Pernah dengar
tentang Kabbalah? Hampir semua
referensi yang bicara tentang Freemasonry dan Zionisme tak lupa untuk
membahasnya sebagai akar paganis dari kedua gerakan terselubung ini. Semua juga
sepakat, Kabbalah diwarisi dari
ajaran paganisme Mesir kuno. Segala perangkat dan simbolnya, dari anak lembu hingga Sang Mata, sedikitnya tak berubah. Buku yang dirilis Harun Yahya, Ancaman Global Freemasonry, memberi kita
banyak keterangan tentang ini.
Maaf, kita masih
bicara tentang jahiliah sejauh ini. Beberapa halaman di depan, jika kita
indeks, kata Fir’aun sangat banyak muncul. Nah, sekarang kita bicarakan satu
bangsa yang semula dipilih Alloh untuk menjadi model bagi alam semesta. Bani
Isroil. Sayangnya, dengan cerita tentang Kabbalah dan beberapa ayat yang akan
kita bahas ke muka, saya lebih nyaman menyebut mereka budak-budak Fir’aun.
Tentu saja dengan mengecualikan Musa, Harun, dan Nabi-nabi Bani Isroil
berikutnya, ‘Alaihimus Salaam.
Dan (ingatlah), ketika Musa berkata kepada kaumnya, “Ingatlah
nikmat Alloh atasmu ketika Dia menyelamatkan kamu dari (Fir’aun dan)
pengikut-pengikutnya, mereka menyiksa kamu dengan siksa yang pedih, mereka
menyembelih anak-anak laki-lakimu, membiarkan hidup anak-anak perempuanmu; dan
pada yang demikian itu ada cobaan yang besar dari Tuhanmu.” (QS. Ibrohim: 6)
Inilah perbudakan
itu. Sangat dalamnya, hingga mereka tak bisa membedakan lagi dengan kebebasan
yang mereka nikmati. Hatinya telah kebas. Perasaannya tawar. Wajahnya melulang
badak. Hingga tentang nikmat Alloh yang begitu besar pun mereka harus
diingatkan.
Seperti terasai
oleh Bani Isroil, sebenarnya zaman ini menyaksikan kondisi terjajah yang lebih
parah. Si zholim selalu zholim, dan si mazhlum berakting zholim. Betapa malang
sebenarnya orang terzholimi, tapi lebih malang lagi yang tidak menyadari
keterzholimannya. Bedak di wajah kezholiman sudah semakin tebal, menutupi
wajahnya yang penuh borok berulat. Terjajah rasanya biasa saja.
Dengan manis
penjajah bisa mengeruk kekayaan dari suaru negeri, oleh
rakyat negeri itu sendiri dan untuk menyengsarakan negeri itu. Yang dijajah dipaksa
menelan bulat-bulat suapan racun sang penjajah. Tapi tragisnya, karena lapar ia
justru mengangakan mulutnya lebar-lebar. Aneh pula, warga kelas entah yang memakan
sampah dengan membayar mahal pun merasa mulia. Inilah terjajah murokkab, terjajah kuadrat. Bagaimana dengan
budak-budak Fir’aun? Oh, mereka sedang melarikan diri dari Sang Tiran dan kini
Laut Merah membentang di hadapan mereka.
Maka Fir’aun dan bala tentaranya dapat menyusuli mereka
di waktu matahari terbit. Maka setelah kedua golongan itu saling melihat, berkatalah
pengikut-pengikut Musa, “Sesunggahnya kita benar-benar akan tersusul.” Musa
menjawab, “Sekali-kali tidak akan tersusul; sesungguhnya Robbku besertaku, Dia
akan memberi petunjuk kepadaku.” (QS. Asy-Syu’aroo: 60-62)
Ada yang unik
dalam diksi Musa. Mengapa ia berkata, “Inna
ma’iya Robbiy; Sesungguhnya Robbku besertaku”? Mengapa ia tidak katakan saja,
“Inna ma’anaa Robbunaa; Sesungguhnya
Robb kita beserta kita”? Ada apa sebenarnya? Inilah perbedaan antara Bani Isroil
yang dipimpin Musa dengan Abu Bakr Ash-Shiddiq yang menyertai Rosululloh berhijrah.
