Sabtu, 02 Mei 2015

Celupan Warna Ilahi

BILA suatu ketika kau berkesempatan menatap pelangi, nikmatilah dengan rasa syukur penuh. Matahari telah menyediakan warna-warni itu sejak lama, setiap saat. Tetapi hujanlah yang memperlihatkannya pada kita. Terbayangkah kau jika sebuah planet bening tiba-tiba hadir di antara surya dan buana, maka sang mentari akan menunjukkan wajah warna warni? Tetapi tidak. Yang indah justru pelangi itu. Dengan segala suasana yang mengetengahi batin kita. Kerja-kerja alam yang diatur Sang Maha Pencipta terasa begitu menakjubkan.

“Celupan warna Alloh, dan siapakah yang lebih baik celupan warnanya daripada Alloh? Dan hanya kepadaNyalah kami menyembah.” (QS. Al-Baqoroh: 138)

Bagaikan kain putih yang telah terkena beberapa noda, pribadi-pribadi mukmin kemudian dicuci dengan syahadat yang mereka ikrarkan. Alloh kemudian memberi warna dengan celupanNya, celupan warna dengan citarasa Ilahi yang Maha Tinggi. Jika sang hamba terus menjaga amalan wajibnya, kemudian ia bertaqorrub dengan amalan sunnah dan nafilah, maka celupan warna itu menjadi gerak hidup yang memancarkan kemuliaan dan keagungan.

“...Tidaklah hamba-hambaKu mendekatkan diri kepadaKu dengan sesuatu yang lebih Aku sukai dibanding hal-hal yang Aku wajibkan. Dan hambaKu akan terus mendekatkan diri kepadaKu dengan amalan-amalan nafilah, sampai Aku mencintainya. Maka apabila Aku telah mencintainya, Aku akan menjadi pendengaran di mana ia mendengar dengannya. Aku akan menjadi penglihatan yang ia melihat dengannya. Aku akan menjadi tangan di mana ia bertindak dengannya. Dan Aku akan menjadi kaki yang mana ia berjalan dengannya...” (HR. Al-Bukhori, dari Abu Huroiroh)

Tentang warna-warni itu? Ya. Islam tidak menghapus karakter-karakter khas dari pribadi pemeluknya yang tidak bertentangan dengan ‘aqidah. Islam justru membingkainya menjadi kemuliaan karakter yang menyejarah. Bahkan Rosululloh menyebutkan, “Khiyaarukum fil jahiliyyah, khiyaarukum fil Islaam; orang terpilih kalian di masa jahiliah akan menjadi orang terpilih pula di masa keislamannya.”

Lihatlah dua sosok yang bayangnya saja begitu agung itu. Abu Bakar dan ‘Umar, dua sosok yang begitu kontras dalam singsingan fajar ummat Muhammad ini. Abu Bakar begitu kurus sampai sarungnya selalu mengulur ke bawah, sedang ‘Umar pernah membuat empat makmum jatuh terjengkang karena bersinnya saat memeriksa shof sholat... Masya Alloh!

Rosululloh mengkhususkan keteladanan pada mereka berdua setelah beliau. Ini mengisyaratkan bahwa gabungan karakter keduanya sudah mewakili karakter manusia mulia dalam Islam.

“Ikutilah jejak dua orang sesudahku, Abu Bakar dan ‘Umar.” (HR. At-Tirmidzi [3662] dan dihasankannya, Ibnu Majah [97], Ahmad [V: 382], dan Al-Hakim [III: 75] beliau menshohihkannya dan Adz-Dzahabi menyetujuinya)

Dalam penyikapan terhadap tawanan Badar, karakter masing-masing tampak jelas. Abu Bakar berpendapat untuk mengambil tebusan sambil mengatakan, “Wahai Rosulallooh, mereka adalah kaum dan keluargamu. Biarkanlah mereka hidup dan berilah kesempatan untuk bertaubat, mudah-mudahan Alloh menerima taubat mereka.”

