KETIKA itu, Mesir ditaklukkan. ‘Amr ibn Al-‘Ash
menanyakan kepada Amirul Mu’minin, ‘Umar ibn Al-Khoththob perlu tidaknya menerjemahkan
buku-buku peninggalan Romawi yang ditemuinya di Iskandariah. ‘Umar tegas mengatakan,
“Jangan! Biarkan sebagaimana adanya…“
Apa yang diperintahkan
‘Umar tepat untuk zaman itu, di mana kaum intelektual muslim belum membangun sebuah
format framework untuk menyaring segala
hikmah yang mungkin tercecer di peradaban lain. Terra incognita itu belum layak dijamah mengingat peralatan belum memadai.
Abu Hanifah yang mempelopori logika berpikir syar’i dan Asy-Syafi’i yang merumuskan
kaidah-kaidah ushul baru lahir beberapa dekade mendatang. Demikian pula Malik, Ahmad
ibn Hanbal, Al-Bukhori, dan Muslim ibn Hajjaj yang membangun metodologi
kodifikasi hadits baru muncul beberapa waktu kemudian.
Jelas, kita tak menyesali
upaya-upaya sesudah itu untuk menggali dan mengenali aneka produk peradaban lain
ketika framework-nya tepat. Sekali lagi,
bisa jadi ada hikmah yang terserak yang menjadi hak orang beriman di sana.
Tetapi pendewa akal
dari golongan Mu’tazilah yang menguat pengaruhnya di masa kekholifahan ‘Abbassiah
begitu bersemangat menerjemahkan tanpa terlebih dahulu menata framework syari’at sehingga tak bisa memilah
mana yang perlu untuk kesejahteraan peradaban dan mana yang merupakan racun yang
membuat orang tenggelam dalam angan kosong, memikirkan yang tidak perlu dipikir.
Filsafat Yunani dengan
logikanya, Romawi dengan materialismenya, Persia dan India dengan legendanya atau
Yahudi dengan Isroiliyat dan Nashrani dengan Theologinya kemudian menjadi rujukan
berbagai studi ilmiah. Hal paling jahiliah yang mereka lakukan setelah itu adalah
pensifatan terhadap Alloh dengan sifat yang tidak pantas bagiNya. Bahkan Jahm
bin Shofwan berkata, “Tuhan adalah entitas absolut!” untuk meniadakan segala sifat
kesempurnaan bagiNya. Atau juga dua ekstrim yang mempertentangkan takdir sebagaimana
Jabariah dan Qodariah. Lalu berkembang pula perbincangan aneh untuk mencapai hakikat
Alloh melalui metode yang disebut ilmu kalam.
Ilmu Kalam menempatkan
akal sebagai hakim tertinggi kebenaran. Sayang tidak ada batasan. Semua
mengklaim kebenaran di pihaknya setelah memikirkan hakikat tentang tuhan, manusia,
kebenaran, alam, dan kehidupan. Al-Qur’an dan Sunnah Nabi tak lagi menjadi rujukan.
Mimpi besar Ilmu Kalam, menyingkap hakikat ketuhanan justru menghasilkan berbagai
pemikiran aneh yang sifatnya akal-akalan.
Cukup kita mendengar
tutur akhir seorang pakar Ilmu Kalam, Muhammad ibn ‘Abdul Karim Asy-Syahrostani,
“Telah kujelajahi balai-balai pendidikan ilmu kalam itu seluruhnya, dan kuarahkan
mataku di antara rambu-rambunya. Namun yang kutemui hanyalah orang yang duduk
bertafakur kebingungan, atau gemeretak giginya karena menyesal.”
Atau bagi kita yang
sangat mempercayai Imam Al-Ghozali, dengarkanlah beliau, sang penulis Tahafutul Falasifah yang wafat dengan himpunan
shohih Bukhori di dadanya. “Sekarang dengarlah penjelasan dari seorang yang telah
mengenal ilmu kalam, namun kemudian meninggalkannya setelah betul-betul
berpengalaman. Jalan untuk mencapai ma’rifah melalui jalur ini ternyata buntu.
Memang demi Alloh, ilmu kalam tidak terlepas dari membicarakan penelitian
ilmiah, definisi, dan penjelasan berbagai perkara, namun amatlah jarang...”
