SAUDARAKU, aku punya harap yang harus kubagi
denganmu. Semoga ada wajah-wajah yang tak pernah mengeluh pada kita tentang takdir
yang menimpanya. Mereka telah mencukupkan akhir malam sebagai waktu pengaduan. Saat
mereka berdiri, ruku’, dan sujud dalam tangis rindunya. Manis nian wajah-wajah itu
dengan senyuman mendoakan kita, “Assalaamu
’alaikum.”
Semoga ada
wajah-wajah yang tak pernah mengajak kita menggunjing, memfitnah, dan sibuk dengan
aib orang. Betapa ingin kita disambut di majelis mereka, dengan ucapan, “Akhi, ta’ala nu’minu saa’ah; Saudaraku,
mari sejenak kita beriman!” dan kita diterbangkan ke tempat yang dinaungi sayap
malaikat.
Kita rindu bersua dengan
wajah-wajah ini dalam perjalanan. Bukankah kita belum saling kenal dan baru kali
ini bertatap muka? Tapi hati rasanya sudah akrab, dan lisan tak tahan untuk segera
melempar senyum dan beruluk salam.
Inilah dia, wajah-wajah
keimanan. Yang digambarkan Rosululloh, yang satu menjadi cermin yang lain. Ada
inspirasi amal sholih saat memandangnya, ada ide cemerlang dan energi isi ulang
melihat keteduhannya. Masya Alloh. Betapa kita merindu wajah-wajah keimanan. Wajah-wajah
itu, adalah wajah-wajah saudara kita di jalan Alloh.
Kita rindu wajah Ash-Shiddiq
Abu Bakar yang membuat kita tak lagi merasa ragu dan bimbang. Kita rindu wajah Al-Faruq
Ibnu Al-Khoththob untuk membuang kepengecutan. Dan tentu kita rindu wajah Al-Amin,
yang membuat kita merasa berharga menyertainya, menyertainya menghadap Alloh nanti.
Kita sangat merindu wajah-wajah keimanan. Kita rindu menjadi bagian dari
mereka, serindu kita pada sebuah sambutan…
“Wahai jiwa yang tenang, kembalilah pada Robbmu dengan
hati puas lagi diridhoi, maka masuklah ke dalam golongan hamba-hambaKu dan masuklah
ke dalam jannahKu...”
(QS. Al-Fajr: 27-30)
Lalu, betapa rindu
kita akan sebuah rumahtangga yang barokah.
Mungkin saja suatu
malam, menjelang pagi barangkali, antum segera terbangun padahal sedang bermimpi
dahi antum dikecup bidadari. Dan ketika antum membuka mata, ‘bidadari’ itu sedang
memandangi antum sambil mengenakan mukenanya, “Sholat yuk!” Isteri kita, separuh agama, penjaga ketaatan kita padaNya.
Istri, labuhan kita
dari samudera dunia yang bergolak tak ramah. Dalam belaiannya, ada kelembutan, ada
ketenteraman, ada cinta, ada kehangatan. Tahukah juga kita segala kelelahannya?
Mungkin ia merasa sangat pegal, ingin sekali diurut dan dipijat. Ketika kita pulang,
belum sempat ia berucap, lisan kita sudah memberondongnya dengan banyak keluhan
dan permintaan. Mungkin sekali ia ingin terlelap sejenak, tapi kita sudah mengganggunya
dengan kerewelan-kerewelan. Mungkin juga, ia ingin menangis, tapi kita telah terisak
mengadu dan berkeluh di pangkuannya sebelum sempat dia ucapkan sepatah kata.
Istri, arah kita
berlari dari yang haram menuju yang halal. Berlari dari dosa mencari pahala. Berlari
dari hina menuju mulia. Berlari dari tempat maksiat ke ke tempat ibadat. Berlari
dari syaithon yang keji menuju bidadari yang suci. Bukankah itu bisa berarti berlari
dari neraka menuju surga? Masya Alloh, kapanpun kita pulang, kita berharap surga
itu memang selalu hadir ke rumah kita.
