BILA suatu ketika kau berkesempatan menatap
pelangi, nikmatilah dengan rasa syukur penuh. Matahari telah menyediakan warna-warni
itu sejak lama, setiap saat. Tetapi hujanlah yang memperlihatkannya pada kita. Terbayangkah
kau jika sebuah planet bening tiba-tiba hadir di antara surya dan buana, maka sang
mentari akan menunjukkan wajah warna warni? Tetapi tidak. Yang indah justru pelangi
itu. Dengan segala suasana yang mengetengahi batin kita. Kerja-kerja alam yang diatur
Sang Maha Pencipta terasa begitu menakjubkan.
“Celupan warna Alloh, dan siapakah yang lebih baik celupan
warnanya daripada Alloh? Dan hanya kepadaNyalah kami menyembah.” (QS. Al-Baqoroh: 138)
Bagaikan kain putih
yang telah terkena beberapa noda, pribadi-pribadi mukmin kemudian dicuci dengan
syahadat yang mereka ikrarkan. Alloh kemudian memberi warna dengan celupanNya,
celupan warna dengan citarasa Ilahi yang Maha Tinggi. Jika sang hamba terus menjaga
amalan wajibnya, kemudian ia bertaqorrub dengan amalan sunnah dan nafilah, maka celupan warna itu menjadi
gerak hidup yang memancarkan kemuliaan dan keagungan.
“...Tidaklah
hamba-hambaKu mendekatkan diri kepadaKu dengan sesuatu yang lebih Aku sukai dibanding
hal-hal yang Aku wajibkan. Dan hambaKu akan terus mendekatkan diri kepadaKu dengan
amalan-amalan nafilah, sampai Aku mencintainya. Maka apabila Aku telah mencintainya,
Aku akan menjadi pendengaran di mana ia mendengar dengannya. Aku akan menjadi penglihatan
yang ia melihat dengannya. Aku akan menjadi tangan di mana ia bertindak dengannya.
Dan Aku akan menjadi kaki yang mana ia berjalan dengannya...” (HR. Al-Bukhori,
dari Abu Huroiroh)
Tentang warna-warni
itu? Ya. Islam tidak menghapus karakter-karakter khas dari pribadi pemeluknya yang
tidak bertentangan dengan ‘aqidah. Islam justru membingkainya menjadi kemuliaan
karakter yang menyejarah. Bahkan Rosululloh menyebutkan, “Khiyaarukum fil jahiliyyah, khiyaarukum fil Islaam; orang terpilih kalian
di masa jahiliah akan menjadi orang terpilih pula di masa keislamannya.”
Lihatlah dua sosok
yang bayangnya saja begitu agung itu. Abu Bakar dan ‘Umar, dua sosok yang begitu
kontras dalam singsingan fajar ummat Muhammad ini. Abu Bakar begitu kurus sampai
sarungnya selalu mengulur ke bawah, sedang ‘Umar pernah membuat empat makmum jatuh
terjengkang karena bersinnya saat memeriksa shof sholat... Masya Alloh!
Rosululloh mengkhususkan
keteladanan pada mereka berdua setelah beliau. Ini mengisyaratkan bahwa gabungan
karakter keduanya sudah mewakili karakter manusia mulia dalam Islam.
“Ikutilah jejak dua
orang sesudahku, Abu Bakar dan ‘Umar.” (HR. At-Tirmidzi [3662] dan dihasankannya,
Ibnu Majah [97], Ahmad [V: 382], dan Al-Hakim [III: 75] beliau menshohihkannya dan
Adz-Dzahabi menyetujuinya)
Dalam penyikapan terhadap
tawanan Badar, karakter masing-masing tampak jelas. Abu Bakar berpendapat untuk
mengambil tebusan sambil mengatakan, “Wahai Rosulallooh, mereka adalah kaum dan
keluargamu. Biarkanlah mereka hidup dan berilah kesempatan untuk bertaubat, mudah-mudahan
Alloh menerima taubat mereka.”