Tapi kata ‘Umar, “Ya Rosulallooh, mereka telah mendustakan dan mengusirmu, maka seretlah ke depan dan pancung lehernya!”. Setelah berdiam beberapa lama dalam kemahnya, Rosululloh kemudian berkomentar:

“Sesungguhnya Alloh melunakkan hati orang-orang tertentu sampai ada yang lebih lunak dari susu dan Alloh mengeraskan hati orang-orang tertentu sampai ada yang lebih keras dari batu. Sesungguhnya engkau, wahai Abu Bakar, bak Ibrohim yang berkata:

“Barangsiapa mengikutiku maka sesungguhnya ia termasuk golonganku, dan barangsiapa mendurhakaiku, maka sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ibrohim: 36)

Dan juga laksana ‘Isa yang berkata:
“Jika Engkau menyiksa mereka maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hambaMu, dan jika Engkau mengampuni mereka maka sesungguhnya Engkau Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Maidah: 118)

Dan Engkau wahai’Umar tak ubahnya seperti Musa yang berkata:
“Wahai Robb kami, binasakanlah harta benda mereka dan kunci matilah hati mereka, karena mereka tidak beriman hingga mereka menyaksikan siksa yang pedih.” (QS. Yunus: 88)

Dan sebagaimana Nuh yang berkata:
“Robbi, jangan biarkan seorang pun di antara orang kafir itu tinggal di bumi! Sesungguhnya jika Engkau biarkan mereka tinggal, niscaya mereka akan menyesatkan hamba-hamba-Mu, dan mereka tidak akan melahirkan selain anak yang berbuat maksiat lagi sangat kafir.” (QS. Nuh: 26-27)

Kisah ini diriwayatkan oleh Imam Muslim dengan redaksi dari Al-A’masy, dari ‘Amr bin Murroh, dari Abu Ubaidah. Masya Alloh. Ketika turun surah Al-Anfaal ayat 68 yang membenarkan pendapat ‘Umar, Rosululloh dan Abu Bakar bertangisan sementara ‘Umar yang belum tahu bertanya, “Katakanlah kepadaku mengapa kalian menangis, jika itu menyangkut diriku maka aku memiliki alasan untuk ikut menangis. Tapi jika tidak, aku akan tetap menangis bersama kalian.”

“Jika adzab turun dari langit, niscaya tidak ada yang selamat ‘Umar!”, kata Abu Bakar.

Demikianlah. Sampai suatu hari, perbedaan karakter itu menemukan kutubnya yang lain. Saat Abu Bakar akan memerangi orang-orang yang tidak mau membayar zakat, ‘Umar justru bersikap sangat lunak. Benar-benar sebuah kutub lain dari perbedaan karakter. ‘Aisyah pun sampai bercerita, “Aku tak akan melupakan suatu hari bersama Abu Bakar, saat ia tergopoh menuntun untanya dan berkata, “Demi Alloh, aku akan memerangi mereka jika mereka menolak memberikan kepadaku tali kekang unta yang biasa mereka berikan kepada Rosululloh.” ‘Utsman ibn Affan mewakili karakter pemalu, pemurah, dan penuh kelembutan yang menjadi mulia bersama keislamannya. Diriwayatkan bahwa kalau mandi beliau harus berada dalam rumah, dalam sebuah kamar, dalam sebuah bilik tertutup, dan masih harus berselubung kain tebal. Itupun beliau tidak bisa mengangkat kepala dan punggungnya karena malu.

‘Aisyah menceritakan bahwa ketika Rosululloh terbaring dalam keadaan betisnya terbuka, datang Abu Bakar meminta izin masuk berbincang dan beliau tetap dalam keadaan seperti itu. Lalu ‘Umar datang dan beliau juga tetap dalam keadaan seperti itu. Lalu ketika ‘Utsman meminta izin masuk, beliau duduk dan merapikan pakaiannya. Ketika ‘Utsman keluar, ‘Aisyah menanyakan hal itu dan dijawab, “Patutkah aku tidak merasa malu kepada lelaki yang para malaikat pun merasa malu kepadanya?”. (HR. Muslim [2402], dan Ahmad [VI: 62])

Abu Dujanah memang congkak, tapi ia bingkai kecongkakannya dalam jihad menghadapi musuh-musuh Alloh sehingga ia mulia dengan kecongkakannya. Ikat kepala merah, langkah yang angkuh, jalan yang penuh gaya, membuat Rosululloh berkomentar, “Alloh membenci yang seperti ini kecuali dalam peperangan di jalanNya!”. Akhirnya, Abu Dujanah meraih kemuliaan yang ia nantikan, sambutan 70 bidadari surga.

