa ia berkata, “Inna ma’iya Robbiy; Sesungguhnya Robbku besertaku”? Mengapa ia tidak katakan saja, “Inna ma’anaa Robbunaa; Sesungguhnya Robb kita beserta kita”? Ada apa sebenarnya? Inilah perbedaan antara Bani Isroil yang dipimpin Musa dengan Abu Bakr Ash-Shiddiq yang menyertai Rosululloh berhijrah.

Abu Bakr menyertai Rosululloh dengan segenap jiwa dan raganya, zhohir maupun bathin. Jiwa mereka senada dalam iman, hati mereka semakna dalam Islam, ruh mereka seikat dalam ukhuwwah. Maka ketika Abu Bakr khawatir para pengejar dari Makkah akan melihat mereka berdua saat bersembunyi di ceruk kecil bernama Gua Tsur, Rosululloh tegas berkata sebagaimana diabadikan Surat At-Taubah ayat 40, “Laa tahzan, innallooha ma’anaa; Jangan berduka, Alloh beserta kita!”

Lalu budak-budak Fir’aun itu? Mereka membersamai Musa dalam langkah kakinya saja, belum dalam keimanannya. Maka Musa hanya bisa berkata bahwa Alloh bersamanya, tetapi Alloh belum membersamai kaumnya. Mengapa?

Dan Kami seberangkan Bani Isroil ke seberang lautan itu, maka setelah mereka sampai kepada suatu kaum yang tekun menyembah berhala mereka, Bani Isroil berkata, “Hai Musa, buatlah untuk kami sebuah tuhan (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa tuhan (berhala)”. Musa menjawab, “Sesungguhnya kalian ini adalah kaum yang membodoh!” (QS. Al-A’roof: 138)

Bayangpun! Baru beberapa detik lalu Alloh selamatkan mereka dari kejaran Fir’aun dan tentaranya. Baru sekian hitungan berlalu ketika lautan terbelah menjadi jalan seberang ajaib untuk mereka. Baru sekian hembus nafas berganti ketika Alloh menunjukkan kuasaNya untuk menyelamatkan mereka. Kini apa yang mereka minta? “Bikinin tuhan dong!” Benarlah Musa. Kalian ini qoumun tajhalun; kaum yang membodoh! Jerita bodohnya berlanjut terus.

Dan kaum Musa, setelah kepergian Musa ke gunung Thur membuat dari perhiasan-perhiasan (emas) mereka anak lembu yang bertubuh dan bersuara. Apakah mereka tidak mengetahui bahwa anak lembu itu tidak dapat berbicara dengan mereka dan tidak dapat (pula) menunjukkan jalan kepada mereka? Mereka menjadikannya (sebagai sembahan) dan mereka adalah orang-orang yang zholim. (QS. Al-A’roof: 148)

Bayangpun lagikah! Ditinggal ke gunung Thur sebentar saja, sudah pandai buat tuhan dari perhiasan emas yang seharusnya jadi bekal. Ini lagi bukti tentang Kabbalah! Anak lembu, Apis yang sangat dihormati dalam mitologi Mesir kuno. Benar-benar paganisme yang diselundupkan! Tetapi Musa punya Alloh yang telah banyak membantunya. “Bagaimana ya bikin Musa dan Tuhannya itu menjadi tak berarti?”, pikir Samiri dan kawan-kawannya, para penyelundup paganisme. Gampang, katakan saja begini:

Dan (ingatlah), ketika kalian berkata, “Hai Musa, kami tidak akan beriman kepadamu sebelum kami melihat Alloh dengan terang”, karena itu kamu disambar halilintar, sedang kamu menyaksikannya. (QS. Al-Baqoroh: 55)

Terus saja begitu rewelnya. Karena mereka membawa paganisme selundupan. Dasar budak Fir’aun! Rewel! Sampai pun soal makan! Sesungguhnya Alloh telah menurunkan kepada mereka manna dan salwa yang langsung bisa dinikmati tanpa susah payah. Manna, menurut Ibnu Katsir dalam tafsirnya, adalah makanan yang lebih lembut daripada susu, lebih manis daripada madu, dan lebih sejuk daripada krim beku. Sedangkan salwa adalah daging burung yang dipanggang. Apa kata mereka tentang karunia ini?

