KISAH bermula dari
balik tembok Kota Gede yang kukuh dengan pasar gedenya yang ramai riuh. Adalah
Raja Mataram kedua, Panembahan Prabu Hanyakrawati (1601-1613) telah terikat
janji pada Ratu Tulungayu, bahwa anak kesayangan mereka yang berjuluk Adipati
Martapura, kelak akan dinobatkan sebagai penerusnya. Tapi sayang, pangeran muda
itu mengalami gangguan syaraf yang berakibat keterbelakangan mental.
Janji seorang
raja, demikian bagi sang penguasa yang bernama kecil Mas Jolang, putra
Panembahan Senapati (1587-1601), tetaplah ikrar suci yang tan kena wola-wali.
Di sisi lain, para kawula Mataram tidak boleh dikorbankan haknya untuk memiliki
pemimpin yang cakap hanya demi sebuah janji.
Maka sebakda
Ayahandanya wafat saat berburu di hutan Krapyak pada suatu hari di tahun 1613,
Adipati Martapura tetap ditahbiskan sebagai raja ketiga Kedhaton Mataram di
Kotagede. Tapi raja tunagrahita ini memangku jabatannya hanya selama satu hari
saja.
***
Pada hari
berikutnya, dia diturunkan secara hormat dari singgasana batu Dhampar Sela
Gilang. Kemudian kakaknya beda ibu, Mas Rangsang alias Raden Mas Jatmika
dilantik sebagai raja Mataram dengan gelar Panembahan Agung Hanyakrakusuma.
Masa pemerintahan
raja yang lahir pada 1593 dari rahim Ratu Dyah Banawati binti Pangeran Benawa
Pajang ini akan dikenang sebagai masa kebesaran Mataram, dihiasi pula oleh
keberanian pasukannya yang dua kali menyerang VOC di Batavia di tahun 1628-1629
hingga menewaskan Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen (1619-1623,
1627-1629). Pun raja ini pula yang mengubah hubungan hierarkis antara para
‘ulama dan para raja di Tanah Jawa.
Sebelumnya, pada
masa Kesultanan Demak dan Pajang, majelis permusyawaratan para Wali adalah
syuraa tertinggi yang keputusannya mengikat para Sultan sebagai semata
pelaksana. Para Sultan pun tunduk dengan ta’zhim kepada dewan para ‘alim lagi
faqih yang menjadi ahlul halli wal ‘aqdi negara mereka.
Adapun Raden Mas
Jatmika tumbuh di bawah asuhan para ‘ulama dengan kecerdasan dan pemahaman yang
diakui melampaui rata-rata kaum santri di zamannya. Maka ketika dia naik takhta
sebagai Panembahan Agung Hanyakrakusuma, para ‘ulama kemudian didudukkan
sebagai para penghulu Keratonnya, yang hanya dapat memberi nasehat, bukan
keputusan mengikat. Apalagi dia mengambil gelar seperti kakeknya, Sayidin Panatagama,
yang amat jelas dimaksudkan untuk iqamatuddin dalam pemerintahannya. Dan bagi
para ‘ulama di zamannya, Panembahan Agung Hanyakrakusuma dengan kapasitas
keilmuan dan kesantriannya jauh lebih kompeten untuk itu daripada para
pendahulunya.
Panembahan Agung
Hanyakrakusuma tahu, dinasti Mataram adalah trah keturunan petani. Bahkan
jikapun diakui nasab buyutnya Ki Ageng Pemanahan sampai ke Ki Ageng Sela dan
sampai ke Bondan Kejawan putra Prabu Brawijaya V di Majapahit; asal-usul
sebagai wangsa petani baginya justru menguatkan hubungan dengan rakyat yang
seasal selatar-belakang dengan dirinya.
Hanya saja, untuk
menjadi pemimpin agama Islam tertinggi di Jawa yang sepadan dengan kekuasaannya
kini, raja yang sesudah menaklukkan Madura dan Sukadana di Kalimantan serta
merengkuh Palembang dan Jambi ke dalam kekuasaannya di tahun 1624 memakai gelar
Susuhunan Agung Hanyakrakusuma ini merasa masih ada yang mengganjal.
