Jika kau merasa besar, periksa hatimu.
Mungkin ia sedang bengkak.
Jika kau merasa suci, periksa jiwamu.
Mungkin itu putihnya nanah dari luka nurani.
Jika kau merasa tinggi, periksa batinmu.
Mungkin ia sedang melayang kehilangan pijakan.
Jika kau merasa wangi, periksa ikhlasmu.
Mungkin itu asap dari amal sholihmu yang hangus
dibakar riya’.
SAN GUO YAN YI.
Inilah salah satu
kisah yang paling masyhur dalam kesusastraan Tiongkok. Melukiskan romansa dan
konflik yang terjadi di ambang runtuhnya Dinasti Han (206 SM-220 M) dan
bermulanya zaman ‘Tiga Kerajaan’, cerita sejarah ini menawarkan
karakter-karakter menawan untuk menjadi teladan. Periode itu adalah masa
kekacauan, namun justru banyak melahirkan pahlawan. Hingga hari ini, jutaan
orang Cina menghayati watak para tokoh nyata yang telah terselubung dongeng
ini, menjadikannya rujukan menghadapi kekinian.
Agaknya
Luo Guan Zhong, penulis roman yang mempesona ini, punya keberpihakan mendalam
pada penguasa negeri Shu. Namun tokoh ini Liu Bei. Dia berdarah ningrat Dinasti
Han, paman jauh sang kaisar. Sebabnya, mungkin karena Luo, sang penulis yang
berlatar belakang pejuang pembebasan Cina dari penjajahan Mongol ini ingin
membangkitkan semangat ‘orang Han’―demikian ras mayoritas Cina menyebut diri
hingga kini―untuk menggulingkan Dinasti Yuan yang datang dari utara.
Maka
Liu Bei dan para sahabat setianya digambarkan begitu agung. Dia pribadi yang
sederhana, bijaksana, lembut hati, penyabar, dermawan. Dialah raja yang dengan
tangannya sendiri menganyam sandal jerami untuk para pengikut. Dialah raja yang
dengan luwes menyajikan makanan untuk anak buah yang akan bertugas menempuh
perjalanan panjang.
Kebajikan
dan perlindungan pada rakyat yang menjadi prinsip Liu Bei tampak ketika dia
digempur habis-habisan pasukan Perdana Menteri Cao Cao, tokoh antagonis kisah
ini yang kelak mendirikan negara Wei. Seorang komandan melapor dengan panik.
“Yang mulia,” katanya, “Para pengungsi ini memperlambat kita. Untuk mengurangi
kerugian pasukan, kita sebaiknya meninggalkan mereka!”
“Apa?”
bentak Liu Bei. “Mereka ini semua rakyat Han. Mereka di sini mengikuti kita
karena Cao Cao menganiaya mereka. Jika kita tidak menawarkan perlindungan
kepada mereka, lalu apa artinya kita berperang?”
Bahkan
dramatisnya, seperti digambarkan John Woo dalam film Red Cliff yang memotret salah satu episode paling menentukan dalam San Guo Yan Yi, Liu Bei hanya tertegun
sejenak ketika dilapori bahwa istri dan anaknya masih terjebak oleh serbuan
musuh yang beringas di kota Xinye. Lalu seakan tak hirau pada laporan itu, dia
berpaling pada para pengungsi. Dipapahnya seorang nenek yang sempoyongan
menggendong cucu melintasi jalan berbatu. Lalu dengan gesit, sambil menenangkan
anak yang menangis itu, dia membantu mendorong sebuah kereta pengungsi yang
terantuk cadas.
Tentu
saja pemimpin welas asih seperti ini membuat orang-orang penuh bakat begitu
setia kepadanya. Tanpa dimintai, Zhao Zi Long, salah satu panglimanya, segera
menghambur menembus kepungan untuk menyelamatkan keluarga Liu Bei. Untuk
sekilas tahu, selain Zi Long, di sekitar Liu Bei ada Guan Yu dan Zhang Fei yang
menjadi saudara angkatnya. Guan Yu seorang panglima yang tangguh, lembut hati,
dan ksatria. Pernah sebenarnya di Xinye, dia berkesempatan membunuh sang
durjana Cao Cao. Namun itu tak dilakukannya karena yang bersangkutan sedang
lengah. Zhang Fei adalah sosok panglima yang kasar dan berangasan namun jujur
dan setia. Teriakan perangnya mengaum dahsyat, membuat musuh tergidik ngeri.