Dan (ingatlah), ketika kamu berkata, “Hai Musa, kami tidak bisa sabar (tahan) dengan satu macam makanan saja. Sebab itu mohonkanlah untuk kami kepada Tuhanmu, agar Dia mengeluarkan bagi kami dari apa yang ditumbuhkan bumi, yaitu sayur-mayurnya, ketimunnya, bawang putihnya, kacang adasnya, dan bawang merahnya”. Musa berkata, “Maukah kamu mengambil yang rendah sebagai pengganti yang lebih baik? Pergilah kamu ke suatu kota, pasti kamu memperoleh apa yang kamu minta”. Lalu ditimpahkanlah kepada mereka nista dan kehinaan, serta mereka mendapat kemurkaan dari Alloh. Hal itu (terjadi) karena mereka selalu mengingkari ayat-ayat Alloh dan membunuh para Nabi yang memang tidak dibenarkan. Demikian itu (terjadi) karena mereka selalu berbuat durhaka dan melampaui batas. (QS. Al-Baqoroh: 61)

Diksi budak-budak Fir'aun ini juga menarik. Berdoalrth kamu, untuk <ami, kepada Tuhanmu. Mengapa bukan, "Berdoalah kita, untuk kita, kepada Tuhan kita.."? Egoisme tanpa iman yang dipapar penuh keangkuhan. Subhanallah! Sampai di sini, saya jadi ragu. Betulkah Bani Israil 'pernah memiliki' keimanan kepada Allah? Jika diksi dan gaya ticaranya saja seperti ini, -kita belum bicara tentang membunuh Nabi, nengganti ayat Al Kitab, dan dosa besar yang lain- saya jadi sangat ragu. Sangat ragu. Apalagi, gaya bicara ini diulangi saat mereka Jiperintahkan menyembelih sapi betina.

Mereka menjawab, “Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami, agar Dia menerangkan kepada kami; sapi betina apakah itu”. Musa menjawab, “Sesungguhnya Alloh berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang tidak tua dan tidak muda; pertengahan antara itu; maka kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu.” (QS. Al-Baqoroh: 68)

Belum lagi, di ayat sebelumnya dikisahkan bahwa ketika mereka mendengar pertama kali perintah Alloh ini mereka berkomentar, “Atattakhidzunaa huzuwaa; Apakah kau hendak jadikan kami bahan olokan?” Subhanalloh! Perintah Alloh disebut akan jadi olokan? Ini sih mending, nyembelih sapi. Lha sekarang perintah menutup ‘aurat, perintah menjaga akhlak kesusilaan, dan banyak perintah Alloh yang lain, kata penyangkalnya persis. “Apakah akan kau jadikan bangsa ini bahan olokan?” Wong wadon ilang wirange, kata Ronggowarsito. Wanita kehilangan rasa malu, pergi demo ke Senayan memperjuangkan ketelanjangan. O ya, Bani Isroil, eh –maaf- budak-budak Fir’aun, sudah sampai di mana, ya?

Itu mereka! Mereka sedang duduk garuk-garuk kepala di pinggir perbatasan Palestina. Kepengecutan membuat mereka tak berani melangkah memasuki tanah yang dijanjikan Alloh akan dikuasakan kepada mereka. Dasar budak Fir’aun! Dengar apa yang mereka katakan kini…

Mereka berkata, “Hai Musa, kami sekali-sekali tidak akan memasukinya selama-lamanya, selagi mereka ada di dalamnya. Karena itu pergilah kamu bersama Tuhanmu, dan berperanglah kalian berdua, sesungguhnya kami hanya duduk menanti di sini saja.” (QS. Al-Maaidah: 24)

Sungguh kalimat yang tidak pantas keluar dari lisan seorang hamba kepada Rosul dan Robb yang telah mengurusnya. Sayangnya waktu itu belum ada handphone. Kalau sudah ada, mungkin kalimatnya akan ditambahi, “Kalau sudah menang, misscall kami, ya…”

Saya ingin sekali berteriak bersama Anda semua, “Dasar penyelundup paganisme najis! Dasar budak Fir’aun!” Tapi jangan-jangan, kita ada kemiripan meski sedikit? Na’udzubillaahi min dzalik.[]


Credit: “Saksikan bahwa Aku Seorang Muslim”; Salim A. Fillah; Pro-U Media

Tidak ada komentar:

Posting Komentar