Senin, 04 Mei 2015

Afiliasi

SAUDARAKU, aku punya harap yang harus kubagi denganmu. Semoga ada wajah-wajah yang tak pernah mengeluh pada kita tentang takdir yang menimpanya. Mereka telah mencukupkan akhir malam sebagai waktu pengaduan. Saat mereka berdiri, ruku’, dan sujud dalam tangis rindunya. Manis nian wajah-wajah itu dengan senyuman mendoakan kita, “Assalaamu ’alaikum.”

Semoga ada wajah-wajah yang tak pernah mengajak kita menggunjing, memfitnah, dan sibuk dengan aib orang. Betapa ingin kita disambut di majelis mereka, dengan ucapan, “Akhi, ta’ala nu’minu saa’ah; Saudaraku, mari sejenak kita beriman!” dan kita diterbangkan ke tempat yang dinaungi sayap malaikat.

Kita rindu bersua dengan wajah-wajah ini dalam perjalanan. Bukankah kita belum saling kenal dan baru kali ini bertatap muka? Tapi hati rasanya sudah akrab, dan lisan tak tahan untuk segera melempar senyum dan beruluk salam.

Inilah dia, wajah-wajah keimanan. Yang digambarkan Rosululloh, yang satu menjadi cermin yang lain. Ada inspirasi amal sholih saat memandangnya, ada ide cemerlang dan energi isi ulang melihat keteduhannya. Masya Alloh. Betapa kita merindu wajah-wajah keimanan. Wajah-wajah itu, adalah wajah-wajah saudara kita di jalan Alloh.

Kita rindu wajah Ash-Shiddiq Abu Bakar yang membuat kita tak lagi merasa ragu dan bimbang. Kita rindu wajah Al-Faruq Ibnu Al-Khoththob untuk membuang kepengecutan. Dan tentu kita rindu wajah Al-Amin, yang membuat kita merasa berharga menyertainya, menyertainya menghadap Alloh nanti. Kita sangat merindu wajah-wajah keimanan. Kita rindu menjadi bagian dari mereka, serindu kita pada sebuah sambutan…

“Wahai jiwa yang tenang, kembalilah pada Robbmu dengan hati puas lagi diridhoi, maka masuklah ke dalam golongan hamba-hambaKu dan masuklah ke dalam jannahKu...” (QS. Al-Fajr: 27-30)

Lalu, betapa rindu kita akan sebuah rumahtangga yang barokah.

Mungkin saja suatu malam, menjelang pagi barangkali, antum segera terbangun padahal sedang bermimpi dahi antum dikecup bidadari. Dan ketika antum membuka mata, ‘bidadari’ itu sedang memandangi antum sambil mengenakan mukenanya, “Sholat yuk!” Isteri kita, separuh agama, penjaga ketaatan kita padaNya.

Istri, labuhan kita dari samudera dunia yang bergolak tak ramah. Dalam belaiannya, ada kelembutan, ada ketenteraman, ada cinta, ada kehangatan. Tahukah juga kita segala kelelahannya? Mungkin ia merasa sangat pegal, ingin sekali diurut dan dipijat. Ketika kita pulang, belum sempat ia berucap, lisan kita sudah memberondongnya dengan banyak keluhan dan permintaan. Mungkin sekali ia ingin terlelap sejenak, tapi kita sudah mengganggunya dengan kerewelan-kerewelan. Mungkin juga, ia ingin menangis, tapi kita telah terisak mengadu dan berkeluh di pangkuannya sebelum sempat dia ucapkan sepatah kata.

Istri, arah kita berlari dari yang haram menuju yang halal. Berlari dari dosa mencari pahala. Berlari dari hina menuju mulia. Berlari dari tempat maksiat ke ke tempat ibadat. Berlari dari syaithon yang keji menuju bidadari yang suci. Bukankah itu bisa berarti berlari dari neraka menuju surga? Masya Alloh, kapanpun kita pulang, kita berharap surga itu memang selalu hadir ke rumah kita.

