Jumat, 01 Mei 2015

Yang Tersisa

ADALAH Victor E. Frankl, pencetus madzhab ketiga Psikoterapi Wina itu memiliki gagasan menarik. Dalam Man’s Search for Meaning ia berkata, “Saya menyarankan agar patung Liberty yang telah ada di pantai timur Amerika diimbangi dengan pembangunan patung Responsibility di pantai Barat Amerika.” Ya, adakah entry untuk kata tanggungjawab dalam kamus peradaban Jahiliah?

“Apakah bila kita telah mati dan kita menjadi tanah dan tulang belulang, apakah sesungguhnya kita benar-benar akan dibangkitkan untuk diberi pembalasan?” (QS. Ash-Shoffat: 53)

Tanyakan saja pada sejarah. Ketika pasukan Soviet yang komunis akan berangkat berperang pada PD II, sebagian di antara mereka melakukan desersi. Alasannya sangat realistis, “Tidak ada bedanya apakah kami mati sebagai patriot pembela negara atau sebagai pecundang yang bersembunyi di kolong ranjang. Karena kami tak punya Tuhan yang akan membalas perbuatan baik kami di kehidupan selanjutnya!”

Kekosongan ruh dan jiwa dari petunjuk, membuat mereka bingung mencari pelarian di saat masalah datang. Khomr dengan segala derivatnya menjadi alternatif yang membuat pebisnis tempat hiburan sukses besar. Dari khomr yang memenuhi kerongkongan, termuntahkanlah judi, bibit kerusakan ekonomi; dan zina, kerusakan rumahtangga yang menjadi benih keruntuhan peradaban.

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khomr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaithon. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Al-Maidah: 90)

Khomr adalah pembuka pintu kerusakan akhlak. Orang yang mabuk bisa melakukan apa pun yang dikehendaki syaithon dan nafsunya. Judi adalah perusak sendi pertama kemuliaan: kejujuran. Berbagai penyimpangan ekonomi yang meresahkan akan segera muncul dari sini. Kecurangan menimbang, kecurangan menakar, pemalsuan uang, dan berbagai bentuk penggelapan hingga munculnya sistem ekonomi ribawi. Dan tentu saja, penjajah jahiliah yang ‘cerdas’ menggunakan khomr, judi, dan riba sebagai kekang kendali bagi jajahannya. Hal yang lazim klta lihat dalam sejarah kolonialisme Barat.

Di manakah tanggungjawab akhlak pada sebuah peradaban jahili? “Perkawinan di masa jahiliah,” kata ‘Aisyah, “Ada empat kategori. Yang pertama sebagaimana yang kita kenal sebagai pernikahan di zaman ini. Yang kedua, seorang suami menyuruh istrinya berzina dengan seorang tokoh agar mendapat keturunan yang hebat dan nanti diaku sebagai anaknya. Yang ketiga, sekelompok lelaki menzinai seorang wanita. Ketika si wanita hamil, didatangkan seorang dukun untuk mengundi. Siapa yang kena undian harus bertanggungjawab atas biaya ibu dan anaknya nanti. Yang keempat, seorang wanita memang menyediakan diri untuk dizinai siapa pun. Kalau dia hamil, dia akan menunjuk siapa pun yang dia kehendaki sebagai ayah si anak, dan lelaki itu tak bisa menolak.”

Kemajuan peradaban juga bukan penghalang bagi jahiliah untuk menancapkan kukunya. Saking majunya peradaban kaum Luth, mereka punya banyak waktu untuk berhias dan berdandan mematut diri. Maka jadilah para lelaki mengagumi ketampanan dan para wanita mengagumi kecantikan. Siapa sangka, hal ini berujung pada penyimpangan seks yang mengancam kelangsungan eksistensi manusia.

Dan (ingatlah kisah) Luth, ketika dia berkata kepada kaumnya, “Mengapa kamu mengerjakan perbuatan fahisyah itu sedang kamu memperlihatkan(nya)? “Mengapa kamu mendatangi laki-laki untuk (memenuhi) nafsu(mu), bukan (mendatangi) wanita? Sebenarnya kamu adalah kaum yang tidak mengetahui (akibat perbuatanmu).” Maka tidak lain jawaban kaumnya melainkan mengatakan, “Usirlah Luth beserta keluarganya dari negerimu; karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang (mendakwakan dirinya) bersih.” (QS. An-Naml: 54-56)

Dan ujungnya, tercapailah misi jahiliah: penolakan tehadap kebenaran sekaligus pengusiran para pembawa kebenaran itu. Bahkan yang yang tidak terlibat dalam kekejian akan mereka sebut sok suci dan sok bersih!

Jahiliah merusak segala peradaban. Dari aspek yang sifatnya paling pribadi hingga kenegaraan. Kekuasaan begitu menyeramkan bagi penguasa maupun jelata. Sekejap pun tak bisa sang penguasa mengatupkan kelopaknya. Selimut khawatir –bahwa ia akan digulingkan- tak pernah memberi kehangatan, sebagaimana rakyat tak bisa tidur nyenyak memikirkan kezholiman apalagi yang esok pagi akan diperbuat rajanya.

Para penguasa memperjualbelikan nyawa rakyatnya dengan harga murah. Fir’aun memberi contoh dengan menginstruksikan pembunuhan anak lelaki dari bangsa jajahannya. Romawi yang begitu agung dalam nostalgi orang-orang Eropa adalah peradaban paling barbar yang gemar menyaksikan gladiator menemui ajal bersama keganasan singa. Seagung apa pun karya mereka diakui sejarah, balutan jahiliah telah membusukkan luka di wajah peradaban manusia. Mungkin mereka kaya raya. Tapi rasa takut dan gelisah, bahkan lapang tak henti menyambangi.

Semakin jauh kelana ke belakang, semakin nyata sebuah pelajaran. Mesir tua harus berperang, berebut memberi persembahan kepada sungai penuh lumpur di wilayahnya. Romawi kehabisan energi untuk membela salib hina yang konon dulu dipakai menggantung tuhannya. Dan Persia sibuk membela api busuk yang pernah membakar kerajaannva. Jahiliah telah banyak merusak peradaban manusia. Satu karya peradaban harus dihapus karena serbuan kaum baru yang akan memulai peradabannya. Semua kehancuran bermuasal dari satu hal jahiliah.

Alangkah banyaknya taman dan mata air yang mereka tinggalkan; dan kebun-kebun serta tempat-tempat yang indah-indah; dan kesenangan-kesenangan yang mereka menikmatinya. Demikianlah, dan Kami wariskan semua itu kepada kaum yang lain, maka langit dan bumi tidak menangisi mereka dan merekapun tidak diberi tangguh. (QS. Ad-Dukhoon: 25-29)


Credit: “Saksikan bahwa Aku Seorang Muslim”; Salim A. Fillah; Pro-U Media

Tidak ada komentar:

Posting Komentar