Tapi kata ‘Umar, “Ya
Rosulallooh, mereka telah mendustakan dan mengusirmu, maka seretlah ke depan dan
pancung lehernya!”. Setelah berdiam beberapa lama dalam kemahnya, Rosululloh kemudian
berkomentar:
“Sesungguhnya Alloh
melunakkan hati orang-orang tertentu sampai ada yang lebih lunak dari susu dan Alloh
mengeraskan hati orang-orang tertentu sampai ada yang lebih keras dari batu. Sesungguhnya
engkau, wahai Abu Bakar, bak Ibrohim yang berkata:
“Barangsiapa mengikutiku maka sesungguhnya ia termasuk
golonganku, dan barangsiapa mendurhakaiku, maka sesungguhnya Engkau Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.”
(QS. Ibrohim: 36)
Dan juga laksana ‘Isa
yang berkata:
“Jika Engkau menyiksa mereka maka sesungguhnya mereka
adalah hamba-hambaMu, dan jika Engkau mengampuni mereka maka sesungguhnya Engkau
Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Maidah: 118)
Dan Engkau wahai’Umar
tak ubahnya seperti Musa yang berkata:
“Wahai Robb kami, binasakanlah harta benda mereka dan kunci
matilah hati mereka, karena mereka tidak beriman hingga mereka menyaksikan siksa
yang pedih.”
(QS. Yunus: 88)
Dan sebagaimana Nuh
yang berkata:
“Robbi, jangan biarkan seorang pun di antara orang kafir
itu tinggal di bumi! Sesungguhnya jika Engkau biarkan mereka tinggal, niscaya mereka
akan menyesatkan hamba-hamba-Mu, dan mereka tidak akan melahirkan selain anak yang
berbuat maksiat lagi sangat kafir.” (QS. Nuh: 26-27)
Kisah ini diriwayatkan
oleh Imam Muslim dengan redaksi dari Al-A’masy, dari ‘Amr bin Murroh, dari Abu
Ubaidah. Masya Alloh. Ketika turun surah Al-Anfaal ayat 68 yang membenarkan pendapat
‘Umar, Rosululloh dan Abu Bakar bertangisan sementara ‘Umar yang belum tahu bertanya,
“Katakanlah kepadaku mengapa kalian menangis, jika itu menyangkut diriku maka aku
memiliki alasan untuk ikut menangis. Tapi jika tidak, aku akan tetap menangis bersama
kalian.”
“Jika adzab turun dari
langit, niscaya tidak ada yang selamat ‘Umar!”, kata Abu Bakar.
Demikianlah. Sampai
suatu hari, perbedaan karakter itu menemukan kutubnya yang lain. Saat Abu Bakar
akan memerangi orang-orang yang tidak mau membayar zakat, ‘Umar justru bersikap
sangat lunak. Benar-benar sebuah kutub lain dari perbedaan karakter. ‘Aisyah pun
sampai bercerita, “Aku tak akan melupakan suatu hari bersama Abu Bakar, saat ia
tergopoh menuntun untanya dan berkata, “Demi Alloh, aku akan memerangi mereka jika
mereka menolak memberikan kepadaku tali kekang unta yang biasa mereka berikan kepada
Rosululloh.” ‘Utsman ibn Affan mewakili karakter pemalu, pemurah, dan penuh kelembutan
yang menjadi mulia bersama keislamannya. Diriwayatkan bahwa kalau mandi beliau harus
berada dalam rumah, dalam sebuah kamar, dalam sebuah bilik tertutup, dan masih
harus berselubung kain tebal. Itupun beliau tidak bisa mengangkat kepala dan punggungnya
karena malu.
‘Aisyah menceritakan
bahwa ketika Rosululloh terbaring dalam keadaan betisnya terbuka, datang Abu
Bakar meminta izin masuk berbincang dan beliau tetap dalam keadaan seperti itu.
Lalu ‘Umar datang dan beliau juga tetap dalam keadaan seperti itu. Lalu ketika
‘Utsman meminta izin masuk, beliau duduk dan merapikan pakaiannya. Ketika ‘Utsman
keluar, ‘Aisyah menanyakan hal itu dan dijawab, “Patutkah aku tidak merasa malu
kepada lelaki yang para malaikat pun merasa malu kepadanya?”. (HR. Muslim
[2402], dan Ahmad [VI: 62])
Abu Dujanah memang
congkak, tapi ia bingkai kecongkakannya dalam jihad menghadapi musuh-musuh Alloh
sehingga ia mulia dengan kecongkakannya. Ikat kepala merah, langkah yang angkuh,
jalan yang penuh gaya, membuat Rosululloh berkomentar, “Alloh membenci yang seperti
ini kecuali dalam peperangan di jalanNya!”. Akhirnya, Abu Dujanah meraih kemuliaan
yang ia nantikan, sambutan 70 bidadari surga.
