Jumat, 01 Mei 2015

Penyusup

KETIKA itu, Mesir ditaklukkan. ‘Amr ibn Al-‘Ash menanyakan kepada Amirul Mu’minin, ‘Umar ibn Al-Khoththob perlu tidaknya menerjemahkan buku-buku peninggalan Romawi yang ditemuinya di Iskandariah. ‘Umar tegas mengatakan, “Jangan! Biarkan sebagaimana adanya…“

Apa yang diperintahkan ‘Umar tepat untuk zaman itu, di mana kaum intelektual muslim belum membangun sebuah format framework untuk menyaring segala hikmah yang mungkin tercecer di peradaban lain. Terra incognita itu belum layak dijamah mengingat peralatan belum memadai. Abu Hanifah yang mempelopori logika berpikir syar’i dan Asy-Syafi’i yang merumuskan kaidah-kaidah ushul baru lahir beberapa dekade mendatang. Demikian pula Malik, Ahmad ibn Hanbal, Al-Bukhori, dan Muslim ibn Hajjaj yang membangun metodologi kodifikasi hadits baru muncul beberapa waktu kemudian.

Jelas, kita tak menyesali upaya-upaya sesudah itu untuk menggali dan mengenali aneka produk peradaban lain ketika framework-nya tepat. Sekali lagi, bisa jadi ada hikmah yang terserak yang menjadi hak orang beriman di sana.

Tetapi pendewa akal dari golongan Mu’tazilah yang menguat pengaruhnya di masa kekholifahan ‘Abbassiah begitu bersemangat menerjemahkan tanpa terlebih dahulu menata framework syari’at sehingga tak bisa memilah mana yang perlu untuk kesejahteraan peradaban dan mana yang merupakan racun yang membuat orang tenggelam dalam angan kosong, memikirkan yang tidak perlu dipikir.

Filsafat Yunani dengan logikanya, Romawi dengan materialismenya, Persia dan India dengan legendanya atau Yahudi dengan Isroiliyat dan Nashrani dengan Theologinya kemudian menjadi rujukan berbagai studi ilmiah. Hal paling jahiliah yang mereka lakukan setelah itu adalah pensifatan terhadap Alloh dengan sifat yang tidak pantas bagiNya. Bahkan Jahm bin Shofwan berkata, “Tuhan adalah entitas absolut!” untuk meniadakan segala sifat kesempurnaan bagiNya. Atau juga dua ekstrim yang mempertentangkan takdir sebagaimana Jabariah dan Qodariah. Lalu berkembang pula perbincangan aneh untuk mencapai hakikat Alloh melalui metode yang disebut ilmu kalam.

Ilmu Kalam menempatkan akal sebagai hakim tertinggi kebenaran. Sayang tidak ada batasan. Semua mengklaim kebenaran di pihaknya setelah memikirkan hakikat tentang tuhan, manusia, kebenaran, alam, dan kehidupan. Al-Qur’an dan Sunnah Nabi tak lagi menjadi rujukan. Mimpi besar Ilmu Kalam, menyingkap hakikat ketuhanan justru menghasilkan berbagai pemikiran aneh yang sifatnya akal-akalan.

Cukup kita mendengar tutur akhir seorang pakar Ilmu Kalam, Muhammad ibn ‘Abdul Karim Asy-Syahrostani, “Telah kujelajahi balai-balai pendidikan ilmu kalam itu seluruhnya, dan kuarahkan mataku di antara rambu-rambunya. Namun yang kutemui hanyalah orang yang duduk bertafakur kebingungan, atau gemeretak giginya karena menyesal.”

Atau bagi kita yang sangat mempercayai Imam Al-Ghozali, dengarkanlah beliau, sang penulis Tahafutul Falasifah yang wafat dengan himpunan shohih Bukhori di dadanya. “Sekarang dengarlah penjelasan dari seorang yang telah mengenal ilmu kalam, namun kemudian meninggalkannya setelah betul-betul berpengalaman. Jalan untuk mencapai ma’rifah melalui jalur ini ternyata buntu. Memang demi Alloh, ilmu kalam tidak terlepas dari membicarakan penelitian ilmiah, definisi, dan penjelasan berbagai perkara, namun amatlah jarang...”