Para sahabat adalah figur-figur menarik yang penuh warna, menggambarkan sosok mereka sebagai manusia biasa, namun ada kemuliaan yang senantiasa terukir dalam ke-biasa-annya itu.

Ada orang-orang besar dengan gelar besar. Tetapi kebesaran itu bermula dari satu prinsip yang dipegang teguh. Satu saja, kecil saja. Tetapi istiqomah. Abu Bakar Ash-Shiddiq. Benar, membenarkan, dan dibenarkan. Mengapa? Karena teguh untuk yakin pada apa yang berasal dari sisi Alloh dan RosulNya. Maka keyakinan itu menjadi sesuatu yang sangat besar, “Andaikan iman seluruh manusia ditimbang pada suatu dacing dan iman Abu Bakar pada dacing yang lain, niscaya iman Abu Bakar lebih berat.” Masya Alloh!

‘Umar Al-Faruq. Ia, sosok yang tak pernah menyembunyikan perasaannya. Jujur pada dirinya, jujur pada Alloh, jujur pada manusia. Blak-blakan, keras, tak kenal takut. “Bukankah kita berada di atas kebenaran? Bukankah mereka berada di atas kebathilan? Bukankah kalau kita mati, kita masuk surga sedang mereka masuk neraka?” Maka bermulalah aksi-aksi besar kaum muslimin dari ‘Umar, ba’dalloh. Da’wah terang-terangan, show of force di Ka’bah, hijrah terang-terangan, dan gemeretaknya gigi orang kafir dan orang munafik. Ia keras. Sangat keras. Tetapi ada saat di mana ialah manusia terlembut; saat memimpin. Maka benarlah kata-kata Ibnu Mas’ud, “Islamnya ‘Umar adalah kemenangan, hijrahnya adalah pertolongan, dan kepemimpinannya adalah rohmat bagi orang beriman.”

‘Utsman Dzun Nuroin, si pemalu berakhlak mulia. Malu tak hanya pada manusia, tetapi lebih dari itu, pada Alloh. Mandinya ‘Utsman tidak dilakukan kecuali dalam rumah yang terkunci rapat, tertutup semua lubangnya, di kamar yang paling terlindung dan terkunci, dalam sebuah bilik rapat di kamar itu, dan dipasang selubung kain yang tinggi. Itupun, ‘Utsman masih tak bisa menegakkan punggung karena rasa malu. Ia selalu malu pada Alloh. Ia malu, jika nikmat-nikmat Alloh tak ia nafkahkan di jalanNya. Maka ribuan unta menyertai perang Tabuk. Ia malu, jika ia kenyang sementara penduduk Madinah ditimpa paceklik. Maka 1000 unta penuh muatan ia bagikan gratis. Ia malu, jika ia minum air sejuk sementara penduduk Madinah meminum air bacin. Maka dibelinyalah sumur Roumah, lalu ia wakafkan. “Tidak akan membahayakan ‘Utsman”, sabda sang Nabi, ‘Apapun yang dia lakukan setelah hari ini.” Dan ‘Utsman semakin merasa malu.

‘Ali yang ceria. Ceria mengajarinya keberanian untuk tidur menggantikan Raosululloh di saat teror pembunuhan mengepung kediaman beliau yang kecil. Ceria mengajarinya berlari-lari menyusur padang pasir sejauh 400 km untuk hijrah seorang diri dalam kejaran musuh. Ceria mengajarinya berolok-olok pada Amir ibn ‘Abdu Wudd, jagoan Quroisy yang menantang perang tanding dalam peristiwa Khondaq. Dan saat tubuh yang besarnya dua kali lipat dirinya itu jatuh terbelah, kaum muslimin pun bertakbir gembira. Dan ia, tetap ceria. Ceria mengajarinya untuk asyik belajar, maka ia menjadi pintu kota ilmu. Ceria –saat sakit mata- membuatnya menjadi pemegang panji penaklukan Khoibar, maka jadilah ia pemegang panji yaang mencintai dan dicintai oleh Alloh dan RosulNya.