Para sahabat
adalah figur-figur menarik yang penuh warna, menggambarkan sosok mereka sebagai
manusia biasa, namun ada kemuliaan yang senantiasa terukir dalam ke-biasa-annya
itu.
Ada orang-orang
besar dengan gelar besar. Tetapi kebesaran itu bermula dari satu prinsip yang dipegang
teguh. Satu saja, kecil saja. Tetapi istiqomah. Abu Bakar Ash-Shiddiq. Benar, membenarkan, dan dibenarkan. Mengapa? Karena teguh
untuk yakin pada apa yang berasal dari sisi Alloh dan RosulNya. Maka keyakinan itu
menjadi sesuatu yang sangat besar, “Andaikan iman seluruh manusia ditimbang pada
suatu dacing dan iman Abu Bakar pada dacing yang lain, niscaya iman Abu Bakar lebih
berat.” Masya Alloh!
‘Umar Al-Faruq. Ia, sosok yang tak pernah menyembunyikan
perasaannya. Jujur pada dirinya, jujur pada Alloh, jujur pada manusia. Blak-blakan,
keras, tak kenal takut. “Bukankah kita berada di atas kebenaran? Bukankah mereka
berada di atas kebathilan? Bukankah kalau kita mati, kita masuk surga sedang mereka
masuk neraka?” Maka bermulalah aksi-aksi besar kaum muslimin dari ‘Umar, ba’dalloh.
Da’wah terang-terangan, show of force
di Ka’bah, hijrah terang-terangan, dan gemeretaknya gigi orang kafir dan orang munafik.
Ia keras. Sangat keras. Tetapi ada saat di mana ialah manusia terlembut; saat
memimpin. Maka benarlah kata-kata Ibnu Mas’ud, “Islamnya ‘Umar adalah
kemenangan, hijrahnya adalah pertolongan, dan kepemimpinannya adalah rohmat bagi
orang beriman.”
‘Utsman Dzun Nuroin, si pemalu berakhlak mulia.
Malu tak hanya pada manusia, tetapi lebih dari itu, pada Alloh. Mandinya ‘Utsman
tidak dilakukan kecuali dalam rumah yang terkunci rapat, tertutup semua lubangnya,
di kamar yang paling terlindung dan terkunci, dalam sebuah bilik rapat di kamar
itu, dan dipasang selubung kain yang tinggi. Itupun, ‘Utsman masih tak bisa menegakkan
punggung karena rasa malu. Ia selalu malu pada Alloh. Ia malu, jika nikmat-nikmat
Alloh tak ia nafkahkan di jalanNya. Maka ribuan unta menyertai perang Tabuk. Ia
malu, jika ia kenyang sementara penduduk Madinah ditimpa paceklik. Maka 1000 unta
penuh muatan ia bagikan gratis. Ia malu, jika ia minum air sejuk sementara penduduk
Madinah meminum air bacin. Maka dibelinyalah sumur Roumah, lalu ia wakafkan. “Tidak akan membahayakan ‘Utsman”, sabda
sang Nabi, ‘Apapun yang dia lakukan setelah hari ini.” Dan ‘Utsman semakin merasa
malu.
‘Ali yang ceria. Ceria
mengajarinya keberanian untuk tidur menggantikan Raosululloh di saat teror pembunuhan
mengepung kediaman beliau yang kecil. Ceria mengajarinya berlari-lari menyusur padang
pasir sejauh 400 km untuk hijrah seorang diri dalam kejaran musuh. Ceria
mengajarinya berolok-olok pada Amir ibn ‘Abdu Wudd, jagoan Quroisy yang menantang
perang tanding dalam peristiwa Khondaq. Dan saat tubuh yang besarnya dua kali
lipat dirinya itu jatuh terbelah, kaum muslimin pun bertakbir gembira. Dan ia, tetap
ceria. Ceria mengajarinya untuk asyik belajar, maka ia menjadi pintu kota ilmu.