***
Sebagai raja besar
dari trah keturunan petani, dia justru dikelilingi oleh para penguasa yang di
dalam nadi mereka mengalir darah Kanjeng Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam,
hingga kaum muslimin pada umumnya lebih mengunjukkan hormat pada mereka.
Di Gresik, yang
meski tunduk pada Mataram tapi tetap memiliki kedudukan istimewa bagi
masyarakat Islam Pasisiran bahkan hingga Ternate dan Tidore, bertakhta Sunan
Kawis Guwa dan dilanjutkan Panembahan Giri yang merupakan keturunan Mufti Demak
di masanya, Sunan Giri ibn Maulana Ishaq. Sebelumnya, hingga masa Sunan Prapen
(1548-1605), selain sebagai pusat ilmu agama Islam, bahkan para penguasa muslim
di Jawa dianggap tak sempurna keabsahannya jika belum dilantik oleh pemimpin
Giri Kedhaton.
Di Surabaya,
Pangeran Pekik yang telah dinikahkan dengan adik Susuhunan Agung
Hanyakrakusuma, Ratu Pandansari, adalah keturunan Maulana Rahmatullah Sunan
Ampel, pemimpin Dewan Para Wali di zaman Demak. Di masa ayahanda Pekik,
Pangeran Jayalengkara, perlu 5 tahun peperangan bagi Sang Susuhunan Mataram
untuk memaksa Surabaya agar mau takluk.
Di Cirebon hingga
Priangan, Galuh, Sumedang, dan Ukur yang juga tunduk pada Mataram dan bahkan
rajanya, Panembahan Ratu I (1570-1649) menjadi mertua bagi sang Susuhunan
Agung, tetap kukuh pula pengaruh para keturunan Syarif Hidayatullah Sunan
Gunung Jati.
Dan; ini yang
paling mengganjal; Abul Mafakhir Mahmud ‘Abdul Qadir (1596-1651) yang
sebagaimana Susuhunan Agung Hanyakrakusuma juga seorang santri ‘alim lagi
faqih. Dia bertakhta di Banten didampingi pamannya, Mangkubumi Arya
Ranamanggala, dan dengan penuh maruah tetap tak sudi tunduk pada supremasi
Mataram. Dengan gelar “Sultan” yang dengan penuh kebanggaan disandangnya sejak
1638, putra Maulana Muhammad ibn Maulana Yusuf ibn Maulana Hasanuddin ibn
Syarif Hidayatullah ini sering membuat sang Raja Mataram merasa jengkel.
Kalau Aceh sejak
masa Sultan Alauddin Riayat Syah (1537-1571) telah mengirim Husain Affandi pada
Sultan Sulaiman Al Qanuni (1520-1566) dan Kerajaan Demak-pun telah membangun
aliansi strategis dengan Daulah ‘Aliyah ‘Utsmaniyah di Turki menghadapi
Portugis yang diback-up oleh Daulah Shafawiyah di Iran; Susuhunan Agung
Hanyakrakusuma memandang perlu melakukan langkah yang lebih jauh untuk
mengokohkan kerajaannya sebagai wakil sah kuasa dunia Islam di Nusantara.
Setelah beberapa
kali berkirim utusan memantapkan persekutuannya dengan I Mangari Daeng
Manrabbia Sultan ‘Alauddin (1593-1639) di Gowa-Tallo dilanjutkan penggantinya I
Mannuntungi Daeng Mattola Sultan Malikussaid (1639-1653) dan Pa’bicara
Butta-nya yang cendikia, Karaeng Pattingalloang (1639-1654); Susuhunan Agung
Hanyakrakusuma segera mengirim utusan ke pusat kuasa dunia Islam di masa itu;
Turki ‘Utsmani. Kapal utusan Mataram itu berlayar dari Jepara hingga Aceh
dengan perhentian di Palembang. Dari sana, atas izin Sultan Iskandar Tsani
(1636-1641) yang gembira menerima hadiah persahabatan Susuhunan Agung, dengan
kapal Angkatan Laut Aceh yang lebih tangguh berangkatlah duta Mataram itu
bersama perutusan persahabatan Aceh Darussalam ke Turki.
