JIKA seorang muslim berpenghasilan, maka
2,5 persen dari itu segera ia tunaikan sebagai zakatnya. Seorang Nashrani, akan
memberikan lebih banyak lagi untuk Gereja; 10 persen. Tetapi yang paling hebat
dalam sedekah tentu saja Yahudi. Semua hartanya ia serahkan untuk Tuhan. Caranya?
Cukup letakkan semuanya di telapak tangan lalu lempar semua ke arah langit sambil
berteriak, “Tuhan, inilah semua hartaku. Ambil darinya berapapun yang Kau mau.
Sisanya yang tak Kau ambil, akan jatuh ke bumi. Dan hanya itulah bagianku!”
Anda sudah tertawa
atau masih berpikir?
Kita masih
membicarakan budak-budak Fir’aun. Beberapa halaman lalu kita mencatat adanya penyelundupan
paganisme ke dalam barisan yang dipimpin oleh Musa. Kenyataannya hingga hari ini,
seorang Yahudi bebas untuk percaya kepada apapun. Hyam Maccoby, seorang Rabbi
yang menjadi narasumber Karen Armstrong ketika menulis latar belakang Yudaisme
Paulus dalam The First Christian, mengatakan, “Tak seorangpun dapat mengatur orang
Yahudi, menentukan apa yang mereka percayai. Dengan sembarang alasan, Anda dapat
mempercayai apapun yang Anda suka.”
“Tidak ada teologi
resmi?,” tanya Karen Armstrong takjub. “Bagaimana mungkin Anda beragama tanpa sejumput
apapun gagasan tentang Tuhan, penyelamatan?”
“Kami punya ortopraksi
sebagai ganti ortodoksi,” kata Maccoby. “Praktik yang benar ketimbang keyakinan
yang benar. Itu saja. Kalian orang Kristen begitu ribut soal kepercayaan, tapi itu
tidak sepenting seperti yang Anda pikirkan. Teologi itu hanya puisi untuk mengungkapkan
yang tak tergapai.” Begitu katanya. Nah. Ortopraksi. Talmud, bukan Taurot. Praktik
tanpa keyakinan. Kedisiplinan tanpa ruh. Justru karena tiadanya sistem kepercayaan
inilah menurut saya, sepanjang sejarah mereka berada dalam ketidakjelasan. Terombang-ambing.
Diperbudak aneka bangsa dan dijajah aneka peradaban.
Memang ada puncak-puncak
yang mereka raih, seperti ketika Tholut, Dawud, dan Sulaiman memimpin mereka.
Tetapi tidak pernah lama. Segera setelah Sulaiman meninggal, mereka sibuk bersihir
tenung sambil menuduhkan ketidakpantasan itu pada Sulaiman dan Dawud. Dalam redaksi
Surat Al-Baqoroh ayat 102, mereka telah menukar Kitab Alloh dengan sihir.
Karunia terbesar dari
Alloh bagi mereka tentu saja adalah Kitab Alloh, Taurot. Tetapi paganisme yang terselundupkan
itu jauh lebih dominan memberi arah bagi sejarah mereka. Maka mereka menjadi begitu
akrab dengan segala bentuk dan unsur paganisme. Hilangnya identitas diri setelah
timbul tenggelam dalam kancah peradaban yang ganas telah membuat mereka mudah
untuk meniru ucapan dan perilaku orang-orang kafir sebelum mereka.
Orang-orang Yahudi berkata, “Uzair itu putera Alloh”
dan orang-orang Nasrani berkata, “Al-Masih itu putera Alloh”. Demikianlah itu
ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir
yang terdahulu. Dilaknati Alloh mereka, bagaimana mereka sampai berpaling?” (QS. At-Taubah:
30)
Ingat Hercules
anak Zeus atau Krisna titisan Wisnu? Lihat! Mereka meniru mitos Yunani dan juga
epos India lama tentang tuhan beranak manusia! Tentu saja mereka sangat hafal, Fir’aun
juga adalah putra Amon Ra, dewa Matahari. Bahkan tanpa risih dan malu mereka berkicau,
“Alloh itu faqir dan kami kaya” surat Ali ‘Imron ayat 181 mengabadikannya. Atau
berceloteh, “Tangan Alloh terbelenggu!” di Surat Al-Maidah ayat 64.
“Betapa keji kalimat yang keluar dari mulut mereka. Mereka
tidak mengatakan apapun selain dusta semata.” (QS. Al-Kahfi: 5)
Bani Isroil tumbuh
dari bangsa yang rewel soat makan sampai menjadi kufur dan berani membunuh Nabi-nabinya.
