Senin, 25 Mei 2015

Yakinlah, dan Pejamkan Mata!

iman adalah mata yang terbuka
mendahului datangnya cahaya
tapi jika terlalu silau, pejamkan saja
lalu rasakan hangatnya keajaiban

DIA SEORANG DOKTER. Myriam Horsten namanya. Bertahun-tahun dia tekuni bidang khusus kesehatan jantung. Dan bertahun-tahun pula dia harus sering berduka menyaksikan pasiennya kehilangan nyawa. Tapi ada yang menarik perhatiannya di situ; daya tahan terhadap serangan jantung ternyata tidak berhubungan langsung dengan pola makan, gaya hidup, dan bahkan tingkat tekanan ketika mereka menghadapi persoalan dalam kehidupan bermasyarakat.
Aneh. Justru orang-orang yang lebih lemah daya jantungnya ini adalah orang-orang yang tinggal menyendiri dengan tenteram, jarang menghadapi persoalan pelik kehidupan, dan mereka menjalani hari-harinya dalam kemapanan, nyaris tanpa gejolak dan tantangan. Ritme kehidupan mereka linear datar.
Rasa penasarannya dia kejar dengan sebuah penelitian. Bersama para koleganya dari Karolinska Institute, Stockholm, Swedia, dia mengukur dan merekam detak jantung 300 orang wanita sehat selama 24 jam. Demikian dilakukan berulang-ulang secara periodik, selama bertahun-tahun. Penelitian juga dilakukan terhadap teman-teman para wanita ini, sekaligus diusahakan untuk memperoleh gambaran tentang seberapa tinggi tingkat kemarahan dan depresi mereka.
Horsten dan timnya tertarik pada apa yang disebutnya sebagai ‘variabilitas detak jantung’. Ini adalah suatu tolok ukur untuk mengetahui perubahan detak jantung yang terjadi selama periode seharian penuh. Hasil penelitian bertahun-tahun itu awalnya mengejutkan; orang yang sehat dan berjantung kuat justru adalah mereka yang memiliki rentang variabilitas detak jantung yang tinggi. Bahkan rentang itu sangat lebar. Artinya, detak jantung mereka sangat variatif.
Sangat jelas tergambar, bahwa orang-orang yang aktif dan banyak terhubung dengan sesama manusia dalam sehari mengalami berbagai guncangan emosi; mereka tertawa, bersemangat, bergairah, tapi juga marah. Mereka frustasi, berelaksasi, bersedih, tegang, tersenyum, takut, cemas, optimis, tercerahkan. Kesemua hal yang sangat emosional dan dipicu dari hubungan-hubungannya dengan sesama ini mempengaruhi berbagai hormon, utamanya adrenalin yang turut serta mengatur ritme kerja jantung.
Bukankah dengan demikian justru jantung bekerja keras? Ya. Dan jika ia bekerja keras, maka jadilah ia mudah sakit?
Justru sebaliknya.
“Jantung dalam kondisi semacam ini,” kata Myriam Horsten, “Adalah jantung yang berolahraga. Jantung ini menjadi terlatih dan kuat. Jantung ini adalah jantung yang sangat sehat.” Dan sebaliknya, jantung orang yang kehidupannya datar-datar saja, tenteram-tenteram, dan lebih-lebih sangat kurang interaksi sosialnya memiliki variabilitas detak yang sangat kecil. Akibatnya, jantung mereka menjadi jantung yang lemah terhadap suatu serangan.
Jadi bagaimana caranya menguatkan jantung kita? “Gampang,” kata Myriam Horsten. “Perbanyaklah hubungan dengan sesama, perkaya getar-getar emosi bersama mereka, lakukan hal-hal yang variatif dalam kehidupan, dan cobalah tantangan-tantangan baru!” Jadi benar, selain meluaskan rizki, shilaturrohim memanjangkan umur bahkan dalam maknanya yang paling lugas.
YYY
Susahnya berbahasa Indonesia, kita menerjemahkan ‘heart’, yang dalam bahasa Inggris menunjuk kepada organ yang kita sebut ‘jantung’, justru sebagai ‘hati’. Kacau pula menghubungkannya dengan bahasa Arab, di mana kata ‘qolb’ sebenarnya juga dalam tataran fisik mengacu kepada ‘jantung’, bukan ‘hati’. Dalam hal ini, bahasa Arab dan Inggris nampaknya sekufu. Sedangkan bahasa Indonesia kita, tak hendak semakna dengan keduanya.