Menurut satu versi,
utusan itu berhasil menghadap Malikul Barrain wa Khaqanul Bahrain
wa Khadimul Haramain, Qaishar Ar Rumi, Khalifatullah wa Zhilluhu fil Ardhi Al
Ghazi Sultan Murad IV
(1623-1640) di tahun-tahun terakhir pemerintahannya. Versi lain menyebutkan,
Murad IV diwakili oleh Syarif Makkah, Zaid ibn Muhsin Al Hasyimi (1631-1666)
yang menerima sang utusan di kota suci tersebut.
Bai’at Mataram
sebagai kuasa bawahan sekaligus wakil resmi Daulah ‘Utsmaniyah di Nusantara
diterima. Maka bagi Susuhunan Agung Hanyakrakusuma dihadiahkanlah gelar “Sultan
‘Abdullah Muhammad Maulana Jawi Matarami”, disertai tarbusy untuk mahkotanya,
bendera, pataka, dan sebuah guci yang berisi air zam-zam. Utusan itu kembali ke
Mataram dan tiba kembali di Kedhaton Karta di Plered pada tahun 1641.
***
Model arbusy itu
kelak akan dikenakan terus oleh para keturunan Sultan Agung, demikian kemudian
dia termasyhur, dalam penobatan raja-raja Dinasti Mataram. Sepasang benderanya
yang berupa sejahit bagian Kiswah Ka’bah dan sejahit bagian satir makam
Rasulullah menjadi Kyai Tunggul Wulung dan Kyai Pare Anom. Sementara guci itu
hingga kini berada di makamnya dengan nama Enceh Kyai Mendung dari Sultan Rum.
Kuatnya orientasi
ke Turki di masa itu bahkan ditandai dengan digantinya bendera Gula Klapa yang
telah ada sejak masa Majapahit, Demak, dan Pajang dengan bendera berwarna dasar
merah dengan tepi obar-abir putih, yang di tengahnya bergambar bulan sabit
putih sebagaimana bendera ‘Utsmani, hanya ditambahkan keris bersilang sebagai
penanda Nusantara.
Gelar “Raja dua
benua, Khan Agung dua samudera, Pelayan dua tanah suci (Makkah-Madinah), dan
Kaisar Rum”; yang tersemat pada nama Sultan-sultan ‘Utsmani secara lengkap
sejak Salim I (1512-1520) di tahun 1517 mengambil alih semua atribut
kekhalifahan dari Al Mutawakkil III Al ‘Abbasi (1508-1517) di Kairo yang jadi
simbol legitimasi para Sultan Daulah Mamlukiyah ini agaknya nanti membuat para
penulis sejarah hanya akan menyebut pemberi gelar “Sultan” pada Susuhunan Agung
Hanyakrakusuma sebagai “Pemimpin Ka’bah di Makkah”, atau “Sultan Ngerum.”
Sejak tahun 1641
itu, dengan gelar barunya, Sultan Abdullah Muhammad Maulana Matarami Susuhunan
Agung Adi Prabu Hanyakrakusuma Senapati Ingalaga Sayidin Panatagama
Khalifatullah memantapkan dirinya sebagai pemimpin tertinggi agama Islam di
Jawa. Meski secara sosial-budaya pengaruh yang ditebarnya mewarnai ujung timur
hingga ujung barat Pulau Jawa bahkan Palembang, Jambi, Tanjungpura, Sukadana,
dan Banjar; cita-citanya untuk memasukkan Batavia dan Banten ke dalam genggaman
iqamatuddin-nya
pupus oleh wafatnya di tahun 1645 tanpa meninggalkan penerus yang punya
kapasitas memadai. Seperti digambarkan dalam peribahasa Jawa; tunggak jarak mrajak, tunggak jati mati. Bahkan dapat dikatakan,
putranya yang nanti juga tak lagi menggunakan gelar Sultan; Susuhunan
Amangkurat I; sangat mengecewakan.
Sebenarnya,
persiapan Sultan Agung untuk memerangi VOC kian amat serius. Menyadari bahwa
kelemahan utama serangannya di tahun 1628-1629 adalah kekuatan maritim, tepat
di belakang Kedhaton Kartanya di Plered telah dibendung Kali Opak dan Kali Oya
menjadi laut buatan yang dikenal sebagai Segara Yasa. Prajurit-prajuritnya yang
senyatanya orang-orang pedalaman diajari berperang di perairan.