Ada Abu ‘Ubaidah kepercayaan ummat ini. Seperti apa orangnya! Rapi jali! Pandai mengadministrasi, cerdas, dan adil. Sangat dipercaya, sampai orang-orang Romawi yang beragama Nashrani merindukannya. Sangat dipercaya, sampai ‘Untar kehabisan akal untuk memintanya keluar dari kota berwabah. Sangat dipercaya, maka begitu sulit mencari penggantinya mengurus Baitul Maal. Ada Az-Zubair hawari Rosululloh. Sebuah potret kesetiaan. Dan Tholhah yang perwira, perisai hidup Rosululloh yang di tubuhnya ada tujuh puluh sayatan pedang, hunjaman tombak, dan tusukan anak panah. Maka jadilah ia, kata Rosululloh, seorang syahid yang masih berjalan di muka bumi.

Ada orang-orang besar dengan gelar besar. Ada Kholid, pedang Alloh yang senantiasa terhunus. Maka sering, dengan kudanya ia membelah barisan musuh sendirian. Ia pedang Alloh, maka tiga belas pedang patah di tangannya pada perang Mu’tah. Ia pedang Alloh, yang memang hanya hafal sedikit ayat. Tetapi seluruh bagian tubuhnya yang penuh luka akan menjadi saksi di hadapan Alloh, meski ia mati di ranjang. Ada Hudzaifah, pemegang rahasia-rahasia Rosululloh. Maka ialah intelijen paling gemilang dalam sejarah, yang duduk di hadapan Abu Sufyan, pemimpin musuh. Maka ketika pada Rosululloh manusia bertanya tentang amal-amal yang harus dilakukan, ia bertanya tentang laku-laku yang harus dijauhi. Ia, manusia yang lisannya takkan bisa dipaksa berbicara, meski oleh ‘Umar shahabatnya. Ia, pemegang rahasia-rahasia.

Ada lagi yang agung dalam gelar kematiannya. Hamzah penghulu syuhada’, Ja’far pemilik dua sayap yang terbang kian kemari di surga, ‘Abdulloh ibn Rowahah yang ranjangnya terbang menghadap Robbnya, Sa’ad ibn Mu’adz yang kenaikan ruhnya membuat ‘Arsyi Alloh berguncang, dan Hanzholah yang dimandikan malaikat.

Ada yang mulia dengan perbuatannya. Usaid ibn Hudhoir yang tilawahnya didengarkan malaikat, Ibnu Mas’ud yang qiro-atnya seperti saat Al-Qur’an diturunkan, ‘Abdurrohman ibn ‘Auf yang diberkahi dalam shodaqoh dan simpanannya, keluarga Abu Tholhah yang membuat Alloh takjub, dan Ukasyah yang ingin bersentuh kulit dunia akhirat dengan Rosululloh.

Mereka, manusia-manusia biasa yang istiqomah dengan potensi kebaikan yang dimilikinya. Kecenderungan-kecenderungan memang berbeda. Dan jadilah itu warna-warna. Ada canda yang mereka lakukan, sampai saling lempar semangka suatu ketika. Tapi periwayat hadits ini berkomentar, “Mereka adalah laki-laki dalam urusan-urusannya!” Ya, mereka tahu kapan saatnya lempar semangka, dan kapan saatnya lempar lembing untuk menegakkan agama Alloh.

Ada sosok-sosok low profile seperti Ahli Surga yang dimata-matai ‘Abdulloh ibn ‘Amr bin ‘Ash. Sedikit yang mengenalnya, bahkan ‘Abdullah tak melihatnya memiliki keistimewaan apapun. Tapi ternyata, ia dibingkai oleh keikhlasan dan kejujuran, “Aku selalu menanggalkan semua perasaan tak enak dan prasangka terhadap sesama mukmin sebelum tidurku.”

