Jumat, 01 Mei 2015

Berkicau Kaum Membodoh

JIKA seorang muslim berpenghasilan, maka 2,5 persen dari itu segera ia tunaikan sebagai zakatnya. Seorang Nashrani, akan memberikan lebih banyak lagi untuk Gereja; 10 persen. Tetapi yang paling hebat dalam sedekah tentu saja Yahudi. Semua hartanya ia serahkan untuk Tuhan. Caranya? Cukup letakkan semuanya di telapak tangan lalu lempar semua ke arah langit sambil berteriak, “Tuhan, inilah semua hartaku. Ambil darinya berapapun yang Kau mau. Sisanya yang tak Kau ambil, akan jatuh ke bumi. Dan hanya itulah bagianku!”

Anda sudah tertawa atau masih berpikir?

Kita masih membicarakan budak-budak Fir’aun. Beberapa halaman lalu kita mencatat adanya penyelundupan paganisme ke dalam barisan yang dipimpin oleh Musa. Kenyataannya hingga hari ini, seorang Yahudi bebas untuk percaya kepada apapun. Hyam Maccoby, seorang Rabbi yang menjadi narasumber Karen Armstrong ketika menulis latar belakang Yudaisme Paulus dalam The First Christian, mengatakan, “Tak seorangpun dapat mengatur orang Yahudi, menentukan apa yang mereka percayai. Dengan sembarang alasan, Anda dapat mempercayai apapun yang Anda suka.”

“Tidak ada teologi resmi?,” tanya Karen Armstrong takjub. “Bagaimana mungkin Anda beragama tanpa sejumput apapun gagasan tentang Tuhan, penyelamatan?”

“Kami punya ortopraksi sebagai ganti ortodoksi,” kata Maccoby. “Praktik yang benar ketimbang keyakinan yang benar. Itu saja. Kalian orang Kristen begitu ribut soal kepercayaan, tapi itu tidak sepenting seperti yang Anda pikirkan. Teologi itu hanya puisi untuk mengungkapkan yang tak tergapai.” Begitu katanya. Nah. Ortopraksi. Talmud, bukan Taurot. Praktik tanpa keyakinan. Kedisiplinan tanpa ruh. Justru karena tiadanya sistem kepercayaan inilah menurut saya, sepanjang sejarah mereka berada dalam ketidakjelasan. Terombang-ambing. Diperbudak aneka bangsa dan dijajah aneka peradaban.

Memang ada puncak-puncak yang mereka raih, seperti ketika Tholut, Dawud, dan Sulaiman memimpin mereka. Tetapi tidak pernah lama. Segera setelah Sulaiman meninggal, mereka sibuk bersihir tenung sambil menuduhkan ketidakpantasan itu pada Sulaiman dan Dawud. Dalam redaksi Surat Al-Baqoroh ayat 102, mereka telah menukar Kitab Alloh dengan sihir.

Karunia terbesar dari Alloh bagi mereka tentu saja adalah Kitab Alloh, Taurot. Tetapi paganisme yang terselundupkan itu jauh lebih dominan memberi arah bagi sejarah mereka. Maka mereka menjadi begitu akrab dengan segala bentuk dan unsur paganisme. Hilangnya identitas diri setelah timbul tenggelam dalam kancah peradaban yang ganas telah membuat mereka mudah untuk meniru ucapan dan perilaku orang-orang kafir sebelum mereka.

Orang-orang Yahudi berkata, “Uzair itu putera Alloh” dan orang-orang Nasrani berkata, “Al-Masih itu putera Alloh”. Demikianlah itu ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Dilaknati Alloh mereka, bagaimana mereka sampai berpaling?” (QS. At-Taubah: 30)

Ingat Hercules anak Zeus atau Krisna titisan Wisnu? Lihat! Mereka meniru mitos Yunani dan juga epos India lama tentang tuhan beranak manusia! Tentu saja mereka sangat hafal, Fir’aun juga adalah putra Amon Ra, dewa Matahari. Bahkan tanpa risih dan malu mereka berkicau, “Alloh itu faqir dan kami kaya” surat Ali ‘Imron ayat 181 mengabadikannya. Atau berceloteh, “Tangan Alloh terbelenggu!” di Surat Al-Maidah ayat 64.