Tapi gara-gara
perlakuan amat buruk Susuhunan Amangkurat I kepada kaum ‘ulama dan santri yang
menimbulkan kekacauan, putusnya hubungan dengan Gowa-Tallo, dan pemberontakan
Trunojoyo; untuk 100 tahun ke hadapan setelah wafatnya Sultan Agung, kuasa
raksasa Mataram menjadi seperti harimau ompong di hadapan VOC. Bahkan pula
kerajaan ini kehilangan banyak kepemilikan dan wilayah tiap kali VOC memberi
bantuan lalu memeras raja-rajanya yang lemah di hadapan pemberontakan dan
pertikaian perebutan takhta dalam keluarga. Ibukota terpaksa dipindah beberapa
kali. Priangan lepas, demikian pula Blambangan dan Madura, hingga akhirnya
bahkan pesisir utara Jawa pun disewa-paksa oleh VOC.
***
Pada tahun 1746,
mulailah berkobar perang besar yang paling membangkrutkan VOC dalam sejarahnya
di Nusantara. Putra Susuhunan Amangkurat IV (1719-1726) dengan Mas Ayu
Tejawati, Bendara Raden Mas Sujana yang masyhur sebagai Pangeran Mangkubumi,
bergabung dengan keponakan sekaligus menantunya Raden Mas Said menggerakkan
rakyat melawan VOC yang kian mencengkeram takhta kakandanya, Susuhunan
Pakubuwana II (1726-1749).
Ketika Susuhunan
Pakubuwana II yang sakit-sakitan berada di ranjang kematiannya, dia memilih
menitipkan keselamatan kerajaannya kepada VOC yang diwakili Gubernurnya untuk
Java Noord Kust, Baron von Hogendorff. Tak lama kemudian, raja ini wafat dan
dimakamkan di Laweyan. Atas desakan Raden Mas Said, di desa Kabanaran, Pangeran
Mangkubumi dinobatkan sebagai Susuhunan ing Mataram Senapati Ingalaga
Abdurrahman Sayidin Panatagama Ingkang Tuhu Narendra Mandireng Amengku Tlatah
ing Nuswa Jawa. Gelar yang menyiratkan kedaulatan penuh dalam politik dan agama
di Jawa ini bergema menggentarkan.
Pada tahun
tersebut prajuritnya mencapai 20.000 orang dan bahkan terus bertambah dengan
bergabungnya pasukan dari pulau-pulau lain yang semula membantu VOC. Kapitan
Juwana yang mengomandani legiun pasukan Bugis dan Ternate, juga Daeng Muhammad
dari Makassar dan para keturunan Karaeng Galesong misalnya; kelak menjadi 2
dari 12 kesatuan inti resmi pasukan kerajaannya dengan nama Bugisan dan
Daengan. Lebih dari dua pertiga di antara para bupati nayaka Mataram di bawah
pimpinan Tumenggung Yudanagara dari Banyumas dan Tumenggung Rangga
Prawirasentika dari Madiun jelas berpihak pada Pangeran Mangkubumi.
Selain itu, dengan
latar belakang sebagai santri yang ‘alim lagi faqih, beristrikan seorang
mujahidah setia putri Kyai Ageng Derpayuda trah Ampel yang juga cucu Sultan
Bima di Sumbawa bernama Niken Lara Yuwati, maka dukungan para ‘ulama dan
barisan santri juga mengalir padanya. Sang permaisuri yang tak putus
mendampinginya bergerilya ini, bahkan menjadi komandan pasukan prajurit putri,
kelak dikenal sebagai Ratu Ageng Tegalrejo yang kelak mendidik dan
mempersiapkan Pangeran Diponegoro untuk berjuang mengobarkan jihad melawan
Kolonialisme Belanda dalam perang yang lebih sengit daripada torehan kakek
buyutnya.
Pada tahun 1750 dalam pengepungan benteng Ungaran, Gubernur
Jenderal VOC Gustaf Willem Baron van Imhoff (1743-1750) terluka parah, dan pada
pertempuran Jenar-Bogowonto tak berapa lama kemudian, komandan pasukan
VOC, Kolonel De Clerk terbunuh. Pada pertempuran di Pekalongan tahun 1752,
pasukan gabungan VOC dihancurkan dan banyak yang tertawan.