Abu Bakr menyertai
Rosululloh dengan segenap jiwa dan raganya, zhohir maupun bathin. Jiwa mereka senada
dalam iman, hati mereka semakna dalam Islam, ruh mereka seikat dalam ukhuwwah. Maka
ketika Abu Bakr khawatir para pengejar dari Makkah akan melihat mereka berdua saat
bersembunyi di ceruk kecil bernama Gua Tsur, Rosululloh tegas berkata sebagaimana
diabadikan Surat At-Taubah ayat 40, “Laa
tahzan, innallooha ma’anaa; Jangan berduka, Alloh beserta kita!”
Lalu budak-budak Fir’aun
itu? Mereka membersamai Musa dalam langkah kakinya saja, belum dalam
keimanannya. Maka Musa hanya bisa berkata bahwa Alloh bersamanya, tetapi Alloh belum
membersamai kaumnya. Mengapa?
Dan Kami seberangkan Bani Isroil ke seberang lautan
itu, maka setelah mereka sampai kepada suatu kaum yang tekun menyembah berhala
mereka, Bani Isroil berkata, “Hai Musa, buatlah untuk kami sebuah tuhan (berhala)
sebagaimana mereka mempunyai beberapa tuhan (berhala)”. Musa menjawab,
“Sesungguhnya kalian ini adalah kaum yang membodoh!” (QS. Al-A’roof: 138)
Bayangpun! Baru
beberapa detik lalu Alloh selamatkan mereka dari kejaran Fir’aun dan
tentaranya. Baru sekian hitungan berlalu ketika lautan terbelah menjadi jalan seberang
ajaib untuk mereka. Baru sekian hembus nafas berganti ketika Alloh menunjukkan
kuasaNya untuk menyelamatkan mereka. Kini apa yang mereka minta? “Bikinin tuhan dong!” Benarlah Musa.
Kalian ini qoumun tajhalun; kaum yang
membodoh! Jerita bodohnya berlanjut terus.
Dan kaum Musa, setelah kepergian Musa ke gunung Thur
membuat dari perhiasan-perhiasan (emas) mereka anak lembu yang bertubuh dan
bersuara. Apakah mereka tidak mengetahui bahwa anak lembu itu tidak dapat
berbicara dengan mereka dan tidak dapat (pula) menunjukkan jalan kepada mereka?
Mereka menjadikannya (sebagai sembahan) dan mereka adalah orang-orang yang
zholim.
(QS. Al-A’roof: 148)
Bayangpun lagikah!
Ditinggal ke gunung Thur sebentar saja, sudah pandai buat tuhan dari perhiasan
emas yang seharusnya jadi bekal. Ini lagi bukti tentang Kabbalah! Anak lembu, Apis
yang sangat dihormati dalam mitologi Mesir kuno. Benar-benar paganisme yang diselundupkan!
Tetapi Musa punya Alloh yang telah banyak membantunya. “Bagaimana ya bikin Musa
dan Tuhannya itu menjadi tak berarti?”, pikir Samiri dan kawan-kawannya, para
penyelundup paganisme. Gampang, katakan saja begini:
Dan (ingatlah), ketika kalian berkata, “Hai Musa, kami
tidak akan beriman kepadamu sebelum kami melihat Alloh dengan terang”, karena
itu kamu disambar halilintar, sedang kamu menyaksikannya. (QS. Al-Baqoroh:
55)
Terus saja begitu rewelnya.
Karena mereka membawa paganisme selundupan. Dasar budak Fir’aun! Rewel! Sampai pun
soal makan! Sesungguhnya Alloh telah menurunkan kepada mereka manna dan salwa yang langsung bisa dinikmati tanpa susah payah. Manna, menurut Ibnu Katsir dalam tafsirnya,
adalah makanan yang lebih lembut daripada susu, lebih manis daripada madu, dan
lebih sejuk daripada krim beku. Sedangkan salwa
adalah daging burung yang dipanggang. Apa kata mereka tentang karunia ini?