Hingga kini, hampir semua tokoh ini menjadi dewa yang dipuja masyarakat. Untuk
mereka didirikan kuil-kuil persembahan.
Ada
satu lagi orang dekat Liu Bei yang harus disebut. Namanya Zhuge Liang. Dialah
ahli taktik dan siasat terbesar sepanjang sejarah Cina. Dia juga ahli ilmu
alam, pakar teknik persenjataan, seniman brilian, dan penasehat yang mumpuni.
Dia yang merancang aliansi Liu Bei dengan Sun Quan, penguasa Wu, dalam
menghadang serbuan Perdana Menteri Cao Cao dan mengandaskan ambisi sang tiran
untuk menggenggam seluruh Cina. Sebagai negarawan, dialah yang merumuskan
konsep tiga kerajaan. “Daripada sebuah kekuasaan yang menindas rakyat,” begitu
ujarnya, “Lebih baik ada tiga kekuatan saling berimbang yang berlomba
memakmurkan penduduk.”
Itulah
Liu Bei dan para pengikutnya yang dilukiskan terhubung bukan sebagai raja dan
jelata, melainkan sebagai sahabat dan sahabat. Kehangatan cinta di antara
mereka, kadang membuat iri kita dalam dekapan ukhuwah.
Sebaliknya,
Perdana Menteri Cao Cao digambarkan oleh Luo Guan Zhong sebagai orang yang
berkuasa, namun kesepian. “Cao Cao mengetahui cara mengatur pasukan raksasa,”
kata Xiao Qiao, gadis yang dicintai sang Perdana Menteri namun justru menikah
dengan Zhou Yu, panglima agung negeri Wu. “Tetapi dia tak sepertimu,” katanya
sambil menatap penuh cinta pada suaminya. “Dia tak punya sahabat.” Sang suami
juga punya penilaian tentang musuhnya ini. “Cao Cao,” urainya, “Selalu curiga
pada anak buahnya, sebagaimana para pengikutnya juga selalu harap cemas atas
ketidakstabilan emosinya yang mematikan.”
“Cao
Cao,” lanjut Zhou Yu yang memimpin aliansi Shu dan Wu, “Tak pernah
mengungkapkan niat sejatinya pada siapapun, bahkan pada para pengikutnya.” Liu
Bei menimpalinya, “Kebenaran dan ilusi sering rancu antara satu dengan yang
lainnya. Tetapi Cao Cao suka sekali menjadikannya sebagai permainan. Baik itu
pada musuhnya, bahkan juga kepada anak buahnya sendiri.” Itu pandangan para
musuhnya. Bagaimana pendapat Cao Cao tentang dirinya sendiri?
Saat
dinasehati tentang kemungkinan berkhianatnya salah satu pengikut, Cao Cao
dengan senyum penuh arti berkata, “Aku mempercayai siapapun yang berguna
bagiku.”
Penyerbuan
Cao Cao ke selatan, beserta niatnya menghancurkan Liu Bei dan Sun Quan,
berakhir dengan tragis di Karang Merah, Sungai Yang Tze. Delapan ratus ribu
pasukan dan dua ribu armada kapalnya nyaris tak bersisa dihancurkan oleh paduan
kecerdikan siasat Zhuge Liang dan kesigapan panglima agung Zhou Yu.
Sebenarnya,
Luo Guan Zhong dalam San Guo Yan Yi telah melukiskan watak Cao Cao jauh-jauh
hari, ketika dia masih meniti karier menjadi seorang komandan rendahan. Saat
itu, dia bersama sahabatnya Chen Gong diburu oleh pasukan pemberontak. Mereka
terus menghindar dari kejaran dan mencoba mencari tempat persembunyian. Hingga
akhirnya, mereka bertemu dengan Lu Boshe, sahabat ayah Cao Cao. Dengan senang
hati, si Pak Tua mewarnai mereka menginap dan beristirahat di rumahnya.
Pak
Tua Lu Boshe khusus berbelanja ke luar untuk menjamu mereka dengan makanan yang
lezat. Setelah menunggu lama di ruang tamu, Cao Cao dan sahabatnya Chen Gong
tiba-tiba mendengar bunyi mendesah seperti ada orang yang sedang mengasah
pisau. Karena mendengar suara ini Cao Cao dan Chen Gong segera lari masuk ke
dapur dan membunuh delapan orang di halaman belakang.
Setelah
itu mereka baru menemukan seekor babi yang diikat di dapur untuk disembelih.
