Kalau harus memperturutkan setiap
keinginan, seluruh usia kita tak akan cukup untuk memenuhinya. Selalu saja ada
yang kita inginkan. Kalau kebahagiaan itu letaknya pada gemerlapnya kekayaan,
seluruh isi lautan tak akan sanggup memenuhi mimpi-mimpi kita, ambisi-ambisi
kita dan angan-angan kita. Ibarat api, nafsu itu membakar sehingga hati kita
menjadi abunya.
Hari-hari ini, tempat-tempat
hiburan malam semakin banyak didirikan untuk menawarkan hidup yang hampa.
Mereka datang untuk mencari penawar hati yang kering, tetapi pulang dengan jiwa
yang lupa, bahkan terhadap dirinya sendiri. Mereka menggoyang-goyangkan kaki
mengikuti irama musik sambil berharap beban jiwanya terlepas.
Jiwa-jiwa yang penat itu, apakah
sebabnya?
Harta, mereka punya. Uang, berlebih
jumlahnya. Begitu berlebih, sampai-sampai menggelisahkan hatinya.
Betapa banyak orang-orang yang
makmur hidupnya, tetapi hari-harinya dipenuhi oleh keluh-kesah yang tak
berkesudahan. Ada perasaan hampa di balik taman-taman indah yang menghiasi
rumah-rumah megah. Ada yang merasa kesepian di tengah ramainya hiruk-pikuk
manusia. Ada kepedihan-kepedihan yang mengusik hati di antara hingar-bingarnya
musik yang menghibur.
Teringatlah saya dengan sabda Nabi
saw, “Bukanlah kekayaan itu dengan banyaknya harta, tetapi kekayaan itu adalah
kaya akan jiwa.” (Muttafaq ‘alaih)
Jiwa yang miskin akan terpenjara
oleh harta sehingga mereka selalu memandangnya dengan penuh rasa was-was. Ia
tak akan pernah mengizinkan satu butir pun rezekinya jatuh menghilang, meskipun
hanya oleh seekor ayam milik tetangga. Ia tak akan pernah membiarkan pengakuan
lepas dari dirinya sehingga jiwanya tak pernah menemukan ketenangan.
Orang-orang yang terpenjara oleh
hartanya, akan sibuk menahan kepingan-kepingan uang dari tangannya. Meski untuk
itu, mereka justru harus kehilangan lebih banyak. Maka, berbahagialah
orang-orang yang merdeka hatinya; orang-orang yang rendah hatinya dan bersih
jiwanya.
‘Ali bin Abi Tholib karromallohu wajhah pernah mengingatkan,
“Berbahagialah orang yang rendah hatinya, halal penghasilannya, bersih jiwanya,
dan mulia akhlaknya. Orang seperti itu akan menafkahkan kelebihan hartanya,
sementara menahan kelebihan ucapannya, menjauhkan kejahatan dirinya dari orang
lain, mengikuti sunnah, dan tidak termasuk ke dalam kelompok pembuat bid’ah.”
Memberi tidak membuat kita
kehilangan. Seperti pupuk, ia menyuburkan tanaman. Kata ‘Ali bin Abi Tholib,
“Mintalah curahan rezeki Alloh dengan banyak bersedekah.”
Kadang keinginan untuk bersedekah
itu sudah ada, tetapi terpatahkan oleh rasa malu karena sedikitnya pemberian.
Tangan kita enggan bergerak karena merasa jumlahnya tak cukup layak untuk kita
berikan. Ingin mengulurkan bantuan, tetapi karena tak sebanding dengan
kebutuhan, kita surut menyampaikan. Padahal, sesedikit apa pun, ia tetap
bernilai lebih banyak daripada tidak memberi sama sekali.
Sesungguhnya kekayaan itu
adakalanya diberikan berlimpah oleh Alloh karena hendak memanjakan kita. Ia
biarkan kita dalam kelalaian, sampai kita tersadar atau tetap lupa. Adakalanya
Alloh limpahkan harta kepada kita sebagai keistimewaan agar dapat dinikmati
orang lain. Nikmat itu akan tetap diberikan kepada kita apabila ada yang kita
sisihkan untuk kebahagiaan orang lain, atau membebaskan mereka dari kesedihan.
Sekali lagi, marilah kita dengar
nasihat ‘Ali bin Abi Tholib, “Alloh swt mengistimewakan sebagian para hamba-Nya
dengan anugerah kekayaan dari-Nya agar dapat dinikmati juga oleh
hamba-hamba-Nya yang lain. Maka Ia pun membiarkan harta itu di tangan mereka
selama mereka mau menggunakannya untuk kepentingan orang banyak. Tetapi, jika
mereka hanya menggenggamnya untuk diri sendiri, niscaya Ia akan mencabutnya
dari mereka dan memindahkannya kepada orang lain.”
Nah. Semoga ada yang dapat kita
renungkan.
Credit: “Mencari Ketenangan di
Tengah Kesibukan”; Mohammad Fauzil Adhim; Pro-U Media
Tidak ada komentar:
Posting Komentar