Dan (ingatlah), ketika kamu berkata, “Hai Musa, kami
tidak bisa sabar (tahan) dengan satu macam makanan saja. Sebab itu mohonkanlah
untuk kami kepada Tuhanmu, agar Dia mengeluarkan bagi kami dari apa yang
ditumbuhkan bumi, yaitu sayur-mayurnya, ketimunnya, bawang putihnya, kacang
adasnya, dan bawang merahnya”. Musa berkata, “Maukah kamu mengambil yang rendah
sebagai pengganti yang lebih baik? Pergilah kamu ke suatu kota, pasti kamu
memperoleh apa yang kamu minta”. Lalu ditimpahkanlah kepada mereka nista dan
kehinaan, serta mereka mendapat kemurkaan dari Alloh. Hal itu (terjadi) karena
mereka selalu mengingkari ayat-ayat Alloh dan membunuh para Nabi yang memang
tidak dibenarkan. Demikian itu (terjadi) karena mereka selalu berbuat durhaka
dan melampaui batas.
(QS. Al-Baqoroh: 61)
Diksi budak-budak Fir'aun
ini juga menarik. Berdoalrth kamu, untuk <ami, kepada Tuhanmu. Mengapa bukan,
"Berdoalah kita, untuk kita, kepada Tuhan kita.."? Egoisme tanpa iman
yang dipapar penuh keangkuhan. Subhanallah! Sampai di sini, saya jadi ragu.
Betulkah Bani Israil 'pernah memiliki' keimanan kepada Allah? Jika diksi dan gaya
ticaranya saja seperti ini, -kita belum bicara tentang membunuh Nabi, nengganti
ayat Al Kitab, dan dosa besar yang lain- saya jadi sangat ragu. Sangat ragu. Apalagi,
gaya bicara ini diulangi saat mereka Jiperintahkan menyembelih sapi betina.
Mereka menjawab, “Mohonkanlah
kepada Tuhanmu untuk kami, agar Dia menerangkan kepada kami; sapi betina apakah
itu”. Musa menjawab, “Sesungguhnya Alloh berfirman bahwa sapi betina itu adalah
sapi betina yang tidak tua dan tidak muda; pertengahan antara itu; maka
kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu.” (QS.
Al-Baqoroh: 68)
Belum lagi, di
ayat sebelumnya dikisahkan bahwa ketika mereka mendengar pertama kali perintah Alloh
ini mereka berkomentar, “Atattakhidzunaa
huzuwaa; Apakah kau hendak jadikan kami bahan olokan?” Subhanalloh! Perintah Alloh disebut akan jadi olokan? Ini sih mending, nyembelih sapi. Lha sekarang
perintah menutup ‘aurat, perintah menjaga akhlak kesusilaan, dan banyak perintah
Alloh yang lain, kata penyangkalnya persis. “Apakah akan kau jadikan bangsa ini
bahan olokan?” Wong wadon ilang wirange,
kata Ronggowarsito. Wanita kehilangan rasa malu, pergi demo ke Senayan memperjuangkan
ketelanjangan. O ya, Bani Isroil, eh –maaf- budak-budak Fir’aun, sudah sampai di
mana, ya?
Itu mereka! Mereka
sedang duduk garuk-garuk kepala di pinggir perbatasan Palestina. Kepengecutan membuat
mereka tak berani melangkah memasuki tanah yang dijanjikan Alloh akan dikuasakan
kepada mereka. Dasar budak Fir’aun! Dengar apa yang mereka katakan kini…
Mereka berkata, “Hai Musa, kami sekali-sekali tidak
akan memasukinya selama-lamanya, selagi mereka ada di dalamnya. Karena itu pergilah kamu bersama Tuhanmu, dan
berperanglah kalian berdua, sesungguhnya kami hanya duduk menanti di sini saja.” (QS. Al-Maaidah: 24)
Sungguh kalimat yang
tidak pantas keluar dari lisan seorang hamba kepada Rosul dan Robb yang telah mengurusnya.
Sayangnya waktu itu belum ada handphone.
Kalau sudah ada, mungkin kalimatnya akan ditambahi, “Kalau sudah menang, misscall kami, ya…”
Saya ingin sekali berteriak
bersama Anda semua, “Dasar penyelundup paganisme najis! Dasar budak Fir’aun!”
Tapi jangan-jangan, kita ada kemiripan meski sedikit? Na’udzubillaahi min dzalik.[]
Credit: “Saksikan bahwa Aku Seorang
Muslim”; Salim A. Fillah; Pro-U Media
Tidak ada komentar:
Posting Komentar