Nyata sekali, Pak Tua Lu dan anggota keluarganya sedang bersiap menyembelih
babi untuk dihidangkan kepadanya. Cao Cao dan Cheng Gong yang sadar bahwa
mereka telah salah membunuh orang buru-buru melarikan diri. Dalam perjalanan
melarikan diri, mereka berdua bertemu dengan Pak Tua Lu yang baru pulang setelah
membeli arak, sayuran, dan lauk pauk. Tanpa banyak cakap, Cao Cao segera
membunuh Pak Tua Lu.
Cheng
Gong terperanjat. Dengan muka merah pias, dia bertanya kepada Cao Cao, “Tadi
kita sudah salah membunuh orang yang tidak berdosa, kenapa membunuh orang lagi?”
“Apabila
Pak Lu menemukan anggota keluarganya terbunuh setelah pulang ke rumahnya,”
jawab Cao Cao, “Maka dia pasti akan mencari orang untuk mengejar kita. Lebih
baik dia dibunuh supaya kita terhindar dari bahaya kemudian.”
Chen
Gong geleng-geleng kepala. “Sengaja membunuh orang setelah berbuat kesalahan
benar-benar tidak berbudi!” katanya sambil bergidik jijik.
“Lebih
baik aku mengkhianati orang lain,” kata Cao Cao, “Daripada orang lain
mengkhianatiku. Aku berhak, karena langit telah memilihku.”
YYY
Dalam
dekapan ukhuwah, merasa diri paling baik adalah tanah paling gersang dan lahan
paling tandus bagi pohon iman. Seiring itu, benih persaudaraan hampir mustahil
bisa tumbuh di sana. Merasa diri lebih baik dibanding yang lain adalah
penghalang terbesar dalam menjalin hubungan baik dengan sesama.
Al-Qur’an
telah membentangkan matarantai kisah menakjubkan tentang keangkuhan. Dimulai
dari Iblis. Ditengahi oleh Fir’aun, Haman, Bal’am, dan Qorun. Dipungkasi dengan
si bengis dari Quroisy, Abu Jahl ibn Hisyam.
Sifat
sombong adalah hal yang dibenci di langit maupun di bumi. Merasa benar, merasa
tinggi, merasa lebih, dan merasa suci adalah penyakit yang membuat jijik
malaikat maupun manusia di dunia ini. Sombong adalah ibu dari segala kejahatan
dan kehancuran. Derita manusia yang tak terperikan di sepanjang pentas sejarah,
diakibatkan oleh paduan antara keangkuhan dan kekuasaan. Atau di saat lain,
senyawa rasa unggul dengan kepandaian. Atau bersatunya kesombongan dengan
kekayaan. Atau bermesranya sifat tinggi hati dengan kecendikiawanan.
Semuanya
menjadi bencana, karena kesombongan menghalangi kebenaran. Karena jiwa yang
merasa lebih tinggi mengalahkan pemahaman akal terhadap kebajikan. Karena
keangkuhan membunuh persaudaraan.
YYY
Satu
waktu ada kejadian menarik, demikian Ibnu Hisyam berkisah dalam Siroh-nya. Adalah Abu Sufyan ibn Harb,
Abu Jahl ibn Hisyam, dan al-Akhnas ibn Syariq pemimpin Bani Zuhroh, kebetulan
sama-sama ingin tahu tentang apa yang dibaca Rosululloh di kala sholat malam.
Mereka mendatangi rumah beliau tanpa saling tahu satu sama lain. Mereka
mengambil tempat dan mulai menyimak tanpa tidur semalaman. Ketika fajar
menyingsing, mereka baru tahu bahwa ada kawannya yang sama-sama mencuri dengar
bacaan Sang Nabi. Maka mereka saling ejek dan saling mencela.
“Jangan
sampai kalian mengulangi perbuatan ini!” ujar mereka satu sama lain. “Jika
sampai ada orang-orang bodoh di antara kalian yang melihatnya, maka pasti akan
ada sesuatu yang kalian tinggalkan dalam diri mereka!”
Malam
berikutnya, hal yang sama terjadi lagi dan keesokan paginya mereka kembali
saling hardik.
Di
malam ketiga, mereka saling menyangka bahwa kawannya takkan datang lagi dan
tetap datang mengendap-endap lalu menempati tempatnya kemarin. Semalaman mereka
begadang dan mendengarkan bacaan sholat beliau. Ketika terbit matahari, mereka
pun beranjak dan saling bertemu lagi. “Demi Alloh,” kata salah satu, “Jangan
kita tinggalkan tempat ini sampai semuanya bersumpah untuk tidak mengulangi
perbuatan ini!” Lalu mereka pun saling bersumpah dan pergi.