Ceria –saat sakit mata- membuatnya menjadi pemegang panji penaklukan Khoibar, maka
jadilah ia pemegang panji yaang mencintai dan dicintai oleh Alloh dan RosulNya.
Ada Abu ‘Ubaidah kepercayaan
ummat ini. Seperti apa orangnya! Rapi jali! Pandai mengadministrasi, cerdas, dan
adil. Sangat dipercaya, sampai orang-orang Romawi yang beragama Nashrani
merindukannya. Sangat dipercaya, sampai ‘Untar kehabisan akal untuk memintanya keluar
dari kota berwabah. Sangat dipercaya, maka begitu sulit mencari penggantinya
mengurus Baitul Maal. Ada Az-Zubair hawari Rosululloh. Sebuah potret kesetiaan.
Dan Tholhah yang perwira, perisai hidup Rosululloh yang di tubuhnya ada tujuh puluh
sayatan pedang, hunjaman tombak, dan tusukan anak panah. Maka jadilah ia, kata
Rosululloh, seorang syahid yang masih berjalan di muka bumi.
Ada orang-orang besar
dengan gelar besar. Ada Kholid, pedang Alloh yang senantiasa terhunus. Maka sering,
dengan kudanya ia membelah barisan musuh sendirian. Ia pedang Alloh, maka tiga belas
pedang patah di tangannya pada perang Mu’tah. Ia pedang Alloh, yang memang hanya
hafal sedikit ayat. Tetapi seluruh bagian tubuhnya yang penuh luka akan menjadi
saksi di hadapan Alloh, meski ia mati di ranjang. Ada Hudzaifah, pemegang rahasia-rahasia
Rosululloh. Maka ialah intelijen paling gemilang dalam sejarah, yang duduk di hadapan
Abu Sufyan, pemimpin musuh. Maka ketika pada Rosululloh manusia bertanya tentang
amal-amal yang harus dilakukan, ia bertanya tentang laku-laku yang harus dijauhi.
Ia, manusia yang lisannya takkan bisa dipaksa berbicara, meski oleh ‘Umar shahabatnya.
Ia, pemegang rahasia-rahasia.
Ada lagi yang agung
dalam gelar kematiannya. Hamzah penghulu syuhada’, Ja’far pemilik dua sayap yang
terbang kian kemari di surga, ‘Abdulloh ibn Rowahah yang ranjangnya terbang menghadap
Robbnya, Sa’ad ibn Mu’adz yang kenaikan ruhnya membuat ‘Arsyi Alloh berguncang,
dan Hanzholah yang dimandikan malaikat.
Ada yang mulia dengan
perbuatannya. Usaid ibn Hudhoir yang tilawahnya didengarkan malaikat, Ibnu Mas’ud
yang qiro-atnya seperti saat Al-Qur’an diturunkan, ‘Abdurrohman ibn ‘Auf yang diberkahi
dalam shodaqoh dan simpanannya, keluarga Abu Tholhah yang membuat Alloh takjub,
dan Ukasyah yang ingin bersentuh kulit dunia akhirat dengan Rosululloh.
Mereka, manusia-manusia
biasa yang istiqomah dengan potensi kebaikan yang dimilikinya. Kecenderungan-kecenderungan
memang berbeda. Dan jadilah itu warna-warna. Ada canda yang mereka lakukan, sampai
saling lempar semangka suatu ketika. Tapi periwayat hadits ini berkomentar, “Mereka
adalah laki-laki dalam urusan-urusannya!” Ya, mereka tahu kapan saatnya lempar semangka,
dan kapan saatnya lempar lembing untuk menegakkan agama Alloh.
Ada sosok-sosok low profile seperti Ahli Surga yang dimata-matai
‘Abdulloh ibn ‘Amr bin ‘Ash. Sedikit yang mengenalnya, bahkan ‘Abdullah tak melihatnya
memiliki keistimewaan apapun. Tapi ternyata, ia dibingkai oleh keikhlasan dan kejujuran,
“Aku selalu menanggalkan semua perasaan tak enak dan prasangka terhadap sesama
mukmin sebelum tidurku.”