Perang dahsyat selama hampir 10 tahun itu berujung pada
Palihan Nagari, perjanjian pembagian negara yang ditandatangani di desa Giyanti
pada tahun 1755. Ingkang Sinuhun Kangjeng Sunan Sri Susuhunan Pakubuwana III
(1749-1788) di Surakarta harus berbagi kerajaan dengan pamannya, yang kemudian
bertakhta di Yogyakarta dengan gelar Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang
Sinuhun Kangjeng Sultan Hamengkubuwana Senapati Ingalaga Abdurrahman Sayidin
Panatagama Khalifatullah Ingkang Jumeneng Kaping I (1755-1792).
Babad Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunagara I
(1757-1795) menyinggung salah satu siasat VOC dalam mengakhiri perang ini.
Menyadari betapa miripnya Pangeran Mangkubumi dengan Sultan Agung dalam
orientasi ke Turki, dikirimlah seorang Arab bernama Syarif Akbar Syaikh Ibrahim
yang disebut sebagai utusan Sultan Ngerum untuk membujuknya berdamai dengan
imbalan gelar resmi sebagai Sultan Mataram yang diakui oleh Daulah ‘Aliyah
‘Utsmaniyah. Maka dengan syarat bahwa seluruh pusaka Mataram warisan Sultan
Agung menjadi haknya, Pangeran Mangkubumi menyetujui perdamaian.
Semula, mengingat basis pendukungnya berada di timur, VOC
yang diwakili Nicolaas Hartingh membujuk agar dia berkenan ditakhtakan di
Japan, daerah Mojokerto kini. Tapi Susuhunan Kabanaran telah memilih Umbul
Pacethokan dan Alas Paberingan di jantung tanah Mataram untuk menjadi lokasi
keratonnya. Maka dalam palihan nagari, selain Kuthanagara dan Nagaragungnya,
Surakarta yang lebih ke timur justru wilayahnya banyak terdapat di Mancanagara
Barat (hingga Banyumas) sementara Yogyakarta yang lebih ke barat berdaulat di
banyak wilayah Mancanagara Timur (hingga Ngantang, Malang).
***
Maka sang Sultan yang terhadap Buwana (bumi lahir dan batin)
dituntut untuk Hamangku (berkhidmat melayani), Hamengku (melindungi dengan
kasih sayang sekaligus keadilan), serta Hamengkoni (siap bertanggungjawab atas
amanah di pundaknya) ini, kerajaannya mewarisi segenap atribut sekaligus nilai
yang diterima Sultan Agung dari Daulah ‘Aliyah ‘Utsmaniyah kemudian
diterjemahkan dalam dakwah kepada bahasa kaumnya.
Dengan memilih nama ‘Abdurrahman, bukan lagi ‘Abdullah
seperti yang dianugrahkan pada Sultan Agung, Sultan Hamengkubuwana I hendak
menegaskan Astabrata-nya sendiri. Delapan sifat raja yang diteladani dari unsur
semesta (kartika/bintang, chandra/bulan, agni/api, bayu/angin, tirta/air, surya/mentari,
samudra/lautan, bantala/tanah) dan dewa-dewa Hindu (Indra, Yama, Surya,
Chandra, Kuwera, Bayu, Baruna, Brama) diubah dan dimaknai kembali menjadi 8
sifat ‘Ibadurrahman seperti yang tertera dalam Surat Al
Furqan.
1.
KARTIKA. Tawadhu’ dan bijaksana.
Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha
Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati
dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata
(yang mengandung) keselamatan. (QS Al Furqan: 63)
2.
CHANDRA. Gemar menghidupkan malam.
Dan orang yang melalui malam hari
dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka. (QS Al Furqan: 64)
3.
AGNI. Berlindung dari adzab neraka.
Dan orang-orang yang berkata: “Ya
Tuhan kami, jauhkan azab jahannam dari kami, sesungguhnya azabnya itu adalah
kebinasaan yang kekal”. (QS Al Furqan: 65)
4.
TIRTA. Pertengahan dalam
membelanjakan harta.
Dan orang-orang yang apabila
membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan
adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian. (QS Al
Furqan: 67)
5.
BAYU. Tidak berbuat syirik,
membunuh, dan berzina.
Dan orang-orang yang tidak menyembah
tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah
(membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina. (QS
Al Furqan: 68)
6.