“Betapa keji kalimat yang keluar dari mulut mereka. Mereka tidak mengatakan apapun selain dusta semata.” (QS. Al-Kahfi: 5)

Bani Isroil tumbuh dari bangsa yang rewel soat makan sampai menjadi kufur dan berani membunuh Nabi-nabinya. Bertambahnya pengetahuan justru membuat semakin jauh dari kebenaran karena dengki dan permusuhan. Kedengkian membuat Paulus si Yahudi tega memporak-porandakan risalah tauhid ‘Isa dengan trinitas, dosa waris, dan doktrin penebusan. Kesyirikan benar-benar telah menodai kesucian Taurat dan Injil.

“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahibnya sebagai Robb-robb selain Alloh dan juga Al-Masih ibnu Maryam.” (QS. At-Taubah: 31)

Mereka memang tidak sujud dan ruku’ pada para Rahib dan pendeta. Tapi mereka menjadikan kata-kata para pemuka melebihi kedudukan firman Alloh dan hukum-hukumNya. Dari lisan-lisan Rahib dan Alim, yang halal bisa jadi haram dan yang haram bisa jadi halal. Begitulah kata Nabi sebagaimana dibenarkan oleh Ady ibn Hatim. Sesuatu yang kita khawatirkan kini, disandarkan pada ustadz atau Kyai. Karena kata Nabi, setapak demi setapak ummatnya akan mengikuti langkah-langkah Yahudi dan Nashrani. Perpecahan dan keraguan atas isi Al-Kitab menjadi fenomena tak terhindarkan.

Dan mereka (ahli kitab) tidak berpecah belah, kecuali setelah datang pada mereka ilmu pengetahuan, karena kedengkian di antara mereka. Kalau tidaklah karena sesuatu ketetapan yang telah ada dari Tuhanmu dahulunya (untuk menangguhkan adzab) sampai kepada waktu yang ditentukan, pastilah mereka telah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang diwariskan kepada mereka Al-Kitab (Taurot dan Injil) sesudah mereka, benar-benar berada dalam keraguan yang menggoncangkan tentang kitab itu. (QS. Asy-Syuroo: 14)

Orang alim Yahudi merubah-rubah isi Taurot. Bahkan mereka menggantinya dengan pemberlakuan Talmud yang jumud. Richard P. Feynman, fisikawan peraih nobel itu bercerita bagiamana repotnya berinteraksi dengan para penganut Talmud. Mereka pernah bertanya, “Apakah listrik itu bisa dianalogikan dengan api dalam sifat-sifatnya?” Feynman menjelaskannya. Pagi-pagi di hari Sabtu mereka bergerombol di pintu lift menanti orang non Yahudi untuk memencet tombolnya. “Kalau listrik itu api, maka ini adalah hari Sabbath, kami dilarang menyalakannya.” Tak ada gunanya berdebat dengan mereka, kata Feynman. Karena buku berusia 3000 tahun itu sangat dinamis, direvisi dan ditafsiri selama berabad-abad, hingga membahas sampai ke urusan ukuran benang untuk menjahit celana dalam!

Sementara Injil nasibnya lebih tragis, isinya diotak-atik tangan-tangan najis. Maka datanglah kemudian generasi bingung. Ketika melihat isi Al-Kitab tak lagi relevan, mereka menyelenggarakan konsili untuk merevisinya. Ada lagi generasi bingung lain. Mereka mengharamkan perhiasan Alloh dengan merahibkan diri, dan beribadah tanpa dasar ilmu. Layaklah Al-Qur’an menggelari Yahudi sebagai ‘Al-Maghdhub ‘Alaihim’ (murka atas mereka) dan menyebut Nashrani sebagai ‘Adhdholliin’ (sesat).

Laknat Alloh kemudian datang. Mereka terlunta-lunta di tengah hiruk pikuk perebutan kekuasaan dalam panggung sejarah. Tinggal satu harapan, datangnya seorang Nabi yang akan memimpin mereka, sebagaimana jelas tersebut dalam Taurot dan Injil. Ketika para pemuka mengatakan bahwa Nabi itu akan muncul dari tempat yang ditumbuhi pohon kurma, berbondong mereka menuju Yatsrib di tengah jazirah. Tapi ketika mengetahui Nabi itu bukan dari kalangan sendiri, permusuhan yang diproklamasikan. Maka disebabkan pengkhianatan, Madinah pun mengusir Bani Qoinuqo’, Nadhir, dan Quroizhoh. Dan sesudah itu berdengung senandung kita, “Khoibar Khoibar Yaa Yahud, Jaisyu Muhammad Saufa ya’uud; Ingatlah Khoibar wahai Yahudi, pasukan Muhammad pasti kembali!”[]


Credit: “Saksikan bahwa Aku Seorang Muslim”; Salim A. Fillah; Pro-U Media

Tidak ada komentar:

Posting Komentar