Islam memuliakan semua posisi. Kalau tak memungkinkan menjadi karang yang kokoh di dasar lautan, menjadi rumput nan lemah lembut yang tak goyah dipukul ribut pun tetap agung nilainya. Demi Alloh, tidak ada halangan menjadi mulia dengan alasan posisi tak memadai.

“Sesungguhny a Alloh mencintai orang-orang yang tidak menonjolkan diri, taqwa, dan sholih. Apabila tidak hadir, mereka tak dicari-cari. Apabila hadir mereka tak dikenali. Mereka bagaikan lentera-lentera petunjuk yang menerangi setiap kegelapan.” (HR. Al-Mundziri dalam At-Targhib wat Tarhib, hasan)

Bahkan di antara sepuluh orang yang dijamin ke surga, terdapat Sa’id ibn Zaid, sosok low profile yang namanya nyaris tidak muncul dalam siroh selain dalam kisah keislaman ‘Umar dan kisah sengketa tanahnya dengan seorang wanita tua.

Ada lagi kelucuan lugu di balik sosok orator besar Tsabit ibn Qois. Ketika turun Surah Al-Hujurot ayat 7 yang berisi larangan meninggikan dan mengeraskan suara kepada Nabi, ia mengurung dirinya berhari-hari di dalam rumah. Ia pikir ayat itu turun tentang dirinya yang berpembawaan keras melengking tinggi saat berkata-kata. Untung Rosululloh menghiburnya, “Tidak. Katakan padanya, dia tidak termasuk dalam ayat ini, bahkan dia dicintai Alloh dan RosulNya.”

Ada yang tak sengaja menyaksikan seorang wanita Anshor mandi, lalu ia lari ke tengah padang pasir karena takut dan malu akan diturunkan ayat tentang perbuatannya. Ia bertahan berhari-hari dalam penyesalan yang sangat dan tangis yang menyayat, sampai Rosululloh menyuruh menjemputnya dan ia menemui Robbnya dalam taubat di pangkuan Sang Nabi.

Ada yang pernah berbuat dosa, tapi ia jujur! Ma’iz mengakui perzinaannya, meminta rajam untuk dirinya, sampai Rosululloh mengatakan, “Jika taubatnya dibagi untuk seluruh penduduk Madinah, niscaya mencukupi bagi mereka.”

Ka’ab ibn Malik, yang kekuatan argumennya tak terkalahkan justru mengaku jujur bahwa ia tak punya alasan ketika tak ikut ke Tabuk, lalu ia jalani pengucilan lima puluh hari tanpa tegur sapa dari semua orang. Ketika bumi serasa sempit menghimpit, ia kuatkan untuk tidak menerima iming-iming suaka Raja Ghossan. “Inilah mushibah yang sebenarnya!”, ujarnya sambil melempar surat tawaran mewah itu ke tungku menyala.

Ketika penantian menyesakkan itu membuahkan penerimaan taubat, Rosululloh bersabda padanya, “Bergembiralah dengan hari terbaik sejak engkau dilahirkan ibumu!”. Dan hari itu wajah Rosululloh bagai purnama yang dikhususkan bercahaya untuk Ka’ab. Wajah itu sangat ia rindukan setelah 50 hari selalu membuang muka ketika melihatnya.

Alangkah indah hari-hari mereka. Mari kita berdoa, sebagai orang-orang yang datang sesudah mereka...

Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa, “Ya Robb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Robb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hasyr: 10)

Menjadi muslim adalah menjadi kain putih. Lalu Alloh mencelupnya menjadi warna ketegasan, kesejukan, keceriaan, dan cinta, rohmat bagi semesta alam. Aku jadi rindu pada pelangi itu, pelangi memancarkan celupan warna Ilahi, wahai Yang Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.[]


Credit: “Saksikan bahwa Aku Seorang Muslim”; Salim A. Fillah; Pro-U Media

Tidak ada komentar:

Posting Komentar