SURYA. Berpaling dari perkara haram
atau sia-sia dan menjaga kehormatan diri.
Dan orang-orang yang tidak
menghadiri az Zuur (hal-hal yang haram), dan apabila mereka bertemu dengan
(orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka
lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya. (QS Al Furqan: 72)
7.
SAMUDRA. Mudah menerima nasehat dan
peringatan.
Dan orang-orang yang apabila diberi
peringatan dengan ayat-ayat Tuhan mereka, mereka tidaklah menghadapinya sebagai
orang-orang yang tuli dan buta. (QS Al Furqan: 73)
8.
BANTALA. Meminta diberi istri dan
keturunan yang baik serta menjadi Imamul Muttaqin.
Dan orang orang yang berkata: “Ya
Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami
sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang
bertakwa. (QS Al Furqan: 74)
Kehebatannya sebagai Senapati Ingalaga di medan perang
selama berjuang telah termasyhur di kalangan rakyat. Bahkan Keratonnya pun dia
bangun dengan tembok baluwarti, jagang (parit keliling), Tamansari, dan Pulo
Cemethi yang sangat matang rencana pertahanannya. Sebagai Sayidin Panatagama
dibangunnya Masjid Gede, Masjid Pathok Negara, dan Masjid Kagungan Dalem yang
disusun letaknya sedemikian rupa berlapis-lapis di wilayah Kuthanagara untuk
menjadi pusat pembinaan, pemberdayaan, dan mobilisasi perjuangan. Abdi Dalem
Suranata yang menjadi penasehatnya terdiri atas 12 Haji yang disebut Kaji
Selusin, sesuai jumlah Naqib Nabi Musa dan Hawari Nabi ‘Isa. Kesederhanaan sang
Sultan ‘Abdurrahman tercermin dari gambaran tentang dirinya yang lebih sering
tampil mengenakan Baju Taqwa, sesuai cita untuk menjadi Imamul Muttaqin.
“Hai anak Adam, Kami telah menurunkan pada kalian pakaian
untuk menutup ‘aurat kalian dan pakaian yang indah sebagai perhiasan. Dan
pakaian taqwa, itulah yang terbaik..” (QS Al A’raaf: 26)
Apakah Baju Taqwa itu? Alkisah Sayyid Ja’far Ash Shadiq,
sang Sunan Kudus menegur Sunan Kalijaga atas pakaiannya yang berwarna wulung,
maka sang wali Kadilangu menjawab, “Jika dengan ini saya merasa dekat dengan
yang saya dakwahi dan mereka merasa dekat dengan saya; bukankah pakaian terbaik
adalah pakaian taqwa; sedang taqwa tersembunyi dalam dada?”
Sejak itu, pakaian beliau disebut Baju Taqwa.
Ketika bertakhta, Sang Sultan santri ‘Abdullah Muhammad
Maulana Matarami Susuhunan Agung Hanyakrakusuma menjadikan pakaian ini sebagai
busana kerajaan untuk para pejabatnya. Lalu pada Palihan Nagari 1755, Sultan
Hamengkubuwana I menjadikannya sebagai busana resmi Keraton Kasultanan
Yogyakarta. Adapun anasir utama dalam baju taqwa itu antara lain:
1) Keris. Dalam bahasa Jawa disebut Curiga
(waspada) atau Dhuwung (sadar & hati-hati). Inilah makna taqwa seperti
dalam bincang antara dua sahabat Nabi yang mulia. “Apakah taqwa itu?”, tanya
‘Umar. “Apakah engkau wahai Amirul Mukminin”, sahut Ubay ibn Ka’b, “Pernah
berjalan di lintasan yang remang-remang sementara ada banyak duri dan onak?”
“Ya”, jawab ‘Umar. “Apa yang kau lakukan ketika itu?”, tanya Ubay. “Aku
berhati-hati”, jawabnya. “Maka itulah taqwa”, simpul Ubay ibn Ka’b. Adapun
keris ini dikenakan di belakang sebab kewaspadaan yang terjaga tidak menafikan
prasangka baik.