Adalah
al-Akhnas yang esok harinya bergegas-gegas menemui Abu Sufyan di rumahnya. “Hai
ayahnya Hanzholah,” katanya, “Bagaimana pendapatmu tentang apa yang semalam kau
dengar dari Muhammad?”
“Ya,
wahai Abu Tsa’labah,” jawab Abu Sufyan, “Demi Alloh, semalam aku mendengar
sesuatu yang aku kenal dan aku mengerti maksudnya. Dan aku mendengar sesuatu
yang tidak kukenal dan tidak aku fahami maknanya.”
“Demi
Alloh,” sahut al-Akhnas, “Aku pun demikian.”
Sesudah
itu al-Akhnas mengetuk pintu rumah Abu Jahl. Mereka bertemu di dalam ruang
tersembunyi. “Hai Abu Hakam,” kata al-Akhnas, “Jelaskan padaku apa pendapatmu
atas kalimat-kalimat yang semalam kau dengar dari Muhammad!”
“Apa
yang aku dengar?” sergah Abu Jahl. “Kita ini bersaing keras dengan Bani ‘Abdi
Manaf, kabilahnya Muhammad. Mereka menjamu makan jama’ah haji dan para tamu
kota, maka kita pun melakukannya. Mereka menanggungkan nafkah orang, kita pun
juga menjamin kebutuhan manusia. Mereka memberi, kita pun membagi. Hingga
ketika kita dan mereka telah siap berangkat untuk balapan seperti kuda-kuda
pacuan yang dijajarkan, tiba-tiba saja mereka berkata, ‘Kami punya Nabi yang
mendapatkan wahyu dari langit!’”
Abu
Jahl menghela nafasnya. “Demi Alloh, hai al-Akhnas,” sambungnya, “Aku tidak
akan pernah beriman kepada nabi itu, dan aku tidak akan pernah membenarkannya!”
Inilah
kisah tiga orang pembesar Quroisy dalam sikapnya terhadap kebenaran. Kita tahu
bahwa kelak, Abu Sufyan dan al-Akhnas ibn Syariq yang masih menjaga keadilannya
dalam menilai Sang Nabi akan menjadi Muslim yang ridho menerima kebenaran meski
sebelum itu mereka memusuhinya habis-habisan. Sementara Abu Jahl yang sejak
pertama sudah dirasuki dengki dan tinggi hati akan binasa dalam kekufuran.
“Tidak
akan masuk surga,” demikian Sang Nabi Shollallohu
‘Alaihi wa Sallam bersabda dalam riwayat Muslim, “Orang yang di dalam
hatinya terdapat seberat biji dzarroh
dari kesombongan.”
Aduhai,
alangkah beratnya, pikir para shohabat Sang Rosul saat itu. “Ya Rosulalloh,”
adu mereka, “Kami ini adalah orang yang suka memakai pakaian yang anggun, suka
mengenakan surban yang menawan, suka melangkah dengan terompah yang cantik,
maka dengan demikian kami tak berhak atas surga?”
“Benar,
ya Rosulalloh,” sebagian yang lain mengiyakan. “Dan kami ini adalah orang yang
suka jika dikelilingi banyak manusia. Kami suka jika ada kawan yang mengiring
saat berjalan. Kami suka jika ada teman yang diajak bicara ketika duduk. Maka
bagaimanakah kami?”
Sang
Nabi tersenyum sembari bersabda, “Bukan semua itu yang aku maksudkan.” Beliau
menatap semua yang hadir dengan penuh cinta. “Kesombongan adalah,” lanjutnya
menyejukkan, “Menolak kebenaran dan menganggap rendah orang lain.”
Ketika
seseorang dijangkiti kesombongan, maka dia cenderung menjadikan dirinya sebagai
ukuran kebenaran. Maka saat kebenaran yang sebenar-benarnya datang kepadanya,
dia berupaya mencari pembenaran untuk menolak kebenaran. “Robbku itu,” kata
Ibrohim kepada Namrudz, “Menghidupkan dan mematikan.” Dengan senyum kemenangan,
Namrudz berkata, “Aku juga menghidupkan dan mematikan.” Dua orang tawanan
kemudian dihadirkan. Satu orang dibebaskan. “Dia inilah yang kuhidupkan,” kata
Namrudz. Yang satu lagi dipancung. “Dia inilah yang kumatikan.”
Konyol
memang. Tetapi dalam taraf yang lebih kecil, begitulah yang terjadi ketika kita
menolak kebenaran.