“...Sedangkan ilmu mereka tidak dapat meliputi ilmuNya.“ (QS. Thoohaa: 110)
Dan, selalu ada dua
sisi. Simpangan berat ke kiri akan mengayun yang lain ke kanan. Ketika rasionalisme
Mu’tazilah mencengkeramkan kukunya ke leher kekuasaan Islam, muncul ekstrim lain
yang bersifat mistik. Ia tak digali dari kezuhudan Rosululloh, sahabat, dan para
tabi’in. Ia lahir dari frustasi zaman yang bertemu pandang dengan kerahiban Nashrani,
brahmanisme Hindu, dan apatisme Buddhis.
Kekosongan
spiritual selama ini, saat mereka hanya menyaksikan debat-debat sengit para ilmuwan
Mu’tazilah, mereka isi dengan spiritualitas jahiliah. Bagaikan mencuci baju
dengan air seni, tidak ada yang mereka dapatkan kecuali apek dan busuknya jahiliah.
Bahkan mereka mengharamkan apa yang telah Alloh halalkan. Melajang seperti rahib,
vegetarian seperti biksu, dan compang-camping seperti brahmacharya. “Apakah engkau kira Alloh benci kalau ada karuniaNya
yang tampak pada diri hambaNya?“, tanya ‘Ali bin Abu Tholib pada orang jenis ini
suatu ketika.
“...Siapakah yang telah mengharamkan perhiasan dari
Alloh yang telah Ia keluarkan untuk hamba-hambaNya dan (siapakah yang mengharamkan)
rezeki yang baik?”
(QS. Al-A’rof: 32)
Tidak ada
kerahiban dalam Islam. Pesan Alloh dan RosulNya ini mereka tinggalkan, lalu mereka
membuat bid’ah-bid’ah yang mereka anggap bisa mengantar mereka kasysyaf, menyingkap tabir hakikat Alloh
melalui perasaannya. Mereka terpejam berdzikir, menggoyangkan badan dan melenggokkan
kepala sampai lafal “Laa ilaaha illalloh”
yang mereka lantunkan berubah menjadi “Hu hu hu!”, dan lafal “Alloh...” menjadi
“Love...” Entah apakah itu kepura-puraan, atau benar-benar tenggelam dalam ilusi
bersama syaithon!
Bagai burung unta
yang merasa aman dengan membenamkan kepala ke dalam pasir, sementara tubuhnya masih
terguguk di pelupuk pemburu. Apatisme menjadi pakaian yang tak dilepas, bahkan
terhadap Alloh ‘Azza wa Jalla. Mereka
menghayati cabang kemunafikan, menulikan telinga terhadap ayat-ayatNya, menulikan
telinga terhadap kondisi yang perlu perbaikan nyata, dan pekak menyikapi kezholiman
di depan matanya.
“Sesungguhnyu seburuk-buruk binatang di sisi Alloh
adalah orang-orang yang pekak, tuli, yang tidak mengerti apapun!” (QS. Al-Anfaal:
22)
Yang timbul setelahnya
adalah bid’ah yang semakin banyak hingga tingkat mukaffiroh, menyebabkan kafir. Zaman kemudian mengenal mereka sebagai
orang sufi. Dan zaman pun menyaksikan, bahwa mereka tak jauh beda
penyimpangannya dengan para ahli ilmu kalam, bahkan lebih parah. Monisme (ketunggalan tuhan dan
hambanya), menjadi Wihdatul Wujud yang
berbahaya. Alloh disifati sebagai apa saja, di mana saja.
“Dan siapakah yung lebih sesat daripada orang yang
mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Alloh sedikitpun.“ (QS. Al-Qoshosh: 50)
Rasio bebas dan
mistisisme. Kedua gejala ini adalah jahiliah yang menyusup. Tetapi ia begitu
berbahaya bagaikan cacing pita yang meremukkan hati ternak. Ia menghisap darah ummat
bukan dari permukaan kulitnya, tapi tepat di dalam jantungnya.[]
Credit: "Saksikan bahwa Aku Seorang Muslim"; Salim A. Fillah; Pro-U Media
Tidak ada komentar:
Posting Komentar