2) Kain bawahan atau sinjang yang dikenakan
sebagai bebet. Maknanya, perut dan bawah perut adalah markas syahwat yang harus
dibebeti, dibebat, dikendalikan agar tak liar. Kain ini di-wiru bagian
ujungnya, yakni agar terjaga sifat wara’/wira’i. “Adapun orang yang takut pada
keagungan Rabbnya dan mencegah diri dari hawa nafsunya, surgalah tempat
tinggalnya.” (QS An Naazi’aat 40-41). Salah satu motif larangan yang hanya dikenakan
oleh Sultan sejak masa Sultan Agung adalah Parang Barong. Parang bisa berarti
lereng, menandakan perjuangan melawan hawa nafsu yang berat dan menanjak.
Barong berarti singa, atau sesuatu yang besar. Seperti dikatakan Imam Wahb ibn
Munabbih, “Siapa menjadikan syahwat takluk di bawah tapaknya, syaithanpun
gentar pada bayangnya.”
3) Pasangan ikat pinggangnya disebut kamus dan
timang. Taqwa harus diikat dengan ilmu. Kamus karena kosakata, nama-nama benda
adalah ilmu pertama yang diajarkan pada Nabi Adam. Dan ilmu yang menjadi dasar
iqra’, wajib dituntut sejak dari timangan, buaian hingga liang lahat.
4) Pakaian atasannya disebut surjan. Ia adalah
suraksa-janma, sebaik-baik penjaga bagi manusia, yang harus punya watak nyawiji
(menyatu dengan sesama), greget (penuh semangat pada kebaikan), sengguh (yakin
dan meyakinkan), ora mingkuh (berani bertanggungjawab). Ketaqwaannya harus
bersinar memancar, karena surjan juga bermakna “siraajan muniiraa”, mencahayai
siang dan malam, memandu diri dan orang di sekitarnya. Kancing di lehernya ada
6, sesuai jumlah rukun iman. Dua kancing di dada kiri dan kanan melambangkan
syahadatain, dan 3 kancing yang tersembunyi menunjukkan nafsu bahimah,
lawwamah, dan syaithaniyyah. Motif khasnya adalah lurik, garis-garis selang-seling
berwarna yang menuntut untuk lurus dalam hati, lurus dalam kata, dan lurus
dalam tindakan. Seperti dikatakan Imam Sufyan Ats Tsaury, “Takkan lurus ‘amal
seseorang hingga lurus hatinya. Dan takkan lurus hatinya hingga lurus
lisannya.” Lurik birunya disebut Pranakan, artinya rahim. Bagaimana pemakainya
harus menghayati bakti sebagai anak kepada orangtua.
5) ‘Imamah Jawiyah yang disebut blangkon. Ia
semula adalah surban santri yang demi kemudahan pemakaiannya maka dipelipit,
direkatkan dan dijahit. Pada gagrak Yogyakarta, ada mondholan di belakang.
Sebab pemakainya harus menjadi “minzhalah”, payung pengayom bagi masyarakat.
NB: Insyaallah bersambung ke Bagian II, dari Khalifatullah
ke Khalifatu Rasulillah
Pengaya Bacaan:
- Ash Shalabi, Ali Muhammad. Bangkit dan Runtunya Khilafah
Utsmaniyah (terj.). 2013. Jakarta: Pustaka Al Kautsar
- Babad KGPAA Mangkunagara I (Pangeran Sambernyawa), disertai
ringkasan terjemahan oleh Kamajaya. 1993. Yogyakarta: Yayasan Centhini.
- Babad Tanah Jawi, Mulai dari Nabi Adam Sampai Tahun 1647.
(terj.). 2007. Yogyakarta: Narasi
- KRT Jatiningrat. Peralihan Takhta di Keraton Yogyakarta
(Suksesi). 2015. Makalah.
- Ki Sabdacarakatama. Sejarah Keraton Yogyakarta. 2009.
Yogyakarta: Narasi
- M.C. Ricklefs. 1991. Sejarah Indonesia Modern (terj.).
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
- Moedjianto. 1987. Konsep Kekuasaan Jawa: Penerapannya oleh
Raja-raja Mataram. Yogyakarta: Kanisius
- Purwadi, Dr. 2007. Sejarah Raja-Raja Jawa. Yogyakarta: Media
Ilmu
- Soekanto, Dr. Sekitar Yogyakarta 1755-1825. 1952. Jakarta:
Penerbit Mahabrata
Tidak ada komentar:
Posting Komentar