Orang
yang sombong cenderung meremehkan orang lain. Dan mereka selalu menemukan
alasan untuk itu. Iblis menemukan alasan bahwa dia lebih baik daripada Adam
karena asal penciptaannya. Dia dari api dan Adam dari tanah. Fir’aun berkata
bahwa dia layak jadi tuhan sebab Mesir adalah miliknya dan sungai Nil mengalir
di bawah kakinya. Apalagi Musa yang diutus Alloh padanya terlihat memiliki
banyak cacat dan tak sedikit pun mengunggulinya.
Dan Fir’aun berseru
kepada maunya seraya berkata, “Hai kaumku, bukankah kerajaan Mesir ini
kepunyaanku dan bukankah sungai-sungai ini mengalir di bawah kakiku maka apakah
kalian tidak melihatnya? Bukankah aku lebih baik dari orang yang hina ini dan
yang hampir tidak dapat menjelaskan perkataannya? Mengapa tidak dipakaikan
kepadanya gelang dari emas atau malaikat datang bersama-sama dia untuk
mengiringkannya?”
(Qs. az-Zukhruf [43]: 51-53)
Qorun
menemukan alasan bahwa dia kaya dan lebih baik daripada sesamanya sebab ilmu
yang ada padanya. Abu Jahl merasa dirinya tak kalah layak daripada Muhammad
untuk menerima kerosulan. Maka dengan itu dia menjadi naif. Alih-alih berkata,
“Jika Muhammad utusan-Mu, bimbinglah kami dengan petunjuk yang dibawanya,” dia
justru berkata, “Jika yang dibawa oleh Muhammad sungguh benar dari sisi-Mu, ya
Alloh, maka hujani saja kami dengan batu dari langit.”
Semua
kesombongan memiliki alasan untuk meremehkan. Bahkan soal usia. Jika berjumpa
yang lebih muda, terbitlah rasa tinggi dalam hati. “Aku lebih baik
daripadanya,” begitu jiwanya berbisik, “Amal sholihku lebih banyak daripadanya.
Dia baru memulainya kemarin sore.” Adapun jika bertemu yang lebih tua, hatinya
berseru, “Aku lebih baik daripada orang ini. Lihatlah rambutnya memutih,
sungguh dosa-dosanya telah banyak mencemari bumi. Aku masih muda dan sedikit
sekali berbuat silap dan lupa.”
Dalam
dekapan ukhuwah, turunan sifat sombong kadang halus dan samar. Sebab itu,
diperlukan akal yang jeli dan hati yang peka. Bukan untuk mengenali kesombongan
orang tentu, melainkan untuk menihilkannya dari dalam diri sejak dia terhembus
pertama kali.
Dalam
dekapan ukhuwah sepertinya tak ada tempat bagi kesombongan. Bahkan dalam soal
bangga diri, kemaksiatan kadang lebih berharga daripada kesholihan. “Dosa yang
membuat seseorang menyesal dan bertaubat kepada Alloh,” begitu ditulis ‘alim
agung Ibnul Jauzy dalam Dzammul Hawa,
“Jauh lebih baik daripada amal baik yang membuatnya sombong dan berbangga diri.
Demi Alloh, Adam telah berdosa, tetapi Alloh menerima taubat dan mengampuninya.
Adapun Iblis, bangga diri telah menghalanginya untuk taat. Dia sombong, maka
Alloh melaknatnya sepanjang masa.”
Bahkan
yang mengerikan, seperti ditulis oleh Imam Ahmad ibn Hambal dalam Kitab az-Zuhd, “Kami dahulu sepakat dan
meyakini,” ujar beliau, “Seseorang yang menghina dan meremehkan sesosok mukmin
sebab suatu dosa, sungguh takkan datang padanya kematian sebelum dia jatuh ke
dalam kemaksiatan dan dosa yang sama.”
Dalam
dekapan ukhuwah, tak ada tempat untuk kesombongan. Ia hanya khayal yang
mengawang-awang. Karena kesombongan bukan berasal kebaikan dan kelebihan. Dia
lahir dari kekurangan dan prasangka tanpa pijakan.
sungguh yang membuat seseorang sombong dan bangga diri
bukanlah kelebihan-kelebihan yang dimilikinya, melainkan pikirannya yang
dangkal dan jiwanya yang sempit
Credit: “Dalam
Dekapan Ukhuwah”; Salim A. Fillah; Pro-U Media
Tidak ada komentar:
Posting Komentar