Bertambahnya pengetahuan justru membuat semakin jauh dari kebenaran karena dengki
dan permusuhan. Kedengkian membuat Paulus si Yahudi tega memporak-porandakan risalah
tauhid ‘Isa dengan trinitas, dosa waris, dan doktrin penebusan. Kesyirikan benar-benar
telah menodai kesucian Taurat dan Injil.
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan
rahib-rahibnya sebagai Robb-robb selain Alloh dan juga Al-Masih ibnu Maryam.” (QS. At-Taubah: 31)
Mereka memang
tidak sujud dan ruku’ pada para Rahib dan pendeta. Tapi mereka menjadikan kata-kata
para pemuka melebihi kedudukan firman Alloh dan hukum-hukumNya. Dari lisan-lisan
Rahib dan Alim, yang halal bisa jadi haram dan yang haram bisa jadi halal. Begitulah
kata Nabi sebagaimana dibenarkan oleh Ady ibn Hatim. Sesuatu yang kita khawatirkan
kini, disandarkan pada ustadz atau Kyai. Karena kata Nabi, setapak demi setapak
ummatnya akan mengikuti langkah-langkah Yahudi dan Nashrani. Perpecahan dan keraguan
atas isi Al-Kitab menjadi fenomena tak terhindarkan.
Dan mereka (ahli kitab) tidak berpecah belah, kecuali
setelah datang pada mereka ilmu pengetahuan, karena kedengkian di antara
mereka. Kalau tidaklah karena sesuatu ketetapan yang telah ada dari Tuhanmu
dahulunya (untuk menangguhkan adzab) sampai kepada waktu yang ditentukan,
pastilah mereka telah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang diwariskan
kepada mereka Al-Kitab (Taurot dan Injil) sesudah mereka, benar-benar berada
dalam keraguan yang menggoncangkan tentang kitab itu. (QS. Asy-Syuroo:
14)
Orang alim Yahudi merubah-rubah
isi Taurot. Bahkan mereka menggantinya dengan pemberlakuan Talmud yang jumud. Richard
P. Feynman, fisikawan peraih nobel itu bercerita bagiamana repotnya berinteraksi
dengan para penganut Talmud. Mereka pernah bertanya, “Apakah listrik itu bisa dianalogikan
dengan api dalam sifat-sifatnya?” Feynman menjelaskannya. Pagi-pagi di hari Sabtu
mereka bergerombol di pintu lift menanti orang non Yahudi untuk memencet tombolnya.
“Kalau listrik itu api, maka ini adalah hari Sabbath, kami dilarang menyalakannya.”
Tak ada gunanya berdebat dengan mereka, kata Feynman. Karena buku berusia 3000 tahun
itu sangat dinamis, direvisi dan ditafsiri selama berabad-abad, hingga membahas
sampai ke urusan ukuran benang untuk menjahit celana dalam!
Sementara Injil
nasibnya lebih tragis, isinya diotak-atik tangan-tangan najis. Maka datanglah kemudian
generasi bingung. Ketika melihat isi Al-Kitab tak lagi relevan, mereka
menyelenggarakan konsili untuk merevisinya. Ada lagi generasi bingung lain. Mereka
mengharamkan perhiasan Alloh dengan merahibkan diri, dan beribadah tanpa dasar ilmu.
Layaklah Al-Qur’an menggelari Yahudi sebagai ‘Al-Maghdhub ‘Alaihim’ (murka atas mereka) dan menyebut Nashrani sebagai
‘Adhdholliin’ (sesat).
Laknat Alloh kemudian
datang. Mereka terlunta-lunta di tengah hiruk pikuk perebutan kekuasaan dalam
panggung sejarah. Tinggal satu harapan, datangnya seorang Nabi yang akan memimpin
mereka, sebagaimana jelas tersebut dalam Taurot dan Injil. Ketika para pemuka mengatakan
bahwa Nabi itu akan muncul dari tempat yang ditumbuhi pohon kurma, berbondong mereka
menuju Yatsrib di tengah jazirah. Tapi ketika mengetahui Nabi itu bukan dari kalangan
sendiri, permusuhan yang diproklamasikan. Maka disebabkan pengkhianatan, Madinah
pun mengusir Bani Qoinuqo’, Nadhir, dan Quroizhoh. Dan sesudah itu berdengung
senandung kita, “Khoibar Khoibar Yaa
Yahud, Jaisyu Muhammad Saufa ya’uud; Ingatlah Khoibar wahai Yahudi, pasukan
Muhammad pasti kembali!”[]
Credit: “Saksikan bahwa Aku Seorang
Muslim”; Salim A. Fillah; Pro-U Media
Tidak ada komentar:
Posting Komentar