Adakah yang tak suka dibimbing ayah seperti Luqman, yang selalu memanggil putranya, “Ya Bunayya”? Adakah yang tak rindu beribukan Khonsa, yang di saat keempat putranya menghadap Alloh dengan syahid berkata, “Segala puji bagi Alloh yang telah memuliakanku dengan syahidnya mereka”? Adakah yang tak mendamba rumah tangga berisi Ibrohim, Hajar, dan Isma’il? Adakah?

Ya. Jangan lupakan juga anak-anak yang menghadirkan keceriaan atau memberi pelita rumah kita dengan hafalan Qur’an mereka. Mereka berhak mendapatkan kemanfaatan tertinggi dari kita. Mereka yang selalu menyambut lelah kita sepulang kerja dengan teriakan, “Abii… gendooong!”, lalu tangan yang tadi serasa tak kuasa membawa tas kerja, kini dengan ringan membopong si gendut yang tampak mungil dengan kerudungnya. Kita rindu rumah keluarga ‘Ali, tempat si kecil Hasan, Husain, dan Ummu Kultsum menangis karena roti berbuka mereka tidak diberikan kepada peminta-minta. Kita sangat rindu.

Surga ’Adn yang mereka masuki bersama orang-orang sholih dari bapak-bapak mereka, isteri-isterinya, dan anak cucunya, sementara malaikat-malaikat masuk ke tempat mereka dari semua pintu, sambil mengucapkan “salaamun ‘alaikum bimaa shobartum”, maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu. (QS. Ar-Ro’d: 23-24)

Lalu kita rindu masyarakat yang terarah.

Kalau rumah-rumah bercahaya itu berkumpul menjadi suatu masyarakat bertetangga, alangkah rindu kita menjadi bagian darinya. Kita begitu rindu masyarakat imani, masyarakat yang membuat kita selalu ingin berada di tengah mereka. Hanya ini masyarakat yang membuat kita merasa aman dari lisan dan tangan mereka. Masyarakat yang setiap hari menyambung shilaturrohimnya di dalam rumah Alloh melalui jama’ah sholat dan majelis ilmu. Tumit-tumitnya merapat, pundak-pundaknya luwes saling bersentuh, barisannya lurus, dan takbirnya serempak menggemakan kebesaran Alloh. Masyarakat yang rumpiannya rumpian iman, arisannya majelis dzikir, dan gotong royongnya jihad fi sabilillah...

Adakah warga yang sempat menyuapi orang tua buta di pojok pasar dengan terlebih dahulu melembutkannya sehingga si buta tak perlu mengunyahnya? Adakah yang ketika tak bersua dengan pengejek rutinnya justru menanyakan kabarnya, dan justru menjadi orang pertama yang menjenguk sakitnya? Wahai Rosululloh, alangkah indah menjadi tetanggamu.

Kalau Hasan Al-Bashri hidup di zaman ini tentu akan kita saksikan ia mengirim sekeranjang kurma untuk penggunjing-penggunjingnya dengan kartu ucapan, “Terimakasih atas gunjinganmu yang membuat pahalamu berpindah padaku”. Aduhai, siapa yang tak berhenti menggunjing kalau begini caranya? Betapa rindu bertetangga dengannya yang bersabar atas rembesan air WC tetangga 30 tahun lamanya. Masya Alloh.

Lalu, kita rindu sebuah negeri yang thoyyibah.

‘Ukasyah membuat kita iri dengan kesempatannya untuk membalas pukulan tak sengaja Rosululloh. Pemimpin besar ini telah memberi kesempatan siapapun yang merasa terzholimi untuk membalas. Ia memberi sebuah contoh tentang keadilan dan persamaan hukum. Tapi yang membuat kita lebih iri, sebenamya ‘Ukasyah hanya ingin kulitnya dekat dengan sang pemimpin terkasih di dunia dan akhirat.