Sungguh musykil.
Tetapi baiklah, kita takkan merumit-rumitkannya. Kita sedang sampai pada pembahasan tentang dasar persaudaraan kita dalam dekapan ukhuwah kita, yakni iman. Dan di dalam perbincangan kita tentang pohon iman, ada unsur yang disebut akar. Akarnya adalah keyakinan yang menghunjam. Dan keyakinan itu letaknya di dalam ‘qolb’. Satu organ yang tadi kita bicarakan akan memiliki kekuatan, justru jika dilanda berbagai terjangan emosi dari banyak hubungan yang dijalin dengan sesama.
Variabilitas detaknya tinggi.
Maka keyakinan macam apakah yang sehat bagi jiwa dan raga seseorang? Apakah keyakinan itu berbentuk ketenteraman nan datar, garis lurus tanpa gelombang, dan kemapanan tanpa gejolak? Ataukah justru, keyakinan yang sehat adalah keyakinan yang penuh goncangan rasa; sedih, kecewa, marah, bimbang, berat, cemburu, bersemangat, bergairah, berharap-harap, meluap-luap?
Kita hanya bisa menduga bahwa jawabnya mungkin sama dengan jawab kita tentang jantung. Iman yang kuat, justru adalah iman yang variabilitas detaknya tinggi. Para ulama mengistilahkannya sebagai iman yang berdiri di antara khouf dan roja’, antara takut dan harap, tidak merasa aman dari adzab-Nya sekaligus berprasangka baik akan surga-Nya.
Benarkah demikian?
YYY
Awal-awal, saya tertakjub membaca kisah ini; bahwa Sang Nabi hari itu berdo’a.
Di padang Badar yang tandus dan kering, semak durinya yang memerah dan langitnya yang cerah, sesaat kesunyian mendesing. Dua pasukan telah berhadapan. Tak imbang memang. Yang pelik, sebagian mereka terikat oleh darah, namun terpisah oleh aqidah. Dan mereka tahu inilah hari furqon; hari terpisahnya kebenaran dan kebatilan. Ini hari penentuan akankah keberwujudan mereka berlanjut.
Do’a itulah yang mencenungkan saya. “Ya Alloh,” lirihnya dengan mata kaca, “Jika Kau biarkan pasukan iini binasa, Kau takkan disembah lagi di bumi! Ya Alloh, kecuali jika Kau memang menghandaki untuk tak lagi disembah di bumi!” Gemetar bahu itu oleh isaknya, dan selendang di pundaknya pun luruh seiring gigil yang menyesakkan.
Andai boleh lancang, saya menyebutnya do’a yang mengancam. Dan Abu Bakar, lelaki dengan iman tanpa retak itu punya kalimat yang jauh lebih santun untuk menggambarkan perasaan saya. “Sudahlah, ya Rosululloh,” bisiknya sambil mengalungkan kembali selendang Sang Nabi, “Demi Alloh, Dia takkan pernah mengingkari janji-Nya padamu!”
Do’a itu telah menerbitkan sejuta tanya di hati saya. Ringkasnya; mengapa begitu bunyinya? Tetapi kemudian, saya membacanya lagi dengan sama takjubnya pinta Ibrohim, kekasih Alloh itu. “Tunjukkan padaku duhai Robbi, bagaimana Kau hidupkan yang mati!”, begitu katanya. Ah ya… Saya menangkap getar yang sama. Saya menangkap nada yang serupa. Itu iman. Itu iman yang gelisah. Seperti juga seorang yang Rosul pejuang yang terkuras upayanya nyaris melampaui batas ikhtiar manusiawi dalam menegakkan agama.
Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan dengan aneka ujian sampai-sampai berkatalah Rosul dan orang-orang yang beriman bersamanya, ‘Bilakah datangnya pertolongan Alloh?’” (Qs. al-Baqoroh [2]: 214)
Entah mengapa, para peyakin sejati justru selalu menyisakan ruang di hatinya untuk bertanya, atau menagih. Mungkin saja itu bagian dari sisi manusiawi mereka. Atau mungkin justru, itu untuk membedakan iman mereka yang suci dari hawa nafsu yang dicarikan pembenaran. Untuk membedakan keyakinan mereka yang menghunjam dari kepercayaan yang bulat namun tanpa pijakan.