Adakah yang tak
suka dibimbing ayah seperti Luqman, yang selalu memanggil putranya, “Ya Bunayya”? Adakah yang tak rindu beribukan
Khonsa, yang di saat keempat putranya menghadap Alloh dengan syahid berkata, “Segala
puji bagi Alloh yang telah memuliakanku dengan syahidnya mereka”? Adakah yang tak
mendamba rumah tangga berisi Ibrohim, Hajar, dan Isma’il? Adakah?
Ya. Jangan lupakan
juga anak-anak yang menghadirkan keceriaan atau memberi pelita rumah kita dengan
hafalan Qur’an mereka. Mereka berhak mendapatkan kemanfaatan tertinggi dari
kita. Mereka yang selalu menyambut lelah kita sepulang kerja dengan teriakan, “Abii…
gendooong!”, lalu tangan yang tadi serasa tak kuasa membawa tas kerja, kini dengan
ringan membopong si gendut yang tampak mungil dengan kerudungnya. Kita rindu rumah
keluarga ‘Ali, tempat si kecil Hasan, Husain, dan Ummu Kultsum menangis karena roti
berbuka mereka tidak diberikan kepada peminta-minta. Kita sangat rindu.
Surga ’Adn yang mereka masuki bersama orang-orang sholih
dari bapak-bapak mereka, isteri-isterinya, dan anak cucunya, sementara malaikat-malaikat
masuk ke tempat mereka dari semua pintu, sambil mengucapkan “salaamun ‘alaikum
bimaa shobartum”, maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu. (QS. Ar-Ro’d:
23-24)
Lalu kita rindu
masyarakat yang terarah.
Kalau rumah-rumah bercahaya
itu berkumpul menjadi suatu masyarakat bertetangga, alangkah rindu kita menjadi
bagian darinya. Kita begitu rindu masyarakat imani, masyarakat yang membuat kita
selalu ingin berada di tengah mereka. Hanya ini masyarakat yang membuat kita merasa
aman dari lisan dan tangan mereka. Masyarakat yang setiap hari menyambung shilaturrohimnya
di dalam rumah Alloh melalui jama’ah sholat dan majelis ilmu. Tumit-tumitnya
merapat, pundak-pundaknya luwes saling bersentuh, barisannya lurus, dan takbirnya
serempak menggemakan kebesaran Alloh. Masyarakat yang rumpiannya rumpian iman, arisannya
majelis dzikir, dan gotong royongnya jihad fi
sabilillah...
Adakah warga yang sempat
menyuapi orang tua buta di pojok pasar dengan terlebih dahulu melembutkannya sehingga
si buta tak perlu mengunyahnya? Adakah yang ketika tak bersua dengan pengejek rutinnya
justru menanyakan kabarnya, dan justru menjadi orang pertama yang menjenguk sakitnya?
Wahai Rosululloh, alangkah indah menjadi tetanggamu.
Kalau Hasan Al-Bashri
hidup di zaman ini tentu akan kita saksikan ia mengirim sekeranjang kurma untuk
penggunjing-penggunjingnya dengan kartu ucapan, “Terimakasih atas gunjinganmu
yang membuat pahalamu berpindah padaku”. Aduhai, siapa yang tak berhenti menggunjing
kalau begini caranya? Betapa rindu bertetangga dengannya yang bersabar atas rembesan
air WC tetangga 30 tahun lamanya. Masya Alloh.
Lalu, kita rindu sebuah
negeri yang thoyyibah.
‘Ukasyah membuat
kita iri dengan kesempatannya untuk membalas pukulan tak sengaja Rosululloh. Pemimpin
besar ini telah memberi kesempatan siapapun yang merasa terzholimi untuk membalas.
Ia memberi sebuah contoh tentang keadilan dan persamaan hukum. Tapi yang membuat
kita lebih iri, sebenamya ‘Ukasyah hanya ingin kulitnya dekat dengan sang pemimpin
terkasih di dunia dan akhirat.