Islam memuliakan semua
posisi. Kalau tak memungkinkan menjadi karang yang kokoh di dasar lautan, menjadi
rumput nan lemah lembut yang tak goyah dipukul ribut pun tetap agung nilainya.
Demi Alloh, tidak ada halangan menjadi mulia dengan alasan posisi tak memadai.
“Sesungguhny a Alloh
mencintai orang-orang yang tidak menonjolkan diri, taqwa, dan sholih. Apabila tidak
hadir, mereka tak dicari-cari. Apabila hadir mereka tak dikenali. Mereka
bagaikan lentera-lentera petunjuk yang menerangi setiap kegelapan.” (HR. Al-Mundziri
dalam At-Targhib wat Tarhib, hasan)
Bahkan di antara sepuluh
orang yang dijamin ke surga, terdapat Sa’id ibn Zaid, sosok low profile yang namanya nyaris tidak muncul
dalam siroh selain dalam kisah keislaman ‘Umar dan kisah sengketa tanahnya dengan
seorang wanita tua.
Ada lagi kelucuan lugu
di balik sosok orator besar Tsabit ibn Qois. Ketika turun Surah Al-Hujurot ayat
7 yang berisi larangan meninggikan dan mengeraskan suara kepada Nabi, ia mengurung
dirinya berhari-hari di dalam rumah. Ia pikir ayat itu turun tentang dirinya yang
berpembawaan keras melengking tinggi saat berkata-kata. Untung Rosululloh
menghiburnya, “Tidak. Katakan padanya, dia tidak termasuk dalam ayat ini, bahkan
dia dicintai Alloh dan RosulNya.”
Ada yang tak sengaja
menyaksikan seorang wanita Anshor mandi, lalu ia lari ke tengah padang pasir karena
takut dan malu akan diturunkan ayat tentang perbuatannya. Ia bertahan berhari-hari
dalam penyesalan yang sangat dan tangis yang menyayat, sampai Rosululloh menyuruh
menjemputnya dan ia menemui Robbnya dalam taubat di pangkuan Sang Nabi.
Ada yang pernah berbuat
dosa, tapi ia jujur! Ma’iz mengakui perzinaannya, meminta rajam untuk dirinya, sampai
Rosululloh mengatakan, “Jika taubatnya dibagi untuk seluruh penduduk Madinah, niscaya
mencukupi bagi mereka.”
Ka’ab ibn Malik, yang
kekuatan argumennya tak terkalahkan justru mengaku jujur bahwa ia tak punya
alasan ketika tak ikut ke Tabuk, lalu ia jalani pengucilan lima puluh hari tanpa
tegur sapa dari semua orang. Ketika bumi serasa sempit menghimpit, ia kuatkan untuk
tidak menerima iming-iming suaka Raja Ghossan. “Inilah mushibah yang sebenarnya!”,
ujarnya sambil melempar surat tawaran mewah itu ke tungku menyala.
Ketika penantian
menyesakkan itu membuahkan penerimaan taubat, Rosululloh bersabda padanya, “Bergembiralah
dengan hari terbaik sejak engkau dilahirkan ibumu!”. Dan hari itu wajah Rosululloh
bagai purnama yang dikhususkan bercahaya untuk Ka’ab. Wajah itu sangat ia rindukan
setelah 50 hari selalu membuang muka ketika melihatnya.
Alangkah indah hari-hari
mereka. Mari kita berdoa, sebagai orang-orang yang datang sesudah mereka...
Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin
dan Anshor), mereka berdoa, “Ya Robb kami, beri ampunlah kami dan
saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah
Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman;
Ya Robb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hasyr:
10)
Menjadi muslim
adalah menjadi kain putih. Lalu Alloh mencelupnya menjadi warna ketegasan, kesejukan,
keceriaan, dan cinta, rohmat bagi semesta alam. Aku jadi rindu pada pelangi itu,
pelangi memancarkan celupan warna Ilahi, wahai Yang Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.[]
Credit: “Saksikan bahwa Aku Seorang Muslim”;
Salim A. Fillah; Pro-U Media
Tidak ada komentar:
Posting Komentar