“...Sedangkan ilmu mereka tidak dapat meliputi ilmuNya.“ (QS. Thoohaa: 110)

Dan, selalu ada dua sisi. Simpangan berat ke kiri akan mengayun yang lain ke kanan. Ketika rasionalisme Mu’tazilah mencengkeramkan kukunya ke leher kekuasaan Islam, muncul ekstrim lain yang bersifat mistik. Ia tak digali dari kezuhudan Rosululloh, sahabat, dan para tabi’in. Ia lahir dari frustasi zaman yang bertemu pandang dengan kerahiban Nashrani, brahmanisme Hindu, dan apatisme Buddhis.

Kekosongan spiritual selama ini, saat mereka hanya menyaksikan debat-debat sengit para ilmuwan Mu’tazilah, mereka isi dengan spiritualitas jahiliah. Bagaikan mencuci baju dengan air seni, tidak ada yang mereka dapatkan kecuali apek dan busuknya jahiliah. Bahkan mereka mengharamkan apa yang telah Alloh halalkan. Melajang seperti rahib, vegetarian seperti biksu, dan compang-camping seperti brahmacharya. “Apakah engkau kira Alloh benci kalau ada karuniaNya yang tampak pada diri hambaNya?“, tanya ‘Ali bin Abu Tholib pada orang jenis ini suatu ketika.

“...Siapakah yang telah mengharamkan perhiasan dari Alloh yang telah Ia keluarkan untuk hamba-hambaNya dan (siapakah yang mengharamkan) rezeki yang baik?” (QS. Al-A’rof: 32)

Tidak ada kerahiban dalam Islam. Pesan Alloh dan RosulNya ini mereka tinggalkan, lalu mereka membuat bid’ah-bid’ah yang mereka anggap bisa mengantar mereka kasysyaf, menyingkap tabir hakikat Alloh melalui perasaannya. Mereka terpejam berdzikir, menggoyangkan badan dan melenggokkan kepala sampai lafal “Laa ilaaha illalloh” yang mereka lantunkan berubah menjadi “Hu hu hu!”, dan lafal “Alloh...” menjadi “Love...” Entah apakah itu kepura-puraan, atau benar-benar tenggelam dalam ilusi bersama syaithon!

Bagai burung unta yang merasa aman dengan membenamkan kepala ke dalam pasir, sementara tubuhnya masih terguguk di pelupuk pemburu. Apatisme menjadi pakaian yang tak dilepas, bahkan terhadap Alloh ‘Azza wa Jalla. Mereka menghayati cabang kemunafikan, menulikan telinga terhadap ayat-ayatNya, menulikan telinga terhadap kondisi yang perlu perbaikan nyata, dan pekak menyikapi kezholiman di depan matanya.

“Sesungguhnyu seburuk-buruk binatang di sisi Alloh adalah orang-orang yang pekak, tuli, yang tidak mengerti apapun!” (QS. Al-Anfaal: 22)

Yang timbul setelahnya adalah bid’ah yang semakin banyak hingga tingkat mukaffiroh, menyebabkan kafir. Zaman kemudian mengenal mereka sebagai orang sufi. Dan zaman pun menyaksikan, bahwa mereka tak jauh beda penyimpangannya dengan para ahli ilmu kalam, bahkan lebih parah. Monisme (ketunggalan tuhan dan hambanya), menjadi Wihdatul Wujud yang berbahaya. Alloh disifati sebagai apa saja, di mana saja.

“Dan siapakah yung lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Alloh sedikitpun.“ (QS. Al-Qoshosh: 50)


Rasio bebas dan mistisisme. Kedua gejala ini adalah jahiliah yang menyusup. Tetapi ia begitu berbahaya bagaikan cacing pita yang meremukkan hati ternak. Ia menghisap darah ummat bukan dari permukaan kulitnya, tapi tepat di dalam jantungnya.[]

Credit: "Saksikan bahwa Aku Seorang Muslim"; Salim A. Fillah; Pro-U Media

Tidak ada komentar:

Posting Komentar