Kita merindukan
saat kita bisa seperti Salman. Dengan status imigran bisa mengkritisi pemimpin
negara sampai pun soal pakaian sang pemimpin yang beda ukuran dari rakyatnya. Dan
‘Umar sang pemimpin pun bisa menjelaskan bahwa kain jatahnya sama dengan jatah yang
dibagi untuk semua penduduk. Hanya saja karena ia bertubuh besar, putera tercinta
memberikan bagiannya untuk ‘Umar sehingga kainnya tampak lebih besar.
Kita merindukan pemimpin
yang setiap malam bisa meronda memeriksa kondisi kita. Pemimpin yang juga sempat
memikul sendiri gandum untuk seorang ibu yang kesulitan mendiamkan tangis lapar
anaknya. Kita juga rindu ibu negara seperti Ummu Kultsum binti ‘Ali yang di
tengah malam bekerja keras menolong kelahiran salah seorang warganya, sementara
suami tercinta ‘Umar Amirul Mukminin memasak roti dan menghangatkan susu sambil
menghibur gelisah seorang calon ayah.
‘Umar lain, yang
datang sebagai buyut ’Umar pertama menyelesaikan krisis ekonomi berat hanya dalam
dua tahun usia pemerintahannya. Dan kedua penguasa ini dapat ditemui tanpa birokrasi
menyulitkan. Bahkan tampak sedang tiduran di atas kerikil atau mengendarai baghol bututnya. Bukan karena miskin. Pemimpin
muslim sejati memandang jabatan sebagai amanah yang berat pertanggungjawabannya.
“Kalau ada seekor anak unta hilang di tepi sungai Dajlah, aku takut Alloh akan menanyakannya
kelak!”, katanya suatu ketika.
Betapa rindu kita
pada pemimpin yang bisa menangis. Minimal menangis. Karena cinta. Pemimpin yang
sadar bahwa ia akan ditanya dan diminta bertanggungjawab atas jutaan pengangguran,
milyaran kasus kriminalitas, jatuhnya moral remaja, dan perempatan jalan yang
penuh peminta. Minimal sadar. Karena cinta. Ia seperti kata Nabi, “Mencintai kalian,
dan kalian pun mencintainya.” Dan cinta itu, akan mengangkatnya dari kungkungan
batas-batas kemanusiaannya untuk berbuat lebih. Karena cinta itu membuatnya tak
sendiri, tetapi rakyat membersamainya. Jika ruhnya saling mengenal dengan ruh rakyatnya,
saat itulah nyala bertemu sumbu, dan kerja-kerja menjadi api yang mengkinesi potensi.
Dan Alloh menghujankan air barokah, dan menumbuhkan pohon thoyyibah.
Jangan ia menjadi
pemimpin yang dikatakan Nabi, “Ia membenci kalian, dan kalian membencinya”.
Karena ia pemimpin yang terbuta seperti patung dewi keadilan. Dan keadilan pun menjadi
seperti patung, -atau robot-, bagi rakyatnya. Karena ia pemimpin yang menyuapi jutaan
mulut bayi lapar dengan hutang sepuluh juta perkepala begitu lahir dari rahim ibunya.
Karena ia begitu rindu menjadi Fir’aun terpuja. Serindu rakyatnya pada Musa yang
membebaskan, dan Sulaiman yang memakmurkan.
Saudaraku, adakah rindu
kita ada di lembah hijau yang sama?
Atau setidaknya di
gersang padang yang sama. Kerinduan menjadi energi besar bagi nurani yang menginginkan
perubahan. Dan nyata kiranya, kerinduan kepada cahaya muncul di saat kita
sedang berada dalam kegelapan. Makna agung kerinduan begitu berarti bagi orang-orang
pilihan. Kerinduan, ya... kerinduan. Kerinduan menjadi nikmat yang menyambung asa
harapan orang-orang beriman. Cita-cita besar para mujahid selalu berangkat dari
terminal kerinduan. Dan unik, terminal rindu itu selalu dibawa serta selama perjalanan.
Semoga rindu itu adalah
sepotong makna afiliasi kita. Pada Alloh, RosulNya, dan Diin-Nya.[]
Credit: “Saksikan bahwa Aku Seorang
Muslim”; Salim A. Fillah; Pro-U Media
Tidak ada komentar:
Posting Komentar