ADALAH Victor E. Frankl, pencetus madzhab ketiga
Psikoterapi Wina itu memiliki gagasan menarik. Dalam Man’s Search for Meaning ia berkata, “Saya menyarankan agar patung
Liberty yang telah ada di pantai timur Amerika diimbangi dengan pembangunan patung
Responsibility di pantai Barat Amerika.”
Ya, adakah entry untuk kata tanggungjawab
dalam kamus peradaban Jahiliah?
“Apakah bila kita telah mati dan kita menjadi tanah dan
tulang belulang, apakah sesungguhnya kita benar-benar akan dibangkitkan untuk diberi
pembalasan?”
(QS. Ash-Shoffat: 53)
Tanyakan saja pada
sejarah. Ketika pasukan Soviet yang komunis akan berangkat berperang pada PD
II, sebagian di antara mereka melakukan desersi. Alasannya sangat realistis, “Tidak
ada bedanya apakah kami mati sebagai patriot pembela negara atau sebagai pecundang
yang bersembunyi di kolong ranjang. Karena kami tak punya Tuhan yang akan membalas
perbuatan baik kami di kehidupan selanjutnya!”
Kekosongan ruh dan
jiwa dari petunjuk, membuat mereka bingung mencari pelarian di saat masalah datang.
Khomr dengan segala derivatnya menjadi
alternatif yang membuat pebisnis tempat hiburan sukses besar. Dari khomr yang memenuhi
kerongkongan, termuntahkanlah judi, bibit kerusakan ekonomi; dan zina,
kerusakan rumahtangga yang menjadi benih keruntuhan peradaban.
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum)
khomr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah
termasuk perbuatan syaithon. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu
mendapat keberuntungan.” (QS. Al-Maidah: 90)
Khomr adalah pembuka
pintu kerusakan akhlak. Orang yang mabuk bisa melakukan apa pun yang
dikehendaki syaithon dan nafsunya. Judi adalah perusak sendi pertama kemuliaan:
kejujuran. Berbagai penyimpangan ekonomi yang meresahkan akan segera muncul
dari sini. Kecurangan menimbang, kecurangan menakar, pemalsuan uang, dan berbagai
bentuk penggelapan hingga munculnya sistem ekonomi ribawi. Dan tentu saja,
penjajah jahiliah yang ‘cerdas’ menggunakan khomr, judi, dan riba sebagai kekang
kendali bagi jajahannya. Hal yang lazim klta lihat dalam sejarah kolonialisme Barat.
Di manakah tanggungjawab
akhlak pada sebuah peradaban jahili? “Perkawinan di masa jahiliah,” kata ‘Aisyah,
“Ada empat kategori. Yang pertama sebagaimana yang kita kenal sebagai pernikahan
di zaman ini. Yang kedua, seorang suami menyuruh istrinya berzina dengan
seorang tokoh agar mendapat keturunan yang hebat dan nanti diaku sebagai anaknya.
Yang ketiga, sekelompok lelaki menzinai seorang wanita. Ketika si wanita hamil,
didatangkan seorang dukun untuk mengundi. Siapa yang kena undian harus
bertanggungjawab atas biaya ibu dan anaknya nanti. Yang keempat, seorang wanita
memang menyediakan diri untuk dizinai siapa pun. Kalau dia hamil, dia akan menunjuk
siapa pun yang dia kehendaki sebagai ayah si anak, dan lelaki itu tak bisa menolak.”
Kemajuan peradaban
juga bukan penghalang bagi jahiliah untuk menancapkan kukunya. Saking majunya
peradaban kaum Luth, mereka punya banyak waktu untuk berhias dan berdandan mematut
diri. Maka jadilah para lelaki mengagumi ketampanan dan para wanita mengagumi kecantikan.
Siapa sangka, hal ini berujung pada penyimpangan seks yang mengancam
kelangsungan eksistensi manusia.
Dan (ingatlah kisah) Luth, ketika dia berkata kepada
kaumnya, “Mengapa kamu mengerjakan perbuatan fahisyah itu sedang kamu
memperlihatkan(nya)? “Mengapa kamu mendatangi laki-laki untuk (memenuhi)
nafsu(mu), bukan (mendatangi) wanita? Sebenarnya kamu adalah kaum yang tidak mengetahui
(akibat perbuatanmu).” Maka tidak lain jawaban kaumnya melainkan mengatakan, “Usirlah
Luth beserta keluarganya dari negerimu; karena sesungguhnya mereka itu orang-orang
yang (mendakwakan dirinya) bersih.” (QS. An-Naml: 54-56)
Dan ujungnya, tercapailah
misi jahiliah: penolakan tehadap kebenaran sekaligus pengusiran para pembawa kebenaran
itu. Bahkan yang yang tidak terlibat dalam kekejian akan mereka sebut sok suci dan
sok bersih!
Jahiliah merusak segala
peradaban. Dari aspek yang sifatnya paling pribadi hingga kenegaraan. Kekuasaan
begitu menyeramkan bagi penguasa maupun jelata. Sekejap pun tak bisa sang penguasa
mengatupkan kelopaknya. Selimut khawatir –bahwa ia akan digulingkan- tak pernah
memberi kehangatan, sebagaimana rakyat tak bisa tidur nyenyak memikirkan kezholiman
apalagi yang esok pagi akan diperbuat rajanya.
Para penguasa memperjualbelikan
nyawa rakyatnya dengan harga murah. Fir’aun memberi contoh dengan menginstruksikan
pembunuhan anak lelaki dari bangsa jajahannya. Romawi yang begitu agung dalam nostalgi
orang-orang Eropa adalah peradaban paling barbar yang gemar menyaksikan gladiator
menemui ajal bersama keganasan singa. Seagung apa pun karya mereka diakui
sejarah, balutan jahiliah telah membusukkan luka di wajah peradaban manusia. Mungkin
mereka kaya raya. Tapi rasa takut dan gelisah, bahkan lapang tak henti menyambangi.
Semakin jauh kelana
ke belakang, semakin nyata sebuah pelajaran. Mesir tua harus berperang, berebut
memberi persembahan kepada sungai penuh lumpur di wilayahnya. Romawi kehabisan energi
untuk membela salib hina yang konon dulu dipakai menggantung tuhannya. Dan Persia
sibuk membela api busuk yang pernah membakar kerajaannva. Jahiliah telah banyak
merusak peradaban manusia. Satu karya peradaban harus dihapus karena serbuan kaum
baru yang akan memulai peradabannya. Semua kehancuran bermuasal dari satu hal
jahiliah.
Alangkah banyaknya taman dan mata air yang mereka
tinggalkan; dan kebun-kebun serta tempat-tempat yang indah-indah; dan
kesenangan-kesenangan yang mereka menikmatinya. Demikianlah, dan Kami wariskan
semua itu kepada kaum yang lain, maka langit dan bumi tidak menangisi mereka
dan merekapun tidak diberi tangguh. (QS. Ad-Dukhoon: 25-29)
Credit: “Saksikan bahwa Aku Seorang
Muslim”; Salim A. Fillah; Pro-U Media
Tidak ada komentar:
Posting Komentar