Kita merindukan saat kita bisa seperti Salman. Dengan status imigran bisa mengkritisi pemimpin negara sampai pun soal pakaian sang pemimpin yang beda ukuran dari rakyatnya. Dan ‘Umar sang pemimpin pun bisa menjelaskan bahwa kain jatahnya sama dengan jatah yang dibagi untuk semua penduduk. Hanya saja karena ia bertubuh besar, putera tercinta memberikan bagiannya untuk ‘Umar sehingga kainnya tampak lebih besar.

Kita merindukan pemimpin yang setiap malam bisa meronda memeriksa kondisi kita. Pemimpin yang juga sempat memikul sendiri gandum untuk seorang ibu yang kesulitan mendiamkan tangis lapar anaknya. Kita juga rindu ibu negara seperti Ummu Kultsum binti ‘Ali yang di tengah malam bekerja keras menolong kelahiran salah seorang warganya, sementara suami tercinta ‘Umar Amirul Mukminin memasak roti dan menghangatkan susu sambil menghibur gelisah seorang calon ayah.

‘Umar lain, yang datang sebagai buyut ’Umar pertama menyelesaikan krisis ekonomi berat hanya dalam dua tahun usia pemerintahannya. Dan kedua penguasa ini dapat ditemui tanpa birokrasi menyulitkan. Bahkan tampak sedang tiduran di atas kerikil atau mengendarai baghol bututnya. Bukan karena miskin. Pemimpin muslim sejati memandang jabatan sebagai amanah yang berat pertanggungjawabannya. “Kalau ada seekor anak unta hilang di tepi sungai Dajlah, aku takut Alloh akan menanyakannya kelak!”, katanya suatu ketika.

Betapa rindu kita pada pemimpin yang bisa menangis. Minimal menangis. Karena cinta. Pemimpin yang sadar bahwa ia akan ditanya dan diminta bertanggungjawab atas jutaan pengangguran, milyaran kasus kriminalitas, jatuhnya moral remaja, dan perempatan jalan yang penuh peminta. Minimal sadar. Karena cinta. Ia seperti kata Nabi, “Mencintai kalian, dan kalian pun mencintainya.” Dan cinta itu, akan mengangkatnya dari kungkungan batas-batas kemanusiaannya untuk berbuat lebih. Karena cinta itu membuatnya tak sendiri, tetapi rakyat membersamainya. Jika ruhnya saling mengenal dengan ruh rakyatnya, saat itulah nyala bertemu sumbu, dan kerja-kerja menjadi api yang mengkinesi potensi. Dan Alloh menghujankan air barokah, dan menumbuhkan pohon thoyyibah.

Jangan ia menjadi pemimpin yang dikatakan Nabi, “Ia membenci kalian, dan kalian membencinya”. Karena ia pemimpin yang terbuta seperti patung dewi keadilan. Dan keadilan pun menjadi seperti patung, -atau robot-, bagi rakyatnya. Karena ia pemimpin yang menyuapi jutaan mulut bayi lapar dengan hutang sepuluh juta perkepala begitu lahir dari rahim ibunya. Karena ia begitu rindu menjadi Fir’aun terpuja. Serindu rakyatnya pada Musa yang membebaskan, dan Sulaiman yang memakmurkan.

Saudaraku, adakah rindu kita ada di lembah hijau yang sama?

Atau setidaknya di gersang padang yang sama. Kerinduan menjadi energi besar bagi nurani yang menginginkan perubahan. Dan nyata kiranya, kerinduan kepada cahaya muncul di saat kita sedang berada dalam kegelapan. Makna agung kerinduan begitu berarti bagi orang-orang pilihan. Kerinduan, ya... kerinduan. Kerinduan menjadi nikmat yang menyambung asa harapan orang-orang beriman. Cita-cita besar para mujahid selalu berangkat dari terminal kerinduan. Dan unik, terminal rindu itu selalu dibawa serta selama perjalanan.

Semoga rindu itu adalah sepotong makna afiliasi kita. Pada Alloh, RosulNya, dan Diin-Nya.[]


Credit: “Saksikan bahwa Aku Seorang Muslim”; Salim A. Fillah; Pro-U Media

Tidak ada komentar:

Posting Komentar