Kita tahu, di Badar hari itu, Abu Jahl juga berdo’a. dengan kuda perkasanya, dengan mata menantangnya, dengan suara lantangnya, dan telunjuk yang mengacung ke langit dia berseru, “Ya Alloh, jika yang di bawa Muhammad memang benar dari sisi-Mu, hujani saja kami dari langit dengan batu!” Berbeda dari Sang Nabi, kalimat do’anya begitu bulat, utuh, dan pejal. Tak menyisakan sedikit pun ruang untuk bertanya. Dan dia lebih rela binasa daripada mengakui bahwa kebenaran ada di pihak lawan.
Itukah keyakinan yang sempurna? Bukan. Itu justru kenaifan. Naif sekali.
Mari bedakan kedua hal ini. Yakin dan naif. Bahwa dua manusia yang dijamin sebagai teladan terbaik oleh al-Qur’an memiliki keyakinan yang menghunjam dalam hati, dan keyakinan itu justru sangat manusiawi. Sementara kenaifan telah diajarkan Iblis; untuk menilai sesuatu dari asal penciptaan lalu penilaian itu menghalangi ketaatan pada Penciptanya. Atau seperti Abu Jahl; rela binasa daripada mengakui kebenaran tak di pihaknya. Atau seperti Khowarij yang diperangi ‘Ali; selalu bicara dengan ayat-ayat suci, tapi lisan dan tangan menyakiti dan menganiaya Muslim lain tanpa henti. Khowarij yang selalu berteriak, “Hukum itu hanya milik Alloh!” sekedar untuk menghalangi kaum Muslimin berdamai lagi dan mengupayakan kemashlahatan yang lebih besar. Mencita-citakan tegaknya Din, memisahkan diri di Haruro dari kumpulan besar Muslimin, dan merasa bahwa segala masalah akan selesai dengan kalimat-kalimat. Itu naif.
Dan beginilah kehidupan para peyakin sejati. Tak hanya satu saat dalam kehidupannya, Ibrohim sebagai ayah dan suami, Rosul dan Nabi, harus mengalami pertarungan batin yang sengit. Saat ia diminta meninggalkan istri dan anaknya berulang kali dia ditanya Hajar mengapa. Dan dia hanya terdiam, menghela nafas panjang, sembari memejamkan mata. Juga ketika dia harus menyembelih Isma’il. Siapa yang bisa meredam kemanusiaannya, kebapakannya, juga rasa sayang dan cintanya pada sesibir tulang yang dinanti dengan berpuluh tahun menghitung hari.
Dan dia memejamkan mata. Lagi-lagi memejamkan mata.
Yang dialami para peyakin sejati agaknya adalah sebuah keterhijaban akan masa depan. Mereka tak tahu apa sesudah itu. Yang mereka tahu saat ini bahwa ada perintah Ilahi untuk begini. Dan iman mereka selalu mengiang-ngiangkan satu kaidah suci, “Jika ini perintah Ilahi, Dia takkan pernah menyia-nyiakan iman dan amal kami.” Lalu mereka bertindak. Mereka padukan tekad untuk taat dengan rasa hati yang kadang masih berat. Mereka satukan keberanian melangkah dengan gelora jiwa yang bertanya-tanya.
Perpaduan itu membuat mereka memejamkan mata. Ya, memejamkan mata.
Begitulah para peyakin sejati. Bagi mereka, hikmah hakiki tak selalu muncul di awal pagi. Mereka harus bersikap di tengah keterhijaban akan masa depan. Cahaya itu belum datang, atau justru terlalu menyilaukan. Tapi mereka harus mengerjakan perintah-Nya. Seperti Nuh harus membuat kapal, seperti Ibrohim harus menyembelih Isma’il, seperti Musa harus menghadapi Fir’aun dengan lisan gagap dan dosa membunuh, seperti Muhammad dan para shohabat harus mengayunkan pedang-pedang mereka pada kerabat yang terikat darah namun terpisah oleh aqidah.
Dalam dekapan ukhuwah, jika ada perintah-Nya yang berat bagi kita, mari pejamkan mata untuk menyempurnakan keterhijaban kita. Lalu kerjakan. Mengerja sambil memejam mata adalah tanda bahwa kita menyerah pasrah pada Tangan-Nya yang telah menulis takdir kita. Tangan yang menuliskan perintah sekaligus mengatur segalanya jadi indah. Tangan yang menuliskan musibah dan kesulitan sebagai sisipan bagi nikmat dan kemudahan. Tangan yang mencipta kita, dan pada-Nya jua kita akan pulang, dalam dekapan ukhuwah…


Credit: “Dalam Dekapan Ukhuwah”; Salim A. Fillah; Pro-U Media

Tidak ada komentar:

Posting Komentar